Ulah Anak Manusia
Ulah Anak Manusia
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
(Ar-Ruum: 41).
Bumi Indonesia terkoyak. Negeri beribu pulau yang indah permai
tiba-tiba menjadi negeri yang kaya akan musibah. Tidak hanya di daratan, tidak
hanya di lautan, di udara pun ada musibah. Ketika hujan tertahan dari langit,
Indonesia kekeringan. Gunung Kidul, Demak, Boyolali, dan tempat-tempat lain
kekurangan air. Petani menjerit. Hujan kemudian turun. Tiba-tiba Bojonegero dan
Jakarta banjir bandang. Belum kering luapan banjir, pasar Tanah Abang, Senen,
dan permukiman Manggarai kebakaran. Sebuah pemandangan yang tampak ironis.
Betapa tidak? api dan air mengamuk bersama di tempat yang berdekatan. Pasar
Tanah Abang luluh lantak, hancur berkeping-keping. Kerugian ditaksir mencapai
triliunan rupiah. Bukan hanya kerugian ekonomi yang diperkirakan, dampak sosial,
psikologis, dan keamanan turut menghantui.
Giliran laut "unjuk gigi". KM Mutiara tenggelam di perairan
Sumatera. Kapal karam karena kerusakan mesin. Puluhan korban berhasil
dievakuasi. Selebihnya, belum diketahui nasib dan rimbanya, karena pemerintah
memutuskan penghentian pencarian korban. Udara tak ketinggalan. Belum sepi
langit Indonesia dari batuk gunung berapi: Papandayan, Merapi, dan muntahan
lahar gunung di Menado, sebuah heli jatuh di hotel Sahid Jaya Jakarta.
Sebelumnya, pesawat jenis cassa jatuh di Kalimantan, juga di Jawa Barat:
tragis dan mengenaskan! Heli yang sedianya mendarat di lantai 22 jatuh
berkeping-keping memenuhi kolam renang di lantai 3. Tiga orang tewas seketika,
termasuk Mayor TNI AU Affandi Malik, sang pilot.
Ini belum cerita soal tanah longsor, gagal panen padi petani,
gagal panen ikan tambak akibat banjir, kecelakaan kereta api, dan lain-lain.
Demikian, musibah datang bertubi-tubi. Anak Bangsa yang memiliki nurani turut
prihatin, sedih, dan pilu. Namun, cukupkah kita tenggelam dalam kesedihan dan
kesedihan? Peristiwa demi peristiwa semestinya menjadi bahan introspeksi, ada
apa dengan musibah? Adakah yang salah dengan diriku, masyarakatku, pemimpinku?
Perhatikan firman Allah yang Maha Kuasa, "Telah tampak kerusakan di darat dan
di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar)." (Ar-Ruum: 41).
Kerusakan di darat dan di laut disebabkan ulah anak manusia.
Ibnu Katsir menuliskan, makna "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia...." adalah seperti kurangnya
panen pada tanaman dan tumbuhan yang disebabkan karena kemaksiatan. Abul 'Aliyah
berkata, "Barang siapa bermaksiat kepada Allah di muka bumi, maka sungguh ia
telah merusak bumi, karena baiknya bumi dan langit adalah dengan ketaatan
(kepada Allah)."
Maksiat? maksiat?! Ia menjadi sumber bencana. Karena maksiat,
barakah tertahan; karena maksiat, musibah berdatangan. Padahal, umumnya manusia
sekarang akrab dengan maksiat. Maksiat tak mengenal kasta. Dari kawula alit
hingga birokrat, orang miskin hingga orang kaya, pinggiran hingga gedongan,
semua tenggelam dalam maksiat ria. Bahkan, kiai pun tak sunyi dari maksiat. Kok?
ya, tengok rapat MUI Jombang beberapa waktu lalu. Seorang kiai keberatan atas
pencekalan Inul, alasannya, goyangan Inul dalam konteks mencari nafkah. Dan,
menampakkan aurat karena bekerja adalah halal, na'udzu billah. Ya, ketika
syahwat memuncak, manusia sering kehilangan akal sehatnya.
Pada level pemimpin bangsa, maksiat yang mencolok adalah
mengabaikan amanah, baik amanah yang menyangkut hak Allah maupun hak rakyat. Hak
Allah yang diabaikan adalah hukum-hukum-Nya yang tidak ditunaikan, sedangkan hak
rakyat yang diabaikan adalah hak untuk diayomi, dilindungi, dan disejahterakan.
Para pejabat justru mengeksploitasi rakyat bak sapi perahan. Rakyat seperti
komoditas yang bernilai jual tinggi. Semua demi syahwat kuasa dan kekayaan, baik
untuk pribadi maupun kelompok. Betapa banyak pejabat menjadi kaya raya yang
melampaui gajinya: berumah megah, bermobil mewah, berlaku jetset dan borjuis.
Sementara, bagi rakyat, mencari sesuap nasi sulitnya minta ampun. Untuk makan
saja harus "senin-kemis", itu pun masih ditingkahi kenaikan harga yang membubung
tinggi.
Soal korupsi, alamaaak, jangan ditanya lagi! Oleh PERC, lembaga
penelitian yang bermarkas di Hongkong, Indonesia bahkan dinobatkan sebagai
negara terkorup se-Asia. Sedemikian canggihnya hingga tindak korupsi di
Indonesia sulit dibuktikan secara hukum. Tetapi, (maaf) ia seperti kentut,
baunya terasa tapi wujudnya tak terlihat. Karenanya, ketika seorang tokoh
menyatakan partainya sebagai terkorup, dia kesulitan memberikan bukti materiil,
meski banyak orang meyakini kebenarannya.
Sebab lain datangnya musibah adalah hilangnya budaya malu.
Tengok, bangsa yang sedemikian besar dipimpin oleh seorang yang dinyatakan
bersalah oleh pengadilan negeri, bahkan pengadilan tinggi. Namun ia tetap segar
bugar, sehat walafiat, seperti tidak pernah terjadi apa-apa, dan tidak merasa
bersalah. Itu level pejabat tinggi. Level akar rumput, masyarakat tenggelam
dalam "inulian", joget-joget, tari-tarian yang mengumbar aurat, dan
menganggapnya semua itu sebagai kewajaran. "Gilanya", ketika pro- kontra jogetan
erotis merebak, sebuah partai besar malah hendak menjadikan si penjoget menjadi
maskot. Seolah akhlak, moral, dan etika tak penting lagi, bagai nilai usang yang
kolot dan harus direformasi dengan nilai permisif (serba membolehkan).
Hadis berikut patut dicamkan. Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah
saw. bersabda, "Hai golongan Muhajirin, ada lima perkara jika kamu ditimpa
atau ia terjadi di lingkunganmu--saya berlindung kepada Allah jika hal itu
terdapat di antaramu. Bila suatu kaum melakukan perzinaan (faahisyah) secara
terang-terangan, mereka akan diserang penyakit yang belum pernah dialami oleh
nenek moyang mereka. Bila mereka mengurangi timbangan dan takaran, mereka akan
dihukum dengan kepapaan dan kemiskinan serta kelaliman dari pihak penguasa. Bila
mereka enggan membayar zakat harta mereka, mereka akan terhalang beroleh hujan
dari langit, kalaulah bukan karena hewan ternak, tiadalah mereka akan pernah
diberi hujan. Bila mereka melangar janji Allah dan janji Rasul-Nya, mereka akan
dijajah musuh dari bangsa lain yang akan merampas sebagian kekayaan mereka. Bila
pemimpin mereka tidak menjalankan hukum-hukum yang tertera dalam kitabullah,
maka silang sengketa akan berkobar di antara mereka." (HR Ibnu Majah,
Al-Bazzar dan Baihaqi).
Fenomena sosial ini menghajatkan perubahan. Tentu bukan perkara
mudah mewujudkannya. Harapan tinggal tertumpu kepada pemilik nurani yang
berpihak kepada kebenaran dan keadilan. Kuncinya sabar dan istiqamah. Tidak
lelah dalam menyuarakan seruan moral, selirih apa pun suara itu. Dengan harapan
seruan itu dapat menghadang laju percepatan kemungkaran, karena kemungkaran yang
berlarut menjadi sumber bencana. Ketika bencana tiba, kadang ia tidak mengenal
lagi mana orang baik dan mana orang buruk. Bukankah Rasulullah saw. bersabda,
"Tidaklah suatu kaum yang kemaksiatan dilakukan di tengah-tengah mereka,
padahal mereka lebih kuat dan besar jumlahnya dari yang melakukannya namun tidak
mengubahnya, kecuali Allah timpakan azab untuk mereka secara umum." (Abu
Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Semoga musibah yang menimpa bangsa ini menyadarkan kita untuk
kembali ke jalan Allah Ta'ala, sebagaimana bunyi dari akhir ayat di atas,
"... supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." Wallahu a'lam.
Post a Comment