Membentengi Islam dari Berbagai Distorsi Pemikiran
Membentengi Islam dari Berbagai Distorsi Pemikiran
Sejak masuknya sekularisme ke dunia Islam, baik melalui
kolonialisme maupun interaksi budaya, dunia pemikiran Islam hampir tak pernah
tenang dan tenteram. Polemik dan benturan pemikiran senantiasa mewarnai
perjalanan peradaban Islam. Hampir setiap negeri muslim menyimpan
sekurang-kurangnya dua kubu pemikiran: kubu Islam dan kubu sekuler.
Di negara-negara Arab, khususnya Mesir, perdebatan dalam bidang
pemikiran terkadang sampai ke tingkat yang serius. Dahulu, ada Ali Abdur Raziq,
penulis kitab al-Islam wa Ushul al-Hukum. Ia diajukan ke sidang Dewan
Guru Besar Al-Azhar, gara-gara karyanya yang menafikan peran politik Rasulullah
SAW itu. Ada yang dihukum murtad seperti Hasan Hanafi karena karya-karyanya
(semisal Minal Aqidah Ilats Tsaurah) yang melecehkan akidah dan ajaran
Islam. Ada pula yang di-fasakh dengan isterinya, seperti Nasr Abu Zeid. Bahkan,
ada yang mati tertembak, seperti Faraq Foudah. Hal ini membuktikan betapa
sengitnya pertarungan pemikiran di negeri sarang ulama itu.
Bila ditelusuri akar permasalahannya, kita dapat menemukan
bahwa ada dua kekuatan besar yang bertarung di panggung pemikiran: Islam
dan sekularisme. Islam adalah pemikiran asli pribumi, sedangkan
sekularisme adalah pendatang dan sekaligus sebagai penjajah karena datang memang
bersamaan dengan kolonial. Pemikiran yang melandasi pola berpikir kaum muslimin
seharusnya pemikiran Islam yang mengacu kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Akan
tetapi, ketika Barat menjajah negeri-negeri Islam, mereka turut menyebarkan
paham sekularisme yang merupakan mainstream mereka. Barat mempersiapkan
kader-kader yang akan meneruskan pola berpikir sekularisme jika mereka kelak
meninggalkan negeri jajahannya. Nah, di sinilah asa muasal percokolan itu
terjadi.
Segelintir orang pribumi ada yang terkagum-kagum terhadap paham
sekularisme berikut konsep berpikirnya. Mereka ini ibarat duri dalam daging di
tubuh ummat Islam. Selama duri masih bersemayam di dalam badan, manusia tidak
akan merasa nyaman dan tenteram. Mereka senang melontarkan pendapat-pendapat
yang berseberangan dengan Al-Qur'an, Sunnah dan meanstream ulama. Mereka
menganggap itu sebagai sebuah kemajuan dan modernisasi seperti yang diajarkan
oleh guru-guru mereka di Barat.
Di sisi lain, karena pemerintahan di negeri-negeri Islam
didominasi oleh orang-orang cetakan Barat, bertemulah mereka dengan intelektual
sekuler tadi dalam pemikiran. Peran pemerintah yang seharusnya menghadang
pemikiran sekuler yang datang dari Barat dan yang tumbuh dari dalam oleh
murid-murid mereka, justru berbalik memberi angin kepada sekularisme, bahkan
turut mendukung secara aktif dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
mereka untuk tampil dan menguasai media massa. Sebagai contoh, mari kita lihat
masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Selama masa kepemimpinannya, paham dan
aliran-aliran sesat tumbuh dengan subur, seolah-olah mendapat angin dan dukungan
dari sang pemimpin. Paham Ahmadiyah, Baha'i, Salamullah, Syi'ah, Markisme,
sekularisme, dan isme-isme lainnya mendapat kebebasan di era kepemimpinan Gus
Dur. Jangankan sekularisme, Tap MPR yang melarang berdirinya partai komunis pun
ingin dicabutnya.
Ulama dan kaum intelektual muslim sebagai penjaga benteng
pemikiran Islam, tidak boleh berlaku pasif dan menonton. Mereka berkewajiban
memelihara kemurnian Islam dan elemen-elemennya dari berbagai penyimpangan dan
penafsiran keliru, walaupun kadangkala harus bercokol secara frontal dengan para
pendukung liberalisme ini. Semua ini merupakan kewjiban dan tanggung jawab
ulama terhadap agamanya. Kalau tidak, Islam akanberubah menjadi bahan permainan
yang ditafsirkan seenaknya oleh mereka, sebagaimana halnya agama-agama di luar
Islam yang sudah berubah dari wahyu samawi yang sakral menjadi ajang permainan
orang-orang "pintar" mereka.
Islam tidak boleh ditafsirkan semaunya dengan mengatasnamakan
"modernisasi", "kebebasan berpikir", "apresiasi", dan sejenisnya agar sesuai
dengan target dan kepentingan pribadi mereka. Wahyu diturunkan untuk membentuk
kehidupan manusia, bukan sebaliknya, wahyu dimodifikasi agar sesuai dengan
selera dan kemauan manusia. Manusia harus mendengar apa kata wahyu, bukan wahyu
harus mendengar apa maunya manusia.
Dalam pandangan sekuler, Islam harus mengikuti perkembangan
manusia. Dalam arti, ajaran-ajaran yang mereka anggap tidak sesuai lagi dan
tidak dapat diterapkan di era globalisasi ini, konsekuensinya harus dihilangkan
kendati pun itu suatu kewajiban mutlak yang bersifat universal. Atau paling
enteng, mereka melakukan takwil (reinterpretasi) terhadap ketentuan Islam agar
lebih bisa diterima dan tidak dianggap berseberangan dengan kemauan masyarakat
modern. Seperti hukum murtad (keluar dari agama Islam). Kata mereka, hukuman
mati untuk orang yang murtad itu tadinya dalam kondisi perang, bukan dalam
kondisi damai. Jika dalam kondisi perang, murtad itu dalam bahasa sekarang
adalah "pembelotan". Karenanya, wajar jika dihukum mati. Begitulah mereka (kaum
sekularis) membuat takwil seenaknya terhadap ketentuan hukum Islam.
Ulama Vs Kaum Sekuler
Di Mesir, pertarungan pemikiran itu memang terlihat lebih
semarak karena ulama di negeri itu betul-betul menampilkan dirinya sebagai
pembela Islam, baik yang formal, seperti Al-Azhar, maupun yang individual.
Sebagai lembaga yang cukup disegani, Al-Azhar telah lama berjuang menghadang
arus sekularisme. Pemikiran yang dilontarkan oleh Thoha Husein mendapat
tanggapan serius dari lembaga yang telah berusia seribu tahun ini, baik dalam
bentuk bantahan resmi maupun tuntutan kepada pemerintah Mesir agar menarik
buku-buku Thaha Husein dari peredaran.
Al-Azhar, melalui badan ilmiahnya yang cukup bergengsi di
dunia, Majma' al-Buhuts al-Islamiyah (Pusat Penelitian Islam), pernah
mengadili Ali Abdur Raziq karena bukunya, al-Islam wa Ushul al-Hukum, yang
kontroversial itu dalam sebuah pengadilan yang dihadiri oleh dua puluh ulama
lebih. Buku ini pernah membuat geger dunia Arab karena isinya menafikan adanya
sistem politik dan pemerintahan dalam Islam. Pengadilan itulah yang memutuskan
dicabutnya seluruh ijazah Al-Azhar yang pernah diberikan kepada Ali Abdur Raziq.
Yang bersangkutan juga diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim di Mahkamah
Syari'ah di Mesir. Sampai sekarang, Al-Azhar masih terus memantau kitab-kitab
yang ditulis oleh kaum sekuler dan menuntut pemerintah agar melarang
peredarannya, termasuk buku-buku Nashr Abu Zeid belakangan ini. Dalam perizinan
kitab di Mesir, suara Al-Azhar masih sangat didengar dan mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Inilah yang terus-menerus diserang oleh orang sekuler agar hak
Al-Azhar dalam memberikan ketetapan atas suatu buku harus dicabut.
Nasr Abu Zeid adalah seorang associate frofessor (lektor
kepala) di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Di jajaran intelektual, dia masih
dianggap muda, tetapi ambisi ingin menonjolnya tinggi. Pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh gurunya, Hasan Hanafi, yang mengajar filsafat di Fakultas
Sastra Universitas Kairo. Abu Zeid ingin meraih gelar guru besar. Di perguruan
tinggi Mesir, untuk menetapkan seseorang menjadi professor harus dibentuk
panitia yang akan menilai karya-karya promovendus. Panitia ini terdiri atas
beberapa guru besar dalam bidangnya. Yang menjadi ketua panitia karya-karya Abu
Zeid ialah Prof. Abdussobur Shahin dari Fakultas Darul Ulum, Kairo. Setelah
melakukan penelitian dan penilaian, Shahin dalam putusannya mengatakan bahwa Abu
Zeid tidak layak menjadi guru besar karena karya-karyanya tidak ilmiah. Di
sinilah asal muasal kasus Abu Zeid itu mencuat dan menjadi isu nasional bahkan
internasional. Tetapi akhirnya, karena jaringan sekularisme di kampus dan di
pemerintahan, Nasr Abu Zeid dikukuhkan juga menjadi guru besar.
Ulama tidak kehabisan akal. Ulama Al-Azhar bersama dengan ulama
di luar Al-Azhar menempuh jalur hukum. Mereka mengajukan somasi ke pengadilan,
dilengkapi dengan data dan fakta ilmiah dari tulisan-tulisan Abu Zeid atas
keluarnya dari Islam. Ulama menuntut agar pengadilan memutuskan ia dan isterinya
harus dipisah (fasakh). Tuntutan ini dikabulkan dan akhirnya Abu Zeid melarikan
diri ke Leiden, Belanda. Di sana, ia diangkat menjadi guru besar Islamic Studies
dan membimbing sarjana-sarjana dari Indonesia yang belajar kesana.
Di Indonesia, pertarungan serupa dapat ditemukan di pentas
pemikiran, walaupun tidak seseru yang terjadi di Mesir. Tahun 70-an, Nurcholis
Madjid telah melemparkan ide sekulernya, lalu ditanggapi oleh sejumlah
intelektual muslim semisal: Endang Saifuddin al-Anshari, Prof. H.M. Rasyidi, dan
lain-lain. Munawir Sjadzali (mantan menteri agama) pernah melemparkan ide
kontroversialnya di seputar hukum waris. Ia dijawab oleh sejumlah kalangan
intelektual, seperti Rifyal Ka'bah dan lain-lain. Tahun 1992, Nurcholish kembali
melemparkan ide kontroversialnya seputar Ahlul Kitab, makna agama, jilbab, dan
ide-ide lainnya. Ia dijawab dengan serentetan reaksi yang cukup keras, mulai
dari "mimbar TIM" yang tersohor itu, lalu dilanjutkan di sejumlah media massa.
Baru-baru ini (bulam September 2000), Anan Krishna dari kalangan nonmuslim,
mengulangi gaya-gaya orang-orang sebelumnya. Ia memberikan "tafsir" seenaknya
terhadap ayat Al-Qur'an dan ajaran Islam. Bahkan tidak hanya memberi tafsir,
Anand dalam beberapa tulisannya melecehkan ajaran dan hukum syariat, sebuah
sikap yang sangat menyinggung perasaan seorang muslim dan tidak dapat dimaafkan
begitu saja. Ia mengklaim itu sebagai "apresiasi" terhadap Al-Qur'an. Apa pun
namanya, puluhan istilah bisa dibuat, yang jelas, perbuatannya itu adalah
membuat pemahaman baru yang menyimpang dan tidak dikenal di kalangan ulama.
Selain Anand, masih banyak lagi orang-orang yang "sakit", ingin
terkenal dan kontroversial akhir-akhir ini. Seandainya ia menyimpan "bibit
penyakitnya" itu untuk dirinya sendiri, agaknya kaum muslimin tak terlalu
masygul. Akan tetapi, ketika ide itu dipublikasikan di media massa dan
disebarluaskan, ini sudah mempunyai arti lain. Mendiamkannya sama saja seperti
menyetujui paham yang menyesatkan itu tersebar. Oleh karena itu bagi para
cendekiawan muslim yang konsisten mengemban misi menegakkan Dien al-Islam, tidak
boleh tinggal diam di dalam menghadapi serangan-serangan pemikiran mereka, kaum
sekuler. Dengan demikian, para generasi muda yang sedang giat-giatnya mencari
ilmu dan pemahaman agama, tidak kesasar menemukan jalan yang menyimpang dari
pemahaman agama para ulama salaf yang lurus.
Post a Comment