Alloh Murka Jika Kita Tidak Berdoa

Alloh Murka Jika Kita Tidak Berdoa 

Berdo’a dan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla adalah sifat hamba-hamba-Nya yang shalih dan dengannya mereka dipuji dalam banyak ayat al-Qur’an.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdo’a kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah) [Al-Anbiyâ’/21: 90].

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla memuji hamba-hamba-Nya yang shalih dalam firman-Nya:

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (karena mereka selalu mengerjakan ibadah dan shalat ketika manusia sedang tertidur di malam hari), sedang mereka berdo’a kepada Allâh  dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka [As-Sajdah/32:16].

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman tentang sifat-sifat ‘Ibadur Rahman (hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla yang MahaPemurah):

وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا ﴿٦٤﴾ وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ ۖ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا

Dan mereka adalah orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan beribadah kepada Rabb mereka (Allâh Azza wa Jalla ). Dan mereka berdo’a: Ya Rabb kami, jauhkan kami dari azab (neraka) Jahannam, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal [Al-Furqân/25:64-65].

Mereka selalu berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla karena mereka mengetahui dan meyakini bahwa semua kebaikan dunia dan akhirat ada di tangan-Nya, semua kebutuhan manusia hanya Dia-lah yang maha kuasa memenuhinya, serta semua keburukan yang ditakutkan menimpa mereka hanya Dia Azza wa Jalla yang maha mampu mencegahnya. Maka dengan keyakinan ini, mereka selalu berdo’a dan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla di semua waktu dan keadaan, karena kunci untuk membuka pintu-pintu kebaikan yang ada di tangan Allâh Azza wa Jalla adalah dengan sungguh-sungguh memohon dan meminta kepada-Nya.

Imam Mutharrif  bin ‘Abdillâh bin asy-Syikhkhîr rahimahullah berkata: “Aku mengingat-ingat apakah penghimpun segala kebaikan, karena kebaikan itu banyak; puasa, shalat (dan lain-lain). Semua kebaikan itu ada di tangan Allâh Azza wa Jalla , maka jika kamu tidak mampu (memiliki) apa yang ada di tangan Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan memohon kepada-Nya agar Dia memberikan semua itu kepadamu, maka berarti penghimpun (semua) kebaikan adalah berdo’a (kepada Allâh Azza wa Jalla )” [1].

Senada dengan ucapan di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya berdo’a (kepada Allâh ) adalah kunci (pembuka) segala kebaikan” [2].

Agungnya Kedudukan Do’a
Kedudukan do’a dalam Islam sangat agung, keutamaannya sangat besar dan kemuliaannya sangat tinggi, karena do’a merupakan ibadah yang paling agung dan ketaatan yang paling tinggi. Oleh karena itu, banyak ayat al-Qur’an dan hadits  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan kedudukannya yang agung dan tinggi, serta keutamaan yang besar bagi orang yang selalu mengerjakannya [3].

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabbmu berfirman:“Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku (berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina [Al-Mu’min/Ghafir/40: 60].

Dalam sebuah hadits yang shahih, dari an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu bahwa  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berdo’a adalah ibadah”, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas [4]. Maka maksud ibadah dalam ayat di atas adalah berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla .

Ayat yang mulia ini menunjukkan agungnya karunia dan rahmat Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, karena Dia Azza wa Jalla memotivasi mereka untuk selalu berdo’a kepada-Nya, yang itu merupakan kunci kebaikan diri mereka di dunia dan akhirat, dan Dia Azza wa Jalla menjanjikan pengabulan do’a mereka.

Bahkan di akhir ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memberikan ancaman keras bagi orang yang menyombongkan diri dan berpaling dari berdo’a kepada-Nya[5]. Inilah makna sabda  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Sesungguhnya barangsiapa yang enggan untuk memohon kepada Allâh  maka Dia akan murka kepadanya [6].

Kalau kita renungkan dengan seksama ayat yang mulia ini, kita akan dapati isyarat makna agung sehubungan dengan mulianya kedudukan berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla , yaitu bahwa orang yang paling dicintai Allâh Azza wa Jalla adalah orang selalu berdo’a dan memohon kepada-Nya, sebagaimana orang yang enggan berdo’a kepada-Nya maka dialah yang paling dibenci dan dimurkai-Nya.


Makna ini yang diungkapkan oleh Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah dalam ucapan beliau, “Wahai (Dzat) yang (menjadikan) hamba yang paling dicintai-Nya adalah yang berdo’a dan banyak memohon kepada-Nya. Wahai (Dzat) yang (menjadikan) hamba yang paling dibenci-Nya adalah hamba yang tidak mau berdo’a kepada-Nya. Tidak ada satupun yang bersifat seperti itu selain-Mu, wahai Rabb-ku” [7].

Oleh karena itu, taufik dari Allâh Azza wa Jalla yang merupakan sebab utama tercurahnya semua kebaikan dunia dan akhirat bagi seorang hamba, kunci utama untuk mendapatkannya adalah berdo’a dengan sungguh-sungguh dan memperlihatkan rasa butuh yang sangat kepada Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kalau semua kebaikan asalnya (dengan) taufik yang itu adanya di tangan Allâh  (semata) dan bukan di tangan manusia, maka kunci (untuk membuka pintu) taufik adalah (selalu) berdo’a, menampakkan rasa butuh, sungguh-sungguh dalam bersandar, (selalu) berharap dan takut (kepada-Nya). Maka ketika Allâh  telah memberikan kunci (taufik) ini kepada seorang hamba, berarti Dia ingin membukakan (pintu taufik) kepadanya. Dan ketika Allâh  memalingkan kunci (taufik) ini dari seorang hamba, berarti pintu kebaikan (taufik) akan selalu tertutup baginya” [8].

Bahkan lebih dari itu, berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla dengan merendahkan diri dan menampakkan rasa butuh kepada-Nya merupakan wujud al-‘ubudiyah (penghambaan diri) seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla, sekaligus merupakan pengakuan terhadap agungnya sifat rububiyah Allâh (menciptakan dan mengatur alam semesta beserta isinya) serta sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang lain.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allâh  memerintahkan kepada hamba-Nya untuk berdo’a dan memohon kepada-Nya untuk menampakkan kedudukan al-‘ubudiyah (penghambaan diri), kebutuhan dan ketergantungan (hamba tersebut kepada Allâh Azza wa Jalla ), serta dalam rangka pengakuan agungnya (sifat) rububiyah (menciptakan dan mengatur alam semesta beserta isinya), sempurna kemahakayaan dan kemahaesaan-Nya dalam (melimpahkan) karunia dan kebaikan (kepada hamba-hamba-Nya), dan bahwa sungguh seorang hamba tidak akan bisa terlepas dari kebutuhan kepada (limpahan) karunia-Nya meskipun (hanya) sekejap mata” [9].

Maka berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla dengan memperlihatkan ketundukkan dan ketergantungan kepada-Nya adalah sebab perhatian dan pemuliaan Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-hamba-Nya [10], sebagaimana dalam firman-Nya:

قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ ۖ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُونُ لِزَامًا

Katakanlah: “Rabbku tidak mengindahkan kamu, kalau kamu tidak berdo’a (dan beribadah kepada-Nya). (Tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya, karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu) [Al-Furqân/25:77].

Dalam hadits-hadits lain,  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang agungnya kedudukan do’a:

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas  Radhiyallahu anhu   bahwa  Rasûlullâh    Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seutama-utama ibadah adalah berdo’a”[11].

Dari Abu Hurairah  Radhiyallahu anhu   bahwa  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang lebih mulia bagi Allâh daripada do’a” [12].

Semua dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa do’a adalah ibadah yang paling utama, bahkan merupakan asas dan ruh ibadah. Hal ini disebabkan adanya beberapa keistimewaan yang terdapat di dalam do’a, di antaranya:

Sesungguhnya di dalam do’a terdapat sikap merendahkan diri, memperlihatkan kebutuhan dan ketergantungan kepada Allâh Azza wa Jalla.
Sesungguhnya ibadah akan semakin sempurna dan tinggi keutamaannya ketika hati semakin khusyu’ dan pikiran semakin fokus, sedangkan do’a merupakan ibadah yang paling dekat untuk meraih tujuan agung ini, karena kebutuhan dan ketergantungan seorang hamba akan menjadikan hatinya lebih khusyu’ dan fokus.
Sesungguhnya do’a mengandung konsekuensi sifat tawakal (penyandaran hati yang benar kepada Allâh Azza wa Jalla untuk meraih kebaikan dan mencegah keburukan) dan memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla , yang keduanya merupakan ruh ibadah dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla [13].
Makna Do’a dan Macamnya
Secara bahasa, do’a berarti mencondongkan (memalingkan) sesuatu kepadamu dengan suara dan ucapan darimu [14].

Adapun secara syar’i, berdoa adalah bermunajat (berucap dengan suara yang pelan) kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menyeru-Nya untuk memohon sesuatu (kebaikan) dan menolak sesuatu (keburukan) [15].

Atau makna yang lebih lengkap: menyeru kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ucapan yang mengandung permohonan dan sanjungan kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna [16].

Para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah membagi do’a menjadi 2 macam [17]:

Do’a permohonan, inilah macam do’a yang sedang kita bahas dalam tulisan ini.
Do’a ibadah dan sanjungan, yang ini meliputi semua jenis ibadah yang disyariatkan dalam Islam, lahir dan batin. Misalnya: shalat, puasa, berdzikir, berkurban, takut, berharap, bertawakal, mencintai dan ibadah-ibadah lainnya [18].

Dalam hadits shahih yang telah kami sebutkan di atas,  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berdo’a adalah ibadah” [19]

Hadits ini menunjukkan bahwa do’a adalah ibadah agung yang merupakan hak Allâh Azza wa Jalla  yang murni, dan ini mencakup dua macam do’a yang disebut di atas. Maka memalingkan ibadah ini kepada selain Allâh Azza wa Jalla atau menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk di dalamnya adalah termasuk perbuatan syirik besar yang menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam yang mulia ini, na’uudzu billahi min dzaalik.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali hanya untuk menyembah Ilah (sembahan yang benar, Allâh  ) Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (sembahan yang benar) selain Dia. Maha suci Allâh  dari apa yang mereka persekutukan [At-Taubah/9:31].

Dalam ayat lain, Dia Azza wa Jalla juga berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَدْعُو رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا

Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya berdo’a (beribadah) kepada Rabb-ku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya [Al-Jinn/72:20].

Dan ayat-ayat lain dalam al-Qur’an yang menjelaskan larangan keras memalingkan do’a kepada selain Allâh Azza wa Jalla atau menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk di dalamnya. Ayat-ayat tersebut sangat banyak dan beragam kandungannya, untuk menggambarkan besarnya keburukan perbuatan syirik ini dan sangat kerasnya ancaman bagi yang melakukannya, wal’iyaadzu billah. Sampai-sampai salah seorang Ulama Ahlus Sunnah berkata, “Kita tidak mengetahui jenis kekufuran dan kemurtadan yang disebutkan dalam dalil-dalil (dari al-Qur’an dan hadits  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam) seperti (keburukan) yang disebutkan (dalam dalil-dalil tersebut) tentang berdo’a kepada selain Allâh, berupa larangan (yang keras) dari perbuatan tersebut, peringatan untuk menjauhinya, dan ancaman (keras) bagi yang melakukannya” [20].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XX/1438H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Footnote
[1] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab “az-Zuhd” (no. 1346).
[2] Kitab “Majmuu’ul fata-wa” (10/661).
[3] Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdur Razzaq al-Badr dalam kitab “Fiqhul ad’iyati wal adzkâr” (2/7).
[4] HR Abu Dawud (no. 1479), at-Tirmidzi (5/211), Ibnu Majah (no. 3828) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[5] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/109) dan “Taisîrul Karîmir Rahmân” (hlm. 740).
[6] HR at-Tirmidzi (no. 3373) dan al-Hakim (1/667), dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.
[7] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/109).
[8] Kitab “Al Fawa-id” (hlm. 133- cet. Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H).
[9] Kitab “Madârijus sâlikîn” (3/102).
[10] Lihat kitab “Taisîrul Karîmir Rahmân” (hal. 587).
[11] HR. Al-Hakim (1/667), dinyatakan shahih oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab “Silsilatul ahâ-dîtsidh dha’îfati wal maudhû’ah” (no. 1579).
[12] HR. At-Tirmidzi (5/455), Ahmad (2/362), Ibnu Hibban (3/151) dan al-Hakim (1/666), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan al-Hakim, serta dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[13] Lihat kitab “Fiqhul ad’iyati wal adzkâr” (2/13).
[14] Kitab “Mu’jamu maqa-yîsil lugah” (2/228).
[15] Lihat keterangan Imam Abu Hayyan al-Andalûsi dalam kitab tafsir beliau “al-Bahrul muhîth” (5/361).
[16] Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmû’ul fatâwa” (15/19) dan Imam Ibnul Qayyim dalam “Bada-i’ul fawa-id” (3/521).
[17] Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmû’ul fatâwa” (10/258), Imam Ibnul Qayyim dalam “Jalâul afhâm” (hlmn. 155) dan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam “Taisîrul Karîmir Rahmân” (hlmn 87).
[18] Lihat keterangan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam “Taisîrul Karîmir Rahmân” (hlmn 257 dan 415).
[19] HR Abu Dawud (no. 1479), at-Tirmidzi (5/211), Ibnu Majah (no. 3828) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[20] Lihat kitab “Fiqhul Ad’iyati Wal Adzkâr” (2/39-40).

Tidak ada komentar