4.4 HUBUNGAN MASYARAKAT

4.4  HUBUNGAN MASYARAKAT

ISLAM dalam menegakkan hubungan antara anggota masyarakat mempunyai dua landasan yang prinsipal, iaitu:

    1. Demi melindungi persaudaraan, sebagai suatu ikatan yang kuat antara satu dengan lainnya,
    2. Demi menjaga hak dan kehormatan yang selalu dilindungi oleh Islam terhadap setiap anggota masyarakat, baik darah, harga diri mahupun hartanya.


    Oleh kerana itu setiap perkataan, perbuatan atau tindakan yang pertentangan dengan dua prinsip di atas, adalah diharamkan oleh Islam menurut tingkatan bahaya yang tampak, dilihat dari segi moral mahupun material.

    Dalam beberapa ayat berikut ini, ada beberapa larangan yang sangat membahayakan jalinan ukhuwah dan kehormatan manusia. Firman Allah:

    “Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara, oleh kerana itu adakanlah perdamaian di antara saudara-saudaramu, dan takutlah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman! Jangan ada satupun kaum merendahkan kaum lain, sebab barangkali mereka (yang direndahkan) itu justru lebih baik dari mereka (yang merendahkan); dan janganlah ada perempuan merendahkan perempuan lainnya, sebab barangkali mereka (yang direndahkan) itu lebih baik dari mereka (yang merendahkan); dan jangan kamu mencela diri-diri kamu; dan jangan kamu memberi gelar dengan gelar-gelar (yang tidak baik) --misalnya fasik-- sebab seburuk-buruk nama ialah fasik sesudah dia itu beriman, dan barangsiapa tidak bertubat, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak sangka, kerana sesungguhnya sebahagian sangkaan itu berdosa; dan jangan kamu mengintai (menyelidiki cacat orang lain); dan jangan sebahagian kamu mengumpat sebahagiannya, apakah salah seorang di antara kamu suka makan daging bangkai saudaramu padahal kamu tidak menyukainya? Takutlah kepada Allah, kerana sesungguhnya Allah maha menerima taubat dan belas-kasih.” (al-Hujurat: 10-12)

    Allah Ta'ala telah menetapkan dalam permulaan ayat-ayat ini, bahawa orang mu'min pada hakikatnya adalah bersaudara yang meliputi saudara seagama dan saudara sesama manusia. Maka demi kelangsungan persaudaraan ini harus ada saling kenal-mengenal; dan jangan saling mengingkari, bahkan harus saling berhubungan dan jangan saling memutuskan, saling merapat dan jangan berjauhan, saling menyintai dan jangan saling membenci; dan harus bersatu, jangan berselisih.

    Dan dalam hadis Nabi s.a.w. dikatakan: "Jangan kamu saling hasut-menghasut, dan jangan saling bertolak belakang, dan jangan saling membenci. tetapi jadilah kamu hamba Allah bersaudara." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)



4.4.1  Tidak Halal Seorang Muslim Menjauhi Kawannya

Dan dari situlah, maka Islam mengharamkan seorang muslim berlaku kasar terhadap kawannya, memutuskan hubungan dan menjauhinya. Islam tidak memperkenankan seorang muslim menjauhi kawannya, kecuali dalam batas tiga hari, sehingga tenanglah kemarahan kedua belah pihak. Kemudian mereka berdua harus berusaha untuk memperbaiki, menjernihkan suasana dan mengatasi perasaan-perasaan congkak, benci dan permusuhan.  Sebab di antara sifat-sifat yang terpuji dalam al-Quran ialah:

    “Merendah diri terhadap orang-orang mu'min.” (al-Maidah: 54)

    Sabda Rasulullah s.a.w.: "Tidak halal seorang muslim menjauhi kawannya lebih dari tiga hari. Jika telah lewat waktu tiga hari itu, maka berbicaralah dengan dia dan berilah salam, jika dia telah menjawab salam, maka keduanya bersama-sama mendapat pahala, dan jika dia tidak membalasnya, maka sungguh dia kembali dengan membawa dosa, sedang orang yang memberi salam telah keluar dari dosa kerana menjauhi itu." (Riwayat Abu Daud)

    Lebih hebat lagi haramnya memutuskan silaturrahmi ini apabila terhadap keluarga yang oleh Islam diwajibkan untuk menyambungnya dan melindungi kehormatannya. Firman Allah:

    “Dan takutlah kamu kepada Allah yang padaNya Kamu meminta dan jagalah keluarga kerana sesungguhnya Allah maha mengawasi atas kamu.” (an-Nisa': 1)

    Rasulullah s.a.w. menggambarkan silaturrahmi ini dan nilainya, dalam salah satu sabdanya sebagai berikut: "Kekeluargaan bergantung di Arsy, ia akan berkata: barangsiapa menghubungi aku, maka Allah pun akan menghubunginya; dan barangsiapa memutus aku, maka Allah pun akan memutusnya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Dan sabdanya pula: "Tidak masuk syorga orang yang memutus." (Riwayat Bukhari)

    Sebahagian ulama ada yang menafsirkan kata-kata memutus itu yakni: memutuskan silaturrahmi. Dan lainnya menafsirkan dengan: memotong jalan (penyamun). Jadi seolah-olah kedua-duanya berada dalam satu kedudukan.

    Bukanlah yang dimaksud silaturrahmi yang wajib itu sekadar seorang kerabat menghubungi dan berbuat baik kepada yang lain, sebab ini adalah satu hal yang biasa dan yang mesti demikian. Tetapi apa yang dimaksud silaturrahmi yang wajib ialah tetap menghubungi keluarga-keluarganya sekalipun mereka itu menjauhinya. Seperti sabda Nabi:

    "Bukanlah orang yang menghubungi keluarga itu ialah orang yang menjamin, tetapi yang dinamakan orang yang menyambung kekeluargaan ialah apabila keluarganya itu memutuskan dia, maka dia tetap menghubunginya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Ini semua tidak berlaku terhadap hal yang dibenarkan Allah dan dalam masalah yang hak. Sebab teguhnya ikatan iman ialah: Cinta kerana Allah, dan benci pun kerana Allah.

    Rasulullah s.a.w. pernah menjauhi ketiga orang sahabatnya yang tidak mahu turut dalam peperangan Tabuk selama 50 hari, sehingga bumi ini layaknya sempit dan hatinya merasa kebingungan, dan tidak ada seorang pun yang mahu bergaul dengan mereka, atau bercakap dan memberi salam. Begitulah sehingga Allah menurunkan ayat tentang diterimanya taubat mereka itu [28].

    Dan pernah juga Rasulullah s.a.w. menjauhi sebahagian isterinya selama 40 hari [28].

    Ibnu Umar pernah menjauhi anaknya sampai ia meninggal dunia, kerana anaknya tidak mahu mengoreksi hadis yang diterimanya dari ayahnya dari Rasulullah s.a.w. tentang dilarangnya laki-laki menghalang-halangi isterinya pergi ke masjid [29].

    Adapun menjauhi kawan lantaran kepentingan duniawi, maka sesungguhnya duniawi harus lebih dikesampingkan dalam hubungannya dengan Allah dan seorang muslim, daripada membawa kepada sikap berjauhan dan memutuskan tali persahabatan antara seorang muslim dengan saudaranya. Sebab memutuskan hubungan itu akan dapat menghalangi pengampunan dosa dan rahmat Allah. Seperti diterangkan oleh hadis Rasulullah s.a.w.:

    "Pintu-pintu sorga akan dibuka pada hari Isnin dan Khamis, kemudian Allah akan memberi ampunan kepada setiap orang yang tidak menyekutukan Allah sedikitpun; kecuali seorang laki-laki yang ada perpisahan antara dia dengan saudaranya. Maka berkatalah Allah: tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai." (Riwayat Muslim)

    Kalau dia yang berada di pihak yang benar, maka cukup kiranya pihak yang bersalah datang dan minta maaf, dan dia pun harus memberi maaf. Dengan demikian maka selesailah persengketaan, dan haram hukumnya dia menolak permintaan maaf saudaranya itu.

    Terhadap orang yang berbuat demikian, Rasulullah s.a.w. mernberikan ancaman, bahawa kelak di hari kiamat tidak akan masuk sorga [30].



4.4.2  Mendamaikan Persengketaan

Kalau cuaca pertengkaran itu telah cerah kembali sesuai dengan keharusan bersaudara, maka bagi masyarakat Islam mempunyai kewajiban lain. Sebab sepanjang pengertian masyarakat Islam iaitu suatu masyarakat yang saling saling membantu dan saling menolong. Oleh kerana itu tidak boleh sementara orang melihat saudaranya bertengkar dan saling membunuh, kemudian dia berdiri sebagai penonton, dan membiarkan api bertambah menyala dan kebakaran makin meluas. Bahkan setiap orang yang arif dan bijaksana serta ada kemampuan, harus terjun ke gelanggang guna mendamaikan persengketaan itu dengan niat semata-mata mencari kebenaran dan jauh dari pengaruh hawa nafsu. Seperti apa yang difirmankan Allah:

    “... maka adakanlah perdamaian di antara saudara-saudaramu, dan takutlah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)

    Dalam salah satu hadisnya Rasulullah s.a.w. pernah menjelaskan tentang keutamaan mendamaikan ini, serta bahayanya pertentangan dan perpisahan. Sabda Rasulullah s.a.w.:

    "Mahukah kamu saya tunjukkan suatu perbuatan yang lebih utama daripada tingkatan keutamaan sembahyang, puasa dan sedekah? Mereka menjawab: Baiklah ya Rasulullah! Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w.: iaitu mendamaikan persengketaan yang sedang terjadi; sebab kerusakan kerana persengketaan berarti menggundul, saya tidak mengatakan menggundul rambut, tetapi menggundul agama." (Riwayat Tarmizi dan lain-lain)


  Jangan Suatu Kaum Menghina Kaum Lain

    Dalam ayat-ayat yang telah kami sebutkan terdahulu terdapat sejumlah hal yang dilarang oleh Allah, demi melindungi persaudaraan dan kehormatan manusia.

    Larangan pertama: Tentang memperolokkan orang lain. Oleh kerana itu tidak halal seorang muslim yang mengenal Allah dan mengharapkan hidup bahagia di akhirat kelak, memperolokkan orang lain, atau menjadikan sementara orang sebagai objek permainan dan perolokannya. Sebab dalam hal ini ada unsur kesombongan yang tersembunyi dan penghinaan kepada orang lain, serta menunjukkan suatu kebodohannya tentang neraca kebajikan di sisi Allah. Justru itu Allah mengatakan: "Jangan ada suatu kaum memperolokkan kaum lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan; dan jangan pula perempuan memperolokkan perempuan lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan."

    Yang dinamakan baik dalam pandangan Allah, iaitu: iman, ikhlas dan mengadakan kontak yang baik dengan Allah. Bukan dinilai dari rupa, badan, pangkat dan kekayaan.

    Dalam hadisnya Rasulullah s.a.w. mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu dan kekayaan kamu, tetapi Allah melihat hati kamu dan amal kamu." (Riwayat Muslim)

    Bolehkah seorang laki-laki atau perempuan diperolokkan kerana suatu cacat di badannya, perangainya atau kerana kemiskinannya?

    Dalam sebuah riwayat diceriterakan, bahawa Ibnu Mas'ud pernah membuka betisnya dan nampak kecil sekali. Maka tertawalah sebahagian orang. Lantas Rasulullah s.a.w. bersabda: "Apakah kamu mentertawakan kecilnya betis Ibnu Mas'ud, demi Allah yang diriku dalam kekuasaanNya: bahawa kedua betisnya itu timbangannya lebih berat daripada gunung Uhud." (Riwayat Thayalisi dan Ahmad)

    Al-Quran juga menghikayatkan tentang orang-orang musyrik yang memperolok orang-orang mu'min, lebih-lebih mereka yang lemah --seperti Bilal dan 'Amman-- kelak di hari kiamat, neraca menjadi terbalik, yang mengolok-olok menjadi yang diolok-olok dan ditertawakan, Firman Allah:

    “Sesungguhnya orang-orang yang durhaka itu mentertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka melalui mereka, mereka berlirik-lirikan. Dan apabila mereka kembali kepada keluarganya, mereka kembali dengan suka cita. Dan apabila mereka melihat mereka itu, mereka berkata: 'Sungguh mereka itu orang-orang yang sesat.' Padahal mereka itu tidak diutus untuk menjadi pengawal atas mereka. Oleh kerana itu pada hari ini orang-orang mu'min akan mentertawakan orang-orang kafir itu.” (al-Muthaffifin 29-34)

    Ayat ini [31] dengan tegas dan jelas menyebutkan dilarangnya perempuan mengolok-olok orang lain, padahal perempuan sudah tercakup dalam kandungan kata kaum. Ini menunjukkan, bahawa pengolok-olokan sementara perempuan terhadap yang lain, termasuk hal yang biasa terjadi di kalangan mereka.


  Jangan Mencela Diri-Diri Kamu

    Larangan kedua: Tentang lumzun, yang menurut arti lughawi berarti: al-wakhzu (tusukan) dan ath-tha'nu (tikaman). Sedang lumzun yang dimaksud di sini ialah: 'aib (cacat). Jadi seolah-olah orang yang mencela orang lain, berarti menusuk orang tersebut dengan ketajaman pedangnya, atau menikam dengan hujung tombaknya.

    Penafsiran ini tepat sekali. Bahkan kadang-kadang tikaman lidah justru lebih hebat. Seperti kata seorang penyair:

        Luka kerana tombak masih dapat diubati
        Tetapi luka kerana lidah berat untuk diperbaiki.
        Bentuk larangan dalam ayat ini mempunyai suatu isyarat yang indah sekali.


    Ayat tersebut mengatakan: laa talmizu anfusakum (jangan kamu mencela diri-diri kamu). Ini tidak berarti satu sama lain saling cela-mencela. Tetapi al-Quran menuturkan dengan jama'atul mu'minin, yang seolah-olah mereka itu satu tubuh. Sebab mereka itu secara keseluruhannya saling membantu dan menolong. Jadi barangsiapa mencela saudaranya, berarti sama dengan mencela dirinya sendiri. kerana dia itu dari dan untuk saudaranya.


  Jangan Menggelar dengan Gelaran yang Buruk

    Ketiga: Termasuk mencela yang diharamkan, ialah: memberi gelar dengan beberapa gelar yang tidak baik, iaitu suatu panggilan yang tidak layak dan tidak menyenangkan yang membawa kepada suatu bentuk penghinaan dan celaan.

    Tidak layak seorang manusia berbuat jahat kepada kawannya. Dipanggilnya kawannya itu dengan gelar yang tidak menyenangkan bahkan menjengkelkan. Ini boleh menyebabkan berubahnya hati dan permusuhan sesama kawan serta menghilangkan jiwa kesopanan dan perasaan yang tinggi.


  Su'uzh-Zhan (Sangka Buruk)

    Keempat: Islam menghendaki untuk menegakkan masyarakatnya dengan penuh kejernihan hati dan rasa percaya yang timbal balik; bukan penuh ragu dan bimbang, menuduh dan bersangka-sangka,

    Untuk itu, maka datanglah ayat al-Quran membawakan keempat sikap yang diharamkan ini, demi melindungi kehormatan orang lain. Maka berfirmanlah Allah:

    “Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak menyangka, kerana sesungguhnya sebahagian sangkaan itu berdosa.” (al-Hujurat: 12)

    Sangkaan yang berdosa, iaitu sangkaan yang buruk. Oleh kerana itu tidak halal seorang muslim berburuk sangka terhadap saudaranya, tanpa suatu alasan dan bukti yang jelas. Sebab manusia secara umum pada asalnya bersih. Oleh kerana itu prasangka-prasangka tidak layak diketengahkan dalam arena kebersihan ini justru untuk menuduh.

    Sabda Nabi: "Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, kerana sesungguhnya prasangka itu sedusta-dusta omongan." (Riwayat Bukhari)

    Manusia kerana kelemahan sifat kemanusiaannya, tidak dapat menerima prasangka dan tuduhan oleh sebahagian manusia, lebih-lebih terhadap orang-orang yang tidak ada hubungan baik.

    Oleh kerana itu sikap yang harus ditempuh, dia harus tidak menerima tuduhan itu dan berjalan mengikuti suara nafsu tersebut.

    Inilah makna hadis Nabi yang mengatakan: "Kalau kamu akan menyangka, maka jangan kamu nyatakan." (Riwayat Thabarani)


  Tajassus (Mengintip)

    Kelima: Tidak adanya kepercayaan terhadap orang lain, menyebabkan seseorang untuk melakukan perbuatan batin yang disebut su'uzh-zhan dan melakukan perbuatan badan yang berbentuk tajassus. Sedang Islam bertujuan menegakkan masyarakatnya dalam situasi bersih lahir dan batin. Oleh kerana itu larangan bertajassus ini dibarengi dengan larangan su'uzh-zhan (berburuk sangka). Dan banyak sekali su'uzh-zhan ini terjadi kerana adanya tajassus.

    Setiap manusia mempunyai kehormatan diri yang tidak boleh dinodai dengan tajassus dan diselidiki cacat-cacatnya, sekalipun dia berbuat dosa, selama dilakukan dengan bersembunyi.

    Abul Haitsam sekretaris Uqbah bin 'Amir --salah seorang sahabat Nabi-- berkata: saya pernah berkata kepada Uqbah: saya mempunyai tetangga yang suka minum arak dan akan saya panggilkan polisi untuk menangkapnya. Maka kata Uqbah: Jangan! Tetapi nasihatilah mereka itu dan peringatkanlah. Abul Haitsam menjawab: Sudah saya larang tetapi mereka tidak mahu berhenti, dan tetap akan saya panggilkan polisi untuk menangkapnya. Uqbah berkata: Celaka kamu! Jangan! Sebab saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. berkata:

    "Barangsiapa menutupi suatu cacat, maka seolah-olah ia telah menghidupkan anak yang ditanam hidup-hidup dalam kuburnya." (Riwayat Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Hibban)

    Rasulullah s.a.w. menilai, bahawa menyelidiki cacat orang lain itu termasuk perbuatan orang munafik yang mengatakan beriman dengan lidahnya tetapi hatinya membenci. Kelak mereka akan dibebani dosa yang berat di hadapan Allah.

    Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah s.a.w, pernah naik mimbar kemudian menyeru dengan suara yang keras: "Hai semua orang yang telah menyatakan beriman dengan lidahnya tetapi iman itu belum sampai ke dalam hatinya! Janganlah kamu menyakiti orang-orang Islam dan jangan kamu menyelidiki cacat-cacat mereka. Sebab barangsiapa menyelidiki cacat saudara muslim, maka Allah pun akan menyelidiki cacatnya sendiri; dan barangsiapa yang oleh Allah diselidiki cacatnya, maka Ia akan nampakkan kendatipun dalam perjalanan yang jauh." (Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)

    Maka demi melindungi kehormatan orang lain, Rasulullah s.a.w. mengharamkan dengan keras seseorang mengintip rumah orang lain tanpa izin; dan ia membenarkan pemilik rumah untuk melukainya. Seperti sabda Nabi: "Barangsiapa mengintip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka halal buat mereka untuk menusuk matanya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Diharamkan juga mendengar-dengarkan omongan mereka tanpa sepengetahuan dan perkenannya. Sabda Nabi: "Barangsiapa mendengar-dengarkan omongan suatu kaum; sedang mereka itu tidak suka, maka kelak di hari kiamat kedua telinganya akan dituangi cairan timah." (Riwayat Bukhari)

    Al-Quran mewajibkan kepada setiap muslim yang berkunjung ke rumah kawan, supaya jangan masuk lebih dahulu, sehingga ia minta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Firman Allah:

    “Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu masuk rumah selain rumah-rumah kamu sendiri, sehingga kamu minta izin lebih dahulu dan memberi salam kepada pemiliknya. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu, supaya kamu ingat. Maka jika kamu tidak menjumpai seorang pun dalam rumah itu, maka jangan kamu masuk, sehingga kamu diberi izin. Dan jika dikatakan kepadamu: kembalilah! Maka kembalilah kamu. Yang demikian itu lebih bersih buat kamu, dan Allah Maha Menge tahui apa saja yang kamu kerjakan.” (an-Nur: 27-28)

    Di dalam hadis Nabi, juga dikatakan: "Barangsiapa membuka tabir kemudian dia masukkan pandangannya sebelum diizinkan, maka sungguh dia telah melanggar suatu hukum yang tidak halal baginya untuk dikerjakan." (Riwayat Ahmad dan Tarmizi)

    Nas-nas larangan tentang tajassus dan menyelidiki cacat orang lain ini meliputi hakim dan yang terhukum, seperti yang diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah dari Rasulullah s.a.w. ia bersabda: "Sesungguhnya kamu jika menyelidiki carat orang lain, berarti kamu telah merusak mereka atau setidak-tidaknya hampir- merusak mereka itu." (Riwayat Abu Daud dan ibnu Hibban)

    Abu Umamah meriwayatkan dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda: "Sesungguhnya seorang kepala apabila mencari keraguraguan terhadap orang lain, maka ia telah merusak mereka." (Riwayat Abu Daud)


  Ghibah (Mengumpat)

    Keenam: Kita dilarang ghibah (mengumpat). Seperti firman Allah:

    “Dan jangan sebahagian kamu mengumpat sebahagiannya.” (al-Hujurat: 12)

    Rasulullah s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian ayat tersebut kepada sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan cara tanya-jawab, sebagaimana tersebut di bawah ini:

    "Bertanyalah Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut ghibah itu? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab Nabi, iaitu: Kamu membincangkan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak menyukainya. Kemudian Nabi ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat apa yang saya katakan tadi? Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat apa yang kamu bincangkan itu, maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak seperti apa yang kamu bincangkan itu, maka berarti kamu telah menuduh dia." (Riwayat Muslim, Abu Daud, Tarmizi dan Nasa'i)

    Manusia tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya dan ciri-cirinya itu dibincangkan. Seperti tersebut dalam hadis berikut ini: "Dari Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya engkau cukup (puas) dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek, maka jawab Nabi: Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata engkau campur dengan air laut niscaya akan bercampur." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi)

    Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya.

    Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca.

    Oleh kerana itu tidak menghairankan, apabila al-Quran melukiskannya dalam bentuk tersendiri yang cukup dapat menggetarkan hati dan menumbuhkan perasaan. Firman Allah:

    “Dan jangan sebahagian kamu mengumpat sebahagiannya; apakah salah seorang di antara kamu suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak menyukainya?!” (al-Hujurat: 12)

    Setiap manusia pasti tidak suka makan daging manusia. Maka bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan bagaimana lagi kalau daging itu telah menjadi bangkai? Nabi memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran dan mendasar di dalam hati setiap ada kesempatan untuk itu.

    Ibnu Mas'ud pernah berkata: "Kami pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain mengumpatnya sesudah dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini: Berselilitlah kamu! Orang tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan daging ? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu." (Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari)

    Dan diriwayatkan pule oleh Jabir, ia berkata: "Kami pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin berbau busuk. Lalu bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah angin (bau) nya orang-orang yang mengumpat arang-orang mu'min." (Riwayat Ahmad dan rawi-rawinya kepercayaan)


  Batas Perkenaan Ghibah

    Seluruh nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi manusia dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal yang oleh ulama-ulama Islam dikecualikan, tidak termasuk ghibah yang diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat.

    Diantara yang dikecualikan, iaitu seorang yang dianiaya melaporkan halnya orang yang menganiaya, kemudian dia menyebutkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam hal ini Islam memberikan rukhshah untuk mengadukannya. Firman Allah:

    “Allah tidak suka kepada perkataan jelek yang diperdengarkan, kecuali (dari) orang yang teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (an-Nisa': 148)

    Kadang-kadang ada seseorang bertanya tentang pribadi orang lain kerana ada maksud mengadakan hubungan dagang, atau akan mengawinkan anak gadisnya atau untuk menyerahkan suatu urusan yang sangat penting kepadanya.

    Di sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan untuk mengikhlaskan diri kepada agama, dan kewajiban melindungi kehormatan orang yang tidak di hadapannya. Akan tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci. Untuk itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada kewajiban kedua.

    Dalam sebuah kisah dituturkan, bahawa Fatimah binti Qais pernah menyampaikan kepada Nabi tentang maksud dua orang yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi kepadanya: "Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak mempunyai wang, dan Nabi menerangkan tentang yang kedua, bahawa dia itu tidak mahu meletakkan tongkatnya dari pundaknya, yakni: dia sering memukul perempuan."

    Dan termasuk yang dikecualikan juga iaitu: kerana bertanya, minta tolong untuk mengubah suatu kemungkaran terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar atau sifat yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama tersebut. Misalnya: A'raj (pincang), A'masy (rabun) dan anak si Anu.

    Termasuk yang dikecualikan juga, iaitu menerangkan cacatnya saksi dan rawi-rawi hadis [32].

    Definisi umum tentang bentuk-bentuk pengecualian ini ada dua:

        1. kerana ada suatu kepentingan.
        2. kerana suatu niat.


  Kerana Suatu Kepentingan

    Jadi kalau tidak ada kepentingan yang mengharuskan membincangkan seorang yang tidak hadir dengan sesuatu yang tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki daerah larangan ini. Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan sindiran, maka tidak boleh berterang-terangan atau menyampaikan secara terbuka. Dalam hal ini tidak boleh memakai takhshish (pengecualian) tersebut.

    Misalnya seorang yang sedang minta pendapat apabila memungkinkan untuk mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begini," maka dia tidak boleh mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang si Anu bin si Anu."

    Semua ini dengan syarat tidak akan membincangkan sesuatu di luar apa yang ada. Kalau tidak, berarti suatu dosa dan haram.


  Kerana Suatu Niat

    Adanya suatu niat di balik ini semua, merupakan suatu pemisahan. Sebab pribadi manusia itu sendiri yang lebih mengetahui dorongan hatinya daripada orang lain. Maka niatlah yang dapat membezakan antara perbuatan zalim dan mengubati, antara minta pendapat dengan menyiar-nyiarkan, antara ghibah dengan mengoreksi dan antara nasihat dengan memasyhurkan. Sedang seorang mu'min, seperti dikatakan oleh suatu pendapat, adalah yang lebih berhak untuk melindungi dirinya daripada raja yang kejam dan kawan yang bakhil.

    Hukum Islam menetapkan, bahawa seorang pendengar adalah rekan pengumpat. Oleh kerana itu dia harus menolong saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban menjauhkannya. Seperti yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.: "Barangsiapa menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya, maka adalah suatu kepastian dari Allah, bahawa Allah akan membebaskan dia dari Neraka." (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan)

    "Barangsiapa menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri saudaranya, maka Allah akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak di hari kiamat." (Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan)

    Barangsiapa tidak mempunyai keinginan ini dan tidak mampu menghalang-halangi mulut-mulut yang suka menyerang kehormatan saudaranya itu, maka kewajiban yang paling minim, iaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut dan membelokkan kaum tersebut, sehingga mereka masuk ke dalam perbincangan lain. Kalau tidak, maka yang tepat dia dapat dikategorikan dengan firman Allah:

    “Sesungguhnya kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka” (an-Nisa': 140)

  Mengadu Domba

    Ketujuh: Kalau ghibah dalam Islam disebut sebagai suatu dosa, maka ada suatu perbuatan yang lebih berat lagi, iaitu mengadu domba (namimah). iaitu memindahkan omongan seseorang kepada orang yang diperkatakan itu dengan suatu tujuan untuk menimbulkan permusuhan antara sesama manusia, mengotori kejernihan pergaulan dan atau menambah keruhnya pergaulan.

    Al-Quran menurunkan ayat yang mencela perbuatan hina ini sejak permulaan perioda Makkah. Firman Allah:

    “Dan jangan kamu tunduk kepada orang yang suka sumpah yang hina, yang suka mencela orang, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba.” (al-Qalam: 10-11)

    Dan sabda Rasulullah s.a.w.: "Tidak masuk sorga orang-orang yang suka mengadu domba." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Qattat, kadang-kadang disebut juga nammam, iaitu seorang berkumpul bersama orang ramai yang sedang membincangkan suatu perbincangan, kemudian dia menghasut mereka.

    Dan qattat itu sendiri, iaitu seseorang yang memperdengarkan sesuatu kepada orang ramai padahal mereka tidak mengetahuinya, kemudian dia menghasut mereka itu.

    Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: "Sejelek-jelek hamba Allah iaitu orang-orang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba, yang memecah-belah antara kekasih, yang suka mencari-cari cacat orang-orang yang baik." (Riwayat Ahmad)

    Islam, dalam rangka memadamkan pertengkaran dan mendamaikan pertentangan, membolehkan kepada juru pendamai itu untuk merahasiakan omongan tidak baik yang dia ketahui dari omongan seseorang tentang diri orang lain. Dan boleh juga dia menambah omongan baik yang tidak didengarnya. Seperti yang dikatakan Nabi dalam hadisnya: "Tidak termasuk dusta orang yang mendamaikan antara dua orang, kemudian dia berkata baik atau menambah suatu omongan baik."

    Islam sangat membenci orang-orang yang suka mendengarkan omongan jelek, kemudian cepat-cepat memindahkan omongan itu dengan menambah-nambah untuk memperdaya atau kerana senang adanya kehancuran dan kerusakan.

    Manusia semacam ini tidak mahu membatasi diri sampai kepada apa yang didengar itu saja, sebab keinginan untuk menghancurkan itulah yang mendorongnya menambah omongan yang mereka dengar. Dan jika mereka tidak mendengar, mereka berdusta.

    Kata seorang penyair:

        Kalau mereka mendengar kebaikan, disembunyikan
        Dan kalau mendengarkan kejelekan, disiarkan
        tetapi jika tidak mendengar apa-apa, ia berdusta.
   

    Ada seorang laki-laki masuk ke tempat Umar bin Abdul Aziz, kemudian membincangkan tentang hal seseorang yang tidak disukainya. Maka berkatalah Umar kepada si laki-laki tersebut; kalau boleh kami akan menyelidiki permasalahanmu itu. Tetapi jika kamu berdusta, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat ini:

    “Jika datang kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka selidikilah.” (al-Hujurat: 6)

    Dan jika kamu benar, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat: “Orang yang suka mencela, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba.” (al-Qalam: 11)

    Tetapi kalau kamu suka, saya akan memberi pengampunan. Maka jawab orang laki-laki tersebut: pengampunan saja ya amirul mu'minin, saya berjanji tidak akan mengulangi lagi.


  Kehormatan/Harga Diri

    Kelapan: Kita semua telah memaklumi, bagaimana Islam dengan melalui ajaran-ajarannya telah melindungi kehormatan dan harga diri manusia, bahkan sampai kepada bentuk mensucikannya.

    Pada satu hari Ibnu Mas'ud pernah melihat Ka'bah, kemudian dia mengatakan: "Betapa agungnya engkau dan betapa pula agungnya kehormatanmu. Tetapi orang mu'min lebih agung kehormatannya daripada engkau." (Riwayat Tarmizi)

    Dalam haji wada', Rasulullah s.a.w, pernah berkhutbah di hadapan khalayak kaum muslimin, di antara isi khutbahnya itu berbunyi sebagai berikut:

    "Sesungguhnya harta benda kamu, kehormatanmu, darah kamu haram atas kamu (dilindungi), sebagaimana haramnya harimu ini di bulanmu ini dan di negerimu ini." (Riwayat Tarmizi)

    Islam melindungi kehormatan pribadi dari suatu omongan yang tidak disukainya untuk disebut-sebut dalam ghibah, padahal omongan itu cukup benar. Maka bagaimana lagi kalau omongan itu justru dibuat-buat dan tidak berpangkal? Jelas merupakan dosa besar. Seperti dituturkan dalam hadis Nabi:

    "Barangsiapa mengatakan seseorang dengan sesuatu yang tidak ada padanya kerana hendak mencela dia, maka Allah akan tahan dia di neraka jahanam, sehingga dia datang untuk membebaskan apa yang dia omongkan itu." (Riwayat Thabarani)

    Aisyah juga pernah meriwayatkan: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah bertanya kepada para sahabatnya: Tahukah kamu riba apakah yang teramat berat di sisi Allah? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang maha tahu. Kemudian bersabdalah Rasulullah: Sesungguhnya riba yang teramat berat di sisi Allah, ialah: menghalalkan kehormatan pribadi seorang muslim."

    Kemudian Rasulullah s.a.w. membacakan ayat: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min laki-laki dan perempuan dengan sesuatu yang pada hakikatnya mereka tidak berbuat, maka sungguh mereka telah memikul dusta dan dosa yang terang-terangan.” (al-Ahzab: 58) [33]

    Bentuk penodaan kehormatan yang paling berat ialah menuduh orang-orang mu'min perempuan yang terpelihara, melakukan suatu kemesuman. kerana tuduhan tersebut akan membawa bahaya yang besar kalau mereka mendengarnya dan didengar pula oleh keluarga-keluarganya, serta akan berbahaya untuk masa depan mereka. Lebih-lebih kalau hal itu didengar oleh orang-orang yang suka menyebar luaskan kejahatan di tengah-tengah masyarakat Islam.

    Justru itu Rasulullah menganggapnya sebagai salah satu daripada dosa-dosa besar yang akan meruntuhkan. Dan al-Quran pun mengancamnya dengan hukuman yang amat berat. Firman Allah:

    “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang bersih jujur dan beriman, mereka itu dilaknat di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka siksaan yang besar, iaitu pada hari di mana lidah, tangan dan kaki mereka akan menyaksikan atas mereka tentang apa-apa yang pernah mereka lakukan. Pada hari itu Allah akan menyempurnakan balasan mereka dengan benar, dan mereka tahu sesungguhnya Allah, Dialah yang benar yang nyata.” (an-Nur: 23-25)

    Dan firmanNya pula: “Sesungguhnya orang-orang yang senang untuk tersiarnya kejelekan di kalangan orang-orang mu'min, kelak akan mendapat siksaan yang pedih di dunia dan akhirat, dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)


  Kehormatan Darah

    Kesembilan: Islam membersihkan kehidupan ummat manusia dan melindungi kehormatan setiap orang serta menetapkan, bahawa menodainya berarti suatu dosa besar di hadapan Allah, sesudah dosa kufur. Al-Quran mengatakan sebagai berikut:

    “Bahawasanya, barangsiapa membunuh suatu jiwa, padahal dia tidak membunuh jiwa atau tidak membuat kerusuhan di permukaan bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (al-Maidah: 32)

    Hal ini disebabkan jenis manusia itu seluruhnya pada dasarnya satu usrah (satu keluarga). Jadi kalau ada permusuhan oleh seseorang kepada orang lain, sama halnya dengan memusuhi jenis manusia itu sendiri.

    Lebih hebat lagi haramnya, apabila pihak yang terbunuh justru orang Islam. Firman Allah:

    “Barangsiapa membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya neraka jahanam dengan kekal abadi di dalamnya, dan Allah akan murka dan melaknatnya serta mempersiapkan untuknya siksaan yang besar.” (an-Nisa': 93)

    Dan Rasulullah s.a.w. juga bersabda: "Sungguh lenyapnya dunia akan lebih mudah bagi Allah ada (hilangnya dosa) seseorang yang membunuh orang Islam." (Riwayat Muslim, Nasa'i dan Tarmizi)

    Dan sabdanya juga: "Senantiasa seorang mu'min dalam kelapangan dari agamanya selama dia tidak mengenai darah haram." (Riwayat Bukhari)

    Dan ia bersabda pula: "Setiap dosa ada harapan Allah akan mengampuninya, kecuali seorang laki-laki yang mati dalam keadaan syirik atau seorang laki-laki membunuh seorang mu'min dengan sengaja." (Riwayat Abu Daud, Ibnu Hibban dan Hakim)

    Terhadap ayat dan hadis-hadis tersebut, Ibnu Abbas berpendapat, bahawa taubatnya seorang pembunuh tidak bakal diterima. Jadi seolah-olah dia berpendapat, bahawa di antara syarat taubat tidak akan diterima kecuali dengan mengembalikan hak-hak tersebut kepada keluarga terbunuh atau minta kerelaannya. Sekarang bagaimana mungkin dia dapat mengembalikan hak orang yang terbunuh itu kepadanya atau minta direlakannya?

    Yang lain berpendapat: bahawa taubat yang ikhlas itu dapat diterima dan menghapuskan syirik, apalagi dosa di bawah syirik? Firman Allah:

    “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali kerana hak dan tidak berzina. Barangsiapa berbuat demikian, maka dia akan menjumpai dosanya yang dilipat-gandakan baginya siksaan kelak di hari kiamat dan akan kekal dalam siksaan itu dengan keadaan hina, kecuali orang yang taubat dan beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan diganti oleh Allah kejelekan-kejelekannya dengan kebaikan-kebaikan, dan adalah Allah Maha Pengam pun lagi Maha Belas-kasih.” (al-Furqan: 68-70)


  Pembunuh dan yang Terbunuh, Kedua-duanya di Neraka

    Rasulullah s.a.w. menilai, bahawa membunuh seorang muslim sebagai satu bahagian daripada kufur dan salah satu perbuatan jahiliah yang suka melancarkan peperangan dan mengalirkan darah kendati hanya kerana seekor unta atau kuda. Maka kata Rasulullah s.a.w.:

    "Memaki seorang muslim adalah fasik, dan memeranginya adalah kufur." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Dan sabdanya pula: "Jangan kamu kembali kafir sesudah aku meninggal, iaitu sebahagian kamu memukul leher sebahagiannya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Dan pernah juga ia bersabda: "Apabila ada dua orang Islam, salah satunya membawa senjata untuk membunuh saudaranya, maka kedua-duanya berada di tepi jahanam; dan apabila salah satunya membunuh kawannya, maka kedua-duanya masuk jahanam. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: Ya Rasulullahl Ini yang membunuh memang mungkin, tetapi mengapa yang terbunuh sampai begitu? Jawab Nabi: kerana dia bermaksud akan membunuh saudaranya juga." (Riwayat Bukhari)

    Oleh kerana itulah Rasulullah s.a.w. melarang setiap perbuatan yang dapat membawa kepada pembunuhan atau peperangan, kendati hanya sekadar berisyarat dengan senjata. Seperti sabdanya:

    "Janganlah salah seorang di antara kamu berisyarat kepada saudaranya dengan pedang, sebab dia tidak tahu barangkali syaitan akan melepaskan dari tangannya, maka dia akan jatuh ke jurang neraka." (Riwayat Bukhari)

    Dan sabdanya pula: "Barangsiapa mengisyaratkan besi kepada kawannya, maka Malaikat akan melaknatnya sehingga ia berhenti, sekalipun dia itu saudara sekandung." (Riwayat Muslim)

    Bahkan ia bersabda: "Tidak halal seorang muslim menakut-nakuti orang lain." (Riwayat Abu Daud dan Thabarani dan rawi-rawinya kepercayaan)

    Dosa ini tidak terbatas kepada si pembunuhnya saja, bahkan semua orang yang terlibat dalam pembunuhan itu, baik dengan perkataan ataupun perbuatan akan mendapat murka dari Allah sebesar dosa keterlibatannya itu. Sampai pun orang yang menyaksikan pembunuhan itu akan mendapat bahagian dosa juga. Seperti disebutkan dalam hadis Nabi yang mengatakan:

    "Jangan sampai salah seorang dari antara kamu berdiri di suatu tempat yang dilakukan pembunuhan terhadap seseorang dengan penganiayaan. Sebab laknat akan turun kepada orang yang menyaksikan sedangkan dia tidak mahu membelanya." (Riwayat Thabarani dan Baihaqi dengan sanad hasan)


  Dilindunginya Darah Kafir 'Ahdi dan Dzimmi

    Nas-nas yang berkenaan dengan larangan membunuh dan peperangan ditujukan untuk ummat Islam, karana nas-nas itu datang sebagai suatu ketetapan dan bimbingan untuk kaum muslimin dalam masyarakat Islam.

    Tetapi ini tidak berarti, bahawa selain orang Islam darahnya halal. Sebab pada dasarnya jiwa manusia dilindungi Allah dan dijaganya dengan hukum kemanusiaannya itu sendiri, selama mereka itu bukan kafir harbi (kafir yang memerangi Islam), kerana kafir harbi darahnya halal.

    Adapun kafir 'ahdi atau kafir dzimmi (kafir yang berada di bawah naungan pemerintah Islam), darahnya tetap dilindungi, tidak seorang muslim pun diperkenankan memusuhinya.

    Untuk itu Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: "Barangsiapa membunuh seorang kafir ahdi, maka dia tidak akan mencium bau sorga, sedang bau sorga itu tercium sejauh perjalanan 40 tahun." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)

    Dan dalam satu riwavat dikatakan: "Barangsiapa membunuh seorang laki-laki dari ahli dzimmah, maka dia tidak akan mencium bau sorga." (Riwayat Nasa'i)


  Bilakah Kehormatan Darah Itu Gugur?

    Firman Allah: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan (dilindungi) Allah, kecuali dengan benar.” (al-An'am: 151)

    Apa yang dikatakan benar ini, adalah sebagai suatu hukuman terhadap tindakan kriminal, yang dilakukan kerana salah satu dari tiga sebab:

    1. kerana suatu pembunuhan secara zalim.

    Untuk orang ini harus dilakukan hukum qishash, iaitu satu jiwa dengan satu jiwa, tindak kejahatan dengan kejahatan. Tetapi yang memulai dinilai lebih kejam. Firman Allah:

    “Dan bagi kamu dalam hukum qishash itu ada suatu keselamatan nyawa.” (al-Baqarah: 179)

    2. Terang-terangan berbuat kemesuman (zina) yang diketahui oleh empat orang saksi dengan mata-kepala sendiri, sedang dia tahu cara-cara perkawinan halal.

    Termasuk juga, kerana dia mengaku di hadapan hakim sebanyak empat kali.

    3. Keluar dari Agama Islam dengan terang-terangan sebagai suatu sikap menantang jamaah Islam. Sedang Islam tidak memaksa seorang pun masuk Islam. Tetapi dia keluar dengan mempermainkan agama seperti perbuatan Yahudi, yang mengatakan:

    “Berimanlah kamu kepada kitab yang diturunkan kepada orang-orang mu'min di ujung siang, dan kufurlah kamu di akhirnya supaya mereka (orang-orang Islam) kembali.” (Ali-Imran: 72)

    Rasulullah menyimpulkan halalnya darah yang semula haram, dalam tiga hal ini, dengan sabdanya: "Tidak halal darah seseorang muslim kecuali sebab tiga hal: kerana membunuh jiwa, seorang janda/duda berzina dan orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan diri dari jamaah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Akan tetapi hak melaksanakan hukuman terhadap salah satu dari ketiga hal ini, semata-mata berada di tangan waliyul amri, bukan di tangan perorangan. Sehingga dengan demikian keamanan tidak terganggu, suasana krisis dapat dibendung dan tidak sampai setiap orang bartindak sebagai hakim sendiri. Kecuali tentang pembunuhan yang disengaja dan bersifat permusuhan yang mengharuskan dilakukannya hukum qishash, maka Islam memberi kesempatan kepada keluarga terbunuh untuk melakukan qishash itu di hadapan waliyul amri, sebagai ubat penenang hati dan guna meredakan setiap keinginan menuntut darah. Ini sesuai dengan firman Allah:

    “Barangsiapa dibunuh secara aniaya, maka kami berikan kepada keluarganya kekuasaan; tetapi janganlah melampaui batas dalam pembunuhan itu, sebab sesungguhnya dia diberi kemenangan.” (al-Isra': 33)


  Bunuh Diri

    Semua keterangan yang menerangkan tentang tindak kriminal pembunuhan itu, meliputi masalah bunuh diri. Jadi barangsiapa bunuh diri dengan cara apapun, berarti dia telah melakukan suatu pembunuhan yang diharamkan Allah.

    Kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat membuat dirinya, anggotanya ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakekatnya hanyalah sebagai barang titipan yang diberikan Allah. Oleh kerana itu tidak boleh titipan ini diabaikannya. Bagaimana lagi memusuhinya? Dan apalagi melepaskannya dari hidup?

    kerana itu, berfirmanlah Allah: “Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, kerana sesungguhnya Allah maha belas-kasih kepadamu.” (an-Nisa': 29)

    Islam menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam menghadapi setiap musibah. Oleh kerana itu Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan dari hidup dan menanggalkan pakaian kerana ada suatu bala' yang menimpanya atau kerana gagal dalam cita-cita yang diimpi-impikan. Sebab seorang mu'min dicipta justru untuk berjuang, bukan untuk tinggal diam, dan untuk berperang bukan untuk lari. Iman dan budinya tidak mengizinkan dia lari dari arena kehidupan. Sebab setiap mu'min mempunyai senjata yang tidak boleh sumbing dan mempunyai kekayaan yang tidak boleh habis, iaitu senjata iman dan kekayaan budi.

    Rasulullah s.a.w. memberikan ancaman kepada orang yang berbuat tindak kriminal yang kejam ini dengan terhalangnya dari rahmat Allah dan mendapat murka Allah kelak di akhirat.

    Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sebelum kamu, pernah ada seorang laki-laki luka, kemudian marah sambil mengambil sebilah pisau dan di potongnya tangannya, darahnya terus mengalir sehingga dia mati. Maka berkatalah Allah: hambaku ini mahu mendahulukan dirinya dari (takdir) Ku. Oleh kerana itu Kuharamkan sorga atasnya." (Riwayat Bukhari, dan Muslim)

    Kalau orang tersebut terhalang masuk sorga lantaran luka yang tidak seberapa sakitnya kemudian bunuh diri, maka bagaimana lagi orang yang bunuh diri lantaran mendapat kerugian sedikit atau banyak, atau lantaran tidak lulus ujian atau lantaran ditolak seorang gadis?!

    Kiranya orang-orang yang kurang bergairah itu suka mendengarkan ancaman yang dibawa Rasulullah s.a.w. yang berkilat dan mengguruh. Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:

    "Barangsiapa menjatuhkan diri dari atas gunung kemudian bunuh diri, maka dia berada di neraka, dia akan menjatuhkan diri ke dalam neraka untuk selama-lamanya. Dan barangsiapa minum racun kemudian bunuh diri, maka racunnya itu berada di tangannya kemudian minum di neraka jahanam untuk selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan alat tajam, maka alat tajamnya itu di tangannya akan menusuk dia di neraka jahanam untuk selama-lamanya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

  Melindungi Harta Benda

    Kesepuluh: Tidak ada salahnya seorang muslim mengumpulkan kekayaan dengan sepuas-puasnya, asal dengan jalan halal dan disalurkan menurut cara-cara yang dibenarkan oleh hukum syara'.

    Kalau di sementara agama ada yang beranggapan, bahawa: sesungguhnya orang kaya itu tidak dapat masuk ke kerajaan langit, kecuali kalau unta dapat masuk ke lubang jarum, maka sesungguhnya Islam mengatakan: "Bahawa sebaik-baik harta yang baik adalah milik seorang saleh." (Riwayat Ahmad.)

    Dan selama Islam membenarkan hak milik pribadi, maka praktis Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan suatu undang-undang. Dan akan memberikan suatu pengarahan budi agar harta tersebut tidak menjadi sasaran tangan-tangan jahat, baik kerana dirampas, dicuri ataupun ditipu.

    Rasulullah s.a.w. menyebutkan secara global antara kehormatan harta benda, darah dan harga diri dalam suatu susunan. Bahkan ia menilai pencurian itu sebagai hal yang dapat menghilangkan iman. Sabda Nabi: "Tidak akan mencuri seorang pencuri ketika ia mencuri, padahal dia menyatakan beriman." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Dan firman Allah: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, hendaklah kamu potong tangannya, sebagai satu pembalasan terhadap apa yang mereka lakukan dan sebagai contoh yang menakutkan dari Allah; dan Allah Maha Gagah dan Bijaksana.” (al-Maidah: 38)

    Dan sabda Rasulullah s.a.w.: "Tidak halal seorang muslim mengambil sebilah tongkat, tanpa niat baik." (Riwayat Ibnu Hibban)

    Rasulullah katakan demikian, kerana kerasnya perlindungan Allah terhadap harta seorang muslim.

Dan berfirmanlah Allah Ta'ala: "Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta-harta kamu di antara kamu dengan cara batil, kecuali melalui perdagangan dengan saling merelakan dari antara kamu." (an-Nisa': 29)


  Menyuap, Hukumnya Haram

    Termasuk makan harta orang lain dengan cara batil ialah menerima suap. iaitu wang yang diberikan kepada penguasa atau pegawai, supaya penguasa atau pegawai tersebut menjatuhkan hukum yang menguntungkannya, atau hukum yang merugikan lawannya menurut kemahuannya, atau supaya didahulukannya urusannya atau ditunda kerana ada suatu kepentingan dan seterusnya.

    Islam mengharamkan seorang Islam menyuap penguasa dan pembantu-pembantunya. Begitu juga penguasa dan pembantu-pembantunya ini diharamkan menerima wang suap tersebut.

    Dan kepada pihak ketiga diperingatkan jangan sampai mahu menjadi perantara antara pihak penerima dan pemberi. Firman Allah:

    “Dan jangan kamu makan harta benda kamu di antara kamu dengan batil dan kamu ajukan perkara itu kepada penguasa (hakim) dengan maksud supaya kamu makan sebahagian dari harta orang lain dengan dosa, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 188)

    Sabda Rasulullah s.a.w.: "Allah melaknat penyuap dan yang menerima suap dalam hukum." (Riwayat Ahmad, Tarmizi dan Ibnu Hibban)

    Tsauban mengatakan: "Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap dan yang menjadi perantara." (Riwayat Ahmad dan Hakim)

    Rasulullah s.a.w, pernah mengutus Abdullah bin Rawahah ke tempat orang Yahudi untuk menetapkan jumlah pajak yang harus dibayarnya, kemudian mereka menyodorkan sejumlah wang. Maka kata Abdullah kepada orang Yahudi itu: "Suap yang kamu sodorkan kepadaku itu adalah haram. Oleh kerana itu kami tidak akan menerimanya." (Riwayat Malik).

    Apabila penerima suap itu menerimanya justru untuk suatu tindakan kezaliman, maka berat sekali dosanya! Dan kalau bertujuan untuk mencari keadilan, maka sudah seharusnya wang imbalan itu tidak diterimanya.

    Tidak hairan kalau Islam mengharamkan suap dan memperkerasnya terhadap siapa saja yang bersekutu dalam penyuapan ini. Sebab meluasnya penyuapan di masyarakat, akan menyebabkan meluasnya kerusakan dan kezaliman, misalnya: menetapkan hukum dengan jalan tidak benar, kebenaran tidak mendapat jaminan hukum, mendahulukan orang yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan orang yang seharusnya didahulukan serta akan meluasnya jiwa vested interest di dalam masyarakat yang tidak berjiwa demi melaksanakan kewajiban.


  Hadiah dari Rakyat Kepada Penguasa

    Islam mengharamkan suap dalam bentuk dan nama apapun. Oleh karena itu dengan dalih hadiah tidak akan dapat mengeluarkannya dari haram menjadi halal.

    Dalam hadis Nabi dikatakan: "Barangsiapa yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan, kemudian kami beri gaji, maka apa yang diambilnya selebih dari itu berarti suatu penipuan." (Riwayat Abu Daud)

    Umar bin Abdul Aziz pernah diberi hadiah waktu beliau menjabat sebagai khalifah, tetapi ditolaknya. Kemudian dikatakanlah kepadanya: "Rasulullah mahu menerima hadiah." Maka Umar menjawab: "Apa yang diterima Nabi itu memang hadiah, tetapi ini buat saya sebagai suapan."

    Pernah juga Rasulullah s.a.w. mengirimkan seorang utusan untuk mengumpulkan zakat dari kabilah Azdi. Tetapi setelah utusan tersebut menghadap Nabi, sebagian barang yang dibawanya itu ditahan dan ia mengatakan kepada Nabi: Ini untukmu dan ini untuk saya, sebagai hadiah.

    Mendengar ucapan itu Nabi marsh sambil berkata: Mengapa tidak saja kamu tinggal di rumah bersama ayah dan ibumu sehingga hadiahmu itu sampai kepadamu, kalau kamu orang yang jujur?!

    Kemudian Nabi bersabda pula: "Mengapa saya memperkerjakan seorang laki-laki dari antara kamu kemudian ia mengatakan: ini untukmu dan ini hadiah untukku? Mengapa tidak saja ia tinggal di rumah ibunya supaya diberi hadiah?! Demi Zat yang diriku dalam kekuasaannya! Salah seorang di antara kamu tidak akan mengambil sesuatu dengan cara yang tidak benar, melainkan dia akan menghadap Allah --kelak di hari kiamat-- sambil membawa benda tersebut. Sungguh salah seorang di antara kamu tidak akan datang nanti di hari kiamat dengan membawa unta yang melenguh atau sapi yang menguak dan atau kambing yang mengembik. Kemudian Nabi mengangkat dua tangannya sampai putihnya kedua ketiaknya nampak, seraya mengatakan: Ya Tuhan, sudahkah saya sampaikan ini?!" (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Imam Ghazali berkata: "Kalau sudah demikian kerasnya larangan ini, maka sepatutnya seorang hakim atau penguasa --dan orang-orang yang tergolong hakim atau penguasa-- mengira-ngirakan dirinya sewaktu tinggal bersama ayah dan ibunya. Kalau dia diberi hadiah sesudah memisahkan diri tetapi waktu itu masih tinggal bersama ayah dan ibunya, maka boleh diterimanya ketika dia sedang memangku jabatan. Tetapi kalau dia tahu, bahwa pemberian itu justru karena jabatannya, maka haram dia menerimanya. Dan hadiah-hadiah kawannya yang masih disangsikan apakah kalau dia keluar dari jabatan, bahwa mereka itu akan memberinya? Maka hal ini dipandang sebagai barang syubhat; oleh karena itu jauhilah."[34]


  Menyuap Untuk Menghilangkan Kezaliman

    Barangsiapa mempunyai hak yang diabaikan, sedang jalan untuk mendapatkan hak tersebut tidak dapat, kecuali dengan jalan menyuap; atau ada suatu kezaliman yang tidak dapat diatasi kecuali dengan menyuap, maka sebaiknya bersabar diri, sehingga Allah memberikan jalan untuk mengatasi kezaliman atau untuk mendapat hak tersebut.

    Kalau dia melalui jalan menyuap untuk maksud di atas, maka dosanya bagi yang menerima suap, bukan bagi yang menyuap, selama dia telah mencuba berbagai jalan untuk mengatasi problema tersebut tetapi tidak juga berhasil; dan selama usaha mengatasi kezaliman dan mendapatkan hak itu tidak merugikan orang lain.

    Sementara ulama mendasarkan pendiriannya itu dengan beberapa hadis tentang orang-orang yang minta sadaqah kepada Nabi padahal mereka tidak berhak, tetapi diberinya. Antara lain hadis yang diriwayatkan Umar Ibnul-Khattab:

    "Sesungguhn.ya Rasulullah s.a.w bersabda: sungguhnya ada salah seorang di antara kamu keluar dari rumahku dengan membawa sadaqah yang disembunyikan di ketiaknya, padahal sadaqah itu hanya umpan neraka. Kemudian Umar bertanya: Ya Rasulullah! Mengapa engkau beri padahal engkau tahu, bahwa sadaqah itu merupakan bara neraka baginya? Maka jawab Nabi: Apa yang harus saya perbuat sedangkan mereka terus-menerus minta kepadaku dan saya sendiri dilarang Allah berlaku bakhil." (Riwayat Abu Ya'la, dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Ahmad)

    Apabila keadaan yang mendesak menyebabkan Nabi mahu memberi sesuatu kepada peminta padahal telah diketahui, bahwa barang yang diberikannya itu bara api neraka, maka bagaimana lagi kalau suatu keperluan yang sangat mendesak demi mengatasi kezaliman dan mengambil hak yang diabaikan?!


  Memboros Menggunakan Harta, Hukumnya Haram

    Apabila harta benda orang lain dilindungi dari setiap gangguan yang datangnya dari luar, baik dengan sembunyi-sembunyi ataupun dengan terang-terangan, maka di samping itu harta pribadi pun dilindungi dari penggunaan yang sia-sia, dipergunakan dengan boros atau karena dibangkitkan oleh kanan-kirinya.

    Ini justru disebabkan ummat mempunyai hak terhadap harta milik perseorangan, bahkan mempunyai hak milik di belakang setiap pemilik. Oleh karena itu Islam menetapkan, bahwa ummat berhak menahan hak milik orang yang belum mampu mengurus hartanya yang dimungkinkan akan menghambur-hamburkan hak miliknya itu. Sebab dalam hal ini ummatlah yang berhak. Dalam hal ini al-Quran mengatakan:

    “Dan jangan kamu serahkan kepada orang-orang bodoh harta benda kamu yang telah Allah jadikan sebagai standard untuk kamu, tetapi berilah mereka makan dengan harta itu dan berilah mereka pakaian, dan katakanlah kepada mereka dengan omongan yang baik.” (an-Nisa': 5)

    Di sini Allah menyampaikan perkataanNya: Jangan kamu serahkan kepada orang-orang bodoh harta benda kamu itu kepada ummat, padahal harta benda tersebut pada hakikatnya milik orang-orang bodoh itu sendiri.

    Akan tetapi harta milik pribadi, pada hakikatnya milik seluruh ummat. Sebab Islam adalah agama tengah-tengah dan adil. Sedang ummat Islam adalah ummat penengah dan adil dalam segala hal. Justru itu Allah melarang ummat Islam berlebih-lebihan dan boros, sebagaimana halnya mereka dilarang kikir dan pelit. Firman Allah:

    “Hai anak Adam! Pakailah perhiasanmu di tiap-tiap masjid; dan makanlah dan minumlah tetapi jangan boros, sebab Allah tidak suka kepada orang-orang yang boros.” (al-A'raf: 31)

    Yang dimaksud dengan pemborosan di sini hanyalah dalam hal yang sifatnya memang diharamkan Allah, seperti untuk membeli arak, narkotik, bejana emas, bejana perak dan sebagainya. Sedikit ataupun banyak wang yang dikeluarkan itu. Atau wang itu disia-siakan untuk urusan pribadi mahupun orang lain. Sebab Rasulullah s.a.w. melarang mensia-siakan harta. (Riwayat Bukhari).

    Atau dengan memperbesar jumlah pengeluaran untuk keperluan yang tidak dibutuhkan, sehingga tidak lagi ada sisa untuk mencukupi dirinya.

    Imam ar-Razi berkata dalam menafsirkan firman Allah: "Mereka bertanya kepadamu apakah yang harus mereka belanjakan? Maka jawablah: Yaitu harta yang lebih." (al-Baqarah: 219) sebagai berikut: Sesungguhnya Allah mendidik manusia dalam hal menggunakan wang, kemudian ia berkata kepada Nabinya sebagai berikut:

    “Dan berikanlah kepada keluargamu haknya, kepada orang-orang miskin, dan kepada orang yang berkeputusan belanja dalam perjalanan (ibnus sabil), dan jangan boros, karena sesungguhnya orang-orang yang boros adalah kawan syaitan.” (al-Isra': 26)

    “Dan jangan kamu letakkan tanganmu terbelenggu di lehermu, tetapi jangan pula kamu ulurkan sepanjang-panjangnya. (al-isra': 29)

    “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan wangnya tidak boros dan tidak juga kikir.” (al-Furqan: 67)

    Dan Rasulullah s.a.w. sendiri juga bersabda: "Kalau salah seorang di antara kamu mempunyai sesuatu, maka utamakanlah untuk dirinya sendiri kemudian orang yang menjadi tanggungannya. Begitulah seterusnya!" (Riwayat Muslim)

    Dan sabdanya pula. "Sebaik-baik sadaqah ialah masih meninggalkan sisa." (Riwayat l-habarani siengan sanad hasan)

    Dan yang semakna dengan ini terdapat dalam Bukhari. "Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Ketika kami bersama Rasulullah s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki datang membawa emas sebesar telur. Kemudian ia berkata kepada Nabi: Ya Rasulullah! Ambillah ini sebagai sedekah, tetapi demi Allah saya tidak memiliki kecuali ini. Kemudian Rasulullah s.a.w. berpaling, tetapi ia berikan dari hadapan Nabi. Kemudian Nabi berkata: bawalah kemari, sambil ia marah dan kemudian diambilnya, kemudian dilemparkan yang sekiranya kena niscaya akan melukainya. Kemudian ia berkata: salah seorang di antara kamu datang kepadaku dengan membawa wangnya padahal dia tidak mempunyai kecuali itu, kemudian ia duduk menanti pemberian orang. Ketahuilah, bahwa sadaqah itu dari harta kelebihan. Ambillah ini, saya tidak membutuhkannya." (Riwayat Abu Daud dan Hakim)

    "Dan dari Nabi s.a.w., bahwa ia pernah menyimpan untuk keluarganya makanan setahun." (Riwayat Bukhari)

    Dan berkatalah ahli-ahli hikmah: "Yang baik ialah berada diantara berlebih-lebihan dan kikir." Infaq terlalu banyak berarti boros, dan terlalu sedikit berarti kikir. Sedang tengah-tengah itulah yang baik. Dan inilah yang dimaksud firman Allah: qulil 'afwa. Tujuan pokok syariat Muhammad adalah demi memenuhi panggilan yang lembut ini. Berbeda dengan syariat Yahudi yang dasarnya pembinaan sangat keras, dan syariat Nashara yang sangat mempermudah. Tetapi syariat Muhammad sederhana dalam semua hal. Justru itu syariat Muhammad lebih sempurna dari semuanya [35].

Tidak ada komentar