Kesederhanaan
Kesederhanaan
Pada suatu kesempatan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menunaikan solat Jum’aat
di masjid bersama masyarakat dengan baju yang bertampal di sana-sini. Salah
seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah
mengurniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa engkau tidak mahu mempergunakannya
walau sekadar berpakaian bagus?” Umar bin Abdul Aziz tertunduk sejenak, lalu
dia mengangkat kepalanya dan berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana yang
paling baik adalah pada saat kita kaya, dan sebaik-baik pengampunan adalah saat
kita berada pada posisi kuat.”
Pada Tahun 1986, sewaktu berada di SMA 13, ada seorang teman sekelas dari
kalangan orang berada beberapa kali mengenakan pakaian seragam sekolah dengan
satu atau dua tampalan di bahagian bahu dan lengan. Beberapa teman lain, sering
mengingatkannya agar mengganti seragamnya dengan yang baru. Tapi, sambil
tersenyum, teman itu berkata, ”Tanggung ah, sebentar lagi juga lulus!”
Meskipun mengenakan pakaian bertampal, teman saya ini tidak merasa malu,
risih, atau rendah diri. Dan teman-teman yang lain pun tidak memandang rendah
atau menganggapnya miskin, karena memang dia bukan orang miskin. Ketika
sebahagian besar siswa lainnya berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki,
bersepeda, atau naik kendaraan umum, teman yang satu ini mengendarai sepeda
motor. Pada waktu itu, hanya beberapa siswa saja yang ke sekolah dengan sepeda
motor. Belum ada yang membawa mobil seperti anak SMA sekarang.
Ceritanya, mungkin, akan lain bila yang mengenakan seragam bertampal itu
adalah saya, yang alhamdulillah, berasal dari keluarga sederhana. Barangkali
teman-teman lain tidak ada yang berani mengingatkan saya agar membeli seragam
baru. Dan mungkin juga teman-teman memaklumi saya, jika waktu itu saya
mengenakan seragam bertampal. Dan saya pun, mungkin, akan merasa malu, risih,
atau rendah diri.
Maka benarlah, nasihat Khalifah Umar bin Abdul Aziz di atas. Bahawa gaya hidup sederhana yang
ditampilkan orang kaya, sedikit pun tidak akan membuatnya rendah atau hina.
Orang-orang pun tidak akan mencibirnya. Bahkan sebaliknya, bisa jadi orang lain
kagum melihat gaya
hidup sederhana orang kaya tersebut. Seperti komentar raja Romawi terhadap
perilaku sederhana Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Ketika mendengar khabar Umar bin Abdul Aziz wafat, Kaisar Romawi yang paling
sengit memusuhi Islam pada waktu itu berkata, ”Aku tidak hairan bila melihat
seorang rahib yang menjauhi dunia dan melulu beribadah. Tapi, aku betul-betul
hairan ketika melihat seorang raja yang memiliki kekayaan begitu besar, lalu
dibuangnya jauh-jauh, sehingga ia hanya berjalan kaki dan lebih memilih
kehidupan seperti layaknya fakir miskin.”
Umar bin Abdul Aziz adalah cermin yang tidak pernah pudar. Sejarah hidupnya
abadi, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang sentiasa mendambakan
kemudahan ketika dihisab di yaumil akhir kelak. Kedudukan, kekuasaan, dan
kekayaan yang ada di tangannya tidak membuat dirinya berpenampilan mewah,
meskipun pegawai-pegawai lain yang merupakan orang bawahannya banyak yang
berpenampilan mewah. Tidak sedikit pun ada di benak Khalifah Umar bin Abdul
Aziz kekhawatiran kalau-kalau rakyat, para pegawai, atau kepala negara lain
meremehkannya atau menganggapnya hina lantaran berpenampilan sederhana.
Kedudukan dan kekayaan pasti akan menjadi ganjalan dan memperlambat hisab
pada hari dimana semua manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di
depan Pengadilan Allah Swt. Pengadilan Allah Swt. sangat berbeza dengan
pengadilan manusia di dunia. Di pengadilan dunia masih sering terjadi bias dan
kekeliruan, sehingga seseorang dapat lepas dari jerat hukum. Sementara di
pengadilan akhirat, tidak seorang pun yang bisa lolos dari hukum Allah Swt.
Bukti-bukti yang ditampilkan di pengadilan dunia juga kurang detail dan
tidak rinci, sehingga seseorang dapat berkilah, berdalih, dan menghilangkan
barang bukti. Sebaliknya, di pengadilan akhirat semua perilaku manusia
dibentangkan, seperti keping VCD yang sedang menampilkan semua rakaman sepak
terajang manusia selama hidup di dunia. Kalau di pengadilan dunia, hitungan
angka-angka masih mengenal pembulatan, maka di pengadilan akhirat istilah
pembulatan angka itu tidak berlaku. Semuanya ditampilkan secara detail dan
terperinci.
”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, nescaya dia akan
melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat
zarrahpun, nescaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (QS Al-Zalzalah: 7-8).
Pada sebuah pengajian di Pondok Gede, seorang ustaz mengungkapkan
kekhawatirannya melihat penampilan sebahagian kader dakwah yang mengarah kepada
– menurut istilah beliau – gaya
hidup Qarunisme. Ustaz tersebut mengungkapkan beberapa gejala tanaafus bii
al-maal (berlumba-lumba mengumpulkan harta), seperti semangat memiliki
rumah baru, kereta baru yang tidak cuma mempertimbangkan fungsinya, handphone
canggih meskipun pemanfaatannya tidak optimal, pakaian berjenama, rapat dari
hotel ke hotel, dan lain-lain.
Beberapa di antara mereka, lanjut sang ustaz, mulai berusaha mendapatkan
projek dengan memanfaatkan akses politiknya. Alasan mereka, ”Daripada projek
itu diambil oleh kaum oportunis dan para petualang politik, lebih baik projek
itu diberikan kepada kader dakwah. Pasti akan lebih bermanfaat.”
Sang ustaz pun menambah, sebahagian di antara mereka, terutama aleg di
daerah-daerah, ada juga yang menerima amplop yang semestinya ditolak. Mereka
beralasan, ”Daripada ditolak dan nantinya digunakan oleh orang lain untuk
foya-foya atau hura-hura, lebih baik diterima dan digunakan untuk kepentingan
masyarakat atau untuk dakwah. Bahkan ada aleg di daerah yang ketika ditegur
mengapa menerima amplop, ia menjawab, lupa” Di akhir ceramahnya, sang ustaz
mengingatkan kepada para jamaah agar tidak malu hidup dalam kemiskinan atau
kesederhanaan. Beliau lalu mengkampanyekan penerapan pola hidup sederhana.
Kekhawatiran serupa diangkat oleh salah seorang ustaz pada pertemuan anggota
ahli se-Kota Bekasi di Jati Asih. Sang ustaz yang menjadi pembicara pada waktu
itu menengarai adanya gejala tanaafus bii al-maal di beberapa kalangan kader
dakwah.
Sekedar mengingatkan, jikalau dahulu dalam setiap majlis-majlis pertemuan,
para ikhwah atau akhawat selalu membawa Al-Qur`an di sakunya. Sekarang
Al-Qur`an sering tertinggal di rumah, meski memang dengan perkembangan
teknologi, kini Al-Qur`an sudah bisa masuk dalam ponsel. Dulu, sebahagian besar
ikhwah mahupun akhawat kerap memanfaatkan waktu rehatnya dengan membaca dan
menghafal Al-Qur`an. Sekarang sebahagian ikhwah maupun akhawat sering terlihat
sibuk mengutak-atik handphone-nya di saat-saat jeda acara, atau bahkan di saat
acara tengah berlangsung.
Tulisan ini hanya sekedar untuk mengingatkan tentang fitnah harta, jawatan,
dan kekuasaan sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qur`an al-Karim dan
Hadits Rasulullah Saw. Harta, jawatan, dan kekuasaan itu pasti akan menyibukkan
seseorang dan menyita waktu dan pikirannya, sehingga akan mengurangi
kekhusyu’an dalam beribadah kepada Allah Swt.
Alternatif SolusiIbnu Qayim Rahimahullah dalam kitabnya
”Al-Fawaid” menjelaskan tentang jebakan-jebakan kehidupan dunia. Beliau
menjelaskan bahawa setiap perbuatan manusia, selalu diawali oleh
lintasan-lintasan (khawatir) atau gagasan. Faktor inilah yang mengundang
munculnya tashawur (gambaran). Dari sini kemudian muncul iradah (kemauan) yang
selanjutnya mendorong kehadiran perbuatan (’amal). Apabila perbuatan itu
terjadi berulang kali, maka ia akan menjadi kebiasaan.
Oleh karena itu, Ibnu Qayim menegaskan, ”Lawanlah setiap lintasan buruk.
Karena jika dibiarkan, ia akan berubah mejadi fikrah (gagasan) buruk.
Singkirkanlah fikrah buruk itu, karena jika dibiarkan, ia akan berubah menjadi
iradah atau ’azimah (tekad) yang buruk. Perangilah tekad yang buruk itu, karena
kalau dibiarkan, ia akan berubah menjadi perbuatan buruk. Dan jika perbuatan
buruk itu tidak dilawan, bahkan dilakukan secara berulang-ulang, maka ia akan
berubah menjadi kebiasaan buruk. Bila perbuatan buruk itu sudah menjadi
kebiasaan, maka kita akan sulit untuk meninggalkannya.”
Setiap tahapan dalam perbuatan, yaitu khawatir-tashawur-iradah-’amal tidak
akan meningkat ke tahapan berikutnya sebelum mencapai kestabilan. Misalnya,
khawatir tidak akan berubah menjadi tashawur sebelum khawatir itu mencapai
kestabilan dan kematangan. Ketika seseorang berada pada level kestabilan dan
kematangan baru, umumnya mereka tidak merasakan adanya perubahan yang
signifikan pada dirinya. Artinya, perubahan perilaku atau gaya hidup yang terjadi pada seseorang
seringkali tidak atau kurang dirasakan oleh dirinya, akan tetapi orang lain
melihat perubahan itu secara mencolok.
Maka, agar tidak terbawa arus pusaran gaya
hidup Qarusnisme – meminjam istilah ustadz Pondok Gede – maka setiap kader
dakwah yang sering bersentuhan dengan pola hidup kalangan atas atau kaum elit,
apakah itu di legislatif, eksekutif, atau yudikatif harus sering-sering turba
(turun ke bawah) menemui kader-kader dakwah yang beraktifitas di kalangan grass
root.
Idealnya seperti Khalifah Umar bin Khathtab yang keliling kampung untuk
melihat secara langsung kehidupan rakyatnya. Penting juga untuk para kader
dakwah yang saat ini mendapatkan amanah dakwah di lingkungan elit untuk mencari
tahu tentang kader-kader dakwah di grass root yang masih bermasalah dalam
ma’isyah. Atau menanyakan ke sekolah-sekolah tempat para ikhwah menyekolahkan
anak-anaknya tentang siapa saja yang sering menunggak SPP. Atau solusi lain
yang membuat para kader dakwah di kalangan elit tidak ”melambung terus ke
angkasa” sehingga melupakan yang di bawah. Wallahu a’lam bishshawab.
Post a Comment