Istidraj: Jebakan limpahan Rezeki Karena Bermaksiat
Istidraj: Jebakan limpahan Rezeki Karena Bermaksiat
Istidraj adalah jebakan berupa limpahan rezeki yang diberikan Allah kepada seseorang yang terus-menerus bermaksiat kepada-Nya. Nama lainnya adalah DILULU. Hal ini bisa terjadi, misalnya, pada orang yang menjalani praktik syirik, seperti ritual pesugihan, dan mendapati kekayaan dengan cepat. Namun, kekayaan tersebut bukanlah tanda kemuliaan; sebaliknya, itu adalah bentuk istidraj, yang menunjukkan bahwa Allah memberi nikmat sebagai ujian.
Hadits tentang Bahaya Istidraj
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ِإِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, 4:145. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).
Allah Ta’ala berfirman,
ِفَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 141) disebutkan, “Ketika mereka meninggalkan peringatan yang diberikan pada mereka, tidak mau mengindahkan peringatan tersebut, Allah buka pada mereka segala pintu nikmat sebagai bentuk istidraj pada mereka. Sampai mereka berbangga akan hal itu dengan sombongnya. Kemudian kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Lantas mereka pun terdiam dari segala kebaikan.”
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Ketika mereka melupakan peringatan Allah yang diberikan pada mereka, maka dibukakanlah berbagi pintu dunia dan kelezatannya, mereka pun lalai. Sampai mereka bergembira dengan apa yang diberikan pada mereka, akhirnya Allah menyiksa mereka dengan tiba-tiba. Mereka pun berputus asa dari berbagai kebaikan. Seperti itu lebih berat siksanya. Mereka terbuai, lalai, dan tenang dengan keadaan dunia mereka. Namun itu sebenarnya lebih berat hukumannya dan jadi musibah yang besar.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 260).
Contoh istidraj bisa kita lihat pada orang yang hidup dalam kemewahan dan kesenangan, tetapi jauh dari nilai-nilai agama. Misalnya, seseorang yang sukses secara finansial tetapi terlibat dalam praktik korupsi atau dosa lainnya. Kekayaan dan keberuntungan yang mereka peroleh bukanlah tanda keberkahan, melainkan bisa jadi merupakan istidraj yang mengarah pada kerugian yang lebih besar di akhirat. Seiring waktu, mereka mungkin akan menghadapi konsekuensi dari perilaku tersebut, yang bisa berujung pada kesedihan dan penyesalan.
Tertipu dengan Istidraj
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ِ» وَرُبَّمَا اتَّكَلَ بَعْضُ الْمُغْتَرِّينَ عَلَى مَا يَرَى مِنْ نِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَأَنَّهُ لَا يُغَيِّرُ مَا بِهِ، وَيَظُنُّ أَنَّ ذَلِكَ مِنْ مَحَبَّةِ اللَّهِ لَهُ، وَأَنَّهُ يُعْطِيهِ فِي الْآخِرَةِ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، فَهَذَا مِنَ الْغُرُورِ.
“Terkadang, sebagian orang terpedaya dikarenakan bersandar penuh pada apa yang dilihatnya dari nikmat-nikmat yang tercurah untuknya di dunia. Ia merasa bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi tersebut. Ia menyangka semua anugerah itu diterimanya karena cinta Allah kepadanya, bahkan Dia akan memberikan yang lebih baik untuknya di akhirat nanti. Inilah contoh orang yang tertipu.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 54)
Allah Ta’ala berfirman,
ِوَلَوْلَا أَنْ يَكُونَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً لَجَعَلْنَا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمَنِ لِبُيُوتِهِمْ سُقُفًا مِنْ فَضَّةٍ وَمَعَارِجَ عَلَيْهَا يَظْهَرُونَ – وَلِبُيُوتِهِمْ أَبْوَابًا وَسُرُرًا عَلَيْهَا يَتَّكِئُونَ – وَزُخْرُفًا وَإِنْ كُلُّ ذَلِكَ لَمَّا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ}
“Dan sekiranya bukan karena menghindarkan manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), pastilah sudah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada (Allah) Yang Maha Pengasih, loteng-loteng rumah mereka dari perak, demikian pula tangga-tangga yang mereka naiki, dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka, dan (begitu pula) dipan-dipan tempat mereka bersandar, dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan dari emas. Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat di sisi Rabbmu disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 33-35)
Allah telah membantah orang yang memiliki persangkaan di atas melalui firman-Nya:
ِفَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِي – وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِي – كَلَّا
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun apabila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian …” (QS. Al-Fajr: 15-17)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengenai ayat di atas,
ِلَيْسَ كُلُّ مَنْ نَعَّمْتُهُ وَوَسَّعْتُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ أَكُونُ قَدْ أَكْرَمْتُهُ، وَلَيْسَ كُلُّ مَنِ ابْتَلَيْتُهُ وَضَيَّقْتُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ أَكُونُ قَدْ أَهَنْتُهُ، بَلْ أَبْتَلِي هَذَا بِالنِّعَمِ، وَأُكْرِمُ هَذَا بِالِابْتِلَاءِ.
“Maksudnya, tidak setiap orang yang Aku beri nikmat dan kelapangan rezeki berarti Aku memuliakannya, begitu juga tidaklah semua orang yang Aku beri cobaan dan Aku sempitkan rezekinya berarti Aku menghinakannya. Bahkan, Aku menguji orang ini dengan nikmat dan Aku memuliakan orang itu dengan cobaan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ “إِنَّ اللَّهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الْإِيمَانَ إِلَّا مَنْ يُحِبُّ”
“Sesungguhnya Allah memberikan kenikmatan dunia kepada orang yang dicintai-Nya dan orang yang tidak dicintai-Nya, tetapi Allah tidak memberikan iman selain kepada orang yang dicintai-Nya.” (HR. Ahmad, 1:387; Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, 8:10; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 4:166; Al-Haakim, 1:34)
Sebagian Salaf berkata,
ِرُبَّ مُسْتَدْرَجٍ بِنِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَغْرُورٍ بِسَتْرِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَفْتُونٍ بِثَنَاءِ النَّاسِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ
“Betapa banyak orang yang terpedaya dengan nikmat Allah tanpa disadarinya, betapa banyak orang yang tertipu dengan tabir Allah tanpa disadarinya, dan betapa banyak orang yang terfitnah dengan pujian manusia kepada dirinya tanpa disadarinya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55)
Kisah Pemilik Kebun yang Diberi Nikmat yang Sebenarnya Istidraj
Disebutkan dalam surah Al-Qalam kisah pemilik kebun berikut ini,
ِإِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19) فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ (20) فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ (21) أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ (22) فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ (23) أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ (24) وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ (25) فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ (26) بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ (27) قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ (28) قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (29) فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ (30) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ (31) عَسَى رَبُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ (32) كَذَلِكَ الْعَذَابُ وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (33)
- Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari,
- dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin),
- lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur,
- maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.
- lalu mereka panggil memanggil di pagi hari:
- “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”
- Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik.
- “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.”
- Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka (menolongnya).
- Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan),
- bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)
- Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)
- Mereka mengucapkan: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.”
- Lalu sebahagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela mencela.
- Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas.”
- Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita.
- Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. (QS. Al Qalam: 17-33).
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Kisah tersebut menggambarkan akhir nasib orang-orang yang mendustakan kebaikan. Mereka diberikan harta, anak, umur panjang, dan berbagai nikmat yang diinginkan. Semua itu bukan karena mereka memiliki kedudukan yang mulia, melainkan sebagai bentuk istidraj yang mereka sendiri tidak menyadari.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 928)
Moga segala nikmat yang Allah beri pada kita bukanlah istidraj. Marilah kita berusaha menjauhi maksiat dengan jujur.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
- Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.
- Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, Tahun 1422 H. Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri. Penerbit Darus Salam.
- Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman). Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
Post a Comment