AQIDAH DAN KEIMANAN
AQIDAH DAN KEIMANAN
Sesungguhnya
asas pertama kali yang tegak diatasnya masyarakat Islam adalah aqidah, itulah
aqidah Islam. Maka tugas masyarakat yang pertama adalah memelihara aqidah,
menjaga dan memperkuat serta memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru dunia.
Aqidah
Islam ada pada keimanan kita kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-Nya, dan hari kemudian, sebagaimana firman Allah SWT:
"Rasul
telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kõtab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan:)"Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang
lain) dari rasul-rasul-Nya, " dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan
kami taat," (Mereka berdo'a:) "Ampunilah kami wahai Tuhan kami dan
kepada Engkaulah tempat kembali." (Al
Baqarah: 285)
Aqidah
Islam itu membangun bukan merusak, mempersatukan bukan memecah belah, karena
aqidah ini tegak di atas warisan ilahiyah seluruhnya. Dan di atas keimanan
kepada para utusan Allah seluruhnya "Laa Nufarriqu Baina Ahadin Min
Rusulihi."
Aqidah
tersebut diringkas dan dimampatkan dalam syahadatain (dua kalimat syahadat)
yaitu: "Syahaadatu an laa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan
Rasuulullaah." Aqidah inilah yang mempengaruhi pandangan kaum Muslimin
terhadap alam semesta dan penciptannya, terhadap alam metafisika, kehidupan ini
dan kehidupan setelahnya, terhadap alam yang terlihat dan yang tidak terlihat,
terhadap makhluq dan khaliq, dunia dan akhirat, dan terhadap alam yang nampak
dan alam gaib (yang tidak kelihatan).
Alam ini
dengan bumi dan langitnya, benda-benda mati dan tumbuh-tumbuhannya, hewan dan
manusianya, jin dan malaikatnya ..., kesemuanya tidak diciptakan tanpa makna,
dan tidak diciptakan dengan sendirinya. Harus ada yang menciptakan, yakni Dia
yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mulia dan Maha Bijaksana. Dia yang telah
menciptakan alam ini dengan sempurna, dan telah menentukan segala sesuatu di
dalamnya dengan ketentuan yang pasti. Maka setiap benda yang terkecil sekali
pun itu ada standarnya, dan setiap gerakan pasti ada ukuran dan perhitungannya.
Pencipta itu adalah Allah SWT yang setiap kata, bahkan setiap huruf dalam alam
ini membuktikan atas kehendak, kekuasaan, ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Allah SWT
berfirman:
"Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak
ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak
mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha
Pengampun." (Al Isra': 44)
Pencipta
Yang Maha Agung itulah Rabbnya langit dan bumi, Rabbnya alam semesta dan
Rabbnya segala sesuatu, Dia Satu dan Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam
dzat, sifat atau perbuatan-Nya. Hanya Dialah yang qadim dan azali, hanya Dialah
yang tegak selama-lamanya, hanya Dialah yang menciptakan, yang menyempurnakan
dan yang memberi rupa (bentuk). Hanya Dialah yang memiliki asmaul husna dan
sifaatul 'ula, tidak ada sekutu dan tidak ada perlawanan bagi-Nya, tidak ada
anak dan tidak ada bapak bagi-Nya, tidak ada yang mirip atau yang menyamaiNya.
Allah swt berfirman:
"Katakanlah:
"Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada diperanakkan, dan tidak
ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al
Ikhlas: 1-4)
"Dia-lah
yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu." (Al Hadid: 3)
"Tak
ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)
Segala
sesuatu yang ada di jagad raya ini, baik yang atas dan yang bawah, yang diam
dan yang bisa berbicara membuktikan adanya akal yang satu, Dia-lah yang
mengatur segalanya. Membuktikan pula adanya tangan yang satu, Dialah yang
mengatur penjuru alam dan mengarahkannya. Jika tidak demikian, maka akan
rusaklah alam semesta ini, lepas kendalinya, goncang standarnya dan runtuh
bangunannya sebagai akibat dari banyaknya akal yang mengatur dan banyaknya
tangan yang menggerakkan. Maha Benar Allah dengan firman-Nya:
"Sekiranya
ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah
rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang
mereka sifatkan." (Al Anbiya': 22)
"Allah
sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain)
beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa
makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan
sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (Al Mukminun: 91)
"Katakanlah:
"Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan,
niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai 'Arsy. Maha
Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang
sebesar-besarnya." (Al Isra': 42-43)
Suatu
hakikat yang tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya seluruh makhluq yang ada
di langit dan yang di bumi semuanya kepunyaan Allah, dan segala sesuatu yang
ada di langit dan di bumi semuanya milik Allah. Maka tidak ada seorang pun atau
sesuatu pun dari yang berakal maupun yang tidak berakal menyamai Allah dan
tidak pula Dia mempunyai putra. Sebagaimana yang dikatakan oleh penyembah berhala
dan yang serupa dengan mereka, Al Qur'an menggambarkan sebagai berikut:
"Mereka
(orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak." Maha Suci Allah,
bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk
kepada-Nya. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk
menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya.
"Jadilah!" Lalu jadilah ia." (Al
Baqarah: 116-11)
Barangsiapa
yang tersesat dari hakekat ini di dunia maka niscaya akan terungkap di akhirat
kelak, dia akan melihat kenyataan itu seakan telanjang. Jelas dan terang
seperti terangnya matahari di waktu dhuha. Allah swt berfirman:
"Tidak
ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang
Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah
mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka
akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri." (Maryam: 93-95)
Maka
tidak heran (bukan suatu hal yang aneh) setelah itu semua, jika Allah Sang
Pencipta Yang Agung, Tuhan yang Maha Tinggi, hanya Dialah yang berhak disembah
dan ditaati secara mutlak. Dengan lain perkataan, "Dia berhak sangat
dipatuhi dan sangat dicintai, dan makna yang terkandung dalam ketundukan dan
cinta yang sangat, itulah yang kita namakan "Ibadah"1
Inilah
makna "Laa ilaaha illallaah," artinya tidak ada yang berhak untuk
disembah selain Allah atau tidak sesuatu pun berhak untuk menerima ketundukan
dan cinta selain Allah. Hanya Dia-lah yang pantas untuk tunduk semua makhluk
terhadap perintah-Nya, sujud di hadapan-Nya dan bertasbih dengan memuji-Nya
serta mau menerima hukum-Nya.
Hanya
Dia yang pantas untuk dicintai dengan segala makna cinta, Dia-lah yang mutlak
kesempurnaan-Nya dan sesuatu yang sempurna itu pantas untuk dicintai. Dia-lah
sumber segala keindahan, dan segala keindahan yang ada dalam kehidupan ini
diambil dari pada-Nya, dan keindahan itu wajar kalau dicintai dan dicintai pula
pemiliknya. Dia-lah yang memberi seluruh kenikmatan dan sumber segala kebaikan.
Allah SWT berfirman:
"Dan
apa saya nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu
ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta
pertolongan." (An-Nahl: 53)
Oleh
karena itu kebaikan akan selamanya disenangi dan nikmat akan selamanya dicintai
dan dicintai pula pemiliknya.
Makna
"Laa ilaaha illallaah" adalah membuang ketundukan dan penghambaan
kepada kekuasaan selain kekuasaan Allah dan hukum selain hukum-Nya dan perintah
selain perintah-Nya. Ia juga berarti menolak segala bentuk loyalitas selain
loyalitas kepada-Nya dan menolak segala bentuk cinta selain cinta kepada-Nya
dan cinta karena-Nya.
Untuk
memperjelas makna tersebut, maka kami katakan bahwa sesungguhnya unsur
(komponen) tauhid sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur'an ada tiga yaitu dalam surat Al An'am --surat yang memperhatikan
ushulut-tauhid (prinsip-prinsip ketauhidan)-- sebagai berikut:
Pertama,
hendaknya kamu tidak mencari Rabb (Tuhan) kepada selain Allah. Allah berfirman:
"Katakanlah:
"Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal. Dia adalah Tuhan
bagi segala sesuatu ..." (Al An'am: 164)
Kedua,
hendaknya kamu tidak mencari wali (penolong) kepada selain Allah. Allah
berfirman:
"Katakanlah:
"Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan
langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan ...." (Al An'am: 14)
Ketiga,
hendaknya kamu tidak mencari hakim selain daripada Allah. Allah berfirman:
"Maka
patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan terperinci?" (Al An'am: 114)
Makna
unsur yang pertama --"Hendaklah kamu tidak mencari Rabb (Tuhan) kepada
selain Allah"-- adalah menolak seluruh tuhan-tuhan palsu yang disembah
oleh manusia, baik di zaman dahulu atau sekarang ini, baik di timur atau di
barat, baik dari batu, pohon-pohonan, perak dan emas, ataupun mata hari dan
bulan atau dari golongan jin dan manusia. Ia juga berarti menolak seluruh
tuhan-tuhan selain Allah sekaligus mengumumkan revolusi untuk melawan orang-orang
di bumi yang mengaku tuhan dan bersikap sombong tanpa dasar yang benar, yaitu
mereka yang ingin memperbudak hamba-hamba Allah.
"Laa
ilaaha illallaah" adalah deklarasi untuk membebaskan manusia dari segala
bentuk ketundukan dan penghambaan kepada selain Allah, sebagai penciptannya.
Maka tidak boleh bersujud, tunduk dan khusyu' kecuali kepada Allah Pencipta
langit dan bumi.
Oleh
karena itu Nabi SAW mengakhiri surat-surat yang beliau kirimkan kepada para
raja dan penguasa serta para kaisar dari kaum nasrani ayat berikut ini:
"Katakanlah:
"Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula)
sebagian kita menyadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika
mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami
adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (Ali 'Imran: 64)
Kata-kata
"Rabbunallah" adalah berfungsi sebagai pengumuman tentang
pembangkangan dan penolakan terhadap segala kediktatoran di bumi ini.
Karena
itulah Nabi Musa AS menghadapi ancaman pembunuhan, dan pada saat itu ada
seorang laki-laki beriman dari keluarga Fir'aun yang membela, seraya berkata,
sebagaimana dikisahkan oleh Al Quran:
"Dan
seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang
menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang
laki-laki karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah." padahal dia
telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu
..." (Al Mukmin (Ghafir): 28)
Karena
itu pula Nabi kita Muhammad SAW dan para sahabatnya juga menghadapi tekanan,
siksa dan pengusiran dari tanah air dan perampasan harta, sebagaimana
disebutkan oleh Al Qur'an:
"(Yaitu)
orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah"
...." (Al Hajj: 40)
Makna
unsur yang kedua "Hendaklah kamu tidak menjadikan selain Allah sebagai
wali (pendukung)" adalah menolak (tidak memberikan) wala' atau
loyalitasnya kepada selain Allah dan golongannya, karena bukanlah tauhid itu
suatu pengakuan bahwa Tuhannya adalah Allah, tetapi pada saat yang sama dia
memberikan wala', kecintaan dan dukungannya kepada selain Allah, bahkan kepada
musuh-musuh-Nya. Allah swt berfirman:
"Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscsya lepaslah ia dari
pertolongan Allah ..." (Ali 'Imran: 28)
Sesungguhnya
hakikat tauhid bagi orang yang beriman bahwa sesungguhnya Tuhannya adalah
Allah. Hendaknya ia memurnikan ketaatan kepada-Nya dan kepada orang-orang yang
beriman kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan
barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang- orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang" (Al Maidah, 55-56)
Dari
sinilah Al Qur'an menyatakan pengingkaran terhadap orang-orang musyrik bahwa
mereka itu telah membagi-bagi hati mereka antara Allah SWT dengan tuhan-tuhan
lain yang mereka sembah yaitu dari berhala-berhala dan patung-patung. Mereka
telah memberikan kecintaan dan wala' mereka kepada tuhan-tuhan itu sebagaimana
mereka memberikannya kepada Allah. Allah SWT berfirman:
"Dan
sebagian manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah ..." (Al Baqarah: 165)
Sesungguhnya
Allah SWT tidak menerima syarikah (persekutuan) dalam hati para hamba-Nya yang
beriman, maka tidak boleh sebagian hati kita, kita berikan kepada Allah,
kemudian sebagian yang lain lagi untuk Thaghut. Tidak boleh kita memberikan
sebagian wala'nya kepada Al Khaliq (pencipta) dan sebagiannya lagi kepada
makhluk. Sesungguhnya seluruh wala' dan seluruh tumpuan hati hendaknya wajib
diberikannya kepada Allah, yang memiliki seluruh makhluk-Nya dan seluruh
perkara yang ada. Inilah perbedaan antara mukmin dan musyrik. Orang mukmin itu
menyerahkan (dirinya) kepada Allah, memurnikan 'ubudiyahnya kepada Allah,
sedangkan orang musyrik itu memilah-milah antara Allah dan selain Allah. Allah
SWT berfirman:
"Allah
membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh
beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang
menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama
halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui." (Az-Zumar: 29)
Makna
unsur yang ketiga --"Hendaklah kamu tidak mencari hakim kepada selain
Allah" -- adalah menolak ketundukan kepada setiap hukum selain hukum
Allah, setiap perintah selain perintah dari Allah, setiap sistem selain sistem
yang ditetapkan Allah, setiap undang-undang selain syari'at Allah dan setiap
aturan, tradisi, adat istiadat, manhaj, fikrah dan nilai yang tidak diizinkan
oleh Allah. Maka barangsiapa yang menerima sedikit dari semua itu baik sebagai
hakim atau yang dihukumi, tanpa izin dari Allah berarti dia telah mernbatalkan
salah satu unsur yang asasi dari unsur-unsur tauhid, karena ia telah mencari
hakim selain Allah, padahal hukum dan tasyri' itu termasuk hak Allah saja.
Allah SWT berfirman:
"Keputusan
(hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui." (Yusuf: 40)
Unsur
ini sebenamya merupakan konsekuensi tauhid rububbiyah dan uluhiyah Allah,
karena sesungguhnya orang yang menjadikan seseorang dari hamba Allah sebagai
pembuat hukum dan yang menentukan, ia memerintahkan dan melarang sesuai dengan
kemauannya, menghalalkan dan mengharamkan semaunya serta memberikannya hak
ketaatan dalam hal itu, meskipun ia menghalalkan yang haram, seperti zina,
riba, khamr, dan judi, kemudian juga mengharamkan yang halal seperti thalaq
(mencerai) dan berpoligami. Dan juga menggugurkan kewajiban-kewajiban, seperti
khilafah, jihad, zakat, amar ma'ruf dan nahi munkar, dan menegakkan
ketentuan-ketentuan Allah dan yang lainnya. Barangsiapa yang menjadikan orang
seperti ini sebagai hakim dan syari' (pembuat undang-undang) maka sebenarnya
dia telah menjadikannya sebagai tuhan yang ditaati segala perintahnya dan
dipatuhi segala peraturannya. Inilah yang dijelaskan di dalam Al Qur'an dan
diuraikan oleh Sunnah Nabi. Al Qur'an menggambarkan perilaku Ahlul Kitab
sebagai berikut:
"Mereka
menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 31)
Bagaimana
bisa mereka itu dikatakan telah menjadikan orang-orang alim dan rahib mereka
sebagai tuhan-tuhan, padahal tidak bersujud kepada mereka dan tidak menyembah
mereka sebagaimana penyembahan terhadap berhala?
Pertanyaan
ini dijawab oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Tirmidzi dan Ibnu Jarir yaitu tentang kisah Islamnya 'Ady bin Hatim Ath-Thaa'i
yang sebelumnya beragama Nasrani kemudian datang ke Madinah dan orang-orang
membicarakan tentang kedatangannya. Maka ia mendatangi Rasulullah SAW, sedang
di lehernya terdapat salib dari perak. Ketika itu Rasulullah SAW membacakan
ayat: "Ittakhadzuu Ahbaarahum wa ruhbaanaham arbaaban min
duunillaah." 'Ady berkata: "Sesungguhnya mereka tidak menyembah
rahib-rahib itu!" Maka Nabi SAW bersabda: "Ya, mereka itu telah
mengharamkan atas pengikut-pengikutnya yang halal dan menghalalkan kepada mereka
yang haram, sehingga para pengikut itu mengikuti mereka, maka itulah ibadah
mereka terhadap para rahib." (HR. Tirmidzi)
Ibnu
Katsir berkata: "Demikianlah Hudzaifah bin Yaman dan Ibnu Abbas mengatakan
penafsiran ayat tersebut, karena mereka telah mengikuti para rahib itu dalam
hal yang para rahib itu telah halalkan dan haramkan."
As-Su'dy
mengatakan: "Mereka telah memperturuti para ulama mereka, pada saat yang
sama mereka membuang kitab Allah di belakang punggung mereka, untuk itu Allah
SWT berfirman: "Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah
kepada Tuhan Yang Esa." Yaitu tuhan yang apabila mengharamkan sesuatu maka
itu menjadi haram, dan apa saja yang telah Dia halalkan maka menjadi halal, apa
yang telah ditetapkan dalam syari'at maka harus diikuti dan apa yang telah
diputuskan maka harus dilaksanakan, tiada ilah (Tuhan) selain Dia, Maha Suci
Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan."
Inilah
kesimpulan makna kalimat yang pertama dari kedua kalimat syahadah, yakni
kalimat "Laa ilaaha illallaah" yang konsekuensinya adalah: tidak
mencari Rabb selain Allah, tidak menjadikan selain Allah sebagai wali
(penolong) dan tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim, sebagaimana
diucapkan/dikatakan oleh Al Qur'an dalam ayat-ayatnya yang sharih dan yang muhkamat.
Adapun
kalimah yang kedua dari kalimat syahadah yang berfungsi sebagai syarat sahnya
seseorang masuk Islam adalah "Muhammadan Rasulullah." Karena
sesungguhnya mengakui keesaan Allah Ta'ala sebagai Ilah dan Rabb itu tidak
cukup apabila tidak disertai pengakuan yang kedua, yaitu bahwa Muhammad adalah
utusan Allah.
Sesungguhnya
hikmah (kebijaksanaan) Allah telah menghendaki, di mana Allah tidak membiarkan
manusia ada tanpa makna, dan tidak membiarkan mereka tanpa arti. Untuk itu
Allah mengutus kepada mereka dalam setiap kurun waktu para penyampai risalah
yang berfungsi memberikan petunjuk, membimbing dan mengarahkan kepada mereka
untuk memperoleh ridha-Nya dan menghindarkan mereka dari murka-Nya, itulah
mereka para Rasul. Allah SWT berfirman:
"(Mereka
Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
agar tidak ada alasan bagi manasia membantah Allah sesudah diutusnnya
rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An-Nisaa': 165)
Sebagaimana
juga bahwa tugas para Rasul itu adalah membuat kaidah-kaidah, nilai-nilai dan
standar yang mengatur kehidupan dalam masyarakat serta memberi petunjuk ke arah
yang benar. Manusia bisa menjadikan itu sebagai pedoman apabila mereka
berselisih, dan bisa kembali kepadanya apabila terjadi saling bermusuhan,
sehingga mereka memperoleh kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kemuliaan, jauh
dari kebathilan, kezhaliman, keburukan dan kerusakan. Allah swt berfirman:
"Sesungguhzya
Kami telah mengutus rasul- rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia
dapat melaksanakan keadilan." (Al Hadid: 25)
Inilah
sesuatu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada rasul-Nya berupa Al Kitab yang
terangkai di dalamnya nash-nash wahyu ilahi yang terpelihara. Dan "Al
Mizan" (timbangan) yang itu merupakan standar nilai-nilai Rabbani yang
ditunjukkan oleh para Nabi berupa percontohan ideal dan keutamaan manusiawi
yang berjalan di bawah pancaran Kitabullah.
Kalau
bukan karena keberadaan (tanpa) mereka, para rasul, niscaya manusia akan
tersesat dari jalannya untuk memahami hakikat uluhiyah dan jalan menuju
ridha-Nya. Dalam hal pelaksanaan kewajiban mereka terhadap Allah, tentu mereka
akan membuat cara sendiri-sendiri dengan metode yang berbeda-beda. Sesungguhnya
Allah tidak menurunkan hukumnya untuk memecah-belah melainkan untuk
mempersatukan, tidak untuk merobohkan akan tetapi untuk membangun, dan tidak
dalam rangka menyesatkan tetapi memberi petunjuk.
Utusan
yang terakhir adalah Muhammad SAW dialah yang menyampaikan perintah, hukum dan
syari'at Allah. Melalui dia kita mengetahui apa-apa yang diinginkan oleh Allah
dari kita dan apa-apa yang diridhai oleh Allah atas kita, apa-apa yang
diperintahkan oleh Allah kepada kita dan apa-apa yang dilarang-Nya. Melalui
Nabi kita mengenal Rabb kita, kita mengetahui dari mana asal kita dan hendak
kemana kita menuju, kita mengetahui jalan hidup kita, mengenal halal dan haram
dan mengetahui kewajiban-kewajiban. Kalau bukan karena Nabi SAW, maka kita akan
hidup dalam kegelapan tanpa mengenal tujuan dan tidak tahu jalan, Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya
telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab
yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah
datang kepadamu cahaya dan Allah, dan kitab yang menerangkannya. Dengan kitab
itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari
gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (Al
Maaidah: 15-16)
Melalui
Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa di balik kehidupan ini masih ada kehidupan
lainnya, di mana akan dimintai pertanggungjawaban setiap jiwa manusia terhadap
apa yang ia perbuat, dan akan dibalas apa yang ia kerjakan. Maka orang-orang
yang berbuat buruk, akan dibalas sesuai dengan amalnya, dan orang-orang yang
berbuat kebajikan akan dibalas dengan kebaikan pula.
Melalui
Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa sesungguhnya di balik apa yang kita
lakukan itu ada hisab (perhitungan) dan mizan (timbangan amal), ada pahala dan
siksa, serta surga dan neraka. Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun (atom), niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah:
7-8)
Melalui
Nabi SAW kita mengetahui prinsip-prinsip kebenaran dan kaidah-kaidah keadilan serta
nilai-nilai kebaikan dalam syari'at (suatu aturan hidup) yang tidak menyesatkan
dan tidak melalaikan. Syari'at yang dibuat oleh Dzat yang mengetahui rahasia,
Dzat yang tidak ada yang mampu bersembunyi dari-Nya, Dzat yang mengetahui siapa
yang merusak dan siapa pula yang memperbaiki. Allah SWT berfirman .
"Apakah
Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan
rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al Mulk: 14)
Untuk
itulah maka kalimat "Muhammadan Rasulullah" adalah penyempurna dari
kalimat "Laaa ilaaha illallaah" yang artinya tiada yang berhak
disembah selain Allah, sedangkan arti berikutnya adalah, tidak sah untuk
menyembah Allah kecuali dengan syari'at dan wahyu yang disampaikan oleh Allah
melalui lisan Rasul-Nya.
Tidak
heran apabila ketaatan kita kepada Rasulullah SAW itu merupakan bagian dari
ketaatan kita kepada Allah, sebagaimana firman Allah SWT:
"Barangsiapa
taat kepada Rasul maka taat kepada Allah." (An-Nisaa':80)
Dan
ittiba' kita kepada Rasul termasuk salah satu tanda kecintaan kita kepada Allah
SWT:
"Katakanlah:
'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali 'Imran: 3)
Ridha
terhadap hukum-Nya dan syari'at-Nya merupakan salah satu bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari keimanan kepada Allah Tidak termasuk golongan orang-orang yang
beriman orang yang menolak hukum atau perintah yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah SAW sebagai penjelasan terhadap Al Qur'an, karena Allah SWT telah
mengutusnya untuk menjelaskan kepada manusia apa (kitab) yang diturunkan kepada
mereka. Ini merupakan sesuatu yang sangat jelas dalam Al Qur'an Al Karim. Tidak
dikatakan beriman orang yang berhukum kepada selain dari Rasulullah SAW atau
orang yang menolak hukumnya atau ragu-ragu terhadap hukum itu. Allah SWT
berfirman:
"Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al Ahzab: 36)
Allah
SWT juga menjelaskan dan menolak keimanan orang-orang munafik, sebagaimana
dalam firman-Nya:
"Dan
mereka berkata: 'Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati
(keduanya).' Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali
mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka,
tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu
untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah
(ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau
(karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan
rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang
yang zhalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka
ialah ucapan: 'Kami mendengar, dan kami patuh.' Dan mereka itulah orang-orang
yang beruntung." (An-Nuur: 51)
Allah
SWT juga menjelaskan tentang orang yang ragu-ragu dalam menerima keputusan
Rasulullah SAW dan rela untuk menerima keputusan manusia lainnya, konon mereka
adalah orang-orang Yahudi:
"Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal
mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan berrnaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan
kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan
dan kepada hukum rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik
menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka
bagairnanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang
kepadamu sambil bersumpah ."Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki
selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah
orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengurus
seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
rnendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 60-65)
Inilah
sikap orang-orang yang beriman terhadap Rasulullah SAW, hukum dan syari'atnya,
sungguh mereka tidak merasa ragu-ragu sedikit pun dalam menerima hukum atau
menolaknya. Dengan kata lain mereka tidak memilih alternatif lainnya dan mereka
tidak meninggalkan ketundukan dan ketaatan, sebagaimana itu dilakukan oleh
orang-orang munafik, bahkan prinsip dan semboyan mereka adalah "Sami'naa
wa Atha'naa."
Sikap
tersebut berbeda dengan sikap orang-orang munafik yang rela terhadap hukum
selain hukum Allah dan Rasul-Nya. Dan segala sesuatu yang diikuti selain Allah
dan Rasul-Nya disebut "Thaghut," oleh karena itu Allah SWT berfirman:
"Yurriduuna an yatahaakamuu ila thaaghuut" itu membuktikan bahwa
dalam kehidupan ini hanya ada dua hukum, yaitu hukum Allah dan hukum thaghut'
tidak ada hukum yang ketiga.
Al
Qur'an telah menggambarkan kepada kita tentang sifat-sifat orangorang munafik
dan sikap mereka terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman
Allah SWT:
"Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah
turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu .lihat orang-orang munafik
menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (An-Nisaa': 61)
Al
Qur'an juga meniadakan keimanan dari orang yang tidak mau berhakim kepada
Rasulullah SAW ketika hidupnya, dan tidak mau berhukum pada Sunnahnya setelah
beliau wafat. Kalaupun sudah demikian, itu masih belum cukup. Disyaratkan agar
mereka ridha dan menyerah terhadap hukum tersebut. Inilah tabi'at keimanan dan
inilah buahnya:
"Kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang Kami
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 65)
Barangsiapa
berpaling dari semua seruan ini dan menutup kedua telinganya dari ayat-ayat
tersebut, malah sebaliknya menerima aturan-aturan, perundang-undangan, sistem
dan tradisi dari selain jalan Rasulullah SAW serta ridha diatur oleh para
filosof, baik dari timur atau barat, ulama atau umara atau apa pun namanya,
berarti ia telah menentang Allah SWT terhadap apa yang Ia syari'atkan, dan
telah mengumumkan permusuhan dengan Allah dan Rasul-Nya, dan telah keluar dari
agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. Sebagaimana firman Allah
SWT:
"Barangsiapa
yang tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir." (Al Maaidah: 44)
"Barangsiapa
tidak berhutum pada apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zhalim." (Al Maidah: 45)
"Barangsiapa
tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah, rnaka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik." (Al Maadiah: 47)
Penggunaan
kata-kata tersebut (Kaafiruun, zhaalimuun, dan Faasiquun) di dalam Al Qur'an Al
Karim menunjukkan bahwa maknanya berdekatan. Allah SWT berfirman:
"Dan
orang-orang kafir mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Al Baqarah: 254)
"Barangsuapa
yang kufur setelah demikian itu maka mereka adalah orangorang yang fasik."
(An-Nuur: 55)
"Tidak
ada yang menentang ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang kafir." (Al Ankabut: 47)
Oleh
karena itu A1 Qur'an menjadikan kefasikan itu sebagai perlawanan terhadap
keimanan, sebagaimana dalam firman Allah SW:
"Seburuk-buruk
nama (sebutan) adalah kefasikan setelah beriman." (Al Hujuraat: 11)
"Apakah
orang mukmin itu sama dengan orang yang fasik, mereka tidaklah sama." (As-Sajadah: 18)
Al
Qur'an juga menceritakan tentang Iblis ketika menolak perintah Allah untuk
bersujud kepada Adam, sebagaimana firman Allah SWT:
"Ia
membangkang dan sombong, dan ia tergolong orang-orang yang kafir." (Al Baqarah: 34)
"Dia
(iblis) adalah (berasal) dari jin, kemudian ia fasik dan perintah
Rabb-Nya." (Al Kahfi: 50)
Maka
orang yang tidak berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah berarti dia
kafir, zhalim atau fasik atau mengumpulkan sifat-sifat ini kesemuanya. Terutama
apabila ia meyakini bahwa apa yang diturunkan oleh Allah itu mengakibatkan
jumud (beku), terbelakang dan menjadi mundur, sedangkan hukum yang dibuat oleh
manusia itulah yang membawa perkembangan, kemajuan, perbaikan sosial dan
peningkatan tarap hidup.
Termasuk
penyimpangan terhadap ayat-ayat Allah dan pelecehan yang nyata terhadap
konsepsi pemikiran manusia jika ada yang mengatakan, "Bahwa sesungguhnya
ayat-ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan
Nasrani." Dan orang yang berkata ini lupa atau pura-pura lupa bahwa
ayat-ayat muhkamat ini, meskipun diturunkan kepada kaum tertentu, tetapi
kalimat-kalimatnya bersifat umum, di mana hukumnya meliputi seluruh manusia
yang tidak berhukum pada hukum Allah SWT. Merupakan kaidah yang ditetapkan oleh
para mufassirin, bahwa"Ibrah diambil dari umumnya lafadz, bukan sebab yang
khusus." Dan mustahil jika Allah mencela Ahlul Kitab yang pertama dengan
kezhaliman, kekufuran dan kefasikan karena mereka telah menolak membuang hukum
Allah di belakang mereka dan tidak mau berhukum pada hukum Allah, lantas
memperbolehkan kepada kaum Muslimin saat ini. Atau juga kepada Ahlul Kitab yang
lainnya untuk menjadikan Kitab Allah menjadi terbengkalai (terabaikan,
sementara sebagian yang lain telah menjadikannya sebagai minhaj (sistem) dan
dustur (undang-undang) hidup mereka.
Apa
faedahnya menyebutkan ayat-ayat itu dalam kaitannya dengan Ahlul Kitab kalau
bukan memberi peringatan kepada kaum Muslimin agar jangan berbuat seperti
mereka dan berhukum kepada selain hukum Allah, sehingga mereka dicela seperti
Ahlul Kitab dan sehingga mereka ditimpa oleh adzab Allah dan murka-Nya. Allah
SWT berfirman:
"Barangsiapa
ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia." (Thaha: 81)
Mengapa
Allah SWT menurunkan kepada manusia kitab dan mengutus kepada mereka seorang
Rasul, jika mereka kemudian membiarkan kitab itu dan menentang Rasul? Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan haq (benar), agar supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu." (An-Nisaa': 105)
"Dan
Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah." (An-Nisaa': 64)
Oleh
karena itu Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya setelah menyebutkan ayat-ayat
di atas sebagai berikut:
"Dan
Kami telah turunkan kepadamuAl Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putusilah perkara mereka menurut apa
yangAllah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al Maaidah: 48)
Kemudian
Allah berfirman pada ayat-ayat berikutnya sebagai berikut:
"Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dan sebagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dan hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnnya kebanyakan munusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum
jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Al
Maaidah: 49-50)
Dengan
demikian maka dalam hidup ini hanya ada dua hukum, dan tidak ada ketiganya,
yaitu hukum Islam atau hukum jahiliyah, hukum Allah atau hukum Thaghut. Maka
hendaklah seseorang itu memilih untuk dirinya, dan hendaklah setiap kaum
memilih untuk diri mereka' hukum Allah (hukum Islam) atau hukum Thaghut (hukum
jahiliyah) dan tidak ada tengah-tengah dari keduanya.
Adapun
orang-orang yang beriman maka tidak ada alternatif bagi mereka, mereka selalu
siap bersama hukum Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu siap bersama Islam'
mereka senantiasa dalam peperangan dengan Thaghut dan hukum jahiliyah.
Sesungguhnya syi'ar (semboyan) mereka apabila diseru kepada Allah dan Rasul-Nya,
mereka selalu mengatakan: "Sami'na wa 'atha'naa."
Sedangkan
orang-orang yang kafir, mereka itu selamanya berada di jalan Thaghut, mereka
selamanya dalam keadaan ragu, mereka berada dalam kubangan jahiliyah. Allah SWT
berfirman:
"Dan
orang-orang yang kafir, wali-wali (penolong-penolong) mereka adalah Thaghut,
mengelaarkan mereka dan cahaya menuju kegelapan-kegelapan, mereka itulah
penghuni neraka, mereka di dalamnya kekal selama-lamanya." (Al Baqarah: 257)
Di sini
ada dua catatan penting' yaitu sebagai berikut:
Pertama:
Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah itu merupakan suatu
kewajiban yang pasti, tidak ada seorang Muslim pun yang menentang, ungkapan itu
sama dengan istilah yang berkembang saat ini"Hakimiyah adalah kepunyaan Allah."
Yang berarti Allah-lah yang mempunyai hak (wewenang) secara mutlak untuk
membuat suatu aturan hidup, berhak memerintah dan melarang, menghalalkan dan
mengharamkan, yang berhak menentukan dan memberikan beban terhadap seluruh
makhluk-Nya.
Sebagian
orang salah memahami bahwa prinsip ini katanya berasal dari penemuan Al Maududi
di Pakistan atau Sayyid Quthub di Mesir, padahal kenyataannya pemikiran
(konsep) ini diambil dari ilmu"Ushul Fiqih Islami," dan ulama ushul
memuat pembahasan ini dalam bab"Hukum" yang masuk dalam muqaddimah
ilmu ushul, dan di dalam tema tentang"Al Hakim." Siapakah dia, mereka
semuanya bersepakat bahwa"Al Hakim" (yang menjadi penentu hukum)
adalah Allah, artinya Dia-lah yang memiliki kebenaran mutlak dalam mengatur
makhluk-Nya, sampai golongan Mu'tazilah pun tidak mengingkari hal itu,
sebagaimana dijelaskan oleh pensyarah kitab"Musallamus Tsubuut,"
salah satu kitab ushul yang terkenal.
Dalil-dalil
atas ketetapan prinsip ini baik dari Al Qur'an maupun Sunnah jelas dan nyata
yang sebagiannya telah kami sebutkan dalam menjelaskan kewajiban berhukum pada
apa yang diturunkan oleh Allah.
Kedua:
Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah SWT itu tidak akan
menghilangkan peran manusia, karena manusia itulah yang memahami nash-nash yang
ditujukan kepadanya dan meng-istimbath (menyimpulkan hukum) dari nash-nash itu'
kemudian memenuhi yang kosong dalam hal-hal yang tidak ada nashnya, yang kami
katakan dengan istilah"Min Thaqatul 'Afwi" (sisi-sisi yang
dimaafkan). Dan ini sangat luas di mana syari' (Allah SWT) sengaja tidak
membahasnya sebagai rahmat (kasih sayang) Allah kepada kita, bukan karena lupa.
Di sinilah akal seorang Muslim itu bisa mencapai dan berijtihad dalam pancaran
nash-nash dan kaidah-kaidah ushul.
[1] Lihatlah makna Ibadah pada kitab
saya,"Al Ibadah Fil Islam"
Post a Comment