Tiga Kelompok Dari Generasi Nabi SAW di Era Pra-Karbala
Tiga Kelompok Dari Generasi Nabi SAW di Era Pra-Karbala
Secara tegas saya katakan bahwa Imam Husein adalah pewaris
Islam, pewaris revolusi yang diledakkan oleh kakeknya, pewaris gerakan
perubahan menyeluruh yang dipertahankan oleh sang ayah dan saudara tercinta.
Sayangnya, beliau tidak mewarisi pasukan, senjata atau harta. Oleh karena itu,
tidak ada lagi sisa-sisa kekuatan yang bisa beliau andalkan. Bahkan, beliau pun
tidak mendapatkan warisan kelompok yang punya komitmen yang cukup.
Semua ini menunjukkan bahwa pada awal mulanya kepemimpinan Imam Husein
merupakan modal dan basis utama. Sebagaimana keberadaan setiap pemimpin yang
mengimani keharusan perjuangan, bangkit dan melakukan perlawanan bagi beliau
bukan sebuah pilihan yang bebas. Namun, beliau harus tunduk pada segala situasi
dan kondisi yang tengah berkembang, termasuk dalam mengambil pola peperangan
yang harus beliau hadapi.
Situasi dan kondisi tersebut adalah sebuah keadaan yang telah didominasi oleh
segenap syarat kekuatan dan kelemahan musuh, kemudian dilakukan usaha untuk
dapat menentukan sikap yang harus diambil. Oleh karenanya, kita tidak dapat
memahami dengan benar cara yang dipilih Imam Husein as di memperjuangkan
revolusinya kecuali setelah kita memahami ihwal kondisi umum dan khusus yang
beliau hadapi, serta faktor-faktor yang mengharuskan beliau memilih cara
tersebut.
Gerakan Imam Husein as. dimulai pada tahun 60 H, di saat umat sedang menunggu
sosok pemimpin yang akan mengemban tugas kepemimpinan serta meneruskan revolusi
yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdullah saww, dimana panji-panjinya mulai
runtuh lantaran serangan dan pukulan Bani Umayyah serta kroni-kroninya.
Dari sinilah kita dapat memahami bahwa masa Imam Husein as. adalah masa yang
begitu sulit, sedemikian mencekik, karena memang sebuah masa yang akan menjadi
tonggak sejarah. Beliau telah melihat apa yang terjadi di sekitar beliau serta
kondisi yang meliputi beliau, maka beliau menyadiri dirinya akan sebuah
tanggung jawab melindungi revolusi yang telah kehilangan asas-asasnya dan
runtuh benteng terakhir serta nilai-nilai misinya. Bahkan, tidak lagi tersisa
-sejak wafatnya sang kakek dan sang ayah sebagai wajah Islam, kebenaran dan
keadilan- satu pedang atau satu orang pun.
Kondisi sosial-politik umat pada awal-awal tahun 60 adalah sebagai berikut;
bahwa telah berlangsung beberapa tahun, dimana Bani Umayyah merongrong Revolusi
Islam dan pondasi sosialnya serta berusaha menumbangkan para pemimpinnya, satu
persatu. Di sisi lain, orang-orang Quraisy memanfaatkan segala hasil dan berkah
Revolusi tersebut untuk kepentingan pribadi mereka. Sedangkan para pejuang
Revolusi dan para generasi penerusnya yang pernah mengenyam pendidikan langsung
Rasulullah berada di ambang
keruntuhan pusat kekuatan Revolusi tersebut.
Mereka dapat terpecah ke dalam tiga kelompok:
Pertama, mereka yang tidak dapat tinggal diam dengan sabar melihat
nilai-nilai Islam yang agung diinjak-injak dan dihinakan. Untuk itu, mereka
bangkit, menegakkan sholat, berperang, dll. Di dalam kelompok ini kita temukan
Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Mas’ud, Haitsam, Hijr bin ‘Adiy, dll
yang telah memilih jalan untuk dapat meneguk cawan syahadah. Mereka adalah
orang-orang unggul kelompok pertama ini.
Kedua, mereka yang menganggap bahwa jalan menuju surga tidak hanya
terbatas pada berjuang di bawah kilatan pedang, bahwa jihad bukanlah
satu-satunya pintu surga. Menurut mereka, banyak jalan lain yang lebih mudah
dan lebih aman yang dapat ditempuh untuk mencapai surga, yaitu hidup dengan
zuhud, ibadah dan menyendiri dari keramaian khalayak. kelompok ini dipelopori
oleh Ibnu Umar atau Abdullah bin Umar. Ironisnya, lahirnya kelompok ini
diprakarsai oleh segolongan sahabat yang pernah mendapat didikan langsung
Rasulullah saww. dan memahami makna jihad serta perjuangan dan pengorbanan
dalam rangka membela dan mempertahankan kebenaran. Sungguh mengherankan. Mereka
mengisi kehidupan mereka di masa-masa yang sulit –yang menuntut adanya
orang-orang yang meneriakkan suara mereka demi keadilan- dengan menghindari medan pertempuran antara
hak dan bathil. Mereka lebih mengkonsentrasikan jiwa dan pikirannya di
sudut-sudut masjid dan rumah-rumah kosong. Mereka mengira dirinya telah
mengorbankan pribadi-pribadi pilihan menjadi pahlawan kebenaran dalam rangka
kebaikan penguasa dan mereka yang menginginkan untuk kembali pada suasana
sebelum Islam. Apalagi di saat itu banyak dari kalangan umat yang berada di
bawah tarian cambuk Bani Umayyah, menunggu sikap yang tegas dari mereka yang
dapat melawan berbagai penyimpangan dan kedzaliman. Kelompok kedua ini
sesungguhnya telah mementingkan keselamatan diri sendiri ketimbang peduli pada
arti pengorbanan dan jihad.
Ketiga, mereka yang pernah mengantongi curicullum vitae yang gemilang
dan seabrek prestasi serta kemuliaan jihad bersama Rasulullah di sejumlah
peperangan seperti; Badar, Uhud dan Hunain. Mereka pernah mendapatkan kemuliaan
berkorban di Madinah, kota
Hijrah dan Jihad. Sialnya, mereka sendiri yang telah menjual kecemerlangan
kemarin dengan kekerdilan, kehinaan dan kesenangan sementara di 'istana hijau'
Muawiyah. Mereka memungut harta dan melakukan praktek busuk suap-menyuap.
Mereka tak segan-segan lagi menempuh cara-cara yang dilakukan Abu Hurairah,
yakni memproduksi hadis dalam rangka memberikan pembenaran atas apa yang dilakukan
oleh Muawiyah terhadap Keluarga Rasul, Revolusi Rasul dan nilai-nilai Rasul
saww. Selanjutnya saya akan mengajak Anda menganalisa lebih dalam kelompok ke
dua dan ke tiga ini. Segera akan kita lihat analisa kita berujung pada
pengecaman terhadap mereka.
Pada kelompok kedua yang meninggalkan perjuangan serta lari mendekam di
tempat-tempat ibadah di saat-saat yang sulit seperti ini, sesungguhnya tangan
mereka berlumuran darah suci. Cairan merah kental yang menetes dari tangan
mereka adalah darah-darah suci para pahlawan yang syahid. Para
syahid Karbala
itu adalah para pahlawan ini. Hal itu karena setiap orang atau setiap pribadi
mukmin yang memahami tanggung jawabnya dengan baik serta punya kemampuan untuk
mengambil sikap, namun membiarkan kebenaran dikorbankan di bawah kebatilan
serta meninggalkan perjuangan serta meluluhkan keteguhan kepercayaannya yang
hakiki pada jihad serta perjuangan, pada sadarnya mereka telah mengorbankan
kehidupan para pahlawan yang berkorban di di medan pertempuran itu demi kenyamanan
penguasa yang dzalim.
Adapun kelimpok ketiga, mereka itu kelompok yang lebih kerdil, busuk dan lebih
berbahaya. Bagaiamana tidak? Merekalah yang mendagangsapikan nilai-nilai
Rasulullah dan kemulian amanah beliau dengan segerincing receh dirham yang bisa
dibilang. Mereka telah menukar kemuliaan dengan kehinaan. Mereka adalah
segolongan sahabat Rasul yang pernah berjuang bersama beliau.
Apa yang dapat Anda katakan jika sahabat seperti Abu Hurairah yang menimba ilmu
dan hadis yang begitu banyak dari Rasulullah, kemudian meratifikasi hadis suci
hanya untuk membela kepentingan Muawiyah. Bahkan, dia pula yang mengusahakan
desakan cinta Yazid yang terkenal itu pada istri Abdullah bin Salam?
Orang-orang seperti mereka adalah generasi pascarevolusi Islam, generasi kedua
yang mayoritas mereka relatif muda. Mereka tidak pernah melihat kegemilangan
Islam di masa-masa awal revolusi. Sepatutnya, mereka mendengar riwayat
kebesaran Islam dari mulut generasi sebelumnya yang berada di dalamnya dan
menyaksikan langsung. Justru sebaliknya, yang mereka dapatkan adalah
tersungkurnya para tokoh revolusi ini, satu persatu jatuh ke jurang kehinaan
dan keterpurukan! Kekecewaan apakah, kepahitan yang mana, dan kehancuran yang
bagaimana yang akan mereka rasakan di hadapan cita-cita besar yang disebut
'Islam', sementara mereka melihat riwayat hitam jajaran elit Islam yang lahir
di dalam masyarakat madani Rasulullah dan revolusinya.
Kebangkitan Hijir Bin Adiy
Namun, harapan belumlah pupus! Kabar-kabar gembira revolusi lahir dari rahim
generasi ini sendiri! Yaitu pergerakan. Meskipun belum sempurna syarat-syarat
kematangan mereka, namun melalui sosok seorang pemimpin yang bernama Hijir Bin
Adiy, atmosfir politik dan sosial revolusi Al-Husein telah mulai menyelimuti
Kufah setelah gugurnya para pahlawan mereka di Karbala.
Oleh karena itu, di dalam barisan generasi ke dua ini terdapat gerakan yang
dibicarakan dari mulut ke mulut, di lorong-lorong Kufah. Hijir bin Adiy-lah
yang menjadi pelopor gerakan ini. Ia adalah seorang sahabat mulia. Ia sempat
bertemu Nabi saww. Ktika masih kanak-kanak. Ia ikut berperang bersama Imam Ali
pada usia yang relatif muda. Pada zaman Imam Hasan ,
ia menunjukkan kematangannya sebagai seorang politikus yang cerdas, yang
mengalirkan ide-ide cemerlang dan kesadaran yang dalam akan tanggung jawabnya.
Pada awalnya, ia “menyalahkan” keputusan Imam Hasan
yang telah menAndatangani perdamaian dengan Muawiyah. Tidak lama setelah itu,
Imam Hasan berhasil memuaskannya dan
membuatnya puas untuk menerima akan kebenaran apa yang beliau lakukan
menghadapi kebusukan Muawiyah.
Hijir adalah seorang yang kuat pendiriannya. Dia tidak pernah membiarkan
kedzaliman dibangkitkan. Ia tidak pernah mengatakan “Ya” demi kehinaan dan
politik kotor. Tidak mudah menerima logika taqiyyah dan gerakan “bawah tanah”
yang digagas oleh Imam Hasan as.
Pada saat yang sama, Hijir tidak siap hidup secara terhina dan menyaksikan
wabah kedzaliman, dominasi kejahatan, kediktatoran, kebebasan nafsu di segala
bidang, pemerkosaan hak, sikap masabodoh terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang
telah dihasilkan oleh revolusi Islam.
Maka itu, sewaktu Hijir bangkit untuk menyatakan perlawanan terhadap rezim Bani
Umayyah di Irak, dan dengan cepat meluas ke seluruh penjuru negeri itu, segera
dia arahkan laras dan ledakan revolusi tepat di jantung kejahatan mereka yang
telah mencekik seluruh nilai kebebasan dan keadilan. Namun apa boleh dikata,
revolusi Hijir tidak mencatat kemenangan sebagaimana ia mencatat syahadah para
pahlawannya. Sebab, tidak lama kemudian Hijir gugur meneguk cawam syahadah
setelah rezim Bani Umayyah mengeluarkan fatwa palsu. Akibatnya, fatwa itulah
yang menyeret Hijir ke dalam acara pemenggalan kepalanya dan kepala-kepala para
sahabatnya di kota
Marj Adzra’ dekat Damasykus. Hukuman itu mereka terima dalam rangka membayar
komitmen mereka pada nilai-nilai Ali, ajaran-ajarannya serta butir-butir
pendidikan madrasahnya. []
(Diterjemahkan oleh Abdullah Beik, dari Al-Syahadah, Ali Syariati, Darul Amir
lil Staqofah, Beirut ,
2002
Post a Comment