URGENSI WAKTU DAN MUHASABAH
URGENSI WAKTU DAN MUHASABAH
Al-Waqtu Huwa al-Hayâh
Ada sebuah kata hikmah yang singkat namun sarat terhadap
makna hidup yang sangat luas dan mendalam, yang terdiri dari 3 (tiga) suku kata
arab, namun sangat representative untuk menggambarkan arti pentingnya waktu
bagi kehidupan manusia, yaitu ungkapan 'al-waqtu huwa al-hayâh
(waktu adalah kehidupan)'. Sekali lagi, yaitu 'waktu adalah kehidupan.'
Yang dimaksud dengan kehidupan adalah, waktu yang dilalui
manusia saat ia dilahirkan hingga ia wafat. Dengan definisi kehidupan seperti
di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, seseorang yang membiarkan
waktunya berlalu sia-sia, dan lenyap begitu saja, sama artinya ia –dengan
sengaja atau tidak sengaja- telah melenyapkan sisa-sisa masa kehidupannya. Al-Hasan al-Bashri berkata,
يَا ابْنَ آدَم، إنَّمَا أنْتَ أيَّامٌ
!، فَإذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
“Wahai Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah
“kumpulan hari-hari”, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu
sebagian dirimu.”
Sekali
bahwa ketika kita menyia-nyiakan dan membuang waktu kita tanpa hal yang berarti untuk agama dan
kemaslahatan umat, maka ketika itu juga sesungguhnya kita telah membunuh diri
kita sendiri. Betapa
waktu itu sangat berharga dan jangan biarkan ia berlalu begitu saja.
Allah Subhanahu wa Ta'ala Bersumpah dengan Waktu dan Bagiannya
Begitu
pentingnya waktu bagi kehidupan manusia, sampai-sampai Allah Subhanahu wa
Ta'ala bersumpah di banyak tempat dalam al-Qur`an al-Karim, dengan waktu
dan bagian-bagiannya, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَالْفَجْرِ،
وَالضُّحَى، وَاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَالْعَصْرِ
Demi
waktu fajar, Demi waktu Dhuha, Demi Malam, Demi Siang, Demi Waktu
Sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta'ala, jika ia bersumpah dengan sesuatu, maka dengan sumpahnya itu, dengan
sesuatu tersebut dimaksudkan untuk memalingkan atau mengalihkan pandangan kita
kepada arti pentingnya hal tersebut sampai kita bertafakkur (berfikir) di dalam
setiap bagian waktu seluruhnya, ketika
fajar, ketika dhuha, ketika malam, dan ketika siang dll.
Seperti Ulil Albab di dalam firman-Nya :
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ
لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ. الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَاخَلَقْتَ هَذَا
بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ . سورة آل عمران : 191
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS. 3:190); (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata):"Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. 3:191)
Intropeksi Diri
Maka sudah selazimnya menjadi kewajiban bagi
seorang muslim terhadap dirinya untuk melakukan muhâsabah an-nafsi
'intropeksi diri', yaitu
menghitung-hitung dirinya atas tahun dan hari-hari yang telah ia lalui. Apa yang telah ia perbuat
semasa itu, dan keuntungan apa yang peroleh, kerugian apa yang ia derita.
Seperti
apa yang dilakukan oleh seorang bisnisman yang menginginkan kesuksesan
dengan modalnya pada setiap tahunnya, ia menghitung-hitung kembali
perdagangannya, berapa modal yang telah ia keluarkan, berapa pemasukannya, di
mana ia mengalami kerugian dan apa masalahnya, dan di mana keuntungannya, berapa
besar keuntungannya dari pada kerugiannya, ketika kerugiannya lebih besar dari
pada keuntungannya maka ia menjadi sangat menyesal sekali dan mengalami
kesedihan yang luar biasa, dan sebaiknya ketika keuntungannya lebih besar dari
pada kerugiannya maka ia merasa senang
dan bergembira sekali, untuk selanjutnya
ia melakukan kalkulasi bisnisnya kembali, memenag dan membuat schedule
untuk tahun berikutnya.
Yang
demikian itu pada amrun dunyawi (urusan duniawi), begitu ihtimaam
(concern)nya dan sangat telitinya ia
dalam urusan dunia ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا
قَلِيلُُ وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً { سورة
النساء: 77 }
“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar
dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan anda tidak akan
dianiaya sedikitpun.”(QS. An-Nisaa:77)
Nabi Musa
berkata di dalam al-Qur`an :
يَاقَوْمِ
إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعُُ وَإِنَّ اْلأَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
{ سورة المؤمن : 39}
“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia
ini hanyalah kesenangan sementara, sesungguhnya akhirat itulah kesenangan yang
kekal.” (QS.40 : 39)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
أَيْنَمَا
تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ {سورة النساء
: 78}
Di
mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam
benteng yang tinggi lagi kokoh, (QS.
4:78)
Karena
itu muhasabatunnafsi merupakan
suatu keharusan, seandainya tidak sanggup setiap hari untuk
instropeksi/menghitungkan dirinya hendaklah dilakukan pada setiap pekan, maka
kalaupun setiap pekan ia masih juga tak dapat melakukannya, maka hendaklah
setiap bulan, dan kalau tidak bisa juga maka hendaklah ia melakukan instropeksi
diri pada setiap tahun.
Ulama dan Waktu
Para salafus soleh meninggalkan banyak pelajaran berharga
dalam menghargai waktu. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (223H-310H) sepanjang
hidupnya tercatat telah mengumpulkan 358 ribu halaman dari berbagai
karangannya. Jika kita perkirakan masa kanak-kanak beliau sebelum baligh 14
tahun, maka dapat disimpulkan beliau menulis 14 halaman setiap harinya. Begitu
perhatiannya beliau dengan waktu, sampai-sampai ketika + sejam sebelum
kematiannya beliau masih menyempatkan diri menulis suatu do`a yang baru ia
dengar dari Ja`far bin Muhammad. Begitu pula dengan Imam Ibnu al-Qayyim yang
tidak rela kehilangan waktunya karena safar (suatu perjalanan), sehingga selama
safarnya beliau mengisinya dengan menulis sehingga menghasilkan karya Zaadul
Ma`aad. Imam Nawawi yang tidur dengan bersandarkan sebuah buku yang
ditegakkan pada dagunya, begitu buku itu terjatuh maka beliau terjaga dan
kembali menggoreskan tintanya. Majduddin Abu al-Barakat `Abdussalam, kakek
dari Imam Ibnu Taimiyah, tiap kali masuk
ke kakus, beliau memerintahkan anaknya (orang tua Imam Ibnu Taimiyah) untuk
membacakan suatu kitab dengan suara keras, hingga terdengar olehnya. Tak aneh
jika sikap sang kakek ini tertular kepada cucunya. Suatu ketika Imam Ibnu
Taimiyah jatuh sakit, dokter menyarankan agar beliau untuk sementara waktu
menghentikan dulu kegiatan belajar mengajarnya karena hal itu dikhawatirkan
dapat memperparah kondisinya. Berkata Imam Ibnu Taimiyah kepada dokternya,
"bukankah jika jiwa yang bahagia dan gembira dapat memperkuat daya tahan
tubuh", sang dokter membenarkannya. "Maka sesungguhnya jiwaku merasa
tenang jika berinteraksi dengan ilmu, dan tubuhku terasa kuat dan hanya dengan
itu saya dapat beristirahat."
Optimalkan Amal
Waktu hidup manusia di dunia adalah umurnya, dan umur
manusia merupakan rahasia Allah Subhanahu wa Ta'ala Kualitas umur seseorang sangat menentukan posisinya di
alam kehidupan berikutnya. Jika dari waktunya diperuntukkan hanya karena Allah
(lillah) maka kematiannya adalah baik baginya. Namun sebaliknya jika
waktu dan umurnya dihabiskan untuk menuruti kesenangan nafsu dan dan ambisi syahwat
hewaninya maka kematiannya merupakan petaka besar baginya. Al-Hasan al-Bashri
berkata,
يَا ابْنَ آدَم، إنَّمَا أنْتَ أيَّامٌ
!، فَإذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
“Wahai Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah
“kumpulan hari-hari”, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu
sebagian dirimu.”
Ibnu
Mas`ud Radhiyallahu 'Anhu (salah
seorang sahabat besar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa sallam) berkata:
مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْءٍ نَدَمِي عَلَى
يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ، نَقَصَ فِيْهِ أجَلِي، وَلَمْ يَزِد فِيْهِ عَمَلِي
"Tidak
ada yang lebih aku sesali, kecuali bila matahari telah terbenam maka
berkuranglah masa ajalku, namun tidak bertambah sedikitpun amalanku."
Berkata Khalifah Umar bin
Abdul Aziz Rahimahullah,
إنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلاَنِ
فِيْكَ، فَاعْمَلْ فِيْهِمَا
"Sesungguhnya
malam dan siang terus bekerja dalam dirimu, maka bekarjalah di dalam siang dan
malammu."
Bekerjalah pada siang dan malammu, janganlah mengakhirkan
pekerjaan siang untuk dikerjakan di malam harinya, dan janganlah mengakhirkan
pekerjaan malam ke siang harinya. Janganlah pekerjaan hari ini di akhirkankan
hingga esok harinya dan janganlah pekerjaan esok karena malas diakhirkan hingga
lusanya. Jangan katakan, "Nanti akan kuamalkan, sebentar lagi akan
kukerjakan." Karena setiap manusia akan ditanya pada hari kiamat, mengenai
umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang
ilmunya sudahkah ia amalkan, dan tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan
untuk apa ia belanjakan ?. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
sallam:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا
عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ
عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ
وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
)
Tidak akan bergeser kedua kaki
manusia pada hari Kimat hingga (ia) ditanya tentang:
- tentang umurnya, untuk apa ia habiskan ?
- tentang ilmunya, sudahkan ia amalkan ?
- tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan
untuk apa ia belanjakan ?
- tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ?
(HR. At-Tirmidzi)
Firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala :
وَالْعَصْرِ
. إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ . سورة العصر
Demi masa. (QS. 103:1)
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, (QS. 103:2) kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS.
103:3)
Sungguh terbukti kebenaran ucapan Imam
Syafi`i mengenai firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala :
لَوْ لَمْ يُنْزَلْ غَيْر هَذِهِ السُّوْرَةُ
لَكَفَتِ النَّاس
Bahwa seandainya (al-Qur`an)
tidak diturunkan kecuali (hanya) surat (al-Ashr) ini, maka hal itu sudah cukup
memadai bagi manusia sekalian.
Semoga Allah Subhanahu wa
Ta'ala memberikan taufik, hidayah dan keberkahan-Nya dalam hidup dan
umur kita. Amiin.
Post a Comment