Jangan Anggap Enteng
Jangan Anggap Enteng
"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru
Rabb-nya di pagi dan di petang hari karena mengharap keridhaan-Nya. Kamu tidak
memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka, dan merekapun tidak
memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu. (Jika) kamu mengusir
mereka (padahal keadaan mereka demikian), maka jadilah kamu termasuk orang-orang
yang zhalim." (Al-An'am: 52)
Pemuka Quraisy datang kepada Rasulullah saw. Mereka
dimasyhurkan sebagai golongan papan atas. Tercatat nama-nama antara lain: Abu
Sufyan, Amru bin Hisyam, dan Akhnas bin Syariq dari Bani Zuhrah. Saat itu
Rasulullah tengah bermajlis dengan para duafa dari kalangan sahabat. Mereka
antara lain: Bilal bin Rabah, Suhaib, Ammar, dan Khabbab. Para "eksekutif"
Quraisy itu berkata kepada Rasulullah, "Sungguh kami ingin engkau membuat majlis
untuk kami, hanya, engkau tahu orang Arab menghormati kami, dan kami malu jika
Bangsa Arab mengetahui kami bermajlis dengan para budak itu. Maka kami usulkan,
jika kami mendatangimu maka singkirkan mereka, dan jika kami telah pergi,
duduklah bersama mereka sesukamu. Jika engkau setuju, kabari kami melalui
surat".
Hampir Rasulullah memenuhi usulan mereka. Ali bin Abi Thalib bahkan telah dipanggil untuk menulis jawaban dalam secarik kertas. Tiba-tiba Jibril as datang menegur, "Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan di petang hari karena mengharap keridhaan-Nya?." Demikian diceritakan oleh banyak ahli tafsir, termasuk oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Hampir Rasulullah memenuhi usulan mereka. Ali bin Abi Thalib bahkan telah dipanggil untuk menulis jawaban dalam secarik kertas. Tiba-tiba Jibril as datang menegur, "Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan di petang hari karena mengharap keridhaan-Nya?." Demikian diceritakan oleh banyak ahli tafsir, termasuk oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Allah memiliki mizan(barometer), manusia pun demikian juga.
Bangsa Arab menjuluki orang semacam Hisyam dengan Abul Hakam (bapak
kebijaksanaan), namun Allah SWT menjulukinya dengan Abu Jahal (bapak kebodohan).
Amerika menyebut pejuang Palestina dengan teroris, Islam menyebut mereka dengan
mujahid. Arab jahiliyah mensejajarkan Bilal dengan dengan binatang ternak yang
tak berharga, namun, Bilal disisi Allah memiliki timbangan yang sangat
berat.
Dalam riwayat Muslim disebutkan, pada futuh Makkah, Bilal,
Ammar dan Shuhaib melontarkan kalimat pedas kepada Abu Sufyan, "Demi Allah,
pedang-pedang Allah belum sedikitpun memperoleh korban dari musuh-musuh-Nya."
Sontak Abu Sufyan marah mendengarnya. Ia mengadu kepada Abu Bakar ra untuk
menegur mereka. Abu Bakar datang menegur, "Adakah kalian mengatakan demikian
kepada pemuka Quraisy?" Abu Bakar meneruskan aduan "penghinaan" kepada
Rasulullah. Namun, tidak seperti yang dibayangkan, Beliau saw justru berkata:
"Barangkali engkau telah membuat mereka marah. Sungguh jika itu terjadi maka
engkau telah membuat murka Allah." Kontan Abu Bakar takut akan murka Allah.
Karena dia khawatir tindakannya membuat marah ketiga sahabat. Dia segera
mendatangi mereka untuk meminta maaf. Mereka menjawab, "semoga Allah
memaafkanmu."
Ketinggian macam apakah yang menghantarkan manusia semacam
Bilal, yang hina dina di mata kafir Arab, namun dapat membuat murka Allah jika
ada yang membuat si budak itu murka? Dalam mizan Allah, Bilal adalah hamba Allah
yang memiliki ketinggian takwa. Meski dimata manusia, Bilal adalah sosok budak
miskin yang hitam legam.
Manusia umum mengukur ketinggian dan kemuliaan manusia dengan
kedudukan, harta, pangkat dan pekerjaan. Semakin kaya seseorang, ia semakin
terpandang. Semakin tinggi pangkat seseorang, ia semakin disegani. Demikianlah
manusia, kemuliaan seseorang banyak diukur dengan tolak ukur dunia. Sementara
Allah mengukur manusia atas takwanya. Bukan atas harta, pangkat, dan jabatan
yang dimiliki si hamba.
Mencapai mizan Allah juga bukan perkara mudah, ia memerlukan
kesabaran yang berat. Mencapai mizan Allah menuntut seseseorang mencintai apa
yang dicintai Allah, membenci apa yang dibenci Allah, berwali kepada siapa saja
yang berwali kepada Allah, dan memusuhi siapa saja yang memusuhi Allah.
Ringkasnya, seperti banyak dikemukakan Para Mufassir; bimtistalil awamirihi,
wajtinabi nawahihi -dengan menjalankan perintah-perintahNya, dan menjauhi
larangan-larangan-Nya.
Peringatan Allah diatas patut dijadikan pelajaran. Untuk tidak
terjebak mengukur kemuliaan seseorang atas mizan manusia belaka, melainkan mizan
Allah ta'ala. Jangan anggap enteng apalagi meninggalkan mereka yang tak berduit,
tak tampil menarik, rakyat jelata, pekerja kasar? hanya karena di depan mata ada
kelompok elit eksekutif dan konglomerat. Bisa jadi, mereka yang tampak hina
dimata manusia itu, sangat serius mengharap ridha Allah, sementara mereka yang
papan atas itu penuh pertimbangan untuk mencari ridha Allah.
Jangan pula terjebak pada simbol-simbol formal untuk menilai
seseorang. Apa yang engkau kenal sebagai tokoh, bisa jadi ia adalah manusia yang
hina. Apa yang engkau kenal sebagai pengibar bendera Islam, bisa jadi ia adalah
pengikis nilai Islam. Jangan terjebak hanya pada eksistensi mereka dalam lembaga
A, atau sebutan kiyai untuk mereka, atau atribut-atribut yang biasa mereka
sandang. Untuk tidak terjebak pada kesalahan penilaian, maka perlu memahami
mizan Allah itu sendiri. Dengan apa? tentu dengan memahami nilai kebenaran
Islam, seperti nasihat Ali bin Abi Thalib: "Kebenaran tidak diukur berdasarkan
rijal (figur), pelajarilah kebenaran itu, niscaya engkau akan tahu siapa
sejatinya pemanggul kebenaran." Wallau a'lam.
Post a Comment