Membongkar Tuduhan Palsu Kaum Orientalis Dan Liberalis
Membongkar Tuduhan Palsu Kaum Orientalis Dan Liberalis
(Menelusuri Kredibilitas Sahabat Abu Bakrah r.a.)
Siapa Abu Bakrah (-51 H)?
Nama asli Abu Bakrah, menurut Ibn Sa’ad, adalah Nafi’ ibn Masruq. Dalam
beberapa catatan hadis, namanya dikenal dengan Masruh. Ibunya adalah Sumayyah
dan ia adalah saudara seibu dengan Ziyad ibn Abi Sufyan. Ia pernah menjadi
budak di Thaif. Ketika Rasulullah mengepung penduduk kota tersebut, beliau bersabda, “Siapa saja
yang datang kepada kami, maka dia bebas (merdeka) sebagai budak.”
Baginda memanggilnya dengan nama Abu Bakrah.*1) Al-Hasan
al-Basri, salah seorang ulama tâbi‘în terkemuka, menyatakan, “Tidak ada seorang
sahabat pun dari sahabat-sahabat Rasulullah Saw yang tinggal di Basrah lebih
mulia dibandingkan dengan Imran ibn Husayn dan Abu Bakrah. Ia mempunyai banyak
pengikut dan merupakan orang terpandang di Basrah.”
Ia wafat di Basrah tahun 51 H.*2) Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahîh
al-Bukhârî dan Shahîh Muslim, telah meriwayatkan 14 hadis yang bersumber dari
Abu Bakrah. Yang diriwayatkan secara bersama-sama ada 8 hadis, 5 hadis
diriwayatkan secara terpisah oleh al-Bukhari, dan 1 hadis oleh Muslim.*3)
Tentang kedudukan Abu Bakrah sebagai sahabat memang tidak dipersoalkan, antara
lain sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Hasan
al-Basri, seperti yang dikutip oleh Ibn ‘Abd al-Barr di atas. Ini berarti,
sebagaimana kaidah umum yang disepakati ahli hadis, bahwa semua sahabat adalah
adil.*4)
Oleh karena itu, begitu saja sebuah nash hadis dinyatakan oleh sahabat, ulama
ahli hadis tidak akan mempersoalkannya. Akan tetapi, yang dipersoalkan adalah
orang lain yang tidak termasuk sahabat, baik sezaman maupun setelah mereka,
yang menyatakan pernah mendapatkan hadis dari Nabi Saw. Sebab, ada dua katagori
perawi hadis, sahabat atau bukan sahabat.*5) Ini adalah pandangan yang
acceptable di kalangan ahli hadis, baik sahabat tersebut terkontaminasi dengan
fitnah ataupun tidak.*6)
Abu Bakrah Dan Kasus “Sumpah Palsu”
Abu Bakrah, dalam catatan ahli sejarah, sebagaimana dikutip oleh at-Thabari
dari al-Waqidi, pernah bersumpah menyaksikan perbuatan serong al-Mughirah bin
Syu’bah, yang juga salah seorang sahabat Rasulullah Saw, ketika mereka
sama-sama berada di Basrah. Keduanya bertetangga yang dipisah oleh sebuah
jalan. Al-Mughirah ditemukan oleh Abu Bakrah dan beberapa orang sedang berada
di bawah kedua kaki seorang wanita. Ia kemudian meminta mereka untuk memberikan
kesaksian dan mereka sepakat bahwa perempuan itu adalah Ummu Jamil dari suku
Amir bin Sha‘sha‘ah yang memang tergila-gila dengan al-Mugirah. Kasus ini
terjadi pada zaman ‘Umar ibn al-Khaththab menjadi Khalifah. Setelah mendengar
kasus ini, ‘Umar ibn al-Khaththab mengirim Abu Musa al-Asy’ari untuk pergi ke
Basrah. Abu Musa tidak bersedia berangkat seorang diri, karena takut ada
syubhat dan sebagainya. Karena itu, ia meminta izin untuk membawa serta 29
sahabat, di antaranya Anas ibn Malik, Imran ibn Hushayn, dan Hisyam ibn Amir.
Al-Mughirah, Abu Bakrah, Nafi’ ibn Kildah, Syibl ibn Ma’bad al-Bajali, dan
Ziyad kemudian berangkat ke Madinah untuk dihadapkan kepada ‘Umar ibn
al-Khaththab. Akhirnya, dua dari tiga saksi yang ada, yaitu Nafi’ ibn Kildah
dan Syibl ibn Ma’bad al-Bajali, memberikan kesaksian bahwa apa yang dikatakan
oleh Abu Bakrah adalah benar; sedangkan Ziyad menyatakan yang berbeda dengan
dua saksi sebelumnya, termasuk Abu Bakrah.
Karena kesaksian ini dianggap tidak cukup, ‘Umar mencambuk mereka (Abu Bakrah,
Nafi’ ibn Kildah, dan Syibl ibn Ma’bad al-Bajali) sebanyak 80 kali cambukan.
Mereka kemudian diperintahkan agar bertobat. Dua di antaranya, selain Abu
Bakrah, telah bertobat*7), sebaliknya Abu Bakrah tidak bersedia sambil
menyatakan, “Engkau meminta aku bertobat semata-mata agar engkau dapat menerima
kesaksianku?”
‘Umar menjawab, “Benar.”
Abu Bakrah balik menjawab, “Saya wajib untuk tidak bersaksi antara dua perkara
(antara kebenaran dan kesalahan bersaksi dalam kasus al-Mughirah)
selama-lamanya, selama saya masih hidup.”*8)
Riwayat tentang kasus pencambukan dan kesaksian Abu Bakrah pada zaman ‘Umar ini
banyak dimuat oleh ahli sejarah, seperti at-Thabari, baik dalam kitab Târîkh
maupun Tafsîr-nya. Demikian juga Ibn Sa’ad dalam at-Tabaqât al-Kubrâ-nya dan
penulis biografi sahabat seperti Ibn ‘Abd al-Barr dalam al-Isti‘âb fî Ma‘rifat
al-Ashâb. Di samping itu, riwayat ini juga masyhur di kalangan ahli fikih, Ibn
Abi Syibah, dan Abdurrazzaq memuatnya dalam masing-masing kitab Musannaf-nya
serta Ibn Qudamah dalam al-Mughnî-nya. Jadi, kisah tentang kesaksian Abu Bakrah
ini memang masyhur di kalangan ulama kaum Muslim, baik ahli sejarah, biografi,
maupun fikih.
Berdasarkan berbagai catatan ahli di atas, Abu Bakrah jelas tidak pernah
bersumpah palsu atau berbohong. Sebaliknya, Abu Bakrah menyatakan kesaksiannya
terhadap perzinaan al-Mughirah ibn Syu’bah dengan Ummu Jamil sebagai kebenaran
yang diyakininya, sekalipun ia harus menanggung dua konsekuensi sekaligus:
Pertama, sebagaimana yang dinyatakannya (dalam catatan Ibn ‘Abd al-Barr), “Saya
wajib untuk tidak bersaksi antara dua perkara (antara kebenaran dan kesalahan
bersaksi dalam kasus al-Mughirah) selama-lamanya, selama saya masih hidup.”
Artinya, jika ia bersedia menarik balik kesaksiannya, atau menganggap
tuduhannya adalah palsu, berarti ia telah melakukan kebohongan, yakni dengan
menyatakan kebenaran yang disaksikannya sebagai kedustaan. Ini jelas ia
nafikan, sekalipun konsekuensinya, ia tidak akan pernah diterima lagi oleh
‘Umar. Inilah konsekuensi pertama dan inilah yang ia pertahankan, “Engkau
meminta aku bertobat semata hanya agar engkau dapat menerima kesaksianku?”
tanya Abu Bakrah kepada ‘Umar.
Kedua, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli sejarah, biografi, dan fikih,
bahwa akibat ketidakcukupan nishâb saksi, ia terpaksa dicambuk 80 kali. Bahkan,
setelah ia tidak bersedia untuk bertobat, dan ketika ditanya balik, apakah
al-Mughirah berzina atukah tidak, ia tetap mengulang jawaban yang sama, yang
membuat ‘Umar marah dan akan mencambuknya untuk ‘ronde kedua’. Akan tetapi,
niat ‘Umar dicegah oleh ‘Ali ibn Abi Thalib, dengan hujah, bahwa Abu Bakrah
tidak menyatakan tuduhan baru, selain hal yang sama seperti sebelumnya.*9)
Artinya, ia konsisten dengan kesaksiannya, sekalipun ia telah dicambuk dan
terpaksa harus menerima cambukan sebanyak 80 kali lagi—meskipun tidak jadi
dilakukan.
Dalam riwayat lain, jika cambukan ‘ronde kedua’ itu jadi dilaksanakan oleh
‘Umar, maka ia wajib merajam al-Mughirah, tetapi akhirnya tidak dilaksanakan
oleh ‘Umar.*10)
Dari kasus tersebut dapat dipahami, bahwa akibat penarikan balik Ziyad ibn Abi
Sufyan, Abu Bakrah dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, bertobat dan menarik
balik kesaksiannya, dengan konsekuensi, kesaksiannya kelak akan diterima
kembali, yang berarti beliau berbohong atau mendustakan apa yang ia saksikan
dengan mata kepalanya sendiri. Kedua, tidak mau bertobat, tidak menarik balik
kesaksiannya, yang berarti ia konsisten dengan kebenaran yang ia lihat dengan
mata kepalanya; sekalipun konsekuensinya, ia harus dicambuk dan kesaksiannya
tidak akan diterima selamanya. Dalam keadaan seperti ini, ia memilih sikap
kedua, dan ini merupakan ijtihadnya sekaligus kebenaran yang ia pertahankan
sampai meninggal dunia.
Dari gambaran di atas, tampak dengan sejelas-jelasnya, bahwa Abu Bakrah
sebenarnya tidak berbohong dalam kesaksiannya, hanya saja nishâb kesaksian
tersebut tidak cukup akibat penarikan balik kesaksian Ziyad ibn Abi Sufyan,
saudara seibunya. Ia terpaksa menanggung hukuman cambuk akibat kekurangan
nishâb kesaksian tersebut. Pada zaman Mu’awiyah, Ziyad telah dijatuhi tuduhan
oleh Mu’awiyah atas “kebohongangan” dalam kesaksiannya yang menyebabkan Abu
Bakrah dicambuk, tetapi Abu Bakrah melarang Mu’awiyah untuk melakukannya.
Setelah kasus ini, Abu Bakrah bersumpah untuk tidak berbicara dengan Ziyad yang
masih saudara seibu dengannya itu hingga meninggal dunia. Ziyad pun akhirnya
memenuhi tuduhan Mu’awiyah dan berusaha mendekati anak-anak Abu Bakrah untuk
menebus kesalahannya.*11)
Antara Kesaksian Dan Periwayatan
Setelah menganalisis kasus Abu Bakrah di atas, sebagaimana yang dituduhkan oleh
kaum Orientalis dan Liberalis, bahwa sosok Abu Bakrah sebagai saksi tidak dapat
diterima, begitu juga dalam kasus yang serupa, yaitu periwayatan. Logikanya,
hadis-hadis yang bersumber dari Abu Bakrah perlu dikaji ulang kesahihannya,
baik yang dinyatakan sahih oleh al-Bukhari maupun Muslim. Sekilas statemen dan
kongklusi ini benar, sekalipun sebenarnya salah.
Statemen dan kongklusi tersebut terlalu simplikatif, kalau tidak boleh dibilang
ngawur. Ini karena antara kesaksian (syahâdah) dan periwayatan (riwâyah)
merupakan dua fakta yang berbeda, sekalipun terdapat garis ekuivalen pada
bagian-bagian tertentu. Dari segi fakta, periwayatan (riwâyah) bergantung pada
penukilan orang yang adil serta kuat hafalan dari orang yang sejenis mulai dari
sumber berita yang pertama hingga terakhir. Fakta periwayatan ini tidak
memerlukan nishâb, juga tidak ada larangan anak meriwayatkan dari orangtua dan
saudaranya. Berbeda dengan fakta kesaksian (syahâdah). Kesaksian, di samping
harus ada syarat sifat adil dan terpenuhinya nishâb, juga tidak dibenarkan anak
menjadi saksi orangtua dan saudaranya; di samping bahwa pada masa yang sama,
kesaksian tersebut diberikan berdasarkan kesaksian mata atau telinga secara
langsung, bukan karena mendengar penuturan orang lain.
Dalam periwayatan, di samping adil, kuat hafalan, juga ada syarat sanad-nya
mesti bersambung hingga perawi terakhir. Ini berbeda dengan kesaksian, yang
tidak perlu syarat mesti kuat hafalan dan tidak adanya keterputusan sanad,
karena saksi adalah orang yang secara langsung melihat atau mendengarkan kasus.
Selain itu, hakikat kesaksian adalah memenuhi pembuktian di hadapan hakim, agar
suatu kasus yang dibuktikan itu menjadi jelas bagi hakim tersebut, yang dengan
begitu, dia dapat mengambil keputusan hukum. Kesaksian tidak boleh diwakilkan
atau dinukilkan melalui orang lain. Fakta ini juga berbeda dengan
periwayatan.*12)
Dengan demikian, menyamakan kesaksian dengan periwayatan adalah cara berfikir
simplikatif dan ngawur, yang menunjukkan ketidakcukupan perangkat ilmu atau
dengan sengaja merancang kebohongan atas nama obyektifitas. Sungguh absurd.
Kesaksian adalah menyatakan apa yang dilihat atau yang didengar, bukan
menyatakan tentang berita yang didengar atau dilihat. Berita yang didengar atau
dilihat, yang kemudian disampaikan kepada orang lain, bisa bohong ataupun
benar, sedangkan apa yang dilihat dan didengar mesti benar, jika dibuktikan
dengan nishâb saksi yang representatif. Ini berbeda dengan berita, sekalipun
jumlah pembawa berita tersebut kuantitasnya sangat banyak, nilai berita
tersebut tetap ada dua kemungkinan, bisa benar dan salah, bergantung pada
kredebilitas pembawa beritanya. Karena itu, kesaksian dengan periwayatan jelas
berbeda.
Memang, ada garis ekuivalen antara kesaksian dan periwayatan, yakni sama-sama
memerlukan syarat adil. Akan tetapi, tetap perlu dibedakan, bahwa adil dalam
kasus periwayatan mempunyai kualifikasi yang berbeda dengan adil dalam kasus
kesaksian. Adil dalam periwayatan berarti Muslim, berakal, serta selamat dari
sebab-sebab kefasikan dan terkikisnya murû‘ah (kehormatan diri). Sebaliknya,
adil dalam kasus kesaksian berarti konsisten, yakni bersikap preventif terhadap
apa yang dianggap orang sebagai tidak konsisten.*13) Karena itu, seorang saksi
tidak mesti Muslim, tetapi boleh non-Muslim, dalam kasus yang oleh syariat ditetapkan
boleh untuk diberi kesaksian oleh orang non-Muslim. Berbeda dengan periwayatan
yang mesti diriwayatkan hanya oleh seorang Muslim.
Menghukumi Kasus Abu Bakrah
Berdasarkan perangkat ilmu di atas, dapat disimpulkan, bahwa kasus Abu Bakrah
perlu dilihat sebagai kasus hukum syariat. Artinya, keputusan bahwa ‘Umar
mencambuk Abu Bakrah sebanyak 80 kali akibat ketidakcukupan nishâb kesaksiannya
itu merupakan hukum syariat yang diterapkan kepada orang yang bersaksi tetapi
kurang memenuhi nishâb yang dibutuhkan. Demikian pula, keputusan ‘Umar untuk
tidak menerima kesaksian Abu Bakrah, adalah hukum syariat yang diputuskan oleh
seorang hakim terhadap fakta hukum tertentu. Keputusan hakim ini juga mengikat
karena merupakan hukum syariat yang disampaikan oleh lembaga peradilan. Pada
masa yang sama, keputusan Abu Bakrah untuk memilih bersikap konsisten dengan
kesaksiannya, apapun konsekuensinya, juga adalah keputusan hukum syariat; ia
yang lebih rela tidak diterima kesaksiannya untuk selama-lamanya daripada berbohong
kepada Allah, bahwa kesaksiannya salah.
Hanya saja, apakah keputusan ‘Umar untuk tidak menerima kesaksian Abu Bakrah
tersebut juga mengubah kredibelitas keadilannya sebagai perawi? Jawabannya,
tidak. Sebab, hukum tersebut berkaitan dengan kesaksian Abu Bakrah, bukan
periwayatannya, yakni berkaitan dengan hukum penolakan kesaksiannya akibat
ketidakcukupan nishâb-nya serta ketidakse-diaannya untuk menarik balik
kesaksiannya dan untuk bertobat di hadapan ‘Umar yang menjadi hakim ketika itu.
Pada masa yang sama, keputusan Abu Bakrah ini juga merupakan hukum syariat yang
ia pilih, ketimbang ia harus berdusta kepada Allah sekalipun kemudian
mengakibatkan kesaksiannya akan diterima kembali.
Dari kasus ini, jelas sekali, bahwa apa yang dialami oleh Abu Bakrah,
sebagaimana yang dideskripsikan oleh ahli hadis disebut sebagai lubs al-fitan
(terkontaminasi oleh fitnah), sehingga apa yang menjadi pendiriannya dipandang
sebagai hukum syariat berdasarkan ijtihadnya. Ini berbeda kalau ia berdusta.
Kasus-kasus serupa juga pernah dialami oleh ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr; yakni
ketika menjadi bughât kepada ‘Ali ibn Abi Thalib. Demikian juga tindakan
sahabat yang lari dari medan
perang dalam Perang Hunayn atau yang membocorkan rahasia kaum Muslimin kepada
musuh seperti yang dilakukan oleh Hatib ibn Abi Balta’ah. Semuanya ini, oleh
ahli hadis disebut dengan lubs al-fitan, dan tidak akan mencederakan
kredibelitas mereka sebagai pembawa berita.*14)
Karena itu, al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim,
tetap menerima riwayat Abu Bakrah, dan bukan hanya satu dua riwayat, tetapi 14
hadis; 8 buah hadis diriwayatkan secara bersama-sama, 5 buah hadis diriwayatkan
secara terpisah oleh al-Bukhari, dan 1 hadis oleh Muslim.*15) Kedudukan Shahîh
al-Bukhari dan Shahîh Muslim sendiri telah diakui oleh semua ulama sebagaimana
kata Ibn Taymiyah, “Tidak ada kitab di bawah kolong langit ini yang paling
sahih setelah al-Quran, kecuali Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim.”*16)
Imam al-Bukhari sendiri memberikan jaminan, “Saya tidak memasukkan dalam kitab
al-Jami’ ini kecuali yang sahih, dan masih banyak yangn sahih yang lain saya
tinggalkan, karena takut terlalu panjang.”
Imam Muslim juga menyatakan, “Tidak semua hadis sahih yang saya hafal saya
letakkan di sini, tetapi saya hanya meletakkan apa yang mereka sepakati.”*17)
Penutup
Serangan terhadap Abu Bakrah, salah seorang sahabat Nabi, sebenarnya merupakan
tujuan antara, karena tujuan yang sebenarnya adalah untuk menciptakan keraguan
pada sumber otentik Islam, yaitu Hadis Nabi Saw. Adalah naif, dengan
justifikasi obyektifitas ilmiah, kesimpulan yang kurang didukung dengan
perangkat ilmu yang mencukupi digunakan untuk menilai ketidakabsahan seorang
sahabat sebagai perawi. Ini, tentu saja, merupakan upaya konspiratif untuk
menegakkan kebohongan dengan justifikasi obyektifitas ilmiah.
Akhirnya, meminjam kata-kata Waliyullah ad-Dahlawi, “Siapa saja yang
merendahkan kedudukan keduanya (Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim) adalah
pembuat bid’ah dan pengekor jalan orang-orang non-Mukmin.”
Mereka adalah persis seperti orang-orang yang mem-bebek kepada para Orientalis.
Tepat sekali, ungkapan Abu Zar’ah ar-Razi yang menyatakan, “Jika Anda melihat
seseorang menuduh salah seorang sahabat Rasulullah Saw dengan tuduhan negatif,
ketahuilah, bahwa dia adalah orang zindiq. Sebab, Rasul jelas benar, al-Qur‘an
juga pasti benar, dan apa yang dibawanya adalah benar; yang semuanya itu hanya
sampai kepada kita melalui jasa para sahabat. Orang-orang zindiq itu hendak
mencederakan kesaksian kita kepada al-Kitab dan as-Sunnah, padahal mencedarakan
“kredibelitas” mereka jauh lebih utama.”*18) Wallâhu Rabb al-Musta‘ân.
Catatan Kaki
1. Ibn Sa’ad, Tabaqât al-Kubrâ, Juz VII, hlm. 15; Ibn al-Qayyim, Zâd
al-Ma‘âd, juz III, hlm. 497.
2. Ibn ‘Abd al-Barr, Al-Isti‘âb, juz IV, hlm. 1531.
3. Masâ’il al-Imâm Ahmad, juz III, hlm. 291
4. Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifâyah fî ‘Ilm ar-Riwâyah, hlm. 46-49;
As-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, hlm. 400
5. Al-Amidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, juz II, hlm. 95
6. Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifâyah fî ‘Ilm ar-Riwâyah, hlm. 46-49;
As-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, hlm. 400
7. At-Thabari, Târîkh at-Thâbarî, juz II, hlm. 493
8. Ibn ‘Abd al-Barr, Al-Isti‘âb, juz IV, hlm. 1615
9. Ibn Abi Syibah, Musannaf, juz II, hlm. 127
10. Ibn Qudamah, al-Mughnî, juz VIII, hlm. 235
11. Ibn Sa’ad, at-Thabaqât al-Kubrâ, juz VII, hlm. 15
12. Fathi Muhammad Salim, Al-Istidlâl bi azh-Zhann fî al-‘Aqîdah, hlm. 122
13. Taqiyuddin an-Nabhani, Syahshiyyah al-Islâmiyyah, juz I, hlm. 279; Ahmad
ad-Da’ur, Ahkâm al-Bayyinah, hlm. 53
14. Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifâyah fi ‘Ilm ar-Riwâyah, hlm. 46-49;
As-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, hlm. 400
15. Masâ’il al-Imâm Ahmad, juz III, hlm. 291
16. Ibn Taymiyah, Majmû‘ al-Fatâwâ Syaykh al-Islâm, juz XVIII, hlm. 74
17. Dr. ‘Ajaj al-Khathib, Ushûl al-Hadîts, hlm. 318
18. Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifâyah fî ‘Ilm ar-Riwâyah, hlm. 49
Oleh: Hafizh Abdurrahman
hayatulislam.net
Post a Comment