Sifat Qana'ah dan 'Iffah
Sifat Qana'ah dan 'Iffah
Qana'ah (merasa cukup) dan 'iffah (suci, jauh dari sifat yang
tidak baik, dan menahan diri dari meminta)
'Jadilah engkau orang yang bersifat qana'ah, niscaya engkau
menjadi manusia yang paling bersyukur.'
Gambaran orang yang
haus terhadap dunia, selalu ingin memperbanyak harta dengan rakus tamak, adalah
yang senang dengan yang hina, terbiasa mengeluh, dan selalu meminta. Inilah
gambaran yang tidak sesuai dengan kemuliaan seorang mujahid (pejuang), qana'ah
(merasa cukup), 'iffah, dan ridha dengan pembagian Allah I kepadanya.
Sesungguhnya sikap pasrah
terhadap sifat tamak (rakus) tidak ada akhirnya apabila seseorang melepaskan
tali kendali nafsu syahwatnya. Disebutkan dalam hadits:
...إِنَّ هذَا اْلمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ, فَمَنْ
أَخَذَهَا بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْهِ, وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ
نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ, كاَلَّذِي يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ
"Sesungguhnya
harta ini berwarna hijau serta manis, maka barangsiapa yang mengambilnya dengan
kemurahan jiwa niscaya diberikan berkah baginya pada harta itu. Dan barangsiapa
mengambilnya dengan nafsu serakah niscaya tidak diberikan berkah baginya pada
harta itu, seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang…"[1]
Sifat tamak
menguasai orang-orang yang melakukan persaingan dalam urusan dunia dan
perhiasannya, yang selalu memperhatikan orang-orang yang di atas mereka. Imam
an-Nawawi rahimahullah memberikan alasan terhadap hal itu dengan
katanya: 'Karena apabila manusia melihat kepada orang yang diberikan karunia
dalam perkara dunia, nafsunya menuntut seperti hal itu dan menganggap
kecil/remeh nikmat Allah I yang ada padanya, ingin bertambah, supaya bisa menyusul dengan
hal itu atau mendekatinya, inilah realita mayoritas manusia…'[2]
Sifat tamak yang
berlebihan di dalam jiwa seseorang bisa merusak agamanya, sebagaimana
disebutkan dalam hadits:
مَا ذِئْبَانِ
جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِى غَنمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى
الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
"Tidak
ada dua ekor srigala yang dilepas pada kambing lebih merusak baginya terhadap
agamanya daripada sifat tamak seseorang terhadap harta dan kemuliaan."[3]
Ketergantungan hati yang
berlebihan terhadap perhiasan dunia dan memperbanyak harta memperbudak hamba,
dan Rasulullah r memanggil orang-orang seperti itu dengan sebutan orang yang celaka:
تَعِسَ
عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخُمَيْصَةِ: إِنْ أُعْطِيَ
رَضِيَ وَإِنْ لُمْ يُعْطَ سَخِطَ, تَعِسَ وَاْنتَكَسَ...
"Celaka
budak dinar dan budak dirham serta budak khumaishah: jika diberi, ia senang,
jika tidak diberi, ia marah, celaka dan jatuh terjungkir."[4]
Sifat qana'ah
tidak bisa diperoleh kecuali dengan mujahadah (melawan) hawa nafsu dan dengan
taufik Allah I:
...مَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ
يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
"Barangsiapa
berusaha 'iffah (menghindar dari yang tidak terpuji) niscaya Allah I menjadikannya 'iffah, dan barangsiapa yang merasa cukup niscaya
Allah I memberikan kecukupan kepadanya."[5]
Salah seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam t menolak mengambil haknya dari harta fai –sekalipun
Khalifah Umar t beberapa kali menawarkan hal itu kepadanya-. Ibnu Hajar
al-'Asqalani rahimahullah menyebutkan alasan penolakannya dengan
katanya: 'Dia t menolak mengambilnya (padahal harta itu adalah haknya), karena
ia khawatir menerima sesuatu dari seseorang, lalu terbiasa mengambil, hingga
jiwanya melewati sesuatu yang tidak dikehendakinya, maka ia menyapihnya dari
hal itu, dan meninggalkan sesuatu yang meragukannya kepada yang tidak
meragukannya…'[6]
Dan Rasulullah r menyebutkan para penghuni surga, di antaranya:
عَفِيْفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُوْ الْعِيَالِ
"Orang
yang 'iffah, berusaha menahan dari meminta, sedang dia mempunyai keluarga.'[7] Karena sesungguhnya ia
berjuang melawan nafsunya, padahal sangat membutuhkan.
Termasuk
kesempurnaan sifat tidak meminta: sesungguhnya para sahabat melakukan bai'at
kepada Rasulullah r bahwa mereka tidak akan meminta sesuatu kepada manusia. Dan
yang meriwayatkan hadits menceritakan kondisi mereka setelah Rasulullah r (wafat), ia berkata: 'Sungguh sebagian dari golongan itu,
terjatuh tongkatnya, maka ia tidak meminta kepada seseorang untuk mengambilkan
tongkatnya.'[8]
Karena mereka sangat bersungguh-sungguh menepati bai'at mereka terhadap
Rasulullah r. Dan dalam dialog bersama Abu Dzarr t, Rasulullah r bersabda:
كَيْفَ
أَنْتَ وَجُوْعًا يُصِيْبُ النَّاسَ حَتَّى تَأْتِيَ مَسْجِدَكَ فَلاَ تَسْتَطِيْعُ
أَنْ تَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِكَ, وَلاَتَسْتَطِيْعُ أَنْ تَقُوْمَ مِنْ فِرَاشِكَ إِلَى
مَسْجِدِكَ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: عَلَيْكَ
باِلْعِفَّةِ
"Bagaimana
engkau, sedangkan rasa lapar menimpa manusia, sehingga engkau datang ke
masjidmu, maka engkau tidak mampu kembali ke tempat tidurmu, dan engkau tidak
bisa bangun dari tempat tidurmu ke masjidmu? Ia berkata,'Aku menjawab: 'Allah I dan Rasul-Nya r
lebih mengetahui.' Beliau r
bersabda: 'Engkau harus bersifat 'iffah…"[9]
Dan termasuk mujahadah
adalah bahwa engkau tidak mengadu kecuali hanya kepada Allah I dan tidak menantikan kelapangan kecuali hanya dari Allah I, maka di dalam hadits:
مَنْ
أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا للِنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ, وَمَنْ أَنْزَلَهَا
باِللهِ أَوْشَكَ اللهُ لَهُ باِلْغِنَى: إِمَّا بِمَوْتٍ آجِلٍ أَوْ غِنًى عَاجِلٍ.
"Barangsiapa
yang ditimpa kefakiran, lalu ia mengadukannya kepada manusia, niscaya tidak
tertutupi kekurangannya. Dan barangsiapa yang mengadukannya kepada Allah I, hampir-hampir Allah I memberikan kekayaan kepadanya, bisa dengan kematian yang
tertunda atau kekayaan yang cepat (di dunia)."[10]
Dan dalam kondisi
yang sangat terpaksa, yang mendorong seseorang mengulurkan tangannya untuk
meminta, syarat meminta adalah tidak mendapatkan kemampuan, karena Allah I menggambarkan orang-orang fakir dengan firman-Nya:
لِلْفُقَرَآءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا
فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي اْلأَرْضِ
(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad)
di jalan Allah: mereka tidak dapat
(berusaha, bekerja) di bumi; (QS. al-Baqarah:273)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
'Karena orang yang mampu bekerja di muka bumi, berarti ia menemukan salah satu
syarat untuk menjadi mampu/kaya. Dan yang dimaksud 'orang-orang fakir yang
terikat/tertahan' maksudnya terikat oleh jihad fi sabilillah, yaitu karena
kesibukan mereka berjihad, mereka tidak punya waktu untuk bekerja.'[11]
Rasulullah r memberikan ijin untuk meminta dalam
batasan yang sangat sempit, seperti dalam hadits:
...حَتَّى
يُصِيْب قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ سَدَادًا مِنْ عَيْشٍ... فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ
الْمَسْئَلَةِ –يَاقَبِيْصَةُ- سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
"…Sehingga ia
mendapatkan kebutuhan pokok, atau mencukupi kehidupan…maka meminta selain yang
demikian itu –wahai qabishah- adalah haram, pemiliknya memakannya secara haram."[12]
Imam an-Nawawi rahimahullah
menyebutkan kesepakatan ulama atas larangan meminta kalau bukan karena
terpaksa. Dan disyaratkan bolehnya meminta bagi orang yang masih mampu bekerja
dengan tiga syarat: bahwa ia jangan merendahkan dirinya, jangan terus menerus
meminta, dan jangan menyakiti yang diminta. Jika kurang salah satu syarat ini,
maka hukumnya haram menurut konsensus ulama. Wallahu A'lam.[13]
Dan harta yang
datang tanpa diikuti keinginan nafsu kepadanya, Rasulullah r bersabda tentang hal itu:
إِذَا
جَاءَكَ مِنْ هذَا الْمَالِ شَيْئٌ –وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَسَائِلٍ-
فَخُذْهُ وَمَالاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسُكَ
"Apabila
sedikit dari harta ini datang kepadamu –sedangkan engkau tidak mengharapkan dan
tidak meminta- maka ambillah, dan yang tidak (seperti itu), maka janganlah diikuti
oleh nafsumu."[14]
Supaya terpenuhi
dalam diri seorang muslim faktor-faktor kecukupan dan qana'ah dengan sifat
mulia dan terhormat, Islam menganjurkan kepadanya agar bekerja. Rasulullah r bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ َلأَنْ
يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَحْتَطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ
يَأْتِيَ رَجُلاً فَيَسْأَلُهُ, أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ.
"Demi
Allah I yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh salah seorang darimu
mengambil talinya, lalu ia memikul kayu bakar di pundaknya, lebih baik baginya
daripada ia datang kepada seseorang, lalu ia meminta kepadanya, (sama saja) dia
memberinya atau tidak."[15]
Ibnu Hajar menyebutkan faedah-faedah hadits ini: anjuran untuk
menahan diri dari meminta, menjauhkan diri darinya, sekalipun seseorang
merendahkan dirinya dalam mencari rizqi dan merasakan kesusahan dalam hal itu.
Dan jikalau bukan karena keburukan meminta dalam pandangan syara', hal itu
tidak menjadi pilihannya, karena begitu hinanya meminta-minta, dan termasuk
kehinaan itu adalah bila ia tidak diberi…'[16]
Dalam rangka mengajak tawakkal dan
berusaha, Imam Ahmad rahimahullah berkata: ‘Upah mengajar dan ilmu lebih
kusukai dari pada duduk menunggu pemberian dari orang lain.’ Dan ia juga
berkata: ‘Barangsiapa yang duduk dan tidak berusaha, jiwanya mendorongnya
mengharapkan sesuatu yang ada di tangan manusia.’[17]
Zuhud
terhadap pemberian manusia menjadikan seseorang dicintai mereka. Dan dalam
wasiat ringkas, Rasulullah r bersabda:
...وَأَجْمِعِ
الْيَأْسَ عَمَّا فِى أَيْدِي النَّاسِ
“Dan berputus asalah dari apa saja yang ada di tangan manusia
(jangan mengharapkan pemberian mereka).”[18]
Sebagaimana dalam pesan Jibril u kepada Rasulullah r:
...وَاعْلَمْ
أَنَّ شَرَفَ الْمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِالَّليْلِ وَعِزُّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ
النَّاسِ
“Dan
ketahuilah, sesungguhnya kemuliaan seorang mukmin adalah shalatnya di malam
hari dan kehormatannya adalah kayanya dari manusia.”[19]
Dan apabila kita telah mengetahui kondisi kehidupan Rasulullah r, bersifat qana’ah terasa mudah bagi kita dalam menghadapi
realita kehidupan kita. An-Nu’man bin Basyir t mengungkapkan kondisi kehidupan beliau r dengan ucapannya:
لَقَدْ
رَأَيْتُ نَبِيَّكُمْ وَمَا يَجِدُ مِنَ الْدَقْلِ مَا يَمْلَأُ بِهِ بَطْنَهُ
“Sesungguhnya aku
melihat nabimu, dan beliau tidak mendapatkan kurma jelek untuk mengisi perutnya
(apabila korma yang bagus, pent.).”[20]
Dan beliau berdoa:
اللهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلَ
مُحَمَّدٍ قُوْتًا
“Ya Allah, jadikan
rizqi keluarga Muhammad sebagai makanan pokok.”[21]
Di
antara sebab-sebab qana’ah adalah: bahwa seseorang memandang kepada orang yang
berada di bawahnya (lebih miskin darinya dalam urusan dunia), agar ia menyadari
nikmat Allah I kepadanya. Sebagaimana di sebutkan dalam hadits:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ
مِنْكُمْ وَلاَتَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ
لاَتَزْدِرُوْا نِعْمَةَ
اللهِ عَلَيْكُمْ
“Perhatikanlah kepada orang yang di bawah kamu (dalam urusan
dunia) dan janganlah kamu memperhatikan kepada orang yang di atasmu. Maka ia
lebih pasti bahwa kamu tidak menghinakan nikmat Allah I kepadamu.”[22]
Dan pemilik jiwa yang terjaga pasti tidak senang bahwa tangannya
berada di bawah, dan Rasulullah r
bersabda:
الْيَدُ
الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَاْليَدُ الْعُلْيَا هِيَ
الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ
“Tangan yang di atas lebih baik daripada
tangan yang dibawah, dan tangan yang di atas adalah yang memberi dan yang di
bawah adalah yang meminta.”
Dan
seseorang akan lebih bisa menahan diri ketika ia membayangkan gambaran harta
sedekah ini: Abdullah bin al-Arqam t
menyebutkan bahwa ia meminta onta dari baitul mal, lalu ditawarkan kepadanya
onta sedekah. Maka ia enggan dan mengingkari bahwa hal itu ditawarkan
kepadanya, dan ia berkata kepada temannya (yang menawarkan): ‘Apakah engkau
senang bahwa seseorang yang gemuk di hari panas, mencuci untukmu apa yang ada
di bawah sarung dan dua rufghaihi (bagian atas dua paha dari dalam),
kemudian ia memberikannya kepadamu, maka kamu meminumnya? Maka laki-laki itu
marah dan berkata, ‘Semoga Allah I
mengampunimu, apakah engkau mengatakan hal seperti ini kepadaku? Abdullah bin
al-Arqam t berkata, ‘Sesungguhnya
sedekah adalah kotoran manusia, mereka mencucinya dari mereka.’[23]
Dan di antara yang menguatkan sifat qana’ah
adalah seseorang mengetahui bahwa meminta adalah kehinaan di dunia, siksaan dan
sangat memalukan di akhirat. Dan dalam hal itu, Rasulullah r bersabda:
مَنْ
سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكُثُّرًا, فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا,
فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barangsiapa yang meminta harta kepada
manusia karena ingin menambah, maka sesungguhnya ia meminta bara api, maka
hendaklah ia cukup dengan sedikit atau memperbanyak.”[24]
Dan demikian pula:
مَنْ
سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيْهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang
meminta, sedangkan ia mempunyai sesuatu yang mencukupi (kebutuhan)nya, maka
sesungguhnya ia memperbanyak dari api neraka.”[25]
Kenapa orang yang telah diberikan dunia
dengan mendapatkan rasa aman, diberi kesehatan, dan memperoleh makan di harinya
terus ingin menambah harta??
مَنْ
أَصْبَحَ آمِنًا فِى سِرْبِهِ, مُعَافًى فِى بَدَنِهِ, عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ,
فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa yang
di
pagi hari merasa aman dalam hidupnya, sehat badannya, dan mempunyai makanan di
harinya, maka seolah-olah telah diberikan dunia kepadanya.”[26]
Dan kenapa seseorang merasa berduka cita
karena kehilangan sedikit dari dunia, apabila ia merasa tenang bahwa ia
termasuk orang-orang yang beruntung:
قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntung
orang yang beragama Islam, diberi rizqi secara cukup, dan Allah I memberikannya sifat qana’ah terhadap apa yang diberikan Allah I kepadanya.”[27]
Apakah
gunanya terus menambah harta dan menyimpan, apabila kebutuhan seseorang sangat
terbatas dengan keperluan yang tertentu:
وَهَلْ
لَكَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَاتَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ أَوْ أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ
أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ؟
“Tidaklah engkau
memiliki hartamu kecuali yang engkau sedekahkan lalu engkau berlalu, atau
engkau makan lalu engkau habiskan, atau engkau pakai lalu engkau lusuhkan…?[28]
Kurangnya sifat
qana'ah dalam diri seorang muslim terkadang muncul dari tidak mantapnya
pemahaman imannya, berupa ridha terhadap qadar di kala susah dan senang. Karena
itulah, termasuk do'a beliau r:
...وَأَسْأَلُكَ نَعِيْمًا لاَيَنْفَدُ
وَقُرَّةَ عَيْنٍ لاَتَنْقَطِعُ وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بِالْقَضَاءِ
"…dan
aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak pernah pudar, kesejukan mata yang
tidak pernah terputus, dan aku memohon kepada-Mu keridhaan terhadap qadha`."[29]
Dan di dalam do'a Istikharah:
وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ
كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ
"…dan tentukan (taqdirkanlah) kebaikan untukku di mana
saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaan-Mu kepadaku."[30]
Dan di antara faktor pendukung ridha adalah berpikir tentang
pahala, sebagaimana dalam hadits:
لَوْ
تَعْلَمُوْنَ مَالَكُمْ عِنْدَ اللهِ َلأَحْبَبْتُمْ أَنْ تَزْدَادُوْا فَاقَةً
وَحَاجَةً.
"Jikalau kamu mengetahui pahala yang disiapkan untukmu
di sisi Allah I, niscaya kamu ingin agar bertambah fakir dan membutuhkan."[31]
Demikian pula sabdanya r:
لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَاادُّخِرَ لَكُمْ
مَاحَزِنْتُمْ عَلَى مَازُوِيَ عَنْكُمْ
"Jikalau kamu mengetahui pahala yang disimpan untukmu,
niscaya kamu tidak berduka cita terhadap kesempitanmu."[32]
Terkadang seorang fakir adalah orang bersifat qana'ah lagi
'iffah, sebagaimana orang yang kaya bersifat tamak lagi rakus, karena kaya yang
sebenarnya adalah kaya jiwa. Rasulullah r bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ
الْعَرْضِ وَلكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
"Kaya
yang sebenarnya bukanlah kaya harta benda, akan tetapi kaya yang sebenarnya
adalah kaya jiwa."[33]
Dan Rasulullah r menggambarkan kondisi manusia di masa-masa terakhir, maka
beliau menyebutkan di antara tanda-tanda hari kiamat:
...وَأَنْ يُعْطَى الرَّجُلُ أَلْفَ
دِيْنَارٍ فَيَتَسَخَّطُهَا
…dan seseorang diberikan seribu dinar, maka ia membencinya
(tidak ridha)."[34]
Ini adalah gambaran sifat rakus dan tamak yang berat,
sebagaimana qana'ah merupakan gambaran syukur dan ridha yang tertinggi:
وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ
النَّاسِ
"Dan
jadilah engkau orang yang bersifat qana'ah, niscaya engkau menjadi manusia
paling bersyukur."[35]
Kesimpulan:
1.
Orang yang jatuh kedalam sifat tamak adalah
seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang.
2.
Berlomba dalam urusan dunia termasuk mendorong
timbulnya sifat tamak.
3.
Sifat qana'ah tidak bisa diperoleh kecuali
dengan mujahadah (usaha yang sungguh-sungguh).
4.
Di antara kesempurnaan sifat 'iffah para
sahabat adalah bai'at mereka bahwa mereka tidak akan meminta apapun kepada
manusia.
5.
Di antara syarat yang diberikan para ulama
dalam meminta adalah:
a.
Tidak mendapatkan kecukupan.
b.
Tidak menghinakan diri.
c.
Tidak terus menerus meminta.
d.
Tidak bersifat rakut.
6.
Yang membantu bersifat qana'ah adalah:
a.
Bekerja untuk mencukupi kehidupan.
b.
Mengikuti keadaan salafus shalih.
c.
Memandang kepada orang yang di bawahnya
(dalam perkara dunia).
d.
Membayangkan kehinaan meminta, baik di
dunia maupun di akhirat.
7.
Kebutuhan seseorang terbatas, maka tidak
ada keharusan bersifat tamak.
8.
Qana'ah menjadi cacat bila iman terhadap
qadar tidak mantap.
9.
Yang aneh adalah qana'ah orang fakir dan
rakusnya orang kaya.
10.
Qana'ah adalah gambaran syukur dan ridha
yang tertinggi.
[1] Shahih al-Bukhari, kitab Zakat, bab
ke-50, no. 1472.
[2] Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi, Kitab Zuhud
dan raqa`iq, syarah hadits no. 2963.
[3] Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab Zuhud, bab
ke-30, no.1935/2495 (Shahih).
[4] Shahih al-Bukhari, kitab al-Jihad, bab
ke-70, no. 2887.
[5] Shahih al-Bukhari, kitab zakat, bab
ke-50, no. 2887.
[6] Fath al-Bari, kitab zakat, bab ke-50, syarah hadits no. 1472.
[7] Shahih Muslim, kitab al-Jannah (surga),
bab ke-16, no.63.
[8] Shahih Muslim, kitab zakat, bab ke-35, no.
1043 dan diriwayatkan pula oleh Abu Daud.
[9] Shahih Sunan Ibnu Majah, kitab al-Fitan, bab
ke-10, no. 3197/3958.
[10] Shahih Sunan Abu Daud, kitab zakat, bab ke-29,
no. 1447/1645.
[11] Fath al-Bari, 3/240, kitab zakat, bab ke-53.
[12] Shahih Muslim, kitab zakat, bab ke-35, no.
1043.
[13] Syarah Shahih Muslim, kitab zakat, bab
ke-35, no. 1043.
[14] Shahih al-Bukhari, kitab zakat bab
ke-51, no. 1473.
[15] Shahih al-Bukhari, kitab zakat, bab ke-50, no.
1470.
[16] Fath al-Bari 3/336, kitab zakat, bab ke-50,
syarah hadits: 1470.
[17]Dikutip dari Fath al-Bari, kitab riqaq, bab ke-16.
[18] Shahih Sunan Ibnu Majah,
kitab zuhud, bab ke-1, no.3363/4171 (Hasan).
[19] Shahih al-Jami’ hadits no. 73 (Hasan).
[20] Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab zuhud, bab ke-26, no. 1932/2491
(Shahih).
[21] Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab zuhud, bab ke-25, no.1924/2480
(Shahih)
[22] Shahih Muslim, kitab zuhud dan raqa`iq, no. 2963
[23] Al-Muwaththa` 2/1001,
kitab sedekah, bab ke-3, no. 15 (al-Arna`uth mengatakan dalam hasyiyah Jami`
al-Ushul: 10/150, isnadnya shahih).
[24] Shahih Muslim, kitab
zakat, bab ke-35, no. 1041.
[25] Shahih Sunan Abu Daud, kitab zakat, bab ke-24, no. 1435/1629.
[26] Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab zuhud, bab ke-21, no. 1913/2463
(Hasan).
[27] Shahih Muslim, kitab zakat, bab ke-43, no. 1054.
[28] Shahih Sunan at-Tirmidzi, kitab zuhud, bab ke-21, no. 1909/2459
(Shahih).
[29] Shahih Sunan an-Nasa`i, kitab sahwi, bab
ke-62, no. 1238.
[30] Shahih al-Bukhari, kitab tauhid, bab ke-10,
no. 7390.
[31] Shahih al-Jami', no. 5265 (Shahih).
[32] Shahih al-Jami' no. 5261 (Shahih).
[33] Shahih al-Bukhari, kitab riqaq, bab ke-15, no.
6446.
[34] Shahih al-Jami' no. 3607 (Shahih).
[35] Shahih al-Jami' no. 4580 (Shahih).
Post a Comment