Wahyu
Perkembangan ilmiah telah maju dengan pesat, dan cahayanya
pun telah menyapu segala keraguan yang selama ini merayap dalam diri manusia
mengenai roh yang ada di balik materi. Ilmu materialistis yang meletakkan
sebagian besar yang ada di bawah percobaan dan eksperimen percaya terhadap dunia
gaib yang ada di balik dunia nyata ini, dan percaya pula bahwa dunia gaib lebih
rumit dan lebih dalam daripada dunia nyata ini, dan bahwa sebagian penemuan
modern yang membimbing pikiran manusia menyembunyikan rahasia yang samara, yang
hakikatnya tidak bisa dipahami oleh ilmu itu sendiri, meskipun pengaruh dan
gejalanya dapat diamati. Hal yang demikian ini telah mendekatkan jarak antara
pengingkaran terhadap agama-agama dengan keimanan. Dan itu sesuai dengan firman
Allah, "Akan kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
Alquran itu benar adanya." (Fushilat: 35).
"Dan, tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit." (Al-Isra: 85).
Kemungkinan Terjadinya
Wahyu
Pembahasan psikologi dan rohani kini mempunyai tempat yang penting
dalam ilmu pengetahuan. Hal itu pun didukung dan diperkuat oleh perbedaan
manusia dalam kecerdasannya, kecenderungannya, dan nalurinya. Di antara
intelijensia itu ada yang istimewa dan cemerlang sehingga dapat menemukan segala
hal yang baru. Tetapi, ada pula yang dungu dan sukar memahami urusan yang mudah
sekalipun. Di antara dua posisi ini terdapat sekian banyak tingkatan. Demikian
pula halnya dengan jiwa, ada yang jernih dan cemerlang, ada pula yang kotor dan
kelam.
Di balik tubuh manusia ada roh yang merupakan rahasia hidupnya.
Tubuh itu kehabisan tenaga dan jaringan-jaringan mengalami kerusakan jika tidak
mendapatkan makanan menurut kadarnya. Demikian pula roh, ia memerlukan makanan
yang dapat memberikan tenaga rohani agar dapat memelihara sendi-sendi dan
ketentuan-ketentuan lainnya.
Bagi Allah bukan hal yang jauh dalam
memilih dari antara hamba-hamba-Nya sejumlah jiwa, yang dasarnya begitu jernih
dan kodrat yang lebih bersih, yang siap menerima sinar ilahi dan wahyu dari
langit serta hubungan dengan mahluk yang lebih tinggi, agar kepadanya diberikan
risalah ilahi yang dapat memenuhi keperluan manusia. Mereka mempunyai ketinggian
perasaan dan keluhuran budi, dan kejujuran dalam menjalankan hukum. Mereka
itulah para rasul dan nabi Allah. Maka, tidaklah aneh bila mereka berhubungan
dengan wahyu yang datang dari langit.
Manusia kini menyaksikan adanya
hipnotisme yang menjelaskan bahwa hubungan jiwa manusia dengan kekuatan yang
lebih tinggi menimbulkan pengaruh. Ini mendekatkan orang pada pemahaman tentang
gejala wahyu. Orang yang berkemauan lebih kuat dapat memaksakan kemauannya
kepada orang yang lebih lemah, sehingga yang lemah ini tertidur pulas, dan ia
kemudian menuruti kehendaknya sesuai dengan isyarat yang diberikan. Maka,
mengalirlah semua itu ke dalam hati dan mulutnya. Apabila ini yang diperbuat
manusia terhadap sesama manusia, bagaimana dengan yang lebih kuat dari manusia
itu?
Sekarang orang dapat mendengar suara yang direkam dan dibawa oleh
gelombang eter, menyeberangi lembah dan dataran tinggi, lautan, dan daratan
tanpa melihat si pembicara, bahkan sesudah mereka wafat sekalipun. Kini dua
orang dapat berbicara melalui telepon, sekalipun yang seorang berada di ujung
timur dan seorang yang lain berada di ujung barat, dan terkadang pula mereka
berdua saling melihat dalam percakapan itu, semantara orang-orang yang duduk di
sekitarnya tidak mengetahui sesuatu melainkan dengingan seperti suara lebah,
persis seperti dengingan pada waktu turun wahyu.
Siapakah di antara kita
yang tidak pernah mengalami percakapan dengan diri sendiri, dalam keadaan sadar
atau tidur, yang pernah terlintas dalam pikirannya tanpa melihat orang yang
diajak berbicara di hadapannya. Yang demikian ini serta contoh-contoh lain yang
serupa cukup menjelaskan kepada kita tentang hakikat wahyu.
Orang yang
sezaman dengan wahyu menyaksikan wahyu dan menukilnya secara mutawatir dengan
segala persyaratan yang meyakinkan kepada generasi-generasi sesudahnya. Umat
manuisa pun menyaksikan pengaruhnya di dalam budaya bangsanya serta dalam
kemampuan pengikutnya. Manusia akan tetap menjadi mulia selama tetap berpegang
pada keyakinan itu, dan akan hancur serta hina bila sudah mengabaikannya.
Kemungkinan terjadinya wahyu serta kepastiannya sudah tidak dapat diragukan
lagi. Untuk itu, manusia harus kembali kepada petunjuk wahyu demi menyiram
jiwanya yang haus akan nilai-nilai luhur.
Rasul kita, Muhammad, bukan
rasul pertama yang diberi wahyu. Allah juga telah memberikan wahyu kepada
rasul-rasul sebelumnya. Seperti firman Allah, "Sesungguhnya Kami telah
menyampaikan wahyu kepadamu seperti Kami telah menyampaikan wahyu kepada Nuh dan
nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah menyampaikan wahyu pula kepada
Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun, dan
Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud. Dan Kami telah mengutus
rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan
rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah
berbicara kepada Musa dengan langsung." (An-Nisa: 163--164).
"Patutkah
menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di
antara mereka, 'Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang
yang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka?'
Orang-orang kafir berkata, 'Sesungguhnya orang ini (Muhammad) adalah benar-benar
tukang sihir yang nyata'." (Yunus: 2).
Sumber: Studi Ilmu-Ilmu Quran,
terjemahan dari Mabaahits fii 'Uluumil Quraan, Manna' Khaliil al-Qattaan
Post a Comment