Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Puasa

Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Puasa

  1. Berlebihan dalam istinsyaq saat berwudhu.

Rasulullah ﷺ bersabda,

أَسْبِغِ الْوُضُوءَ، وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“Sempurnakanlah wudu dan bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq, kecuali engkau dalam keadaan berpuasa.” ([1])

Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama mengatakan makruhnya berlebihan dalam istinsyaq. ([2])

  1. Mencium pasangan

Dalam membahas masalah ini, maka harus dibedakan  antara orang yang mudah bangkit syahwatnya dengan orang yang bisa menjaga syahwatnya. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ melakukannya sebagaimana diriwayatkan Aisyah i,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

“Rasulullah ﷺ menciumku saat beliau sedang berpuasa. Beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya dari pada kalian.” ([3])

Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya Rasulullah ﷺ mengizinkan dan melarang sahabat untuk melakukannya. Dari Abu Hurairah h,

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ، «فَرَخَّصَ لَهُ»، وَأَتَاهُ آخَرُ، فَسَأَلَهُ، «فَنَهَاهُ»، فَإِذَا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ، وَالَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ

“Bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi ﷺ mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan orang yang lain datang kepada beliau dan bertanya mengenai hal yang sama, lalu beliau melarangnya. Ternyata orang yang beliau beri keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau larang adalah orang yang masih muda.” ([4])

Hadits ini menunjukkan bahwasanya perbedaan kondisi seseorang memberikan pengaruh terhadap perbedaan hukum. Oleh karenanya, para ulama juga membedakan hukumnya tergantung kondisi seseorang. Ibnu Qudamah rahimahullah,  berkata,

فَإِنَّ الْمُقَبِّلَ إذَا كَانَ ذَا شَهْوَةٍ مُفْرِطَةٍ، بِحَيْثُ يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ إذَا قَبَّلَ أَنْزَلَ، لَمْ تَحِلَّ لَهُ الْقُبْلَةُ؛ لِأَنَّهَا مُفْسِدَةٌ لِصَوْمِهِ، فَحَرُمَتْ، كَالْأَكْلِ.

“Sesungguhnya orang yang mencium jika memiliki syahwat yang sangat besar, di mana dia yakin jika ia mencium akan membuat maninya keluar, maka tidak halal baginya untuk mencium pasangannya. Hal ini dikarenakan perbuatan tersebut membuat puasanya rusak/batal, sehingga diharamkan seperti makan.”

Kemudian beliau berkata,

وَإِنْ كَانَ ذَا شَهْوَةٍ، لَكِنَّهُ لَا يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ ذَلِكَ، كُرِهَ لَهُ التَّقْبِيلُ؛ لِأَنَّهُ يُعَرِّضُ صَوْمَهُ لِلْفِطْرِ، وَلَا يَأْمَنُ عَلَيْهِ الْفَسَادُ

“Jika dia memiliki syahwat, namun dia meyakini tidak akan terjadi hal tersebut. Dalam kondisi ini mencium hukumnya makruh karena dia bisa membuat puasanya batal, dan dia tidak bisa aman darinya.”([5])

Imam Nawawi juga menyatakan hal yang sama, beliau rahimahullah berkata,

ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا كَرَاهَتُهَا لِمَنْ حَرَّكَتْ شَهْوَتَهُ وَلَا تُكْرَهُ لِغَيْرِهِ وَالْأَوْلَى تَرْكُهَا فَإِنْ قَبَّلَ مَنْ تُحَرِّكُ شَهْوَتَهُ وَلَمْ يُنْزِلْ لَمْ يَبْطُلْ صَوْمُهُ

“Kami telah sebutkan dalam mazhab kami bahwasanya mencium hukumnya makruh bagi orang yang syahwatnya dapat bangkit dikarenakan mencium. Adapun orang yang syahwatnya tidak bangkit maka tidak makruh. Yang lebih utama adalah meninggalkan perbuatan tersebut. Seandainya seseorang yang mencium kemudian syahwatnya bangkit namun tidak menyebabkan maninya keluar maka puasanya tidak batal.” ([6])

  1. Wishal ([7])
  2. Banyak tidur di siang hari. ([8])

Orang yang banyak tidur puasanya sah dan mendapatkan pahala. Akan tetapi, dia telah kehilangan banyak pahala karena telah menyia-nyiakan waktunya dan tidak menjaga ibadah puasanya dengan berzikir, berdoa, membaca Al-Qur’an, dan ibadah lainnya. ([9])

  1. Mencicipi makanan.

Tidak mengapa bagi orang yang berpuasa untuk mencicipi makanan jika memang dibutuhkan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu,

لَا بَأْسَ أَنْ يَذُوقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ، مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Tidak mengapa mencicipi cuka atau yang lainnya selama tidak sampai ke tenggorokannya, dan dia dalam keadaan berpuasa.” ([10])

Adapun jika mencicipinya tanpa ada kebutuhan, maka ini dimakruhkan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh ulama mazhab Hanabilah,

وَيُكْرَهُ ذَوْقُ طَعَامٍ بِلاَ حَاجِةٍ

“Dimakruhkan mencicipi makanan tanpa adanya kebutuhan.” ([11])

  1. Mengumpulkan air liur lalu menelannya

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

ويُكْرَهُ للصّائِمِ جَمْعُ رِيقِه وابْتِلاعُه؛ لإِمْكانِ التَّحَرُّزِ منه. فإن جَمَعَه ثم ابْتَلَعَه قَصْدًا، لم يُفَطِّرْه؛ لأنَّه يَصِلُ إلى جَوْفِه مِن مَعِدَتِه

“Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa mengumpulkan air liur dan menelannya.  Hal ini dikarenakan memungkinkan bagi seseorang untuk menghindarinya. Namun, jika ia mengumpulkan air liurnya kemudian dengan sengaja menelannya maka hal ini tidak membatalkan puasanya. Dikarenakan air liur yang masuk ke dalam tubuhnya adalah sesuatu yang berasal dari lambungnya.” ([12])

Permasalahan: Bersiwak setelah zawal

Sebagian ulama mengatakan makruhnya siwak setelah zawal.([13]) Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah ﷺ,

إِذَا صُمْتُمْ فَاسْتَاكُوا بِالْغَدَاةِ وَلَا تَسْتَاكُوا بِالْعَشِيِّ فَإِنَّ الصَّائِمَ إِذَا يَبِسَتْ شَفَتَاهُ كَانَ لَهُ نُورٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jika engkau sedang puasa, bersiwaklah di pagi hari dan jangan bersiwak di siang hari([14]). Karena orang yang puasa itu jika kering dua bibirnya akan mendapat cahaya di hari kiamat.” ([15])

Sebagian ulama lain memandang bahwa bersiwak disyariatkan setiap waktu. ([16])Adapun hadits pelarangan bersiwak di siang hari dihukumi para ulama sebagai hadits lemah sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Terlebih lagi dalil tersebut bertentangan dengan keumuman dalil lain yang sahih, yaitu sabda Rasulullah ﷺ,

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ

“Sekiranya tidak memberatkan ummatku atau manusia, niscaya aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap kali hendak shalat.” ([17])

Dalam riwayat lain,

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ

“Sekiranya tidak memberatkan ummatku niscaya aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap kali wudu.” ([18])

Syekh as-Sindi berkata,

وَفِيهِ دلَالَةٌ عَلَى أَنَّه لَا مَانِعَ مِنْ إِيجَابِ السِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ إِلَّا مَا يَخَافُ مِنْ لُزُومِ الْمَشَقَّةِ عَلَى النَّاسِ وَيلْزمُ مِنْهُ أَن يكونَ الصَّوْمُ غيرَ مَانعٍ مِنْ ذَلِك

“Dalam hadits ini terdapat dalil  bahwa tidak ada penghalang dari kewajiban bersiwak setiap shalat kecuali khawatir dari memberatkan terhadap manusia. Hal ini berkonsekuensi puasa bukanlah penghalang dari kewajiban tersebut.” ([19])

___________
Footnote:

([1]) HR. Ibnu Majah No. 407. Dinyatakan sahih oleh al-Albani.
([2]) Lihat: Al-Mughni (1/34).
([3]) HR. Muslim No. 1106.
([4]) HR. Abu Daud No. 2387.
([5]) Al-Mughni (3/127).
([6]) Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/355).
([7]) Lihat: Mawahib al-Jalil Fi Syarh Mukhtashar (1/78).
([8]) Lihat: Mawahib al-Jalil Fi Syarh Mukhtashar (1/78).
([9]) Lihat: Fatawa Nur Ala ad-Darb (16/45).
([10]) HR. Ibnu Abu Syaibah No. 9277. Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam kitabnya Irwa al-Ghalil No. 937.
([11]) Zad al-Mustaqni’ Fi Ikhtishar al-Muqni’, hlm 83.
([12]) Syarh al-Kabir (7/475).
([13]) Ini adalah pendapat mazhab Hanabilah [Lihat: Al-Hidayah ‘Ala Mazhab al-Imam Ahmad (1/160) dan Syafi’iyah [Lihat: Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab (6/377)].
([14]) الْعَشِيِّ adalah waktu di antara zawal hingga terbenamnya matahari. Disebutkan juga maknanya adalah waktu setelah Asar. [Lihat: At-Taisir Bisyarh al-Jami’ ash-Shaghir (1/113)].
([15]) HR. Thabrani No. 3696. Dinyatakan daif oleh al-Albani dalam kitabnya Irwa’ al-Ghalil, hlm, 67.
([16]) Ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. [Lihat: Al-Mughni 1/72)].
([17]) HR. Bukhari No. 887.
([18]) HR. Bukhari (3/31).
([19]) Hasyiyah as-Sindi ‘Ala Sunan an-Nasai (1/12).

Tidak ada komentar