PERMAINAN DAN SENI
PERMAINAN DAN SENI
HILANGNYA HAKIKAT ANTARA SIKAP BERLEBIHAN DAN MEMPERMUDAH
Barangkali
pembahasan yang paling rumit dan paling sulit berkaitan dengan masyarakat Islam
adalah masalah permainan dan seni. Hal itu karena kebanyakan manusia dalam hal
ini terjerumus pada permasalahan antara berlebihan dan mempermudah, mengingat
karena masalah permainan dan seni ini lebih berkaitan dengan perasaan hati
nurani daripada akal dan pemikiran. Dan selama terjadi demikian itu
permasalahannya, maka akan lebih banyak kemungkinan untuk munculnya sikap
berlebihan di satu sisi dan mempermudah di sisi yang lain.
Ada
sebagian yang memahami bahwa masyarakat Islam itu adalah masyarakat ibadah dan
taat, masyarakat yang serius dan disibukkan oleh amal, maka tidak ada kesempatan
di dalamnya untuk bermain-main, bersenda gurau atau menyanyi dan bermain musik.
Tidak diperbolehkan lagi bagi bibir ini untuk tersenyum, bagi mulut untuk
tertawa dan bagi hati untuk bergembira, tidak pula bagi kebahagiaan untuk
berseri di wajah manusia.
Barangkali
pemahaman seperti ini didukung oleh perilaku sebagian aktivis dakwah, yaitu
mereka yang wajahnya selalu cemberut, pelipisnya nampak bergaris, gigi
taringnya kelihatan, seakan ia manusia yang berputus asa, gagal atau bahkan
gangguan jiwa. Dan perilaku yang aneh ini mereka pahami seakan merupakan ajaran
Islam. Maksudnya, mereka telah mengatasnamakan semua perilaku ini sebagai
tuntutan ajaran Islam. Padahal agama tidak punya dosa apa-apa, kecuali
kesalahfahaman mereka saja yang telah mengambil hanya sebagian nash, tidak
berusaha untuk mengambil atau membandingkan dengan nash yang lainya.
Bisa
jadi dalam masalah-masalah tertentu boleh saja bagi mereka untuk bersikap keras
terhadap diri mereka jika memang mereka puas dengan hal itu, akan tetapi yang
berbahaya di sini adalah jika mereka memukul rata kekerasaan itu kepada seluruh
masyarakat dan memaksakan pendapatnya. Sehingga menimbulkan fitnah dan membuat
masalah dalam kehidupan manusia seluruhnya.
Kebalikan
dari mereka itu adalah orang-orang yang melepaskan segala ikatan etika, norma
untuk memperturutkan keinginan hawa nafsunya. Sehingga jadilah seluruh
kehidupannya untuk bermain-main, dan mereka menghilangkan itu batas-batas yang
boleh dan yang tidak boleh, antara yang harus dilakukan dan yang tertolak, dan
antara yang halal dengan yang haram.
Maka
kita lihat mereka itu mengajak pada kerusakan akhlaq dan mempromosikan
kebebasan serta menyebarkan hal-hal yang keji, baik yang zhahir maupun yang
bathin, dengan mengatasnamakan seni, atau sarana hiburan. Mereka lupa bahwa
yang dinilai itu adalah esensi dan isinya, bukan nama dan simbolnya, dan segala
sesuatu itu dilihat maksud dan motivasinya.
Oleh
karena itu harus ada pandangan yang adil terhadap pembahasan ini. Jauh dari
kekerasan sikap sebagian manusia dan sikap mempermudah sebagian yang lainya.
Yakni pandangan yang sesuai dengan nash-nash yang benar-benar shahih, yang
dalilnya (maknanya) jelas dan di bawah naungan maqasid syari'ah (maksud
syari'ah) dan kaidah-kaidah fiqih yang juga sudah ditetapkan.
Di sini
saya tidak bisa merinci karena saya sudah menulis tentang tema ini dalam
berbagai kitab yang saya susun, khususnya di dalam kitab "AI Halal Wal
Haram Fil-Islam" dan kitab "Fatawa Mu'aashirah," juz pertama dan
kedua, lebih khusus lagi juz dua.
AL QUR'AN MEMAPARKAN DUA UNSUR, MANFAAT DAN KEINDAHAN DALAM KEHIDUPAN
<<
Kembali ke Daftar Isi >>
Apabila
jiwa seni itu adalah bagaimana merasakan adanya keindahan dan menghayatinya,
maka itulah yang diingatkan oleh Al Qur'an untuk diperhatikan, dan Al Qur'an
telah menegaskan dalam banyak ayatnya.
Al
Qur'an mengingatkan kita dengan tegas akan pentingnya unsur keindahan dan
kecantikan yang telah Allah ciptakan pada setiap makhluq-Nya, selain unsur
manfaat atau faedah yang juga ada padanya.
Demikian
juga Allah telah memberikan kemampuannya kepada manusia untuk bisa merasakan
keindahan dan hiasan sekaligus manfaat dari sesuatu.
Allah
SWT berfirman menjelaskan karunia-Nya yaitu tentang penciptaan binatang ternak,
"Dan
Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada (bulu) yang menghangatkan
dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan." (An-Nahl: 5)
Ayat
tersebut menjelaskan tentang hikmah dan manfaat binatang. Kemudian pada ayat
berikutnya Allah SWT berfirman:
"Dan
kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke
kandang dan ketika kamu melepaskan ke tempat penggembalaan." (An-Nahl: 6).
Ayat ini
mengingatkan sisi keindahan yang mengingatkan kita akan keindahan Rabbani yang
belum pernah disentuh oleh tangan pelukis seni yang dia hanya seorang makhluq,
tetapi justru digambar langsung oleh Tangan Sang Pencipta, yakni Allah SWT.
Di dalam
surat yang sama
Allah berfirman,
"Dan
(Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai agar kamu menungganginya dan
(menjadikannya) perhiasan." (An-Nahl:8).
Menungganginya
dapat menghasilkan manfaat, adapun hiasan itu merupakan kenikmatan tersendiri
berupa keindahan yang bernilai seni yang dengannya siapa pun orangnya akan
menyukainya.
Pada surat yang sama, Allah
SWT juga menjelaskan tentang nikmat-Nya berupa lautan yang ditundukkan untuk
manusia. Firman-Nya,
"Dan
Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untakmu), agar kamu dapat memakan dari
padanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu
perhiasaan yang kamu pakai ..." (An-Nahl:
14).
Di dalam
ayat ini Allah tidak hanya menjelaskan faedah lautan dari unsur materi saja
yaitu ikan yang bisa dimakan dan dimanfaatkan oleh tubuh, tetapi juga disertai
hiasan yang dipakai sebagai perhiasan sehingga bisa dinikmati oleh mata dan
dirasakan oleh hati.
Taujih
Qur'ani seperti ini juga disebutkan berulang kali dalam Al Qur'an di berbagai
lapangan kehidupan, seperti tumbuh-tumbuhan, tanaman, kurma, anggur, zaitun,
delima dan yang lainnya, Allah SWT berfirman di dalam surat Al An'am:
"Dan
Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak, berjunjung,
pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa (bentuk dan warnanya), tetapi tidak sama (rasannya) Makanlah dari
buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di
hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnnya); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebihan." (Al An'am: 141)
Di dalam
ayat lain pada surat
yang sama Allah berfirman setelah menjelaskan tanam-tanaman, kebun kurma dan
anggur sebagai berikut:
"Perhatikanlah
buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang beriman." (An-An'am 99)
Sebagaimana
jasad kita membutuhkan makan buah-buahan pada saat berbuah, demikian juga jiwa
kita membutuhkan hiburan yaitu dengan melihat buah itu apabila saatnya berbuah
dan matang. Dengan demikian maka manusia harus menghindari dari harapannya yang
berlebihan yaitu kepentingan perut. Allah SWT juga berfirman:
"Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhrya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebihan. Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan
(siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik..?" (Al A'raf: 31-32)
Hiasan
itu merupakan kebutuhan jiwa kita sedangkan makan dan minum itu adalah
kebutuhan jasad kita. Keduanya sama-sama diperlukan.
Demikian
juga kita dapatkan istifham inkari (pertanyaan dalam bentuk pengingkaran) pada
ayat yang kedua di atas yang ditujukan pada dua sasaran, yaitu sikap
mengharamkan "Hiasan Allah" yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan mengharamkan "Ath-Thayyibaat" (yang baik-baik)
dari rezki.
"Zinatullah"
(hiasan Allah) menggambarkan tentang keindahan yang telah Allah persiapkan
untuk hamba-hamba-Nya, selain unsur manfaat yang tergambar dalam ungkapan
"Ath-Thayyibaat min ar-Rizqi." Coba renungkanlah penyandaran ini
yaitu penyandaran kata "Ziinah" kepada "lafadz Allah," ini
membuktikan kemuliaan zinah (hiasan) dan mengingatkan kita akan urgensinya.
Dalam
dua ayat berikut ini Allah SWT berfirman, menjelaskan tentang fungsi pakaian
sebagai berikut:
"Hai
anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi
auratmu dan pakaian indah untuh perhiasaan. Dan pakaian taqwa itulah yang
paling baik . ." (Al A'raf: 26)
Dalam
ayat ini Allah SWT menjelaskan tentang fungsi pakaian dalam tiga unsur, yaitu
menutupi 'aurat yang diungkapkan dalam, "Yuwwarii sau'aatikum,"
kemudian berfungsi sebagai keindahan dan hiasan, yaitu sebagai upaya
pemeliharaan dari panas dan dingin, dan pakaian taqwa yang diungkapkan dengan,
"Wa libaasut-taqwaa."
ORANG YANG BERIMAN ITU MEMILIKI RASA KEINDAHAN TERHADAP ALAM DAN KEHIDUPAN
<<
Kembali ke Daftar Isi >>
Sesungguhnya
orang yang berkeliling di taman Al Qur'an akan bisa melihat dengan jelas bahwa
sesungguhnya Al Qur'an itu ingin menanamkan di dalam fikiran setiap mukmin dan
di dalam hatinya rasa keindahan yang terbentang di seluruh penjuru dunia, baik
dari atas, dari bawah maupun dari sekelilingnya. Baik di langit, di bumi, pada
tumbuh-tumbuhan, hewan dan pada manusia itu sendiri.
Di dalam
melihat keindahan langit ia bisa membaca firman Allah SWT:
"Maka
apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami
meninggikan dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak
sedikit pun." (Qaaf: 6)
"Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan
kami telah menghiasi itu bagi orang-orang yang memandangnya." (Al Hijr: 16)
Dan di
dalam melihat keindahan bumi dan tumbuh-tumbuhannya ia bisa membaca firman
Allah SWT:
"Dan
Kami hamparkan bumi itu dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang
indah dipandang mata." (Qaaf: 7)
"Dan
yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu
kebun-kebun yang berpemandangan indah.." (Al
Naml: 60)
Dalam
melihat keindahan hewan ia bisa membaca firman Allah SWT:
"Dan
kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke
kandang, dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan." (An-Nahl: 6)
Dan
dalam melihat keindahan manusia ia bisa membaca firman Allah SWT,
"Dia-lah
(Allah) yang memberi rupa kamu dengan sebaik-baik rupa." (At-Taghaabun: 3)
"Yang
telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan
tubuh)-mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun
tubuhmu." (Al Infithar: 7-8)
Sesungguhnya
seorang mukmin itu melihat bahwa tangan Allah-lah yang menciptakan segala
sesuatu yang dia lihat di alam yang indah ini. Dia melihat pula keindahan Allah
di dalam keindahan makhluq-Nya, dia melihat di dalamnya, "Perbuatan Allah
yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu." (An-Naml:
88) Yaitu Dia, "Yang memperbagus segala sesuatu yang Dia
ciptakan." (As-Sajadah: 7)
Dengan
demikian maka seorang mukmin harus senang melihat keindahan yang ada di alam
semesta ini, karena itu sebagai refleksi dari keindahan Allah SWT.
Seorang
mukmin juga mencintai keindahan, karena "Al Jamil" merupakan salah
satu asma Allah SWT dan sifatnya-Nya yang mulia. Seorang mukmin juga mencintai
keindahan, karena Rabbnya mencintai yang indah, Allah itu indah dan mencintai
yang indah.
Inilah
yang diajarkan oleh Nabi SAW kepada sahabatnya. Mungkin ada sebagian manusia
yang mengira bahwa mencintai keindahan itu bisa mengurangi keimanan atau
memasukkan seseorang ke lingkup kelalaian dan kesombongan yang dibenci oleh
Allah dan oleh manusia.
Ibnu
Mas'ud meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga
orang yang di dalam hatinya ada sebiji sawi dari kesombongan," ada seorang
yang bertanya, "Sesungguhnya jika ada seseorang yang senang memakai baju
baik dan sandal baik (apakah itu termasuk kesombongan?), Nabi SAW bersabda,
"Sesungguhnya Allah itu indah, mencintai keindahan, kesombongan adalah
menolak kebenaran dan membenci manusia" (HR. Muslim)
AL QUR'AN
MUJIZAT YANG lNDAH
<<
Kembali ke Daftar Isi >>
Al
Qur'an Al Karim merupakan mu'jizat Rasul yang agung termasuk mu'jizat yang
indah selain juga mu'jizat yang logis. Ia telah membuat bangsa Arab tidak mampu
berkutik, yaitu dengan keindahan bayannya, kerapian susunan dan uslubnya, dan
keunikan suaranya apabila dibaca, sehingga sebagian mereka menamakannya
"Sihir."
Yang
dituntut di dalam membaca Al Qur'an adalah bertemunya antara keindahan suara
dan tajwidnya sampai keindahan bayan dan susunannya, oleh karena itu Allah SWT
berfirman:
"Dan
bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan." (Al
Muzzammil:4)
Rasulullah
SAW bersabda
"Bukanlah
termasuk ummatku orang yang tidak melagukan Al Qur'an." (HR. Bukhari)
Tetapi
dengan lagu yang khusyu' bukan main-main atau merubah.
"Hiasilah
Al Qur'an itu dengan suaramu." (HR. Muslim)
Dalam
riwayat lainnya disebutkan
"Sesungguhnya
suara yang baik itu menambah Al Qur'an menjadi baik." (HR. Ahmad, Abu
Dawud dan An-Nasa'i)
Rasulullah
SAW juga bersabda kepada Abu Musa Al Asy'ari RA, "Seandainya kamu
melihatku, aku mendengarkan suaramu tadi malam, sungguh kamu telah diberi
seruling dari seruling keluarga Dawud." Abu Musa berkata, "Seandainya
aku mengetahui hal itu, maka aku akan membacakan untukmu dengan bacaan yang
lebih baik." (HR. Muslim)
Rasulullah
SAW juga bersabda:
"Apa
yang diizinkan Allah pada sesuatu, apa yang dizinkan Allah kepada Nabinya
(adalah) untuk membaguskan dalam melagukan Al Qur'an yang dia baca dengan
keras." (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Saya
pernah mendengar syaikh kita Dr. Muhammad Abdullah Darraz rahimahullah pernah
menceritakan kepada kami tentang sikapnya dalam Majlis Al A'la penerangan
siaran, dan beliau termasuk staf anggota, mengatakan "Sesungguhnya mereka
itu menghendaki untuk menjadikan waktu membaca Al Qur'an pada pembukaan dan
penutupan acara serta dalam acara-acara yang lainnya karena dengan perhitungan
memberikan andil di bidang agama saja," maka Syaikh mengatakan,
"Sesungguhnya mendengar Al Qur'an itu bukan hanya pertimbangan agama saja,
akan tetapi juga bernilai seni dan keindahan dari isi kandungan Al Qur'an dan
suaranya yang indah."
Ini
benar, karena dalam Al Qur'an terkandung unsur agama, ilmu, sastra dan seni
secara bersamaan. Dia mampu memberikan siraman ruhani, memberikan kepuasan
akal, membangunkan perasaan, memberikan kenikmatan pada perasaan dan
memperlancar lisan.
Post a Comment