BERBEDA PENDAPAT DALAM KORIDOR ISLAM
BERBEDA PENDAPAT
DALAM KORIDOR ISLAM
TUJUAN
Setelah
mengikuti penjelasan materi ini, pemirsa diharapkan mampu :
1. Menunjukkan perintah Allah
untuk senantiasa bersatu dan tidak berselisih pendapat
2. Menunjukkan alasan
kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat
3. Mengungkapkan bahwa
perbedaan dalam kehidupan adalah sunnatullah
4. Menunjukkan jenis-jenis
perbedaan dalam beragama
5. Membedakan perbedaan yang
terpuji dan perbedaan yang tercela
6. Menunjukkan adab dalam
perbedaan pendapat
POKOK-POKOK
MATERI
1. PESAN PERSATUAN
Allah SWT menyerukan umat manusia untuk bersatu dan tidak
berbeda-beda dalam beragama, berpadu dan tidak berselisih faham dalam menegakkan syari’ah-Nya (QS.
3:102-103). Allah SWT memperingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam perselisihan beragama seperti
yang pernah terjadi pada umat sebelumnya. (QS. 3:105)
2. KEMUNGKINAN PERBEDAAN
Perbedaan dalam alam semesta
adalah sunnatullah yang membuat kehidupan menjadi harmonis. Perbedaan
warna membuat kehidupan menjadi indah, kita tidak akan dapat mengetahui putih
jika tidak pernah ada hitam, merah, hijau dan warna lainnya. Kita tidak akan
dapat bekerja dengan baik jika jari-jari tangan kita ukuran dan bentuknya sama,
seperti telunjuk semua misalnya, atau kita akan kesulitan mengunyah makanan
jika bentuk gigi kita semuanya sama, taring semua misalnya, dst. Demikanlah
harmoni kehidupan, alam semesta menjadi indah ketika ada perbedaan wujud dan
fungsinya. Perbedaan pada wasa’ilulhayat (sarana hidup).
Permasalahan muncul ketika
perbedaan terjadi pada minhajul hayah (jalan hidup).
Perbedaan itu menjadi sangat membahayakan ketika terjadi pada dzatuddin
(esensi agama). Firman Allah : “
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya” QS. 40:13,
atau perbedaan yang terjadi pada ushul (dasar-dasar) yang telah
ditetapkan oleh Al Qur’an, AS Sunnah, maupun Ijma’. Sebab prinsip-prinsip yang
telah ditetapkan oleh Al Qur’an, As Sunnah maupun Ijma’ adalah esensi dasar
dari ajaran agama yang mempersatukan ajaran Muhammad SAW dengan ajaran para
Nabi sebelumnya (QS. 29: 69, 5:15 -16,
2:208), kemudian perbedaan tanawwu’ (penganeka ragaman) dalam
pelaksanaan syari’ah, antara wajib atau
sunnah. Wajib ain atau kifayah, dst.
Dengan demikian perbedaan
itu dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok berikut ini:
1. Perbedaan pada Dzatuddin
(esensi) dan Ushul (dasar-dasar) prinsipil. Perbedaan inilah diisyaratkan
Allah :
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi
rahmat oleh Tuhanmu”. QS. 11: 118-119
Inilah perbedaan yang
menghasilkan perbedaan agama seperti , Yahudi, Nasrani, Majusi, dst. Dan untuk
itulah Allah utus para Nabi dan Rasul untuk menilai dan meluruskan mereka.
Firman Allah :
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka
Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan,
dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan
di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan…” QS 2:213
2. Perbedaan umat Islam pada Qaidah
Kulliyah (kaidah umum). Perbedaan ini muncul setelah terjadi
kesepakatan pada dasar prinsipil agama Islam. Perbedaan pada masalah inilah
yang dapat kita fahami dari hadits Nabi yang memprediksikan terjadinya perpecahan
hingga tujuh puluh tiga golongan. Perbedaan ini lebih terjadi pada minhaj
(konsep) akibat infiltrasi ajaran Agama dengan konsep lainnya. Seperti akibat
infiltrasi konsep Yahudi, faham materialis, Budhis, dsb. Rasulullah
memberitahukan bahwa di antara umat ini ada yang mengikuti umat sebelumnya
sejengkal demi sejengkal hingga tidak ada lagi eksistensi agama ini kecuali
tinggal namanya. Perbedaan ini berada dalam rentangan dhalal (sesat) dan hidayah
(benar), sunnah dan bid’ah. Seperti perbedaan Ahlussunnah dan Mu’tazilah,
Qadariyah, Rafidhah, dsb.
3. Perbedaan pada Furu’iyyah
(cabang). Perbedaan ini muncul pada tataran aplikatif, setelah terjadi
kesepakatan pada masalah-masalah dasar prinsipil dan kaidah kulliyah. Perbedaan aplikasi ini
sangat mungkin terjadi karena memang Allah telah jadikan furu’ (cabang)
syari’ah agama terbuka untuk dianalisa dan dikaji aplikasinya. Al Hasan pernah
ditanya tentang ayat :” …mereka
senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Allah …”QS 11: 118-119, ia katakan : “adapun orang-orang yang telah
memperoleh rahmat Allah, maka mereka tidak akan berselisih dengan perselisihan
yang membahayakannya.
Karena perbedaan pada
tataran apliskasi ini suatu keniscayaan Allah memberikan referensi dasar untuk
menjadi titik temu dari semua perbedaan pemahamam (QS. 4:59 )
Maka perbedaan apapun yang
muncul dalam tataran aplikasi/furu’iyyah harus dikembalikan kepada kitab Allah,
dan rasul-Nya semasa hidup atau kepada
Sunnahnya setelah rasul wafat.
Porsi perbedaan ini
dilakukan oleh para Fuqaha (ahli fiqh) dalam persoalan furu’iyyah setelah
terjadi kesepakatan pada masalah ushul. Al Baghdadiy, mengatakan : “ Siapapun
yang mengidentikkan diri dengan Islam, menyadari sepenuhnya bahwa perbedaan
yang tercela (sebagai ahlunnar dari 73 golongan) adalah perbedaan fuqaha dalam
masalah furu’iyyah fiqh. Untuk menghadapi perbedaan halal-haram dalam masalah
fiqh saja terdapat dua alur:
- pendapat yang membenarkan semua pendapat mujtahid dalam masalah
fiqh, atau dengan kata lain ijtihad fiqhiyyah/furu’iyyah adalah “semua
benar”
- pandangan yang menganggap bahwa ada satu kebenaran dari perbedaan
yang bermacam-macam itu, selainnya salah, tetapi berpahala juga, artinya
tidak tersesat.
Sampai di sini dapat kita
fahami pandangan Imam Syahid Hasan Al Banna yang mengatakan bahwa khilaf
(perbedaan) fiqhiy dalam masalah-masalah furu’iyyah tidak boleh menjadi sebab
perpecahan, permusuhan, dan kebencian. Setiap mujtahid telah memperoleh
balasannya. Sabda Nabi : “Jika seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya
benar maka memperoleh dua pahala, dan jika ijtihadnya salah ia memperoleh satu
pahala”.
3. MENYIKAPI PERBEDAAN
Perbedaan dalam masalah ijtihadiyyah diakui dalam syari’ah
samawiyah (agama samawiy) terdahulu seperti yang terjadi antara Nabi
Sulaiman dan Nabi Dawud dalam masalah tanaman yang dimakan kambing seperti yang
diceritakan pada surah Al Anbiya/21:78 dst. Pada kasus ini Nabi Dawud
memutuskan bahwa pemilik kambing harus membayar ganti rugi sebesar nilai
kerusakan, dan ternyata harga kambing senilai kerusakan. Maka kambing itu
diserahkan kepada pemilik kebun. Berbeda dengan Nabi Sulaiman yang memutuskan
agar kambing diserahkan kepada pemilik kebun untuk diambil manfaatnya (susu dan
bulu), sedang ladang diserahkan kepada pemilik kambing untuk dirawat, dan
masing-masing akan mendapat miliknya kembali setelah klop. Allah memilih
ijtihad Nabi Sulaiman, akan tetapi hal ini tidak akan mengurangi derajat Nabi
Dawud di sisi Allah, karena masing-masing telah diberi kelebihan hikmah dan
ilmu. Dan masing-masing adalah mujtahid yang mengambil keputusan setelah
berfikir mendalam.
Dalam Islam kejadian serupa
pernah pula terjadi, seperti ijtihad Rasulullah pada peristiwa qath’ulliynah
(penebangan pohon kurma, QS. 59:5), tebusan tawanan perang Badr ( QS. 8:67) dsb.
Demikian juga Rasulullah SAW
menyikapi perbedaan yang terjadi di kalangan sahabat, dengan memberikan
pembenaran kepada mereka yang berbeda pendapat dalam ijtihad aplikatif. Seperti
perbedaan pendapat dua sahabat yang diutus ke Bani Quraidhah, antara yang
shalat ashar di tengah perjalanan dan yang shalat menunggu sampai di tempat
tujuan setelah lewat waktu Ashar. Begitu juga sikap Nabi terhadap dua sahabat
yang berbeda pendapat tentang shalat dengan tayammum, karena tidak ada air.
Kemudian sebelum habis waktu shalat, mendapati air. Ada yang mengulang dan ada yang tidak.
Salafus-shalih menempatkan perbedaan pendapat
ini sebagai salah satu bentuk rahmat Allah. Umar bin Abdul Azis mengatakan :”
Saya tidak suka jika para sahabat tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka
berada dalam satu kata saja tentu akan menyulitkan umat Islam. Merekalah aimmah
(para pemimpin) yang menjadi teladan, siapapun yang mengambil salah satu
pendapat mereka tentulah sesuai dengan Sunnah”.
Ketika Abu Ja’far Al Mansur
hendak menjadikan umat hanya berkiblat pada Al Muwattha’nya Imam Malik
rahimahullah. Kata Imam Malik : “ Jangan kamu lakukan wahai khalifah. Karena sesungguhnya umat
telah banyak memperoleh fatwa, mendengar hadits, meriwayatkan hadits. Dan
mereka telah menjadikannya sebagai panduan amal. Merubah mareka dari kebiasaan
itu sungguh sesuatu yang sulit, maka biarkanlah umat mengerjakan apa yang
mereka fahami ”
Dari penjelasan di atas,
maka perlu dirumuskan adab yang harus dipegang oleh setiap mujtahid dalam
melakukan penelitian masalah khilaf far’iy sebagaimana yang pernah ada pada
sahabat dan para pengikutnya. Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam
semangat mahabbah fillah (cinta karena Allah) ta’awun (kerja sama)
untuk mencapai kebenaran, dengan tetap menjauhkan diri dari perdebatan dan
fanatisme aliran.
4. ADAB BERDISKUSI DAN BERBEDA
PENDAPAT
Ketika diskusi dijadikan
sebagai salah satu cara efektif dalam mencari kebenaran, maka mutlak dirumuskan
syarat dan adab dalam berdiskusi, agar tujuan menggapai ridha Allah dalam
penelitian dapat terealisir. Adab itu ialah :
1. Tidak mendahului fardhu ain (yang
harus dikerjakan setiap orang) dengan fardhu kifayah yang menjadi otoritasnya
dalam standar syar’iy. Ada ulama yang mengatakan :”Barang siapa yang belum
melaksanakan fardhu ain lalu ia menyibukkan diri dengan fardhu kifayah, dan
menganggapnya mencari kebenaran, maka anggapannya itu dusta”
2. Tidak mendiskusikan sesuatu
kecuali yang waqi’iy (faktual) atau yang mungkin terjadi pada umumnya. Para
salaf hanya mendiskusikan sesuatu yang
terjadi atau mungkin terjadi.
3. Dialog tertutup lebih baik
dari pada forum terbuka di hadapan para pembesar maupun penguasa. Suasana
tertutup lebih mencerminkan mahabbatullah (cinta Allah) dan
kejernihan hati dan perasaan untuk memperoleh kebenaran. Sedang dalam forum
terbuka akan mendorong kecenderungan riya’ atau semangat mengalahkan lawan,
benar atau salah.
4.
Dialog adalah mencari kebenaran. Tidak boleh membedakan sikap apakah
kebenaran itu muncul dari dirinya atau dari orang lain. Memandang teman bicara
sebagai pendamping mencari kebenaran bukan lawan yang harus dikalahkan.
Bersyukur ketika ia bisa menunjukkan kesalahan dan menawarkan kebenaran. Umar
bin Khatthab setelah menetapkan jumlah bilangan mahar, lalu ditegur oleh
seorang wanita yang menolak ketetapan itu, kata Umar : “Betul wanita itu dan Umar salah”. As Syafi’iy berkata: “ Saya
tidak pernah berdiskusi dengan siapapun, kecuali saya berharap agar kebenaran
akan keluar darinya”
5. Tidak menghalangi fihak lain
menggunakan satu dalil ke dalil lain, atau dari satu probelem ke problem lain.
6. Tidak melakukan diskusi
kecuali dengan orang yang dianggap akan dapat diambil ilmunya.
Dengan memperhatikan adab
dan syarat dalam berdiskusi ini maka spirit mahabbah fillah
(cinta karena Allah) dan Ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran akan terealisir.
Wallahu a’alm.
Post a Comment