Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (Seorang Reformis Besar; Hijrah Dari Tasawuf Ke ‘Aqidah Salaf)

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (Seorang Reformis Besar; Hijrah Dari Tasawuf Ke ‘Aqidah Salaf)
Seorang syaikh reformis besar, Muhammad Rasyid Ridha, siapa yang tidak mengenal matahari di tengah siang benderang? Riwayat hidup reformis ini termasuk riwayat-riwayat hidup yang sangat mengesankan perasaan saya dan menggantungkan hati saya untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang siapa dia. Yah, tokoh yang lain dan beda dari tokoh-tokoh yang lainnya. Berbagai pengalaman di dunia membuat jalan Rasyid menjadi terang, ia cari kebenaran dengan dalilnya, bekerja keras demi menyampaikan dakwah, memberantas bid’ah dan menyebarkan apa yang dianggapnya haq. Ia terus belajar dan bepergian untuk mencari orang yang kelak dapat menerangi cakrawala ma’rifah dengan dalilnya. Setelah berada di perguruan yang bertarung dengan berbagai pengalaman, akhirnya kondisinya pun menjadi stabil. Berkat taufiq Allah, ia berjalan di atas jalan orang-orang yang shalih, membawa panji salaf sebagai penyebar, pengajar, pembela dan pendebatnya. Maka lahirlah di tangannya generasi intelektual yang mengikuti jejaknya dan berkomitmen dengan manhaj Salaf.

Siapa Muhammad Rasyid Ridha?

Beliau adalah Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin al-Qalmuni, al-Husaini. Nasabnya sampai kepada Alu al-Bayt (Ahli Bayt) .

Beliau dilahirkan pada tanggal 27-5-1282 H di sebuah desa bernama Qalmun, sebelah selatan kota Tharablas (Tripoli), Syam. Ia mulai menuntut ilmu dengan menghafal al-Qur’an, mempelajari khat dan ilmu berhitung.

Kemudian belajar di madrasah “ar-Rasyidiyyah” yang bahasa pengantarnya adalah bahasa Turki. Tetapi tak berapa lama, ia tinggalkan tempat itu untuk meneruskan studinya di sekolah nasional Islam (al-Wathaniyyah al-Islamiyyah) yang didirikan dan diajarkan gurunya, Husain al-Jisr. Ia mengenyam belajar di sekolah ini selama 7 tahun yang kemudian merubah perjalanan kehidupannya dan mulailah ‘rihlah’ Tasawufnya.

Bersama Tarekat Syadziliyyah

Beliau mulai mempelajari tasawuf ketika gurunya, Husain al-Jisr membacakan kepadanya sebagian buku-buku Tasawuf, di antaranya beberapa pasal dari kitab ‘al-Futuuhaat al-Makkiyyah’ dan beberapa pasal dari kitab karya al-Fariyaq.

Pernah ia membaca ‘wird as-Sahar’ dari buku Tasawuf itu, dan saat membaca bait berikut:
Dan derai air mata telah mendahuluiku
Akibat rasa takut terhadap-Mu


Beliau berhenti dan menolak untuk membacanya karena merasa air matanya tidaklah berderai saat itu. Penolakannya ini semata karena merasa malu berdusta kepada Allah sebab kenyataannya air matanya belum dan tidak berderai ketika membaca bait itu.??!!

Setelah beliau menggali dan memperdalam ilmu dan ushuluddin, sadarlah ia bahwa membaca ‘Wird’ tersebut termasuk bid’ah. Karena itu, ia pun meninggalkannya dan lebih memilih untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an.

Beliau juga sempat belajar dengan gurunya yang lain, Abu al-Mahasin al-Qawiqji hingga berhasil mendapatkan ‘ijazah’ (semacam rekomendasi sah sebagai murid yang berhak membaca buku gurunya-red) untuk kitab ‘Dala’il al-Khairat.’

Setelah mempelajarinya, semakin nyata baginya bahwa kebanyakan isi buku tersebut mengandung kedustaan terhadap Nabi SAW, maka beliau pun meninggalkannya.

Ia kemudian beranjak membaca dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang berisi shalawat kepada Nabi SAW yang kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan (valid).

Bersama Tarekat Naqsyabandiyyah

Mengenai hal ini, Syaikh Rasyid menyebutkan bahwa yang membuatnya gandrung mempelajar Tasawuf adalah pesona kitab ‘Ihya’ ‘Ulum ad-Diin’ karya Imam al-Ghazali.

Kemudian beliau meminta kepada gurunya dalam tarekat Syadziliyyah, Muhammad al-Qawiqji untuk memperkenankannya untuk tetap menjalankan tarekat Syadziliyyah secara formalitas saja namun sang guru berkeberatan seraya berkata, “Wahai anakku, aku bukan orang yang tepat untuk mengabulkan permintaanmu itu. Permadani ini telah dilipat dan para penganutnya telah berlalu…”

Syaikh Rasyid juga menyebutkan, ada temannya yang bernama Muhammad al-Husaini berhasil menjadi seorang Sufi terselubung dalam tarekat Naqsyabandiyyag. Ia beranggapan dirinya telah mencapai tingkat ‘Mursyid Sempurna’.

Karena itu, Rasyid lalu mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah ini melalui bimbingan temannya itu. Beliau akhirnya banyak menghabiskan usianya dalam tarekat ini. Mengenai hal ini, beliau bertutur, “Di sela-sela itu, aku melihat banyak sekali perkara-perkara ruhani yang terjadi di luar kebiasaan. Dari banyak kejadian itu, aku berupaya menafsirkannya namun sebagiannya tak berhasil aku ungkap.”

Beliau melanjutkan, “Akan tetapi buah cita rasa yang tidak lazim ini tidak sama sekali menunjukkan bahwa seluruh sarananya adalah disyari’atkan atau sebagiannya yang bernuansa bid’ah dibolehkan seperti yang kemudian aku teliti lagi.”

Rasyid menyebut kegiatannya menjalani ‘wirid harian’ dalam tarekat Naqsyabandiyyah adalah dengan cara mengucapkan nama ‘Allah’ di dalam hati, tanpa ucapan lisan sebanyak 5000 kali seraya membelalakkan kedua mata, menahan nafas sekuat daya dan mengikat hati dengan hati sang guru.


Setelah di kemudian hari jelas baginya semua itu, ia menyebut wirid itu sebagai perbuatan bid’ah bahkan dapat mencapai kesyirikan terselubung ketika seseorang mengikat hatinya dengan hati sang guru. Sebab dalam tuntutan tauhid, seorang hamba di dalam setiap ibadahnya harus menuju Allah semata, dengan lurus total dan tidak condong serta berserah diri kepada-Nya dalam agama.

Mengenai pengalamannya bersama aliran ‘Tasawuf’ ini, Syaikh Rasyid kemudian menyebut banyak hal, di antaranya, beliau mengatakan, “Kesimpulannya, saya dulu berkeyakinan bahwa Thariqat (Tarekat/Jalan), Ma’rifah, Penyucian jiwa dan mengetahui rahasia-rahasianya adalah dibolehkan secara syari’at, tidak terlarang sama sekali dan dapat berguna seraya berharap mencapai ma’rifat Allah, tanpa melakukannya tidak akan mencapai sasaran.”

Mendapat Hidayah, Beralih Dari Tasawuf Ke Pemahaman Salaf

Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan sebagai Sufi, beliau menuturkan pengalamannya, “Saya sudah menjalani Tarekat Naqsyabandiyyah, mengenal yang tersembunyi dan paling tersembunyi dari misteri-misteri dan rahasia-rahasianya. Aku telah mengarungi lautan Tasawuf dan telah meneropong intan-intan di dalamnya yang masih kokoh dan buih-buihnya yang terlempar ombak. Namun akhirnya petualangan itu berakhir ke tepian damai, ‘pemahaman Salaf ash-Shalih’ dan tahulah aku bahwa setiap yang bertentangan dengannya adalah kesesatan yang nyata.”

Beliau banyak terpengaruh oleh majalah ‘al-‘Urwah al-Wutsqa’ dan artikel-artikel para ulama dan sastrawan. Terlebih, pengaruh gurunya, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Beliau benar-benar terpengaruh sekali sehingga seakan gurunya lah yang telah menggerakkan akal dan pikirannya untuk membuang jauh-jauh seluruh bid’ah dan menggabungkan antara ilmu agama dan modern serta mengupayakan tegak kokohnya umat dalam upaya menggapai kemenangan.

Dan yang lebih banyak mempengaruhinya lagi adalah beliau buku-buku karya Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab.

Hal itu, menciptakan gerak dan aktifitasnya setelah sebelumnya tenggelam dalam kubangan kemalasan, kehilangan kesadaran dan terjerumus ke dalam berbagai bid’ah dan kesesatan seperti yang ada pada aliran Tasawuf.

Mengingkari Penganut Tarekat-Tarekat Sufi

Kejadian pertama di mana secara terang-terangan beliau mengingkari tarekat-tarekat sufi itu adalah saat suatu hari, seusai shalat Jum’at, salah satu keluarga penganut tarekat Sufi mengadakan acara yang disebut Rasyid sebagai ‘Pertemuan Dengan Maulawiyyah’.

Mengenai hal ini, Rasyid mengisahkan, bahwa tatkala sudah tiba waktu pertemuan, para guru Sufi yang sering disebut ‘Darawisy Maulawiyyah’ berkumpul di majlis mereka. Di depan mereka duduk sang guru resmi. Di situ, hadir para bocah-bocah berwajah tampan dan mulus, berpakaian putih cemerlang layaknya jilbab para pengantin. Mereka menari-nari mengikuti irama musik, berputar-putar dengan sangat cepat seraya bersorak-sorai. Jarak mereka beriringan, tidak saling berbenturan, mengulurkan lengan-lengan dan memiringkan pundak-pundak. Satu demi satu dari mereka melewati sang guru seraya merunduk.

Pemandangan itu sungguh mengganggu dan melukai perasaan Rasyid. Ia tidak menyangka kondisi kaum muslimin sampai sekian jauh terperosok ke dalam bid’ah dan khurafat. Betapa tega mempermainkan keyakinan manusia dan meracuni akal pikiran mereka. Yang benar-benar menyakiti perasaannya adalah anggapan mereka bahwa permainan bid’ah itu adalah sebagai bentuk ibadah dalam mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan mendengar dan menyaksikan pemandangan itu mereka anggap sebagai ibadah yang disyari’atkan.

Rasyid tidak hanya bertopang dagu menyaksikan hal itu. Ia terpanggil untuk mengemban kewajiban sesuai dengan bacaan yang selama ini ia dapatkan dari referensi Salaf baik melalui kitab-kitab mau pun majalah-majalahnya.

Ia mengisahkan, “Aku katakan kepada mereka, ‘Apa ini.?’ Salah seorang menjawab, ‘Ini dzikir tarekat maulana Jalaluddin ar-Rumi, penyandang kedudukan terhormat.!’ Mendengar itu, aku tidak dapat menahan diri lagi. Aku langsung berdiri di ruang utama seraya berteriak sekencang-kencangnya, yang kira-kira bunyinya, ‘Wahai manusia dan kaum muslimin! Ini perbuatan munkar, tidak boleh dilihat apalagi mendiamkannya sebab sama artinya menyetujui dan melegitimasi para pelakunya. Padahal Allah berfirman, ‘Mereka menjadikan agama mereka sebagai ejekan dan mainan.’ Sungguh, aku telah menjalankan kewajibanku. Karena itu, keluarlah kalian, semoga Allah merahmati!’”

Kemudian, Rasyid pun cepat-cepat keluar menuju kota. Teriakan ‘Salafi’-nya itu berbuah juga. Sekali pun baru diikuti segelintir orang tetapi gaungnya masih terus bergema di tengah masyarakat. Ada pihak yang mendukung dan ada pula yang menentangnya.

Sekalipun banyak dari kalangan tuan-tuan guru Sufi yang menentang dan mengingkari tindakan Rasyid, namun anak muda ini bertekad akan terus menempuh caranya dalam memperbaiki masyarakat dari kesesatan-kesesatan dan bid’ah-bid’ah tersebut.

Ironisnya, justeru di antara yang menentangnya itu adalah gurunya sendiri, yang dulu beliau pernah mendalami tarekat Syadzili padanya, Syaikh Husain al-Jisr. Sang guru beranggapan, tidak boleh mengganggu para Sufi dan aktifitas bid’ahnya, siapa pun orangnya. Saat itu, gurunya itu berkata kepadanya, “Aku nasehati kamu agar tidak mengganggu para ahli tarekat.” Rasyid menjawab dengan nada mengingkari, “Apakah para ahli tarekat itu memiliki hukum-hukum syari’at sendiri selain hukum-hukum umum untuk seluruh umat Islam.?”

Ia menjawab, “Tidak! Tetapi mereka memiliki niat yang tidak sama dengan niat sembarang orang, mereka juga memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan orang-orang.” Rasyid menjawab, “Dosa yang dilakukan para ahli tarekat itu lebih besar daripada dosa pelaku maksiat biasa sebab mereka (para ahli tarekat) telah menganggap mendengarkan kemungkaran dan tarian yang dilakukan bocah-bocah tampan dan mulus itu sebagai bentuk ibadah yang disyari’atkan sehingga mereka itu telah membuat syari’at agama untuk diri mereka yang tidak pernah diperkenankan Allah sama sekali. Tetapi saya tidak pernah tidak mengingkari suatu kemungkaran yang terjadi di hadapan mata saya.!”

Sekali pun hujjah Rasyid sangat kuat dalam membantah gurunya, hanya saja sang guru tetap berpegang pada pendiriannya karena menganggap ia memiliki kehormatan dan kemuliaan.!!

Perbedaan pendapat di antara murid dan sang guru itu terus berlanjut, bahkan semakin tajam saat Rasyid berhijrah ke Mesir. Apalagi melalui majalahnya, ‘al-Manar,’ Rasyid sangat mengingkari perbuatan para ahli tarekat Sufi itu. Sebab ia sudah melihat sendiri betapa kemungkaran dan bid’ah yang terjadi dalam berbagai kegiatan spritual tarekat-tarekat sufi itu seperti perayaan maulid. Sementara itu, sang guru, al-Jisr gigih pula membantah pendapat Rasyid, yang kemudian dibalas pula oleh Rasyid melalui majalahnya.

Setelah banyak membaca dan mendapatkan ilmu dari bacaannya terhadap buku-buku karya Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim, ditambah buku karya Ibn Hajar ‘az-Zawaajir ‘An Iqtiraaf al-Kabaa’ir’, Rasyid terus menentang tindakan para penyembah kuburan (Quburiyyun) dari kalangan aliran Tasawuf dan lainnya.

Ia pun telah mengkaji secara seksama buku karangan al-Alusi, ‘Jalaa’ al-‘Ainain Fii Muhaakamati al-‘Ahmadiin’. Buku ini menyadarkannya mengenai penyebab-penyebab terjadinya penyimpangan aliran Tasawuf dan betapa jernihnya dakwah Syaikhul Islam. Ia menyadari, bahwa ucapan-ucapan al-Haitsami dan ulama Tasawuf (kaum Sufi) lainnya tidak lain hanya terbit dari hawa nafsu dan bualan kaum Sufi semata.!!

Semoga Allah, merahmati Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, Sang reformis besar atas apa yang telah dipersembahkan dan dilakukannya dalam menasehati dan membongkar kedok kaum Sufi.

Semoga Allah menerima taubatnya dan mema’afkan ketergelincirannya. Wa Shallallahu ‘ala Sayyidina Muhammad, Wa Alihi Wa Shahbihi Wa Sallam.

Tidak ada komentar