SEDERHANA DALAM BERINFAQ
SEDERHANA DALAM BERINFAQ
Di antara sesuatu yang
menyempurnakan apa yang telah kita sebutkan di atas adalah apa yang ditekankan
oleh Islam berupa mengatur pengeIuaran harta dan mendorong untuk sederhana
dalam berinfaq. Inilah sifat yang dimiliki oleh 'lbadurrahman, Allah berfirman:
"Dan orang-orang
yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak
(pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian." (Al Furqan: 64)
Tersirat juga dalam
wasiat Luqman Al Hakim kepada puteranya, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Isra': 29.
Sikap sederhana itu
semakin ditekankan ketika pemasukan seseorang itu sangat minim, misalnya pada
masa-masa paceklik dan kelaparan, sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman
Nabi Yusuf AS. Dengan cara menekan atau mengurangi
pengeluaran pada tujuh tahun musim subur sehingga bisa disimpan dan
dimanfaatkan ketika musim kering. Allah berfirman:
"Maka apa yang
kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya (tangkainnya) kecuali sedikit untuk
kamu makan." (Yusuf: 47)
Kemudian memperkecil pengeluaran sekali lagi pada tujuh tahun kekeringan
dengan keputusan darurat dan pendistribusian simpanan pada tahun-tahun krisis
secara merata.
"Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang
menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali
sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan." (Yusuf:
48)
Ungkapan "Apa yang kamu simpan untuk menghadapinya" itu
membuktikan bahwa apa yang dikeluarkan itu sesuai dengan perhitungan dan
perencanaan. Ini menunjukkan kesederhanaan.
Amirul Mukminin Umar Al Faruq pada tahun-tahun kesulitan benar-benar
berkeinginan agar pada setiap rumah yang ada pada mereka sisa-sisa kemakmuran
untuk menyalurkan sebagian darinya kepada orang yang susah kondisinya dan minim
pemasukan mereka. Beliau berkata, "Sesungguhnya manusia tidak akan punah
dengan separuh perut mereka,inilah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah SAW
"Makanan satu orang mencukupi dua orang, dan makanan dua orang mencukupi
empat orang." (HR. Muslim)
Sesungguhnya kaidah Istikhlaf (peminjaman dari Allah) yang telah kami
sebutkan sebelum ini menjadikan seorang Muslim terikat di dalam pengeluaran
harta dan infaqnya, sebagaimana dia juga harus membatasi diri dalam
menginvestasikan dan mengembangkan harta tersebut.
Islam tidak melarang seorang Muslim terhadap kelayakan hidup, sebagaimana
itu di larang oleh sebagian agama dan filsafat, seperti kaum Brahma di India
dan Manawiyah di Persia dan Rawaqiyah Yunani dan kependetaan dalam agama
Nasrani. Akan tetapi Islam melarang kita untuk "tidak mau menikmati"
atau "berlebihan dalam menikmati" itu semua. Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al Maidah: 87)
"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang dalam perjalanan; dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syetan dan syetan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya." (Al Isra' 26-27)
Perbedaan antara tabdzir (pemborosan) dan israf (berlebihan) adalah, kalau
israf itu melebihi batas dalam hal yang halal, tetapi tabdzir adalah berinfaq
di dalam hal yang diharamkan, meskipun hanya satu dirham atau kurang dari itu.
Dari sinilah kita wajib menjaga dan memperhatikan prinsip-prinsip dasar
dalam berinfaq, antara lain sebagai berikut
1. Berinfaq kepada diri sendiri dan keluarga
Maka tidak boleh bagi pemilik harta menahan tangannya dari berinfaq wajib
terhadap diri dan keluarganya karena pelit dan bakhil, takut hidup melarat atau
berpura-pura zuhud. Islam melarang kita untuk pelit dan memperingatkan akan hal
itu dan menganggapnya sebagai sumber kerusakan yang merata. Rasulullah SAW
bersabda:
"Hati-hatilah (hindarkanlah dirimu) dari pelit, sesungguhnya ummat
sebelum kamu itu rusak disebabkan sikap pelit. Pelit itu telah menyuruh mereka
memutuskan hubungan maka mereka memutuskan, memerintahkan mereka antuk kikir,
maka mereka kikir, dan menyuruh mereka untuk berbuat fujur (penyelewengan),
maka mereka pun menyeleweng. (HR.Abu Dawud, dan Hakim)
Islam juga melarang kita untuk bersikap seperti pendeta. Mereka
mengharamkan kenikmatan yang halal seperti pakaian yang indah dan lain
sebagainya. Padahal Allah menamakan pakaian yang indah sebagai "Perhiasan
dan Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya" (Al A'raf: 32), sebagaimana Dia memberi nama
makanan dan minuman dengan istilah, "Yang baik-baik dari rezeki" (Al A'raf: 32). Semua ini adalah penamaan yang
bernilai memuji dan meridhai, bahkan Islam mengingkari terhadap orang yang
mengharamkan hal-hal tersebut atas dirinya maupun orang lain. Allah SWT
berfirman:
"Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulalah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?" (Al A'raf:
32)
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Al A'raf: 31)
Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah senang melihat bekas kenikmatan-Nya pada hamba-Nya.
(HR. Tirmidzi)
Nabi SAW juga pernah ditanya oleh sahabatnya bahwa dia (sahabat tersebut)
senang dengan keindahan, sehingga bajunya bagus dan sandalnya juga bagus,
"Apakah ini termasuk sombong?," maka Nabi SAW menjawab, "Tidak,
sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan, sombong adalah
menolak kebenaran dan menghina (meremehkan) manusia" (HR. Muslim)
2. Kewajiban berinfaq terhadap hak-hak yang harus ditunaikan
Tidak boleh bagi seseorang pelit terhadap hak-hak yang wajib ditunaikan
dengan hartanya, baik itu hak-hak yang sudah tetap, seperti zakat, nafkah kedua
orang tua dan kaum kerabat yang fakir, atau hak-hak yang secara insidental,
seperti menyuguh tamu, meminjami orang yang memerIukan, menolong orang yang
kesulitan (terpaksa, terjepit kebutuhan), memberikan bantuan atas musibah yang
menimpa ummat atau negara (daerah, tempat tinggal mereka, seperti peperangan,
kelaparan dan kebakaran, mencukupi orang-orang fakir di negerinya, yang mereka
sangat memerlukan bantuan ma'isyah seperti makanan, pakaian, tempat tinggal,
pengobatan dan sebagainya.
Islam menegaskan pentingnya hak-hak itu, sampai memperbolehkan penggunaan
senjata demi membela hak-hak tersebut.
Abu Bakar pernah berperang bersama para sahabat yang ada karena masalah
tidak ditunaikannya kewajiban zakat oleh suatu kaum. "Nabi SAW juga
memperbolehkan kepada tamu untuk mengambil hak suguhan dari orang yang
ditempati, walaupun dengan kekuatan/kekerasan. Adalah wajib bagi kaum Muslimin
untuk memperhatikan hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
"Tamu mana pun yang singgah pada suatu kaum, lalu tamu itu tidak
dijamu apa pun (terlantar), maka ia boleh untuk mengambil sekedar untuk
suguhannya, dan tidak berdosa baginya." (HR. Ahmad dan Hakim)
Pada umumnya para fuqaha' memperbolehkan orang yang sangat memerlukan air
dan makanan untuk memerangi orang yang menghalang-halangi keperluannya tanpa
haq.
3. Keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran
Wajib bagi seorang Muslim untuk menyesuaikan antara pemasukan dan
pengeluarannya. Jangan sampai ia menginfaqkan sepuluh, sementara pemasukannya
delapan, sehingga terpaksa harus hutang dan menanggung beban dari orang yang
menghutangi. Sesungguhnya hutang itu membawa keresahan di malam hari dan
kehinaan di siang hari. Rasulullah SAW sendiri mohon perlindungan kepada Allah
dari jeratan hutang, dengan alasan bahwa seseorang itu kalau berhutang, bisa
saja ia berbicara lalu berbohong, ia berjanji lalu mengingkari, sebagaimana
disebutkan di dalam shahih Bukhari.
Maka infaq seseorang yang melebihi dari kemampuan harta dan pemasukannya
adalah termasuk israf (berlebihan) yang tercela. Allah SWT berfirman:
"Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesunggahnnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Al A'raf: 31)
Rasulullah SAW bersabda:
"Makan dan minumlah, berpakaian dan sedekahlah, selama tidak disertai
dengan berlebihan dan kesombongan." (HR. An-Nasa'i dan Ibnu Majah)
Ini adalah berinfaq dalam hal yang mubah, adapun hal-hal yang diharamkan,
maka setiap dirham yang diinfakkan adalah termasuk dalam tabdzir (pemborosan).
Adapun dalam hal-hal ketaatan, seperti shadaqah, jihad dan proyek-proyek
sosial, maka tidak ada israf di dalamnya selama tidak menelantarkan hak yang
lebih wajib dari itu semua. Seperti hak keluarganya atau hak orang yang hutang kepadanya
atau nafkah yang wajib untuk dipenuhi baginya dan lain-lain. Oleh karena itu
ketika dikatakan kepada sebagian orang dermawan dari kaum munafikin dalam hal
amal shalih, "Tidak ada kebaikan dalam israf (berlebihan)," maka
jawabannya, "Tidak ada israf dalam kebaikan."
Islam memberikan kepada hakim (penguasa) wewenang untuk menahan atau
mengatur keuangan atas setiap orang yang bodoh dan sering merusak, di mana dia
mempergunakan harta tidak secara tepat. Hal ini karena ummat mempunyai hak atas
harta tersebut, maka memeliharanya akan membawa manfaat bagi ummat dan
membiarkannya akan membawa madharat bagi ummat. Oleh karena itu Allah SWT
menyandarkan harta orang-orang bodoh (yang belum mengerti itu) kepada ummat. Allah
berfirman:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasanumu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupanÉ" (An Nisa': 5)
4. Memerangi kemewahan dan para pelakunya
Satu lagi jenis berlebihan (israf) yang diharamkan oleh Islam dan akan
terus diperangi karena dia dianggap dapat merusak kehidupan individu dan
masyarakat. Itulah yang dinamakan "At-Taraf" (kemewahan), yaitu
terlampau berlebihan dalam berbagai bentuk kenikmatan dan berbagai sarana
hiburan, serta segala sesuatu yang dapat memenuhi perut dari berbagai jenis
makanan dan minuman serta apa saja yang bisa menghiasi tubuh dari perhiasan dan
kosmetik, atau apa saja yang memadati rumah dari perabot dan hiasan, seni dan
patung serta berbagai peralatan dari emas dan perak dan sebagainya.
Sesungguhnya Al Qur'an menganggap kemewahan sebagai penghambat pertama yang
akan menghalang-halangi manusia untuk mengikuti yang kebenaran (Al haq). Karena
sesungguhnya kemewahan itu tidak akan membiarkan para pelakunya leluasa tanpa
belenggu syahwat mereka. Maka barangsiapa yang mengajak mereka ke arah selain
itu, niscaya mereka akan memusuhi dan memeranginya. Allah berfirman,
"Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi
peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata,
"Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu di utus untuk
menyampaikannya." (Saba': 34)
Kemewahan itu memiliki beberapa akibat yang tidak bisa atau sulit dihindari
oleh pelakunya seperti bermain-main, iseng dan pornografi. Kemudian menyebarluaskan
degradasi moral yang itu bisa berakibat kepada pudarnya ikatan akhlaq serta
meluasnya pengaruh hawa nafsu di kalangan ummat. Akibat lain adalah timbulnya
kesenjangan, karena banyak orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan primer
mereka, sementara sekelompok kecil dari kalangan tertentu menikmati sesuatu
yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah didengar oleh telinga, di
antara kebutuhan sekunder, bahkan lebih dari itu. Dari sinilah maka seluruh
masyarakat terancam oleh kehancuran dan siksa, akibat orang-orang yang berbuat
kemewahan karena kemewahannya. Dan yang lain di luar mereka mendapat hal yang
sama karena diam atau loyalitasnya terhadap mereka. Allah SWT berfirman:
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah)
tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya
berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri
itu sehancur-hancurnya." (Al lsra': 16)
Sesungguhnya Al Qur'an telah menceritakan kepada kita bahwa hamba kemewahan
merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab atas musibah yang menimpa
kebanyakan ummat sebagai peringatan dari Allah. Sehingga mereka tidak memperoleh kemenangan, bahkan
benar-benar mendapat adzab. Allah SWT berfirman,
"Hingga apabila
Kami timpakan adzab kepada orang-orang yang hidup mewah di antara mereka,
dengan serta merta mereka memekik minta tolong. Janganlah kamu
memekik minta tolong pada hari ini. Sesungguhnya kamu tiada akan mendapat
pertolongan dari Kami." (Al Mu'minun: 64-65)
"Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zhalim yang telah Kami
binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai
penggantinya). Maka tatkala mereka merasakan adzab Kami, tiba-tiba mereka
melarikan diri dari negerinya. Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah
kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu
(yang baik) supaya kamu ditanya." (Al
Anbiya': 11-13)
KESEDERHANAAN DALAM ANGGARAN BELANJA NEGARA
<<
Kembali ke Daftar Isi >>
Apabila kesederhanaan itu dituntut dalam pengeluaran seseorang terhadap
dirinya, maka ia juga dituntut dalam anggaran belanja negara, mulai dari kepala
negara kemudian orang di bawahnya. Bahkan sepatutnya bagi imam kaum Muslimin,
baik Amir atau Rais mereka hendaknya menjadi uswah (teladan) bagi ummat dalam
hal kehati-hatian penggunaan uang negara dan memperkecil fenomena kemewahan dan
foya-foya.
Rasulullah SAW sebagai imam kaum muslimin adalah orang yang pertama kali
merasakan lapar di saat ummat menderita kelaparan dan yang terakhir kali
merasakan kenyang di saat mereka dalam kemakmuran. Aisyiah RA berkata,
"Rasulullah SAW tidak pernah kenyang sepanjang tiga hari berturut-turut. Kalau
seandainya kami mau pasti kami kenyang, akan tetapi beliau selalu mengutamakan
orang lain daripada dirinya (sendiri)" (HR. Baihaqi)
Abu Hurairah RA berkata, "Rasulullah SAW keluar dari dunia (wafat) dan
beliau belum pernah kenyang dari roti gandum" (HR. Bukhari dan Tirmidzi)
Rasulullah menolak untuk mengambil alas tidur yang enak (empuk), dan bantal
beliau terbuat dari kulit pohon. Beliau juga tidur di atas tikar sampai
membekas di lambungnya, beliau wafat dengan mengenakan pakaian yang sudah lusuh
dan sarung yang kasar. Demikian juga Abu Bakar, Umar dan Ali RA, hingga Umar
pernah berkata, "Saya dengan harta ini tidak lain kecuali seperti wali
anak yatim, jika saya sudah cukup, maka saya berhati-hati, tetapi jika saya
memerlukannya maka saya memakannya dengan ma'ruf (baik)."
Kita tidak menginginkan bahwa pemimpin dan amir kita harus persis seperti
mereka, tetapi kita ingin dari para pemimpin itu hendaknya bertaqwa kepada
Allah dalam menggunakan harta milik umum. Tidak memihak dengan harta itu kepada
istri dan sanak kerabat serta orang-orang yang loyal kepadanya dari para
penjilat.
Sesungguhnya kebanyakan dari raja-raja (para pemimpin) dan amir di
negeri-negeri Islam mengira bahwa harta negara itu adalah milik mereka,
sehingga mereka pergunakan semaunya. Sedikit sekali dari kalangan mereka orang
yang mau menghisab (menghitung) amal perbuatannya.
Sampai negara-negara yang di dalamnya terdapat lembaga-lembaga Parlemen dan
lembaga pengawas pun tidak mampu untuk menyentuh (mengkritik) apa-apa yang
berkaitan dengan kepala negara dan perangkat kekuasaannya.
Di sana ada lembaga-lembaga tertentu yang mempergunakan uang negara tanpa
perhitungan dan tanpa persyaratan sehingga sepanjang waktu terus-menerus
dipertanyakan oleh masyarakat seperti dinas penerangan, olahraga,
lembaga-lembaga kemiliteran dan keamanan negara, serta lembaga-lembaga lain
yang terkait erat dengan pelanggengan status quo penguasa.
Di saat yang sama terjadi pengiritan dan perampingan biaya yang berlebihan
di dinas-dinas yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan
pelayanan-pelayanan sosial masyarakat.
Sesungguhnya hukum mengharuskan adanya keseimbangan dalam berbagai
kepentingan. Mendahulukan yang primer dari kepentingan sekunder, dan
mendahulukan kepentingan umum yang lebih besar daripada kepentingan pribadi,
kelompok serta kepentingan fakir miskin dan orang-orang lemah atas kepentingan
orang-orang besar yang kaya.
Post a Comment