Cukuplah Kematian Sebagai Nasihat
Cukuplah Kematian Sebagai Nasihat
Penulis:Asep Hidayat
"Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu
kematian!" (HR. Tirmidzi)
Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian.
Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak
pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar
tak lari menyimpang.
Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu
banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang
mungkin sering kita rasakan dan lakukan.
1. Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga
Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa
berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa
lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana
tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.
Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang
menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik
pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan
itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, "Telah dekat kepada manusia hari
menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian
lagi berpaling (daripadanya)."
Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata.
Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, "Ya Allah, mundurkan ajalku
sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar
ketinggalan." Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan,
kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.
Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44, "Dan berikanlah
peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang
azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: ‘Ya Tuhan kami,
beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami
akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul…."
2. Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka
kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang
telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’, usai sudah
permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.
Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras
akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun.
Padahal, sandiwara sudah berakhir.
Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat
selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya.
Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang
menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya
akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang
sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.
Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan
menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif
kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua
berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.
3. Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh
ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau
miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur
bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu.
Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa.
Cuma tubuh kecil yang telanjang.
Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita
meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta
dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan
pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.
Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika
peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan
seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan,
bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan
pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.
4. Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah
khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia
ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan
antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.
Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga
yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar.
Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama
kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian
berakhir.
5. Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar
bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman.
Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam
tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia
tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.
Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah
Al-Qashash ayat 77, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) dunia…" dengan menyebut, "Ad-Dun-ya
mazra’atul akhirah." (Dunia adalah ladang buat akhirat)
Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya
untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu
yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang
menghargai arti kehidupan.
------------------------------
INGAT MATI, HIDUP BERARTI
Penulis:
Hidup dan kematian seolah dua lembah yang saling berpisah. Satu sama
lain seperti tak berhubungan. Sebagian orang pun mengatakan,
bersenang-senanglah di lembah yang satu. Dan, jangan pedulikan lembah
lainnya. Padahal, hidup dan kematian tak ubahnya seperti dua pintu dalam
satu ruang. Orang tak akan paham makna hidup, sebelum ia merasai
bagaimana kematian.
Tak ada sebuah hadiah yang begitu berarti buat seorang mukmin sepanjang
hidupnya melebihi kematian. Itulah hadiah Allah yang hanya mampu
diterjemahkan oleh mereka yang begitu rindu dengan Kekasihnya yang
sejati. Dunia, seberapa pun indahnya, tak lebih dari penjara yang
membelenggu diri dalam ketidaknyamanan dan keterpaksaan.
Seperti itulah ungkapan Rasulullah saw dalam sebuah hadits riwayat Ibnu
Abid Dunya, Thabarani dan Hakim. "Hadiah yang pelik untuk seorang mukmin
ialah kematian."
Itulah kematian. Ia bagaikan garis pemisah antara panggung kepura-puraan
dengan kehidupan yang sebenarnya. Garis yang memisahkan aneka lakon dan
peran dengan sosok asli seorang manusia. Garis yang akhirnya menyatakan
kesudahan segala peran dan dikembalikannya segala alat permainan.
Sayangnya, tak sedikit manusia yang lebih cinta dengan dunia pura-pura.
Mereka pun berkhayal, andai kepura-puraan bisa buat selamanya. Bisa
berpuas diri dengan aneka lakon dan peran. Tanpa disadari, kecintaan itu
pun berujung pada kebencian. Benci pada kematian.
Seperti itulah tabiat anak kecil yang begitu asyik dengan main-mainnya.
Mereka lupa kalau sore sudah hampir lewat, dan malam pun akan menjelang.
Bahkan, mereka pun lari ketika diminta mandi. Padahal, mandi menjadikan
tubuhnya terasa nyaman berteman malam. Dan kemana pun sang anak lari,
mereka tak akan mampu bersembunyi dari kemestian malam.
Allah swt menggambarkan orang-orang yang lari dari kematian. Seperti
dalam firmanNya di surah Al-Jumu’ah ayat 8, "Katakanlah: kematian yang
kamu lari daripadanya itu sesungguhnya akan menemui kamu, kemudian kamu
akan dikembalikan kepada Tuhan Maha Tahu hal yang tersembunyi dan yang
terang, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."
Ketakutan adalah alasan yang paling lumrah buat mereka yang tetap lari
dari kematian. Banyak alasan kenapa harus takut. Pertama, mereka takut
berpisah dengan kehidupan. Bagi mereka, perpisahan ini berarti usai
sudah pesta kenikmatan. Karena kehidupan sudah terlanjur mereka
terjemahkan sebagai kenikmatan. Hanya kenikmatan.
Kedua, ada ungkapan batin yang tidak mereka sadari. Bahwa, mereka enggan
berjumpa dengan Allah. Sebagaimana, mereka selalu menghindar dari
perjumpaan dengan Allah dalam ibadah yang mereka lakukan. Keengganan itu
sebenarnya bukan cuma milik mereka. Karena Allah pun enggan bertemu
mereka, sebagaimana mereka enggan bertemu Allah.
Rasulullah saw menjelaskan hal itu dalam hadits riwayat Bukhari dan
Muslim. "Barangsiapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah juga
benci bertemu dengan orang itu."
Keengganan itu sangat bertolak belakang dengan kerinduan yang
diungkapkan seorang sahabat Rasul, Hudzaifah. Ketika tak lama lagi ajal
kematian menyambang, beliau r.a. berujar, "….Ya Allah, jika Engkau
mengetahui bahwa kemiskinan itu lebih baik bagiku daripada kekayaan,
sakit itu lebih baik daripada kesehatan, dan mati itu lebih membuatku
bahagia daripada hidup, maka permudahkanlah kematian itu untukku.
Sehingga aku dapat bertemu dengan-Mu."
Ketiga, boleh jadi ketakutan terhadap kematian lebih karena
ketidaktahuan. Persis seperti anak kecil yang lari ketika diminta mandi.
Karena yang diketahui anak tentang mandi tak lebih dari dingin, dipaksa
ibu, dan berhenti dari permainan. Begitu pun tentang kematian. Kematian
bagi mereka tak lebih dari rasa sakit, berpisah dengan keluarga, harta
dan jabatan; serta rasa kehinaan ketika jasad terkubur dalam tanah.
Di situlah perbedaan mendasar antara hamba Allah yang baik dengan yang
buruk. Abdullah bin Umar pernah mendapat pelajaran tentang kematian dari
Rasulullah saw. "Aku mendatangi Nabi saw sebagai orang yang kesepuluh
dari sepuluh yang mendatangi Rasul. Kemudian, ada seorang dari kaum
Anshar bertanya, ‘Siapakah orang yang paling pandai dan mulia, ya
Rasulullah?’ Beliau saw menjawab, ‘Yaitu, orang yang terbanyak ingatnya
kepada kematian, dan yang paling siap menghadapi kematian. Itulah
orang-orang yang akan pergi dengan kemuliaan dunia dan akhirat." (HR.
Ibnu Majah)
Bagi hamba Allah, tak ada kemuliaan apa pun dari tetap menjaga
ingatannya dengan kematian. Bahkan, seorang yang berada pada puncak
kekuasaan sekalipun. Setidaknya, itulah yang hendak diungkapkan seorang
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hampir sepanjang usia kekuasaannya, tak
pernah ia lewatkan satu malam pun untuk mengingat kematian. Caranya
begitu manis. Ia panggil para pakar fikih, lalu satu sama lain saling
mengingatkan tentang kematian, hari kiamat, dan kehidupan akhirat.
Kemudian, semuanya pun menangis. Seakan-akan, di samping mereka ada
jenazah yang sedang ditangisi.
Itulah mungkin, kenapa Khalifah yang punya kekuasaan luas ini menjadi
sosok yang terpuji. Semasa kekuasaannya, hampir tak satu pun rakyatnya
yang mengeluh. Mereka hidup sejahtera. Dan inilah sebuah bukti, betapa
hidup Umar bin Abdul Aziz begitu berarti ketika kematian menjadi
pengingat sejati.
Jadi, kehidupan dan kematian tak lagi menjadi dua lembah yang saling
terpisah. Kematian mengingatkan kehidupan agar tetap menjadi sesuatu
yang berarti. Bahkan, teramat berarti. Dan kehidupan mengingatkan
kematian sehingga menjadi sesuatu yang dinanti. Kematian mendidik
kehidupan, dan kehidupan merindukan kematian.
Post a Comment