Mengadakan walimah (jamuan makan) untuk orang-orang yang bertakziah

Mengadakan walimah (jamuan makan) untuk orang-orang yang bertakziah

Hukum memakan jamuan makan yang disediakan keluarga yang ditinggalkan si mayit untuk para tamu dan menjamu orang yang berdo’a dalam acara tahlilan sudah lama menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. Meskipun begitu ini tetap menarik untuk dikaji.

Di dalam Islam ajaran tentang memakan makanan yang disediakan keluarga si mayit yang sesuai sunah adalah tetangga, kerabat, dan teman-teman hendaknya bersegera memasakkan makanan dan dihadiahkan kepada keluarga mayit. Sebagaimana ketetapan dari Nabi saw ketika sampai kepada beliau berita kematian anak pamannya Ja’far bin Abi Tolib radhiallahu anhu dalam perang Mu’tah, maka beliau bersabda:

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا ، فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ (رواه الترمذي وحسنه ، وأبو داود وابن ماجه وحسنه ابن كثير والشيخ الألباني)
“Masakan makanan untuk keluarga Ja’far, sungguh telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkannya.” (HR. Tirmizi, dinyatakan hasan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dinyatakan hasan juga oleh Ibnu Katsir dan Syekh Albani)

Di dalam kitab al umm karangan Imam Syafi’i, beliau mengatakan, bahwa beliau menyukai bagi tetangga mayit atau kerabatnya memasakkan makanan untuk keluarga mayit pada hari kematian dan malam harinya yang dapat mengenyangkan. Karena hal itu termasuk sunah dan menjadi kenangan yang baik serta termasuk perbuatan orang dermawan sebelum dan sesudah kami.

Begitupun dengan Ibnu Qudamah, dalam kitab al-Mughni beliau mengatakan, menganjurkan membuat makanan untuk keluarga simayit dan dikirim sebagai bantuan untuk mereka dan menghibur hatinya. Karena mereka terkadang sibuk dengan musibah dan kedatangan orang-orang kepadanya sehingga mereka tak sempat membuat makanan untuk dirinya.

Ditinjau dari cara pelaksanaan tahlilan yang berbeda-beda, di satu tempat dengan tempat yang lainnya, sesuai dengan adat dan kebiasaan masing-masing, terdapat perbedaan pendapat para ulama mengenai hal ini.

Apabila penyajian makan yang dihidangkan oleh keluarga si mayit merupakan keterpaksaan, sangat memberatkan dan hal ini menjadi sebab bertambahnya rasa sedih keluarga yang di tinggalkan si mayit, maka hal semacam ini tergolong niyahah (meratapi mayit). Oleh karenanya, makanan yang disediakan dari tuan rumah yang sumber dananya dari keluarga si mayit, hukumnya haram untuk dimakan.

Makanan yang disuguhkan berasal dari harta si mayit, sedangkan si mayit masih mempunyai hutang. Di kalangan ahli waris masih ada yang mahjur ‘alaih (orang yang karena suatu sebab tidak diperkenankan hukum untuk mengolah dan mengatur hartanya, seperti anak kecil ataupun orang gila). Ahli waris tidak ada di tempat. Ada ahli waris yang tidak diketahui ridanya.

Pada Upacara tahlilan tentunya ada proses yang tidak bisa lepas dari unsur materi dalam penyelenggaraannya. Sementara realita taraf hidup setiap individu berbeda dan tidak sama kemampuannya. Oleh karena itu ada jalan keluar yang bisa membuat penyelenggaraan upacara tahlilan bisa berjalan sempurna dan tidak membebani keluarga mayit. Sehingga nilai agama yang terkandung dalam tahlilan tidak kabur.

Harta yang digunakan untuk menyuguhkan makanan bukan merupakan harta yang berasal dari peninggalan si mayit, tapi menggunakan harta yang berasal dari sumbangan para pentakziah. Bila harta terpaksa diambil dari harta peninggalan si mayit, maka harta itu bisa digunakan apabila:

(a) Si mayit tidak punya utang.

(b) Si mayit tidak mempunyai ahli waris yang masih mahjur ‘alaih.

(c) Ahli waris berada di tempat di mana si mayit bertempat tinggal.

(d) Para ahli waris sepakat dan rida dalam penggunaan harta tersebut untuk acara tahlilan. Dalam hal ini, apabila upacara tahlilan tersebut tidak memenuhi syarat di atas, maka penyelenggaraan tahlil tidak sah dan rusak demi hukum. Jadi larangan pengadaan acara tahlil di rumah keluarga si mayit tersebut bukan karena zahir tahlilannya akan tetapi karena jamuan makanan yang disediakan pada acara itu yang jadi sumber masalah.

Sementara, Jumhur ulama memakruhkan bagi keluarga mayit memasak makanan untuk disuguhkan kepada orang yang datang kepadanya. Baik pada hari kematian atau hari keempat, kesepuluh, keempat puluh atau pada awal tahun. Semuanya itu tercela.

Ibnu Hamam Al-Hanafi mengatakan, dimakruhkan menjamu tamu dengan memasak makanan dari keluarga mayit. Karena hal itu disyariatkan pada (kesempatan) yang menggembirakan bukan (kondisi) yang menyedihkan. Dan itu termasuk bid’ah yang buruk.

Imam An-Nawawi mengatakan, adapun jika keluarga mayit memasak makanan dan mengumpulkan orang untuk itu, tidak dinukil sedikitpun adanya riwayat tentang hal itu. Dia termasuk bid’ah dan tidak dianjurkan.

Sedangkan Ibnu Qudamah mengatakan, adapun keluarga mayit memasak makanan untuk orang, maka itu termasuk makruh karena semakin menambah musibahnya dan menyibukkan mereka dari kesibukan yang ada serta menyerupai apa yang dilakukan penduduk jahiliyah.

Tidak ada komentar