Menjauhi Fitnah
Menjauhi Fitnah
Yang kami maksudkan dengan fitnah yaitu sesuatu yang menimpa
individu atau golongan, berupa kebinasaan atau kemunduran tingkatan iman, atau
kekacauan di dalam barisan Islam.
Di antara penyebab pertama terjerumusnya seseorang ke
dalam fitnah, yaitu siapnya hati menerima fitnah tersebut,
seperti yang disebutkan dalam hadits:
تُعْرَضُ
الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوْبِ ..وَأَيّ قَلْبٍ أَشْرَبَهَا نُكِتَتْ فِيْهِ
نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ
“Fitnah-fitnah
didatangkan kepada semua hati...Hati manapun yang mengecapnya, tertorehlah
padanya satu noda hitam.”[1]
Demikian pula menerimanya yang berlari padanya.
Dalam hadits shahih:
...المَاشِي
فِيْهَا خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي, مَنْ تَشَرَّفَ لَهَا تَسْتَشْرِفُهُ
“Orang yang
berjalan padanya (fitnah) lebih baik daripada yang berlari, barangsiapa yang
mengintainya, niscaya ia menguasainya.”[2]
Maksudnya mencari-carinya (fitnah), niscaya ia menguasainya.
Dan sesuatu yang paling menggerakkan fitnah
adalah banyak berbicara. Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata dalam
menjelaskan sebab-sebab terjadinya fitnah yang sangat banyak,
sesungguhnya ia bermula: 'dengan berkata bohong di hadapan para pemimpin,
memberikan informasi kepada mereka. Maka seringkali hal itu memunculkan
kemarahan dan pembunuhan, lebih banyak dari pada terjadinya fitnah itu
sendiri.[3]
Dan sering sekali fitnah menjadi
besar saat seseorang mengambil sikap atas dasar kesalahpahaman. Dan yang lebih
berbahaya lagi dalam menyulut api fitnah adalah mendahulukan pendapat
pribadi di atas hukum syara’. Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwasanya
Sahl bin Hanif t berkata saat terjadinya fitnah di antara para
sahabat radhiyallahu ‘anhum: ‘Wahai sekalian manusia, curigalah terhadap
pendapat pribadimu di atas agamamu...”[4]
Dan terkadang engkau berlari dari fitnah,
maka para pelakunya menyusul engkau, sedangkan engkau tidak ingin terlibat di
dalamnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu ad-Darda` t, ia berkata, ‘Jika engkau mengkritik mereka, mereka
mengkritik engkau. Jika engkau meninggalkan mereka, mereka tidak meninggalkan
engkau. Dan jika engkau berlari dari mereka, mereka pun menyusul engkau...’[5]
Dan terkadang penerimaan terhadap
jabatan yang engkau tidak mampu melaksanakannya menjadi sebab terjadinya fitnah
terhadap dirimu dan siapapun yang bersamamu. Karena alasan itulah, ‘Amr bin
al-‘Ash t merasa sangat gelisah saat menjelang kematiannya, dan ia
teringat kehidupannya bersama Rasulullah r, hingga ia berkata, ‘Jika aku meninggal dunia pada saat itu, orang-orang
berkata, ‘Selamat untuk ‘Amr, ia masuk Islam, lalu ia meninggal maka diharapkan
surga untuknya.’ Kemudian setelah itu, aku berkecimpung dengan kekuasaan dan
berbagai banyak urusan, maka aku tidak tahu, apakah memudharatkan aku atau
berguna untukku.’[6]
Jika engkau menjadi panutan atau
memegang jabatan, maka janganlah engkau memberikan tugas kepada manusia yang
mereka tidak mampu, maka engkau membuat fitnah kepada mereka. Maka
sesungguhnya Rasulullah r, tatkala beliau mengetahui bahwa Mu’adz bin Jabal t memanjangkan shalatnya saat menjadi imam, beliau
bersabda kepadanya sebanyak tiga kali:
يَا مُعَاذُ,
أَفَتَّانًا أَنْتَ؟
"Wahai
Mu’adz, apakah engkau ingin membuat fitnah?[7]
Dan dalam pidato Umar t: ‘Perhatikanlah, janganlah kamu memukul kaum muslimin,
maka kamu menghinakan mereka. Janganlah kamu memperpanjang (menugaskan mereka
terlalu lama, hingga tidak berkumpul dengan keluarga mereka), maka engkau
membuat fitnah kepada mereka. Dan janganlah kamu menghalangi hak mereka,
maka kamu membuat kufur kepada mereka.’[8]
Sesungguhnya banyak disibukkan dengan ucapan
tanpa bekerja, akan membawa kepada fitnah dan kekacauan. Syaikhul Islam berkata, ‘Apabila manusia
meninggalkan jihad fi sabilillah, maka Allah I akan mencoba mereka dengan mencampakkan permusuhan di
antara mereka, hingga terjadi fitnah di antara mereka, sebagaimana yang
telah terjadi.’[9]
Di antara
pengaruh fitnah, sesungguhnya fitnah itu melupakan orang-orang
yang terjerumus di dalamnya tentang kebenaran yang mereka ketahui dan
batasan-batasan yang mereka tekuni. Dan sesungguhnya orang yang terjatuh dalam fitnah
menjadi ringan ketakwaannya dan tipis agamanya. Karena itulah saat orang-orang
dijauhkan dari telaga, Rasulullah r mengira mereka termasuk umatnya, dijawablah: 'Engkau tidak tahu, mereka
telah berjalan mundur.' Yang meriwayatkan hadits berkata (yaitu Ibnu Abi
Mulaikah): 'Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu bahwa kami kembali
atas tumit kami (murtad) atau kami mendapat fitnah."[10]
Dan dalam hadits yang Hudzaifah t bertanya tentang keburukan: Wahai Rasulullah,
ketenangan di atas asap, apakah maksudnya? Beliau menjawab:
لاَتَرْجِعُ
قُلُوْبُ أَقْوَامٍ عَلَى الَّذِي كَانَتْ عَلَيْهِ
Hati para kaum tersebut tidak kembali seperti semula.'[11]
Yang mensyarahkan hadits tersebut berkata, 'Maksudnya, hati
mereka tidak bersih dari sifat dendam dan benci, sebagaimana bersih sebelum hal
itu.'[12]
Ketika engkau
melihat seorang laki-laki yang berakal, tetapi akhirnya engkau tidak tahu,
kemana perginya akal sehatnya di saat terjadinya fitnah (kekacauan).
Ibnu Hajar rahimahullah mengutip hadits dari Ibnu Abi Syaibah rahimahullah
tentang fitnah: "Kemudian fitnah datang bergelombang seperti
gelombang laut, dan ia yang menjadikan manusia padanya seperti binatang.'
Maksudnya, tidak ada akal bagi mereka. Dan diperkuat hadits Abu Musa u: 'Akal kebanyakan orang di masa itu telah hilang.'[13]
Dan ketika Ibnu
Hajar rahimahullah menjelas disunnahkan berlindung dari segala fitnah,
hingga kepada orang yang mengetahui bahwa ia berada di atas kebenaran. Ia
memberikan alasan atas hal itu dengan penjelasannya: 'Karena sesungguhnya ia
bisa membawa kepada terjatuhnya sesuatu yang ia tidak menganggap terjatuhnya.'[14]
Di antara pengaruh
terjerumus dalam fitnah yang paling berbahaya adalah tidak memperhatikan
nasehat, bahkan sebagian manusia menganggap enteng perbuatan maksiat. Abdullah
bin Umar t berkata: 'Di masa fitnah, kamu tidak menganggap
pembunuhan sebagai perbuatan dosa.'[15] Maka, apakah jalan keselamatan dari segala fitnah?
Di antara hal yang
dapat menyelamatkan dari fitnah adalah bahwa engkau tidak menuntut hakmu
dalam urusan dunia, sekalipun sabar dalam hal itu terasa berat sekali.
sebagaimana yang diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud:
إِنَّ السَّعِيْدَ لِمَنْ جَنَّبَ
الْفِتَنَ –ثَلاَثًا- وَلِمَنْ ابتُلِيَ فَصَبَرَ فَوَاهًا
'Sesungguhnya keberuntungan bagi orang yang menjauhi fitnah
–(beliau mengucapkannya) tiga kali-, dan bagi orang yang mendapat cobaan, maka
ia bersikap sabar, alangkah indahnya sabar terhadap bala.'[16]
Dan barangsiapa yang dikelilingi fitnah dan tidak ada
yang menyelamatkannya dari fitnah itu, maka hendaklah ia berlari dengan
membawa agamanya dari segala fitnah dan memperbanyak ibadah, sebagaimana
dalam hadits:
العِبَادَةُ فِى الْفِتْنَةِ
كَالْهِجْرَةِ إِلَيَّ
"Beribadah
di saat fitnah adalah seperti berhijrah kepadaku."[17]
Berbekal diri dengan amal shaleh sangat dianjurkan untuk menjaga
diri dari fitnah sebelum terjadinya. Nabi r bersabda:
بَادِرُوْا بِاْلأَعْمَالِ فِتَنًا
"Segeralah
beramal shaleh (mendahului datangnya) segala fitnah."[18]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan saat menjelaskan
makna hadits tersebut: 'Pengertian hadits tersebut adalah dorongan bersegera
melaksanakan amal ibadah sebelum uzur dan sebelum tidak bisa lagi
melaksanakannya karena terjadinya fitnah yang menyibukkan, datang silih
berganti, lagi sangat banyak.[19]
Dan barangsiapa
yang bisa mengendalikan sebab-sebab fitnah, maka hendaklah ia berlepas
diri darinya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits:
كَسِّرُوْا فِيْهَا قِسِيَّكُمْ
"Patahkanlah padanya yang keras darimu."[20]
Sehingga Ka'ab bin Malik t menyebutkan cerita tiga orang yang tertinggal (dari perang
Tabuk), bagaimana surat dari Raja Ghassan sampai kepadanya, yang isinya: 'Telah
sampai berita kepadaku bahwa temanmu (Nabi Muhammad r) telah menjauhimu, dan Allah I tidak menjadikanmu di negeri kehinaan dan kesempitan, maka
datanglah kepada kami, niscaya kami akan membantumu.' Ka'ab t berkata: 'Tatkala aku membaca surat tersebut, aku berkata: ini
juga termasuk bala, lalu aku menuju tempat pembakaran roti, maka aku membakar
surat tersebut."[21]
Berdoa agar selalu
terjaga dari kejahatan segala fitnah merupakan salah satu sebab
keselamatan. Di dalam Musnad Ahmad:
وَإِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ
فِتْنَةً أَنْ تَقْبِضَنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُوْنٍ
"Dan
apabila engkau menghendaki fitnah terhadap hamba-hamba-Mu, hendaklah engkau
mengambilku kepada-Mu, tanpa terlibat fitnah."[22]
Dalam doa Umar t: 'Kami berlindung kepada Allah I dari kejahatan segala fitnah.'[23] Dan Anas t berkata: 'Berlindung kepada Allah I dari segala fitnah.'[24]
Dan yang
menyelamatkan engkau di sisi Allah I
bahwa engkau mengingkarinya dan tidak ridha dengannya, serta jangan membantu
atasnya. Nabi r bersabda:
وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَتْ
فِيْهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى يَصِيْرَ الْقَلْبُ أَبْيَضَ مِثْلَ الصَّفَا
لاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَادَامَتِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ
"Hati
apapun yang mengingkarinya, niscaya tertoreh padanya titik putih, sehingga hati
menjadi putih seperti batu yang licin, fitnah tidak membahayakannya selama
masih adanya langit dan bumi.'[25]
Dan penyelamat
yang paling penting adalah bahwa seseorang memahami agamanya dan membedakan
batas-batas syara' tanpa kerancuan. Ibnu Hajar rahimahullah mengutip
dari Ibnu Abi Syaibah rahimahullah sebuah hadits dari Hudzaifah t, ia berkata padanya: 'Fitnah tidak membahayakanmu selama
engkau mengenal agamamu. Sesungguhnya fitnah itu terjadi, apabila samar
atasmu di antara kebenaran dan kebatilan.'[26]
Sekalipun disertai
semua sebab keselamatan ini dan yang lainnya, hati harus tetap bergantung
kepada Allah I. Dan benarlah: "Sesungguhnya keberuntungan adalah bagi
orang yang menjauhi fitnah." Maka menjauhi segala fitnah
adalah pemeliharan rabbani, lebih banyak daripada usaha manusia. Maka ambillah
segala sebab dan memintalah pertolongan kepada Allah I.
Kesimpulan:
Di antara penyebab terjerumusnya seseorang ke dalam fitnah:
-
Kesiapan hati menerimanya.
-
Tenggelam dengan obrolan dan keyakinan
ilusi.
-
Mendahulukan pendapat pribadi di atas hukum
syara'.
-
Menerima jabatan yang tidak mampu
dilaksanakan.
-
Sibuk berbicara, tanpa bekerja.
Di
antara dampak fitnah:
-
Membuat manusia lupa terhadap kebenaran
yang sebenarnya.
-
Menipiskan agama.
-
Menghilangkan akal.
-
Tidak mendengarkan nasehat.
Di
antara penyelamat dari segala fitnah:
-
Tidak menuntut hakmu dalam urusan dunia.
-
Paham terhadap agama.
-
Berlepas diri dari sarana-sarana fitnah
dan sebab-sebabnya.
-
Tidak memegang jabatan dalam fitnah.
-
Berdoa agar terjaga dari kejahatannya.
-
Hati mengingari fitnah tersebut.
-
Berbekal diri dengan amal shalih.
Menjauhi
fitnah adalah pemeliharaan rabbani, melebihi kondisinya sebagai usaha
manusia.
[1] Shahih Muslim, kitab Iman, bab ke65, hadits no. 231, dan lafazhnya
diriwayatkan oleh Imam Ahmad 5/386.
[2] Shahih al-Bukhari, kitab fitnah-fitnah,
bab ke-9, hadits no.7081.
[3] ‘Aunul Ma’bud, 11/347.
[4] Shahih al-Bukhari, kitab al-I’tisham, bab
ke-7, hadits no.7308, mauquf kepada Sahl bin Hanif rad.
[5] Kanzul Ummal, hadits no. 30989, dan ia
berkata, ‘Diriwayatkan oleh al-Khathib dan Ibnu ‘Asakir, al-Khathib
menshahihkan mauqufnya.
[6] Musnad Ahmad 4/199
[7] Shahih al-Bukhari, kitab al-Adab, bab
ke-74, hadits no. 6106.
[8] Musnad Ahmad 1/41, Syaikh Ahmad Syakir
berkata: Isnadnya hasan (286).
[9] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 15/44.
[10] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Fitan, bab ke-1, hadits no.
7048.
[11] Shahih Sunan Abu
Daud, Syaikh al-Albani, no. 3571.
[12] 'Aunul Ma'bud
11/317, saat mensyarahkan hadits no.4227.
[13] Fath al-Bari 13/49, kitab al-Fitan, bab ke-17.
[14] Fath al-Bari, 13/52, saat mensyarahkan hadits no. 7098.
[15] Musnad Ahmad 2/3, mauquf kepada Abdullah bin Umar t.
[16] Shahih Sunan Abu Daud, Syaikh al-Albani, hadits no. 3585.
[17] Musnad Ahmad 5/27, dan dalam Shahih al-Jami' no. 4119
dengan lafazh 'Beribadah dalam peperangan'. (Shahih).
[18] Shahih Muslim, kitab al-Iman, bab ke-51, hadits no. 186.
[19] Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi, 1/492.
[20] Shahih Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albani, hadits no.
1795/2314 (Shahih).
[21] Shahih al-Bukhari,
kitab al- Fitan, bab ke-17, hadits no. 7098.
[22] Shahih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab ke-15, hadits no.
7089.
[23] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Fitan, bab ke-15,
hadits no. 7090.
[24] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Fitan, bab ke-15,
hadits no. 7090.
[25] Shahih al-Jami' no. 2960 dan diriwayatkan oleh Ahmad dan
Muslim.
[26] Fath al-Bari, 13/49, kitab al-Fitan, syarah hadits 17.
Post a Comment