Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-13 (AZ-ZAMAKHSYARI)

Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-13 (AZ-ZAMAKHSYARI)
Nama Mufassir

Beliau adalah Abu al-Qasim, Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad al-Khawarizmi, al-Hanafi, penganut aliran Muktazilah, yang dijuluki Jaarullah.

Nama Kitab

Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil.

Aqidahnya

Beliau termasuk tokoh aliran Muktazilah yang membela mati-matian madzhabnya. Ia memperkuatnya dengan kekuatan hujjah yang dimilikinya.

Dalam hal ini, imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” (IV:78) berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasysyaaf karyanya.”

Beliau demikian getol berdalil dengan ayat-ayat dalam rangka memperkuat madzhabnya yang batil. Sebaliknya, ia selalu menakwil ayat-ayat yang dianggapnya bertentangan dengan pendapatnya. Bahkan, ia merubah arah ayat-ayat yang semestinya diarahkan kepada orang-orang kafir kepada Ahlussunnah yang ia sebut sebagai ‘Hasyawiyyah’ ‘mujbirah’ dan ‘musyabbihah.’

Spesifikasi Umum Kitab Tafsirnya

Kitab tafsir karangannya memiliki keunggulan dari sisi keindahan al-Qur’an dan balaghahnya yang mampu menyihir hati manusia, mengingat kemumpunian beliau dalam bahasa Arab dan pengetahuannya yang mendalam mengenai sya’ir-sya’irnya. Tetapi ia membawakan hujjah-hujjah itu untuk mendukung madzhab muktazilahnya yang batil di mana ia memaparkannya dalam ayat-ayat al-Qur’an melalui pintu balaghah. Karena itu, harus berhati-hati dengannya, khususnya bagi pemula dalam bidang ini.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

Ia menyinggung juga tentang permasalahan fiqih namun tidak memperluasnya. Diakui bahwa ia dalam hal ini adalah seorang yang ‘moderat’, tidak fanatik dengan madzhab ‘Hanafi’-nya.

Sikapnya Terhadap Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir

Beliau memberikan perhatian penuh pada penjelasan kekayaan balaghah dalam hal ‘Ma’aani’ dan ‘Bayaan’ yang terdapat di dalam al-Qur’an. Tetapi, bila ia melewatkan saja suatu lafazh yang tidak sesuai dengan madzhabnya, ia berupaya dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna zhahir lafazh itu dengan menetapkan makna lain untuknya dari apa yang ada di dalam bahasa Arab atau mengarahkannya seakan ia adalah ‘Majaz’, ‘Isti’arah’ atau ‘Tamtsil’.

Sikapnya Terhadap Isra’iliyyat

Amat sedikit beliau menyinggung masalah Isra’iliyyat. Kalau pun ada, maka ia dahului dengan lafazh, “Diriwayatkan” atau dengan mengatakan di akhirnya, “Wallahu a’lam.”

Namun anehnya, ia malah menyebutkan beberapa hadits Mawdhu’ (palsu) mengenai keutamaan-keutamaan surat-surat di akhir setiap surat.

(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin karya Abu Abdillah, Muhammad al-Mahmud an-Najdi, hal.16-17)

Tidak ada komentar