Bukan Hak Manusia Menghapus Syariat
Bukan Hak Manusia Menghapus Syariat
Taufiq Adnan Amal, ahli tafsir Islam Liberal, menyatakan bahwa
jihad yang dilakukan dinasti-dinasti Islam masa lalu adalah bentuk
penyalahartian jihad, sekadar untuk tujuan-tujuan politis, seperti perluasan
wilayah. Pandangan tersebut tampaknya dipengaruhi antara lain oleh interpretasi
dia bahwa jihad kalau terpaksa dilakukan, harus bersifat defensif, tidak boleh
ofensif. Menurutnya, jihad dalam arti sempit dan ofensif akan menjadikan dunia
kiamat. "Karena, dengan alasan non-muslim halal darahnya, lantas orang Islam
akan menembakkan senjata pemusnah massal ke arah mereka...." demikian kilahnya
berlebihan. (www.islamlib.com).
Tentu hal itu bukan tafsir baru. Apa yang disampaikan Taufiq
tidak lebih dari copy paste pandangan para islamolog Barat. Sebut saja
misalnya Prof. Ali S. Asani di Harvard University. Menurutnya, prestasi gemilang
bangsa Arab (baca: Islam) ketika menaklukkan Afrika Utara hingga Spanyol di masa
lalu tidak lebih dikarenakan dorongan kepentingan pertumbuhan yang normal saja
dari sebuah kerajaan, bukan karena jihad. Ia menganalogikan dengan perbuatan
Hitler yang mengaku dirinya Kristen yang taat dan mengira bahwa apa yang
dikerjakannya adalah perbuatan yang dianjurkan oleh agama Kristen, padahal yang
dilakukannya adalah perbuatan keji dan bukan tindakan yang dapat diterima oleh
nilai-nilai Kristen. (Jihad Gaya Amerika, www.isnet.org.).
Ketika Adnan ditanya, bagaimana mendudukkan ayat-ayat jihad
agar tidak disalahartikan? Dia mengemukakan sebuah metodologi. Menurutnya,
Alquran harus dipahami menurut konteksnya. Ada empat konteks yang ia sampaikan:
konteks sejarah, konteks kronologi, konteks memahami keseluruhan Alquran, dan
konteks kekinian. Di sini terdapat kejanggalan pada simpulan Adnan soal ayat
jihad, sebentuk inkonsistensi dalam mengartikulasi metodologi yang ia teorikan.
Mengapa? justru dengan metode yang sama, para ulama tidak ada yang berkesimpulan
seperti kesimpulan Adnan yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan dinasti masa
lalu bukanlah jihad, tidak ada jihad ofensif? dan seterusnya.
Tidak dapat dipungkiri, human error memang bisa terjadi.
Namun, menyebut ekspansi dinasti-dinasti Islam masa lalu sebagai bukan jihad
jelas sebuah generalisasi yang sembrono. Apalagi, diiringi tuduhan sebagai
bentuk penerapan jihad yang salah, jelas sebuah kesimpulan yang tak berdasar.
Tulisan berikut berusaha menelusuri kronologi perintah jihad dalam Alquran,
diiringi dengan komparasi terhadap fakta-fakta empirik yang tercatat dalam
sejarah Islam. Dengan begitu, akan tampak gamblang bahwa, jihad dalam perjalanan
sejarah tidak bisa disederhanakan sebagai aktivitas yang banyak ditunggangi oleh
vested interest manusia, apalagi sebagai bentuk kesalahan penerapan
jihad. Justru, apa yang mereka lakukan adalah artikulasi sebuah ideologi yang
berlandaskan hukum syariat.
Kronologi Syariat Jihad dalam Alquran
Fase Pertama: Larangan Berperang
Fase pertama, Allah melarang umat Islam berperang melawan kafir Quraisy. Bahkan, Allah menganjurkan kepada umat Islam untuk bersabar menghadapi tindak represif Quraisy masa itu. Larangan tersebut lantaran kondisi muslim lemah dan tidak memiliki kekuatan. Sejarah membuktikan bahkan Nabi saw. hanya memberikan dukungan berupa doa kepada beberapa sabatnya yang disiksa Quraisy, seperti kisah keluarga Yasir. Larangan berperang tersebut seperti diisyaratkan, "Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: 'Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat'!" (An-Nisa': 77). Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari takutnya. Keberadaan fase ini seperti ditegaskan para ulama, antara lain Ibnu Qoyyim (Zaadul Ma'ad III/157) dan Ibnu Katsir dalam menafsirkan QS Al-Jatsiyah: 4. Ibnu Katsir bahkan menyandarkan pendapatnya kepada para mufassir ternama seperti Ibnu Abbas dan Qatadah.
Fase Kedua: Adanya Izin Berperang, tetapi Tidak Wajib
Fase kedua adalah adanya izin berperang. Ini seperti ditegaskan
dalam firman Allah, "Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnaya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu." (Al-Hajj: 39).
Mengomentari ayat di atas, Ibnu Katsir menyatakan bahwa banyak ulama salaf yang menyebutkan ayat di atas sebagai ayat pertama perintah jihad. Sebagian mereka berargumen bahwa ayat di atas adalah madaniyah. Mereka antara lain: Mujahid, Dhahhak, Qatadah dan lain-lain.
Fase ini menurut Ibnul Araby, dan juga ahli tarikh terkemuka,
Ibnu Hisyam, dimulai sejak Bai'atul Aqabah kedua, saat kafir Quraisy
berada di puncak kesombongannya menekan komunitas muslim. Hal ini dikuatkan
adanya "klausul" jihad pada isi bai'ah aqabah tersebut. Meski ada izin
untuk berperang, Allah belum memerintahkannya. Hal ini tercermin dalam dialog
Rasulullah saw. dengan Abbas bin Ubadah saat bai'ah aqabah kedua
berlangsung: "Demi Allah yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, jika engkau
suka, kami siap menyerang penduduk Mina dengan pedang-pedang kami esok hari."
Rasulullah menjawab, "Kita belum diperintah untuk itu." (Lihat Tafsir
Al-Qurthubi, XII/69 & Al-Buthy. Sirah Nabawiyah, h.
142--143).
Fase Ketiga: Wajib Memerangi Musuh yang Menyerang
Pada fase ini terdapat perintah memerangi musuh yang menyerang
dan menahan diri dari mereka yang tidak menyerang. Hal tersebut seperti
dikemukakan oleh Allah dalam firmann-Nya, "Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
(Al-Baqarah: 190).
"... Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi
kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan
bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka." (An-Nisa': 90).
Sebagian penulis menamakan periode ini sebagai jihad
difa'y (defensif). Al-Buthy berpendapat bahwa periode ini dimulai setelah
hijrah, karena menurutnya, hadis dan riwayat yang kuat menunjukkan hal itu,
bahwa permulaan disyariatkannya peperangan adalah sesudah hijrah.
Fase Keempat: Perintah Memerangi Seluruh Orang kafir secara
Mutlak, Sampai Mereka Masuk Islam atau Membayar Jizyah dalam
Kehinaan
Sekembalinya dari Perang Tabuk tahun 9 Hijriah, Rasulullah
ingin melakukan ibadah haji, tetapi orang-orang musyrik masih melakukan
thawaf dengan telanjang. Karenanya, Rasulullah tidak mau menjalankan
haji, sampai tradisi orang musyrik itu dihapuskan. Untuk itu, beliau mengutus
Abu Bakar r.a. memimpin haji dan menyampaikan maklumat terhadap orang musyrik
agar tidak melakukan haji setelah tahun itu dan memberi tempo selama 4 bulan
agar masuk Islam, setelah itu tidak ada pilihan, kecuali perang, seperti yang
tertera dalam QS At-Taubah, di antaranya, "Apabila sudah habis bulan-bulan
Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyirikin di mana saja kamu jumpai mereka,
dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika
mereka bertaubat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (At-Taubah: 5).
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang
musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun
ini, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu karunia-Nya, jika Dia
menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian
dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan
tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan al-kitab (Alquran) kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (At-Taubah: 28--29).
Ibnu Qoyyim berkata, "Ketika diturunkan surah Bara'ah
(At-Taubah), Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk memerangi musuh-Nya
dari ahli kitab sampai mereka membayar jizyah atau masuk Islam. Kronologi di
atas disebutkan oleh ulama-ulama seluruh mazhab dalam kitab-kitabnya.
Jihad, Defensif atau Ofensif?
Periode keempat sekaligus sebagai tahapan akhir syariat jihad
dalam Alquran. Substansi dari syariat tersebut adalah memerangi orang musyrik
termasuk ahlul kitab sampai mereka menerima Islam atau membayar jizyah.
Sebagian penulis menyebut periode ini sebagai jihad thalaby (ofensif).
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., "Aku diperintahkan memerangi
manusia sampai mereka bersaksi tidak ada Ilah kecuali hanya Allah, dan Aku
utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat. Jika mereka melakukannya maka
darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali dengan hak Islam,
sedang hisabnya terserah Allah Ta'ala." (HR Bukhari dan Muslim).
Ditetapkannya jihad thalaby (ofensif) sebagai hukum
niha'i (final) dalam jihad tidak diperselisihkan oleh para ulama.
Perbedaan hanya terjadi pada apakah ayat terakhir menghapus (naskh)
ayat-ayat sebelumnya?
Sebagaian besar ulama salaf menyatakan bahwa dengan
diturunkannya QS At-Taubah, berarti menghapus syariat jihad pada ayat-ayat
sebelumnya, seperti perkataan Ibnul Araby, "Firman Allah, 'Apabila sudah
habis bulan-bulan Haram itu?' (At-Taubah: 5), sebagai penghapus 114 ayat
sebelumnya." (Ahkamul Quran). Perkataan serupa juga diriwayatkan dari
Dhahhak, Rubai' bin Anas, Mujahid, Abul Aliyah, Husain bin Fadhl, Ibnu Zaid,
Musa bin Uqbah, Ibnu Abbas, Hasan, Ikrimah, Qatadah, Ibnul Jauzi, Atha', Ibnu
Taimiyah, Qurtuby, dan lain-lain.
Imam Zarkasyi tidak setuju dengan istilah ayat-ayat jihad
sebelum QS At-Taubah dihapuskan. Menurutnya, nilai dari ayat-ayat sebelumnya
tetap relevan untuk diterapkan dalam konteks yang serupa dengan kondisi
Rasululllah saat menerima wahyu tersebut. (Lihat Az-Zarkasyi, Al-Burhan fie
Ulumil Qur'an, h. 845--894).
Perbedaan di atas bukan perbedaan substansial, melainkan
perbedaan istilah. Dalam hal ini, istilah naskh (hapus) berkonotasi kuat
menghapuskan ayat-ayat sebelumnya. Padahal, baik yang setuju dengan istilah
naskh dalam ayat tersebut maupun yang tidak setuju sama-sama memahami
bahwa ayat-ayat jihad sebelumnya tetap berlaku pada konteks (illah) yang
sama.
Komentar Sayyid Qutb cukup menarik sebagai tarjih atas polemik
yang ada, "Setelah turunnya surah At-Taubah, hukum-hukum dalam fase-fase
sebelumnya tidak mansukh (terhapus) dalam pengertian tidak boleh
diamalkan dalam kondisi apa pun pada setiap realitas umat. Gerakan dan realita
yang dihadapinya dalam beragamnya situasi, waktu, dan tempatlah yang
menentukan--untuk sebuah ijtihad mutlak. Artinya, hukum-hukum itu lebih pas
diambil (dengan mempertimbangkan) sebuah kondisi, masa, dan tempat tertentu,
dengan tetap melihat hukum akhir yang wajib ditunaikan...."(Fie Dhilalil
Qur'an, h. 1580).
Ekspansi Dinasti Islam, karena Jihad
Atas dasar syariat jihad di atas, dinasti-dinasti Islam masa
lalu melakukan ekspansi perluasan wilayah. Tujuannya, agar kalimat Allah tegak
di muka bumi, dengan membebaskan manusia dari menghamba terhadap sesama, menjadi
hanya menghamba kepada Allah semata. Sehingga, terciptalah keadilan sesungguhnya
untuk manusia sebagai perwujudan dari rahmatan lil 'alamiin.
Sejarah mencatat betapa keadilan Islam dapat dirasakan oleh
musuhnya hingga berujung pada simpati dan minat sebagian mereka untuk memeluk
Islam secara sukarela. Ini semua tak lepas dari komitmen muslim dalam memegangi
etika perang yang diajarkan Islam. Karenanya, tidak perlu khawatir, bahwa
doktrin jihad semacam ini akan menjadikan dunia "kiamat". Di dalam jihad
terdapat etika-etika yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Seorang pemuka Romawi ketika menyaksikan pasukan Islam menilai,
"Mereka menjadi pasukan berkuda pada siang hari, pendeta pada malam hari, mereka
memakan sesuatu yang dibayar dan tidak berhutang, ketika masuk majlis
mengucapkan salam, dan mereka memberi tahu kepada orang-orang yang diperanginya
baru mereka berperang." Berkata yang lainnya, "Mereka menegakkan salat pada
malam hari, berpuasa pada siang hari, menyempurnakan janji, menyuruh berbuat
baik, dan melarang dari segala yang mungkar, dan berlaku adil sesamanya." (Ibnu
Katsir seperti dinukil oleh Abul Hasan an-Nadawi dalam Apa Derita Dunia Bila
Islam Mundur, h. 144).
Tidak Mampu, Bukan Menghapus Syariat
Meski hukum final jihad dalam Alquran adalah ofensif, namun
implementasinya harus tetap mengukur kemampuan, seperti kaidah umum taklif
(perintah/larangan) dalam Islam, bahwa at-takliifu manuthun bil-qudrah,
taklif bergantung pada kemampuan. Ketidakmampuan mengamalkan dalam kekiniannya
tidak berarti dengan menghapuskan hukum final tersebut, karena pembuat hukum
tersebut adalah Allah Ta'ala, bukan hak manusia untuk menghapuskannya. Perkataan
Sayyid Qutb dalam Fie Dzilalil Qur'an berikut perlu direnungkan, "Jika
kaum muslimin hari ini sesuai dengan realitas mereka, tidak sanggup mewujudkan
hukum-hukum ini, maka mereka, untuk sementara waktu, tidaklah dibebani
mewujudkan hukum-hukum final tersebut, karena Allah tidak membenai seseorang di
luar batas kesanggupannya. Dalam hukum-hukum marhaliyah (tahapan) (baca:
4 fase di atas), mereka mempunyai keleluasaan dalam hal melaksanakan
tahapan-tahapan hukum hingga pelaksanaan hukum-hukum final ini, manakala mereka
berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk melaksanakannya. Namun, mereka
tidak boleh menyeret secara paksa nas-nas yang final ini untuk disesuaikan
dengan hukum-hukum marhaliyah. Mereka tidak boleh menyandarkan kelemahan
sekarang ini kepada agama Allah yang kuat dan kokoh. Merekalah yang harus takut
kepada Allah dalam menghapuskan agama ini dan menuduhnya sebagai permainan.
Berdalih bahwa agama ini adalah agama perdamaian dan keselamatan. Mestinya,
dasar penyelamatan seluruh manusia adalah selamat dari penghambaan kepada selain
Allah, dan memasukkan manusia seluruhnya kepada perdamaian total. Agama Islam
adalah manhaj Allah, dan padanya diharapkan agar manusia meningkat dan merasakan
nikmat kebaikannya. Islam bukan manhaj seorang pakar, sehingga para penyerunya
malu menyatakan bahwa tujuan mereka yang final ialah menghancurkan segala
kekuatan yang menghalangi jalan dalam memberikan kebebasan kepada manusia secara
pribadi untuk memilihnya."
Oleh karena itu, dalam literatur fikih selalu kita temukan
bahwa ketika jihad belum bisa ditunaikan, maka kewajiban muslim adalah
i'dad (menyiapkan jihad) sebatas kemampuan. Ini menunjukkan bahwa setiap
muslim tetap memanggul kewajiban jihad tersebut. Bahwa secara empiris jihad
tidak eksis dan sulit diwujudkan itu soal lain. Namun demikian, sebagai
"reduksi" atas kewajiban tersebut, setiap mukallaf tetap diperintahkan
i'dad, bukan dengan menghapuskan jihad itu sendiri, karena yang demikian
itu bukan wewenang manusia, melainkan Allah Ta'ala. Wallahu a'lam. (Abu
Zahrah).
Referensi:
1. Tafsir Al-Qur'an al-Adhim, Ibnu Katsir
2. Fathul Qadir, Imam Syaukani
3. Al-Ihtijaj bil-Qard, Ibnu Taimiyah
4. Al-Jami' lie Ahkamil Qur'an, Al-Qurthuby
5. Ahkamul Qur'an, Ibnul Araby
6. Zaadul Maad, Ibnu Qayyim
7. Al-Burhan fie Ulumil Qur'an, Az-Zarkasyi
8. Ahammiyatul Jihad, Nafi' al-Ilyani
9. Fie Dhilalil Qur'an (Tafsir QS surah At-Taubah), Sayyid Qutb
10. Fiqhus Sirah, Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthy
11. Apa Derita Dunia bila Islam Mundur, Abul-Hasan an-Nadawi
1. Tafsir Al-Qur'an al-Adhim, Ibnu Katsir
2. Fathul Qadir, Imam Syaukani
3. Al-Ihtijaj bil-Qard, Ibnu Taimiyah
4. Al-Jami' lie Ahkamil Qur'an, Al-Qurthuby
5. Ahkamul Qur'an, Ibnul Araby
6. Zaadul Maad, Ibnu Qayyim
7. Al-Burhan fie Ulumil Qur'an, Az-Zarkasyi
8. Ahammiyatul Jihad, Nafi' al-Ilyani
9. Fie Dhilalil Qur'an (Tafsir QS surah At-Taubah), Sayyid Qutb
10. Fiqhus Sirah, Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthy
11. Apa Derita Dunia bila Islam Mundur, Abul-Hasan an-Nadawi
Post a Comment