Menjadi Masyarakat yang Lebih Peduli
Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْقَوِيِّ الْـمَتِيْن، اَلْـمَلِكِ الْحَقِّ الْــمُبِيْن، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، إِيَّاهُ نَعْبُدُ وَإِيَّاهُ نَسْتَعِيْن، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، سَيِّدَ الْــمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْـــمُتَّقِيْن.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مَحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْن، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْن، أَمَّا بَعْدُ؛
قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Kita seringkali dikejutkan dengan kejadian-kejadian yang seakan tidak terduga sama sekali. Tiba-tiba saja sebuah masyarakat dihebohkan dengan tindak kejahatan salah seorang anggota masyarakatnya, yang merusak dan mencemarkan. Tidak sekadar meresahkan masyarakat, tetapi juga membawa akibat fatal bagi kehidupan, bahkan tidak jarang tindakan-tindakan itu berujung pada kematian.
Kasus-kasus seperti pesta minuman keras, perzinaan, pelacuran, perselingkuhan, perjudian, pemalakan, atau tindak kemaksiatan lainnya, seringkali tidak datang tiba-tiba. Bibit dan gejalanya telah ada sebelumnya, tapi ia semakin membesar karena tanpa sadar dimaklumi dan dibiarkan saja. Ketika perbuatan-perbuatan merusak itu telah membawa dampak negatif, kita baru merasa kaget dan meributkannya.
Buya Hamka dalam Lembaga Budi menyatakan bahwa untuk memperbaiki dan menjaga akhlak yang rusak maka biasanya orang telah menyediakan dua penjagaan. Pertama, menjaga masyarakat. Kedua, menyediakan ancaman hukuman. Ketika masyarakat memiliki kepedulian untuk menjaga masyarakat, biasanya masyarakat itu terjaga dari tindak kemaksiatan.
Tetapi ketika masyarakat tidak mempedulikannya, kemaksiatan akan berkembang leluasa dan tak terkendali. Jadi, seringkali sebuah kemaksiatan terjadi tidak sekedar karena banyaknya pelaku kejahatan, tetapi juga karena orang-orang baik yang ada di dalam masyarakat memilih untuk bersikap diam.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Pemisalan Rasulullah SAW, sebagaimana dikutip pula oleh Sayyid Muhammad Nuh dalam Fiqhud Da’wah al Fardliyyah fil Minhajil Islami, sangat tepat menggambarkan perihal kepedulian di tengah masyarakat kita.
Kita semisal naik kapal di tengah samudera luas. Setiap penumpang amat butuh terhadap air. “Saya sangat membutuhkan air,” kata salah seorang di antara mereka. Lalu dengan menyengaja mereka yang berada di kabin enggan naik ke geladak menimba air. Mereka ingin menempuh cara-cara praktis, maka dilobangilah dinding kapal itu. Apabila para penumpang yang mengetahui dapat mencegahnya tentu akan selamat seluruh penumpang. Namun, apabila enggan mencegahnya tentu seluruh isi kapal lambat laun akan tenggelam bersama.
Allah SWT menjelaskan di dalam firman-Nya.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan takutlah kamu sekalian akan datangnya fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja” (QS Al Anfal: 26).
Demikianlah dampak dari sikap tidak peduli di tengah kita. Ia tidak hanya merusak pelakunya, tetapi dalam jangka panjang ia mampu merubuhkan sendi-sendi kebaikan di tengah masyarakat. Ketika minuman keras yang terbalut pesta dibiarkan dan dianggap sebagai pilihan pribadi, bersiaplah untuk berjumpa dengan kenyataan suatu saat kelak menenggak miras dianggap perkara lumrah.
Ketika seorang anak gadis mulai dibiarkan bepergian hingga larut malam dengan laki-laki bukan muhrimnya tanpa sedikit pun kekhawatiran, waspadalah tak akan lama lagi, pergaulan yang lebih bebas akan dianggap sebagai kewajaran. Jika dulu hamil di luar nikah dianggap perkara tabu dan memalukan, ketika sendi kebaikan mulai longgar, orang pun mulai menganggapnya biasa dan wajar. Na’udzubillahi min dzaalik.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Kita perlu perkuat kembali sikap kepedulian di tengah masyarakat kita. Peduli untuk berbuat baik, peduli untuk mengajak pada kebaikan, dan juga peduli untuk mencegah kemungkaran di tengah masyarakat kita. Kisah tentang “Penduduk Suatu Negeri di Tepian Laut” sebagaimana terkisahkan dalam surat Al-A’raaf ayat 163-164 perlu menjadi renungan kita bersama.
Pada setiap Sabtu, Bani Israil diwajibkan untuk berhenti sejenak dari dunia dan aktivitasnya. Sebagai gantinya mereka diwajibkan untuk mengisi dan memenuhinya dengan beribadah kepada-Nya. Al-Quran menyeru sang nabi untuk menanyakan pada Bani Israil perihal penduduk negeri di tepi laut itu dan sikap mereka terhadap kewajiban di hari Sabtu. Ailah nama kota itu – berada di Antara Madyan dan Thur sebagaimana dituturkan Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin al-Hushain dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas ketika menerangkan firman Allah.
وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ
“Dan tanyakanlah kepada mereka tentang negeri yang terletak di tepian laut” (QS. al A’raaf: 163).
Pada Sabtu, ketika penduduk di tepi laut itu semestinya tak berurusan dengan hal-ihwal dunia, ujian keimanan dan ketaatan dihadirkan. Tak seperti hari-hari lainnya, pada setiap Sabtu ikan-ikan tampak di lautan, berjejal-jejal, berdesak-desak dalam jumlah yang banyak.
Tapi pada hari saat ikan-ikan tampak di permukaan itu, penduduk terlarang menangkapnya. Padahal, saat mereka bebas menangkap ikan, ikan-ikan tak tampak berjejal di permukaan laut. Demikianlah ujian itu diberikan. Godaan itu selalu ditampilkan dalam bentuk-bentuk yang amat menggiurkan.
Kelompok pertama dari penduduk negeri di tepi laut itupun tergelincir. Ibnu Katsir menuturkan, “Mereka bersiasat untuk melanggar larangan Allah, dengan melakukan upaya-upaya yang nampaknya tidak melanggar, tapi hakikatnya melakukan keharaman.” Sebelum Sabtu, demikian mereka bersiasat, ditebarkanlah jala dan perangkap. Ketika ikan-ikan mulai berdatangan di tepian laut pada hari Sabtu, ikan-ikan itupun masuk pada perangkap yang telah dipasang sehari sebelumnya. Agar tak dianggap melanggar, orang-orang berhati luka itupun memanen ikan-ikan setelah Sabtu.
Kelompok kedua, mereka yang sibuk mengingatkan. Orang-orang di kelompok ini sibuk menentang setiap siasat yang dilakukan kelompok pertama; siasat yang dimaksudkan untuk mengakali larangan Allah. Inilah orang-orang yang peduli.
Di sisi yang lain ada kelompok ketiga, merekalah yang tidak melakukan pelanggaran pada hari Sabtu, tapi sekaligus juga memilih diam menyaksikan kemaksiatan di depan mata. Kelompok ketiga inilah yang justru mempertanyakan dengan nada sinis pilihan sekaligus aktivitas kelompok kedua.
وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dan ingatlah ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?”Mereka menjawab, ‘Agar kami memiliki alasan di hadapan Rabb-mu dan supaya mereka bertakwa.’” (QS. al-A’raaf : 164)
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Jelas pertanyaan itu diarahkan untuk melemahkan prinsip dan tindakan yang ditempuh kelompok masyarakat yang memilih peduli dan sibuk memberikan peringatan, “Buat apa kalian terus menasihati pelaku kemaksiatan itu,” kata mereka dengan nada mencibir, “sementara jika Allah mau, Dia akan adzab mereka dengan siksa yang amat pedih?”
Mereka yang tak pernah henti menasihati itu pun memberikan jawaban tegas dan jelas, “Ma’dziratan ilaa Rabbikum – agar kami memiliki alasan di hadapan Rabbmu.” Alasan yang melepaskan tanggung jawab untuk mengajak pada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Inilah kelompok yang menjadikan dakwah sebagai orientasi dan pilihan hidupnya. Inilah sekelompok masyarakat yang peduli untuk menjaga masyarakat. Tak kenal lelah ia memberikan peringatan. Tak peduli seberapa lama ia harus menasihati, sebab itulah jalan yang harus ditempuhinya. Menunaikannya adalah bagian dari penyempurnaan tugas selaku hamba-Nya.
Alasan kedua pun mereka sampaikan, “Wala’allahum yattaquun – supaya mereka bertakwa.” Inilah harapan seorang Muslim. Ia resah menyaksikan masyarakat di sekitarnya yang jauh dari ketaatan kepada Allah ta’ala. Ia gelisah ketika bibit-bibit kemaksiatan mulai menggejala di lingkungannya.
Oleh karena itu, bagi mereka, sesulit apapun menyeru sesama kepada kebaikan, harapan akan hidayah Allah tak pernah sekalipun pupus. Ia menyadari sepenuhnya bahwa tugas baginya hanyalah menyampaikan; sementara kewenangan untuk membukakan hidayah ada pada Allah ta’ala. Mudah-mudahan dengan nasihat-nasihat yang tersampaikan itu mereka menjadi bertakwa; menggantinya dengan taubat kepada Allah dan meninggalkan kemaksiatan yang selama ini mereka lakukan.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Sekali lagi, seringkali sebuah kemaksiatan merebak tidak sekadar karena banyaknya pelaku kejahatan, tetapi juga karena banyak orang baik memilih bersikap diam. Marilah kita kembali tumbuhkan sikap peduli terhadap masyarakat dan lingkungan kita. Sebab, begitulah yang diajarkan Rasulullah SAW.
مَنْ لَمْ يَهْتَمْ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ
“Sesiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka mereka bukanlah termasuk dari golongan mereka.” (H.R. Ath-Thabrani)
Salah satu bentuk kepedulian tersebut adalah dorongan untuk memberikan kemanfaatan hidup bagi sesama. Bermanfaat bagi kehidupan dunia dan tentu saja akhiratnya.
الــْـمُؤْمِنُ يَأْلِفُ وَيُؤْلَفُ، وَلاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ يَأْلِفُ وَلَا يُؤْلَفُ، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Orang mukmin itu menjalin dan dijalin. Tiada kebaikan bagi orang yang tidak menjalin dan tidak pula dijalin. Orang yang terbaik di antara kamu adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabrani)
مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa yang bisa memberi manfaat kepada kawannya, hendaklah ia melakukannya.” (H.R. Muslim)
Demikianlah anjuran Rasulullah SAW. Kebermanfaatan itu selalu bersumber dari sikap peduli terhadap sesama. Oleh karena itu, marilah kita ajak sebanyak-banyaknya orang untuk ke masjid, mendatangi pengajian dan majelis ilmu, atau aktivitas kebaikan lainnya.
Kita nasihati secara baik yang berkecenderungan untuk melanggar dan menyimpang. Kita bimbing mereka yang bersedia untuk berbenah. Kita bantu mereka yang membutuhkan. Kita jadikan masyarakat kita, masyarakat yang dilimpahi ketakwaan, dan karenanya kita berharap Allah limpahkan pula kebarakahan. Jika setiap Muslim berlomba-lomba untuk peduli dan bermanfaat bagi sesama dan kehidupan, insya Allah kehidupan bermasyarakat kita akan jauh lebih baik dan barakah.
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Q.S. Al-Muthaffifin: 26).
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لله عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَامْتِنَانِه،
وَأَشهَدُ أَن لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِه، وأَشهدُ أنَّ نَبِيَّنَا مُحمَّدًا عَبدُهُ وَرَسُولُهُ اَلدَّاعِي إِلى رِضْوَانِه، أَمَّا بَعْدُ:
فَيَا عَبَادَ الله، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَلاَ تَـمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون:
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ، وَتَابِعِيهِمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَارْحَمْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ، وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ،
أَقِيْمُوا الصَّلَاة…
[]
Post a Comment