Ketika Martin Luther King, bapak anti-diskriminasi ras di Amerika berbicara tentang perlunya persamaan hak tanpa memandang warna kulit, semua orang mendengarkan. Ketika Baharuddin Lopa, mantan menteri kehakiman era Gus Dur dan dubes RI di Arab Saudi, berbicara tentang pemberantasan KKN, semua orang mendengarkan.
Ketika Nurcholis Madjid, cendekiawan muslim Indonesia, berbicara tentang perlunya demokrasi dan pembentukan civil society, orang manggut-manggut tanda setuju. Tokoh-tokoh yang saya sebut di atas adalah sebagian dari sedikit tokoh-tokoh nasional dan dunia yg memiliki kredibilitas (credibility) yang diakui, sehingga setiap ucapan dan tingkah laku mereka selalu mendapat tanggapan dan sambutan positif.
Istilah kredibilitas belajar dari bahasa Inggris credibility yang menurut Oxford Dictionary bermakna “the quality of being believable or trustworthy” (kualitas pribadi yang dapat dipercaya).
Suatu kepribadian baru dapat dipercaya atau memiliki kredibilitas apabila ia secara konstan dan konsisten selalu menjaga ucapannya selaras dengan perilaku kesehariannya. Kita percaya dengan ajakan pola hidup sederhana dari Baharuddin Lopa, karena dia melakukan hal yang dia serukan, walaupun dia punya akses untuk hidup mewah.
Kita percaya pada ajakan Nurcholis Madjid untuk hidup toleran antar-umat beragama, karena dia memang selama puluhan tahun secara konsisten (tidak plin-plan) telah dengan gigih mengkampanyekan hal itu.
Kita percaya pada seruan Martin Luther King akan perlunya persamaan hak antar sesama manusia tanpa memandang warna kulit dan agama karena ia telah dengan gigih memperjuangkan sikapnya itu dg penuh dedikasi dan pengorbanan, termasuk nyawanya sendiri. Ia telah memiliki kredibilitas di bidang itu.
Sebaliknya, tidak sedikit dari kalangan guru, ustadz, kyai dan tokoh-tokoh agama lain yang tidak dipandang sebelah mata oleh masing-masing umatnya karena kurangnya memiliki kredibilitas. Kurangnya konsistensi antara ucapan dan perilaku kesehariannya.
Jadi, kredibilitas itu tidak gratis. It gotta be earned. Harus dicapai melalui usaha terus menerus yang konsisten sepanjang hidup.
Dan semakin tinggi tingkat konsistensi antara ucapan dan perilaku, maka akan semakin tinggi kredibilitas orang tersebut. Rasulullah sampai mendapat gelar al amin (yang dapat dipercaya atau orang yang kredibel) saat beliau masih muda dan belum menjadi Nabi dan Rasul sebab utamanya karena ucapan Rasul selalu konsisten dengan perilakunya.
Kredibilitas Santri
Santri secara etimologis (ta’rif lughawi) adalah seorang Dari kedua ta’rif santri secara lughawi maupun secara istilahi di atas dapat dipahami jika keduanya mengacu pada satu pemahaman : bahwa seorang santri adalah seorang muslim yang dalam perilaku kesehariannya akan selalu berusaha menjadi representasi atau mewakili ajaran pelajar yang sedang menimba ilmu di pesantren. Karena itu seseorang yang sudah berhenti mondok, tidak lagi disebut santri.
Namun, dalam artian yang lebih luas, terutama dalam konteks sosiologis (ta’rif istilahi), santri bermakna “setiap orang Islam yang relatif taat dalam menjalankan ajaran Islam” baik ia alumnus pesantren atau bukan. Dengan demikian ia merupakan kebalikan dari muslim abangan, sebuah istilah bagi seorang muslim yang tidak taat.
Islam ideal (QS Al Baqarah 2:207).
Apa ajaran Islam ideal itu? Setidaknya ada lima unsur pokok perilaku yang harus dilakukan seorang santri dalam perannya sebagai individu yang mewakili Islam.
Pertama, level personal. Memelihara diri sendiri dan keluarga (anak dan istri) untuk selalu mengikuti perintah dan menjauhi larangan Islam. (QS Thaha 20:132). Inilah syarat dasar seorang pemimpin: yakni memulai kebaikan dari diri sendiri (QS Al Baqarah 2:44).
Kedua, sikap kepemimpinan. Memposisikan diri sebagai pemimpin dan pelopor kebaikan dengan menunjukkan kepedulian pada sesama muslim salah satunya adalah dengan berusaha meningkatkan level keilmuan, keislaman dan keimanan mereka (QS Ali Imron 3:110 ).
Ketiga, keilmuan. Seorang santri yang kredibel adalah seorang yang berilmu. Santri adalah ahlul ilmi. Ia adalah ulama di mana keilmuannya melebihi kalangan yang dipimpinnya dan karena itu ia dihormati (QS Al Mujadalah 58:11). Setidaknya ia melebihi yang lain di bidang ilmu agama (QS At Taubat 9:123). Tanpa itu apa bedanya santri dengan kalangan nonsantri?
Keempat, level sosial dengan non-muslim. Menghormati dan mentolerir (tidak membenci) pemeluk agama lain selagi mereka tidak mengganggu kita. Bahkan jika perlu melindungi hak-hak nonmuslim yang didzalimi seperti yang ditunjukkan Rasulullah pada nonmuslim Madinah.
Kelima, memakai standar etika tinggi. Seorang yang memposisikan diri sebagai seorang santri yang baik hendaknya memakai standari etika yang tinggi. Baik etika Islam maupun sosial. Quran menyebutnya dengan istilah iffah (QS An Nur 24:33; An Nisa’ 4:6).
Sikap iffah ditandai dengan kemauan yang kuat untuk menghindari perilaku yang tidak dianjurkan dalam agama dan juga sikap yang dianggap kurang baik dalam pandangan etika sosial di suatu masyarakat tertentu.
Iffah juga dapat bermakna selalu berusaha menjaga martabat, kehormatan dan harga diri dengan cara selalu bersikap konsisten antara kata dan tindakan; disiplin dalam memelihara kesucian diri, berkemauan kuat menjunjung reputasi dan nama baik. Hanya dengan itu santri akan memiliki kredibilitas dan mendapat respek di mata orang-orang di sekitarnya. Bukan hanya di mata kawan dan “lawan,” tapi juga terutama dalam pandangan orang-orang yang dipimpinnya.
Inilah lima unsur yang akan membuat seorang santri kredibel dan dapat mengklaim dirinya mewakili kepribadian muslim sejati.
Post a Comment