Hukum Meratapi Mayit

Hukum Meratapi Mayit

Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَخَذَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ البَيْعَةِ أَنْ لاَ نَنُوحَ ، فَمَا وَفَتْ مِنَّا امْرَأَةٌ غَيْرَ خَمْسِ نِسْوَةٍ: أُمِّ سُلَيْمٍ، وَأُمِّ العَلاَءِ، وَابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ امْرَأَةِ مُعَاذٍ، وَامْرَأَتَيْنِ – أَوِ ابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ، وَامْرَأَةِ مُعَاذٍ وَامْرَأَةٍ أُخْرَى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sumpah setia dari kami ketika kami berbai’at, yaitu kami dilarang meratap. Dan tidak ada yang bisa menepatinya di antara kami, kecuali hanya lima perempuan saja, yaitu Ummu Sulaim; Ummul ‘Alaa; anak perempuan Abu Sabrah, yang merupakan istri dari Mu’adz; dan dua perempuan lainnya; atau [1] anak perempuan Abu Sabrah; istri Mu’adz; dan satu perempuan lainnya.” (HR. Bukhari no. 1306 dan Muslim no. 936)

Meratapi mayit, di antaranya dalam bentuk berteriak-teriak, menangis histeris karena kematiannya, adalah perbuatan yang terlarang. Perbuatan semacam ini sangat berat untuk ditinggalkan, kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah Ta’ala. Terutama sangat berat bagi wanita. Oleh karena itu, dari sejumlah shahabiyyah yang berjanji di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya tersisa lima orang saja yang bisa melaksanakannya. Hal ini karena memang individu atau person sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak terjaga (maksum) dari berbuat dosa. Meskipun apabila berbuat dosa, mereka adalah orang-orang yang dimudahkan untuk segera bertaubat.

Terdapat ancaman berupa hukuman khusus di akhirat bagi orang yang gemar meratapi mayit. Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ  وَقَالَ: النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Ada empat perkara khas jahiliyah [2] yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: (1) membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; (2) mencela nasab (garis keturunan) [3]; (3) menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan (4) dan niyahah (meratapi mayit).” 

Dan beliau bersabda, “Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair [4] dan memakai pakaian dari kudis.” (HR. Muslim no. 934)

Disebutkannya “wanita” pada hadits di atas adalah karena mayoritas pelakunya adalah wanita. Sehingga jika laki-laki juga meratap dan belum bertaubat sampai meninggal dunia, dia pun berhak terkena ancaman hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. 

Perkara ini juga sangat mendapatkan perhatian dari para sahabat, sampai-sampai mereka pun mengingatkannya ketika mereka sakit parah. Abu Musa (‘Abdullah bin Qais) radhiyallahu ‘anhu merasakan sakit hingga jatuh pingsan sementara kepalanya menyandar dalam pangkuan salah seorang istrinya. Istrinya pun berteriak histeris sementara dia (Abu Musa) tidak bisa mencegah perbuatan istrinya sedikit pun (karena pingsan, meskipun masih bisa mendengar suara ratapan istrinya, pent.). 

Ketika sadar, maka Abu Musa radhiyallahu ‘anhu pun berkata, 

أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَةِ، وَالْحَالِقَةِ، وَالشَّاقَّةِ

“Saya berlepas diri dari tindakan yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Rasulullah berlepas diri dari wanita yang meratap (menangis histeris), yang memotong-motong (mencukur atau menggundul) rambut kepala [5], serta menyobek-nyobek baju.” (HR. Bukhari no. 1296 dan Muslim no. 104)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari umatnya yang meratapi mayit. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ، أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukan dari golongan kami siapa yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju, dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (meratap).” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103)

Tindakan-tindakan di atas adalah bentuk ratapan yang dikenal pada jaman itu. Maksud “menyeru dengan seruan jahiliyyah” dicontohkan para ulama dengan mengatakan, “Wahai sandaran hidupku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Atau ucapan, “Wahai pelindungku, mengapa Engkau pergi meninggalkanku sendiri?” Kalimat-kalimat semacam itu, yang diucapkan ketika seseorang mendapatkan musibah, termasuk dalam ucapan ratapan yang terlarang. Penjelasan lain dari “seruan jahiliyyah” adalah seruan untuk fanatisme kekelompokan (fanatisme golongan).

Yang diperbolehkan adalah (hanya) menangis dengan meneteskan air mata, tanpa mengucapkan kalimat-kalimat terlarang di atas. Kalau mulut ikut berteriak histeris, ini adalah bentuk meratap yang terlarang.

Sebagaimana dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika anak beliau, Ibrahim, meninggal dunia. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meratapi Ibrahim dengan ucapan-ucapan kalimat yang menunjukkan ekspresi kesedihan.

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Abu Saif Al-Qaiyn yang (isterinya) telah mengasuh dan menyusui Ibrahim (putra Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil Ibrahim dan menciumnya. Kemudian setelah itu pada kesempatan yang lain, kami mengunjunginya sedangkan Ibrahim telah meninggal. 

Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang air mata. Lalu berkatalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu kepada beliau, “Mengapa Anda menangis, wahai Rasulullah?” 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, 

يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ

“Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang).” 

Beliau lalu melanjutkan dengan kalimat yang lain dan bersabda,

إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

“Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim, pastilah bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 62)

Menangis, meneteskan air mata adalah wajar karena menunjukkan kasih sayang kita kepada saudara atau kerabat yang meninggal. Akan tetapi, tangisan air mata tersebut tidak boleh diiringi dengan ratapan berupa ucapan-ucapan yang terlarang. [6]

[Selesai]

***

Catatan kaki:

[1] Karena perawi ragu-ragu.

[2] Dan semua hal yang disebut sebagai perkara jahiliyyah adalah perkara yang tercela, meskipun belum tentu merupakan perbuatan kekafiran pembatal iman.

[3]Termasuk di antaranya adalah mencela karena dia anak petani, misalnya; atau karena dia berasal dari suku tertentu.

[4] Maksudnya, dituangi timah cair. Dan hukuman ini terjadi pada saat di padang Mahsyar.

[5] Dalam budaya jahiliyyah, menggundul rambut kepala itu ekspresi kesedihan. Adapun dalam budaya kita, menggundul rambut kepala itu merupakan ekspresi kebahagiaan.

[6] Disarikan dari kitab Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, karya Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani rahimahullahu Ta’ala, hal. 81-82.

Tidak ada komentar