Hukum kurban untuk orang yang sudah meninggal sering kali menjadi topik yang diperbincangkan setiap tahunnya. Hal ini karena banyaknya keturunan atau anak yang sudah tumbuh dewasa dan sukses ingin menghadiahkan kurban untuk orang yang dicintainya namun sudah meninggal, seperti untuk kakek-nenek ataupun kedua orang tuanya.
Namun sebelum itu, perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kurban secara mendasar. Seperti hukum kurban hingga tatacara kurban.
Hukum Kurban
Ibadah kurban di hari raya Idul Adha hukumnya adalah sunnah muakkad. Namun Nabi Muhammad SAW tidak pernah meninggalkan ibadah ini, bahkan sejak disyariatkan sampai beliau meninggal dunia. Sehingga dapat dikatakan kalau kurban ini wajib untuk Nabi Muhammad SAW. Hal ini berdasarkan pada salah satu sabda beliau yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi;
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
Artinya: ‘’Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian’’(HR. At- Tirmidzi).Ketentuan hukum sunnah muakkad disematkan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Abu Hanifah menyebutkan memang bagi orang yang mampu dan tidak dalam keadaan bepergian, hukumnya wajib.
Dalam madzhab Imam Syafii, sunnah muakkad disini bersifat kifayah. Sehingga jika dalam satu keluarga sudah ada yang berkurban dengan hewan yang cukup untuk tujuh orang, seperti sapi, kerbau dan onta. Maka, anggota keluarga lain tidak ada tekanan berkurban lagi. Kesunnahan ini juga dibebankan kepada orang yang sudah baligh, berakal dan mampu.
Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, dalam al- Iqna’ fi halli Alfazhi Abi asy-Syuja’ mengatakan bahwa hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya, jika tidak maka menjadi sunnah ain. Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab/ beban ibadah) adalah orang Islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu.
Kurban untuk Orang yang Sudah Meninggal dengan Wasiat
Kurban untuk orang yang sudah meninggal ternyata terdapat berbagai perdebatan. Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath- Thalibin tegas menyatakan bahwa tidak ada kurban untuk orang yang sudah meninggal, kecuali ia ketika masih hidup berwasiat.
وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا
‘’Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang maih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang sudah meninggal apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani’’.Dari penjelasan di atas, jika orang yang sudah memiliki niatan untuk berkurban baik melalui nazar maupun dengan wasiat, kemudian orang tersebut meninggal dunia, maka kurban tetap sah dan wajib untuk dijalankan. Untuk persoalan ini tentu tidak ada perdebatan lanjutan.
Namun, ada juga yang membolehkan kurban untuk orang yang meninggal tanpa harus adanya nazar dan wasiat terlebih dahulu.
Kurban untuk Orang yang Sudah Meninggal Tanpa Wasiat
Abu al- Hasan Al- Abbadi memandang bahwa berkurban termasuk amalan sedekah. Seperti yang kita tahu bahwa sedekah yang diatasnamakan orang meninggal tetap sah dan memberikan kebaikan kepada sang mayit. Sehingga kurban untuk orang yang sudah meninngal tetap sah. Imam Muhyiddin Syarf an- Nawawi mengatakan,
إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ
‘’Jikalau orang yang sudah meninggal dunia belum pernah wasiat untuk dikurbani lantas ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang sudah meninggal tersebut dari hartanya sendiri, maka menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali memeprbolehkannya. Namun begitu, menurut madzhab Maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber- taqarrub kepada Allah, sebagaimana dalam ibadah sedekah dan ibadah haji’’.Ini menjadi pengrtian kepada kita, kalau ingin berkurban untuk orang tua yang sudah meninggal atau siapapun yang telah meninggal, berarti kita mengikuti pendapat ulama yang membolehkan, seperti yang sudah djelaskan tadi. Bahwa kurban yang dimaksudkan adalah sebagai sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia adalah sah dan bia memberikan kebaikan kepadanya , serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.
Ketentuan Kurban untuk Diri Sendiri atau Orang Lain
Sebagai tambahan informasi, artikel ini juga mengupas tentang ketentuan berkurban. Karena ketika membahas kurban untuk orang yang sudah meninggal, maka perlu mengetahui juga bagaimana ketentuan kurban secara umum, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Sebelum melakukan penyembelihan hewan kurban, sudah selayaknya orang yang berkurban (ahli waris yang bertanggung jawab mewakili) niat terlebih dahulu dan menentukan hewannya. Dalam kasus sekarang, penyelenggaraan kurban sangat terstruktur dan penyembelihan dilakukan oleh panitia kurban. Maka, mewakilkan seperti ini sudah dianggap cukup niatnya.
Kemudian, penyerahan hewan kurban selayaknya dilakukan kepada orang Islam yang berkategori tamyiz. Bagi orang laki-laki, akan lebih afdhal jika kurban disembelih sendiri, karena mengikuti Rasulullah SAW. Sedangkan bagi perempuan, sunnahnya untuk diwakilkan, dengan turut menonton proses penyembelihan.
Bila kurban dalam keadaan sunnah, bukan karena nazar, maka diperbolehkan melakukan hal-hal sebagai berikut,
Pertama, memakan daging kurbannya merupakan sunnah. Karena diniatkan tabarruk kepada hewan sembelihnya.
Kedua, tetap diperbolehkan untuk memberi makan kepada orang Islam yang kaya dengan daging tersebut.
Ketiga, wajib hukumnya untuk menshadaqahkan daging kurban.
Keempat, jika orang yang berkurban hendak memakan daging kurban, bershadaqah dan menghadiahkan pada orang lain, maka disunnahkan agar ia memakan tidak lebih dari sepertiga, dan menshadaqahkan kurang dari sepertiganya.
Kelima, menshadaqahkan kulit hewan kurban atau membuatnya menjadi perabot dan dimanfaatkan untuk orang banyak, tidak diperbolehkan baginya untuk menjual maupun menyewakannya.
Berkurban atas Nama Orang Lain
Kurban untuk orang yang sudah meninggal tetap sah karena disamakan dengan shadaqah, seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun, ternyata perbedaan tetap ada jika berkurban untuk orang lain, antara anggota keluarga ataupun bukan. Jika orang tersebut masih termasuk anggota keluarga semisal istri, anak dan lainnya, maka berkurban seperti itu tetap diperbolehkan tanpa harus minta izin terlebih dahulu. Rasulullah pernah melakukan kurban atas nama istri-istrinya tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Namun jika orang tersebut bukan dari angota keluarga, haruslah meminta izin terlebih dahulu. Seperti ungkapan Syekh Wahbah Azzuhaili,
‘’Ulama Syafiiyah berkata: ‘Tidak boleh berkurban untuk orang lain tanpa seizin dari orang tersebut.’’
Demikian khazanah ilmu tentang hukum kurban untuk orang yang sudah meninggal. Semoga bermanfaat dan dapat dipergunakan dengan penuh tanggung jawab (Zainal Abidin).
Post a Comment