Kewajiban Menegakkan Keadilan
Kewajiban Menegakkan Keadilan
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
hingga kamu menyimpang (dari kebenaran). Dan jika kamu memutarbalikkan
(kata-kata) atau enggan bersaksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
yang kamu kerjakan." (An-Nisaa': 135).
Keadilan adalah kata-kata yang paling sering dikeluhkan
banyak orang saat ini. Kata keadilan memiliki berbagai macam definisi
menurut persepsi masing-masing. Mereka berusaha menuntut keadilan ditegakkan
bagi mereka atas orang-orang yang telah menindas mereka, atau merampas sesuatu
yang menjadi milik mereka dan lain sebagainya. Kemudian, kejaksaan berusaha
tampil ke depan sebagai pemberi harapan bagi pernuntut keadilan dengan menuntut
para pelanggar keadilan dan hak-hak orang lain dengan tuntutan yang
seadil-adilnya menurut persepsi mereka. Hakim pun tak kalah sigap dalam bersaing
dengan yang lain untuk tampil sebagai penegak keadilan, bahkan mereka berada
pada posisi vital tegaknya keadilan. Merekalah ujung tombak penegak keadilan.
Namun, nyatanya banyak yang kecewa. Keputusan hakim tidak
memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat suatu perkara. Ini juga tak lepas dari
perbedaan definisi keadilan dalam pandangan masing-masing orang, serta beda
pendapat tentang kadar suatu hukuman yang benar-benar adil. Itulah jadinya,
kalau manusia menuruti hawa nafsunya dan berpaling dari hukum Allah. Mereka
terus akan berselisih tanpa henti. Menolak hukum Allah Yang Maha Mengetahui
segala sesuatu, termasuk apa yang baik dan adil bagi hamba-Nya adalah suatu
kesombongan di hadapan Allah. Maka, seharusnyalah orang-orang yang beriman
menegakkan keadilan karena Allah, juga menjadi saksi karena Allah. Karena jika
hal itu dilakukan karena selain Allah, maka niscaya keadilan tidak akan pernah
tegak.
Salah satu elemen yang tak bisa diabaikan dalam penegakkan
hukum dan keadilan adalah saksi. Perannya mungkin tak terlalu menonjol dibanding
yang lain, namun pengaruhnya terhadap tegaknya keadilan tidak bisa diabaikan
begitu saja. Bukankah keputusan hakim sangat tergantung pada kesaksian para
saksi? Bukankah banyak kesaksian telah memalingkan hakim dari kebenaran?
Bukankah banyak saksi yang telah mengubah kesaksiannya hanya karena selembar
cek?
Karena itulah, Allah menyeru orang-orang beriman dengan sebutan
orang-orang yang beriman, karena dengan begitu orang-orang yang benar-benar
beriman merasa mendapat suatu penghormatan dari Allah yang juga mengandung unsur
pengakuan Allah terhadap iman mereka. Dengan begitu, mereka akan lebih patuh
akan perintah yang akan diberikan Allah setelah seruan itu. Perintah pertama
adalah menegakkan keadilan karena Allah, kedua adalah menjadi saksi juga karena
Allah. Meskipun dapat berakibat buruk pada diri sendiri, selama itu merupakan
kebenaran, maka kesaksian itu harus dilakukan. Bahkan, meskipun kesaksian itu
akan menyebabkan orang tua atau kerabat saksi itu mendapat kesusahan atau
hukuman, kesaksian itu harus tetap dilakukan karena Allah semata. Penyebutan
diri sendiri, orang tua, dan kerabat dalam ayat ini mengandung makna yang sangat
dalam dan tegas. Hal itu karena diri sendiri tentunya setiap orang mencintainya
walaupun tidak semua tahu bagaimana mencitainya. Rasa cinta dan sayang pada diri
sendiri inilah yang biasanya menghalangi seseorang mengatakan kebenaran yang
jika ia katakan akan berakibat buruk baginya. Begitu juga cinta dan sayang pada
orang tua dan karib kerabat, menyebabkan seseorang enggan menegakkan keadilan
terhadap mereka atau bersaksi menentang mereka. Seseorang akan lebih mudah
bersaksi terhadap orang lain dibanding orang tua atau keluarganya.
Begitu juga jika terdakwa adalah orang kaya atau miskin,
kesaksian itu tetap harus dilakukan. Alah melarang orang yang beriman berpaling
dari kesaksian karena kekayaan seseorang, dan juga melarang mereka berpaling
dari kesaksian karena kasihan terhadap kemiskinan seseorang.
Inilah fenomena yang umum di masyarakat kita saat ini. Banyak
orang yang enggan, bahkan bersaksi palsu demi cintanya pada orang tua atau karib
kerabatnya. Mereka tidak lagi takut kepada Allah, sehingga dengan mudahnya
berbuat curang dan dusta. Banyak juga orang segan pada orang kaya hingga
melalaikan mereka dari menegakkan keadilan terhadapnya. Baik karena telah dibeli
dengan uangnya, atau karena takut pada anak buahnya, atau yang lainnya. Di lain
pihak ada juga yang batal menegakkan keadilan atau kesaksian karena kasihan pada
kemiskinan seseorang. Allah melarang semua ini karena hal itu belum tentu baik
bagi orang kaya atau orang miskin tersebut. Karena Allah-lah yang paling
mengetahui apa yang baik bagi mereka.
Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin untuk berpaling dari
keadilan karena menuruti hawa nafsu. Pengertian hawa nafsu di sini adalah karena
selain Allah. Seperti karena kepentingan dunia dan segala aspeknya. Lalu, agar
orang-orang yang beriman takut dari memuta balikkan kata-kata kesaksian atau
enggan bersaksi karena suatu alasan, Allah memberikan ancaman-Nya terhadap yang
berbuat demikian bahwa Dia Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat, tidak satu
pun yang dapat bersembunyi dari-Nya. Tidak ada satu pun yang dapat menghindar
dari-Nya. Maka, sudah seharusnyalah seorang mukmin menegakkan keadilan dan
kesaksian yang jujur karena Allah semata, dan meninggalkan larangan-Nya karena
takut pada-Nya semata. Sungguh, tendensi tertentu dalam usaha menegakkan
keadilan dan kesaksian hanya akan membuat semakin rancu keadilan itu sendiri.
Sekian, wallahu a'lam
Post a Comment