Dakwah Kita Kini dan Esok
Dakwah Kita Kini dan Esok
Awal abad 20 menandakan sebuah perkembangan yang cukup menarik
tentang pembaruan Islam di Indonesia. Berdirinya organisasi keislaman seperti
Persis dengan tokohnya A. Hassan, Isa Anshari, M. Natsir, dkk., Al-Irsyad
Al-Islamiyyah dengan pendirinya Syaikh Ahmad As-Surkati dan Muhammadiyah dengan
pendirinya KH. Ahmad Dahlan membawa misi secara serempak tentang perlunya tajdid
dalam substansinya yang paling dalam adalah: kembali pada Al-Qur'an dan
As-Sunnah serta memerangi segala bentuk syirik, bid'ah, khurafat dan takhyul.
Hal ini bukanlah suatu kebetulan sejarah, sebab proses yang
mendahuluinya adalah adanya sebuah wacana umum kebangkitan Islam yang dipicu
oleh tokoh-tokoh yang menyerukan Pan Islamisme semisal Jalaluddin Al-Afghani,
Syaikh M. Rasyid Ridha, dll. sebagai respon alami terhadap keterbelakangan,
kejumudan dan kebodohan secara spiritual, sosial, politik dan budaya yang
melanda kaum Muslimin. Puncaknya adalah runtuhnya Daulah Utsmaniyah sebagai
representasi dari sebuah khilafah Islamiyah yang diakui kaum Muslimin di masa
Sultan Abdul Hamid II oleh seorang agen Yahudi bernama Mustafa Kemal Attaturk.
Seiring dengan itu, mulai masuknya kitab-kitab referensi penting ke tanah air
melalui para hujjaj yang berasal dari tanah air, seperti "Subulus Salam"
karya Syaikh Ash-Shan'any dari Yaman, "Irsyadul Fuhul" karya Imam
Asy-Syaukany (tentang Ushul Fiqh), dll. Oleh sebagian kalangan, pemikiran
pembaruan itu lalu dicap sebagai Gerakan Wahabi (suatu citra yang sengaja
diciptakan oleh imperialis Inggris sebagai wujud perlawanan terhadap gerakan
pembaruan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia yang menyerukan
ijtihad dan melawan taqlid). Sayangnya, cap Wahabi di sebagian kalangan cukup
berhasil sehingga mematahkan upaya-upaya komunikasi dan dialog secara lebih
sehat dan ilmiah serta jauh dari politicing, fitnah dan tuduhan tanpa bukti;
dalam waktu yang cukup lama.
Upaya pembaruan ini cukup berhasil dengan berdirinya berbagai
sekolah-sekolah dan pranata sosial lainnya, hingga pada momentum yang cukup
mengesankan adalah berdirinya kekuatan politik umat Islam Indonesia bernama
Masyumi yang dimotori oleh tokoh-tokoh pembaru. Jika kemudian terjadi preseden
buruk dengan dibubarkannya Masyumi oleh presiden Soekarno di tahun 1951, hal itu
tidak bisa meruntuhkan begitu saja militansi mereka untuk menyebarkan
gagasan-gagasan Islam tentang visi kehidupan secara menyeluruh melalui gerakan
dakwah, pendidikan dan sosial di masa-masa selanjutnya. Justru sebaliknya,
terdapat suatu opini yang jamak diketahui oleh para pemerhati problematika umat
Islam yang jujur bahwa Indonesia meskipun mayoritas muslim bahkan sebagai negara
terbesar yang berpenduduk muslim, tapi secara politik, sosial, ekonomi dan
kultural masih didominasi oleh wacana-wacana sekuler dan nasionalisme yang
sangat kontra produktif dengan Islam.
Oleh karena itu proses penyadaran, pemahaman dan pemberdayaan
harus terus digalang oleh tidak saja oleh segenap institusi umat Islam, tapi
juga oleh semua kekuatan elemen umat melalui gerakan dakwah yang merupakan
ajakan-ajakan sistematis dan terencana dengan obyek manusia secara umum agar
beraqidah tauhid yang lurus dan murni, beribadah yang benar dan berakhlaq yang
mulia.
Dari sini, muncul sebuah problem praksis, bagaimanakah roda dakwah mesti digulirkan ? Kenyataannya, bahwa sebagian du'at lebih mendahulukan aspek syi'ar daripada substansi Islam berupa aqidah yang benar. Tanpa mengurangi makna totalitas Islam, dakwah tetap butuh pada prioritas (awlawiyah). Merujuk pada kehidupan dakwah Rasulullah SAW. pada periode Makkah, dimana beliau melakukan pembenahan aqidah secara simultan dengan menekankan keharusan mengesakan Allah dan menjauhi segala indikasi penyekutuan terhadap-Nya. Karenanya, perbaikan umat, kemarin, sekarang, dan akan datang harus diupayakan berda di jalan ini. Sebab kita tidak butuh seorang yang melek budaya Islam (islamic cultural literate) atau 'melek' politik Islam tetapi tidak mengerti aqidah yang lurus dan cara beribadah yang benar.
Dari sini, muncul sebuah problem praksis, bagaimanakah roda dakwah mesti digulirkan ? Kenyataannya, bahwa sebagian du'at lebih mendahulukan aspek syi'ar daripada substansi Islam berupa aqidah yang benar. Tanpa mengurangi makna totalitas Islam, dakwah tetap butuh pada prioritas (awlawiyah). Merujuk pada kehidupan dakwah Rasulullah SAW. pada periode Makkah, dimana beliau melakukan pembenahan aqidah secara simultan dengan menekankan keharusan mengesakan Allah dan menjauhi segala indikasi penyekutuan terhadap-Nya. Karenanya, perbaikan umat, kemarin, sekarang, dan akan datang harus diupayakan berda di jalan ini. Sebab kita tidak butuh seorang yang melek budaya Islam (islamic cultural literate) atau 'melek' politik Islam tetapi tidak mengerti aqidah yang lurus dan cara beribadah yang benar.
Problematika Dakwah di Indonesia
Tantangan dalam prespektif kehidupan, sejatinya mengasah
kecerdasan dan kreatifitas manusia untuk menyelesaikannya dan merubahnya menjadi
harapan. Dalam konteks Indonesia, problematika yang menyangkut dakwah akan
selalu ada selama denyut nadi umat Islam masih berdetak. Tantangan kristenisasi,
kebodohan, maraknya kelompok-kelompok yang mengaku menyuarakan Islam, disharmoni
dengan pemerintah setempat ataupun policy nasional, kebebasan pers dan media
massa yang tidak terkendali dan bertanggung jawab, dsb adalah wacana-wacana
eksternal dalam problematika dakwah. Dalam kasus internal, profesionalisme da'i
dalam pengertian yang seluas-luasnya masih menjadi keluhan mendasar. Karena da'i
sebagai agent of change harus mempunyai visi yang jelas, tidak saja menyangkut
wawasan Islam yang utuh tapi juga visi menyeluruh Islam tentang politik,
ekonomi, sosial dan budaya dalam mengarahkan umat Islam kepada suatu tatanan
yang lebih mapan, establish, maju dan diperhitungkan di hadapan umat-umat lain.
Misi Islam tidak saja agar Islam menjadi sebuah keniscayaan nilai yang
terimplementasikan dalam kehidupan menyeluruh umat manusia. Ia adalah sebuah
wacana praksis yang meskipun tidak bisa dipaksakan kepada manusia, akan tetapi
hanya dengan itulah keadilan dalam maknanya yang paling luas dan dalam dapat
terlaksana; dalam sebuah kekhilafahan yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan
As-Sunnah.
Sepintas, hal diatas terlalu diatas awang-awang dan "bagaikan
pungguk merindukan bulan". Tapi sesungguhnya, ia tidak seperti impian cinta
Romeo kepada Juliet, yang dibuat oleh Shakespeare -akhirnya- tak tersampaikan.
Ia adalah sebuah cita-cita adiluhung, sekaligus merupakan kewajiban dan amanah
yang diemban oleh setiap individu muslim. Setiap upaya ishlah
(reformasi/perubahan) hendaknya tidak diupayakan secara tambal sulam, tapi
merupakan episode-episode yang berurutan dan tak mengenal henti hingga visi
rahmatan lil 'alamin menjadi payung bagi peradaban kemanusiaan secara
universal.
Paragraf ini hendak menekankan bahwa kemunduran umat Islam di
akhir Abad Pertengahan dicirikan dengan hilangnya tradisi belajar dan semangat
spiritualis kaum Muslimin. Terdapat cukup bukti dalam sejarah, bahwa maraknya
perkembangan pemikiran-pemikiran dan pemahaman yang destruktif terhadap Islam,
turut mengambil peran bagi keruntuhan peradabannya. Ini adalah sebuah kenyataan
kompleks, dimana semangat keislaman yang kaffah menjadi merosot, tradisi belajar
yang hilang, pemahaman aqidah yang rancu, upaya-upaya destruktif musuh-musuh
Islam, pertikaian-pertikaian internal yang tak kunjung padam dan runtuhnya
sendi-sendi amar ma'ruf nahi mungkar merupakan sebab-sebab utama dari keruntuhan
peradaban umat Islam. Oleh karena itu, bukanlah sebuah penyederhanaan masalah,
jika dalam memulai sebuah "penyusunan kekuatan" umat Islam harus merebut kembali
tradisi belajarnya yang belum pernah dikenal dalam sejarah kemanusiaan, sebelum
dan sesudah mereka. Adalah Jabir bin Abdullah Al-Anshari yang menempuh
perjalanan sebulan untuk menemui Abdullah bin Unas Al-Juhani "hanya" untuk
mendapatkan sebuah hadits, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari. Pun,
pesan perdana yang diperintahkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. dan
umatnya adalah "membaca" dalam pengertian yang seluas-luasnya. Hanya dengan
usaha yang sungguh-sungguh, aqidah yang benar, dan pengetahuan yang luas sebuah
"rennaisance" umat Islam menjadi niscaya. Lebih lanjut, "Masa depan kaum Muslim
akan lebih banyak ditentukan oleh perencanaan yang hati-hati dan langkah-langkah
konkret, bukan oleh keindahan rumusan dan kegairahan memberikan nasihat-nasihat
moral. Lembaga-lembaga belajar dan intelektual Muslim harus berdiri di barisan
terdepan dalam mengampanyekan reformasi sosial dan ekonomi di seluruh dunia
Islam."
Adalah kenyataan bahwa Barat menaklukkan negeri-negeri Islam
setelah melewati proses mempelajari, menelaah, mengetahui lalu menguasai. Dalam
sebuah kuliahnya di Kalkutta pada 1882, Jamaluddin Al-Afghani menegaskan:
"Kini para imperialis Eropa itu sudah menancapkan kuku mereka di seluruh
penjuru dunia. Orang-orang Inggris sudah sampai di Afghanistan; sedangkan
orang-orang Prancis sudah menduduki Tunisia. Penjajahan, penyerangan, dan
penaklukan ini dalam kenyataannya bukanlah berasal dari orang-orang Inggris atau
Perancis. Itu merupakan ilmu pengetahuan yang dimana-mana memanifestasikan
kebesaran dan kekuatannya."
Musibah terbesar yang menimpa dunia ilmu pengetahuan Islam
adalah adanya dikotomi sekular yang intinya adalah pemisahan ilmu-ilmu agama dan
ilmu non agama, yang kemudian memisahkan antara ajaran agama yang bersifat
mahdhah (spesifik) dan tuntunan Islam yang utuh tentang kehidupan; hal yang
tidak pernah dikenal oleh kaum Muslimin generasi sebelumnya. Dikotomi ini tidak
saja bertentangan dengan pesan integral Al-Qur'an tetapi juga kenyataan bahwa
cendekiawan-cendekiawan Islam Abad Pertengahan adalah meminjam istilah Ibnu
Khaldun- para mutafannin (cendekiawan lintas disiplin ilmu). Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah tidak saja seorang alim dalam berbagai ilmu Islam (sekedar untuk
klasifikasi) tapi juga seorang pujangga kenamaan yang melahirkan karya-karya
brilian. Kemudian berderetlah nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Al-Biruni,
Al-Farabi, dll. Karenanya, semua disiplin ilmu yang ditekuni secara spesialis
oleh para pelajar dan mahasiswa tidak bisa dilepaskan, bahkan harus sejalan,
dengan ajaran Islam. Agar semua capaian-capaian ilmu dan teknologi membawa
kemaslahatan dan kedamaian di muka bumi dan bukan justru kontra produktif bagi
kehidupan manusia. Bagi umat Islam Indonesia, hal di atas tampaknya masih
seperti kereta yang baru saja meninggalkan stasiun.
Urgensi Kaderisasi Dakwah
Merujuk pada profesionalisme da'i, upaya untuk meningkatkan
kualitas da'i harus terus ditumbuhsuburkan. Maraknya training
pelatihan-pelatihan da'i yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi dakwah,
tidak saja dalam bingkai diatas, tapi juga dalam rangka menyatukan rentak dan
langkah para du'at. Di samping itu, para du'at dituntut untuk memperbarui
keikhlasan mereka agar dapat melahirkan ketekunan dan kesungguhan yang tak
lekang oleh panas. Harus dipahami bahwa kewajiban dakwah bukanlah sebuah
pekerjaan sambil lalu, tapi merupakan kewajiban atas setiap muslim (QS. Ali
Imran:104 & 110). Karenanya, setiap muslim -apapun profesinya-, adalah juga
da'i yang dituntut untuk menyampaikan misi Islam seluas-luasnya sesuai dengan
kemampuan. Memahami dakwah hanya sebatas ceramah dan khutbah saja adalah sebuah
preseden buruk bagi masa depan dakwah. Karena itu, kaderisasi da'i melalui
individu, institusi keluarga di mana orang tua menjadi sokoguru,
institusi-institusi dakwah, media massa, dll harus terus disemarakkan sehingga
masalah mandeknya proses belajar mengajar di sebuah TPA karena ketiadaan tenaga
pengajar, tidak lagi terdengar.
Fajar Sedang Menyingsing
Di balik capaian-capaian dakwah yang cukup mengesankan mulai
awal dekade 80-an dengan berbagai variabelnya dalam bentuk intensitas pengamalan
Islam yang menguat, tidak boleh melenakan kita dari kenyataan yang sangat
menyeramkan tentang degradasi moral yang berlangsung secara sangat sistemik dan
dinamis melalui berbagai alat penyebaran informasi. Bukan satu kebetulan, jika
membanjirnya film-film pornografi, seiring dengan turunnya harga barang-barang
elektronik. Pada saat yang sama, narkoba menjadi suatu kenyataan yang
biasa-biasa saja. Untuk generasi muda Islam saat ini, sebagai akibat logis,
adalah munculnya sebuah wajah generasi muda yang kabur akan identitas dan tujuan
hidup dengan mentalitas lemah dan keropos. Jika kemudian kantong-kantong
mayoritas muslim menjadi ladang pembantaian oleh kaum kafir di masa yang akan
datang, itu adalah sebuah kelumrahan jika umat Islam tidak segera berbenah diri.
Walau demikian, Islam mengajarkan optimisme untuk berjuang
dengan niat yang ikhlash, tekad membaja dan perjuangan yang sungguh-sungguh tak
kenal lelah. Seorang muslim dalam persfektif Islam, dituntut untuk "menjual"
dirinya dan hartanya dalam bentuk beriman pada Allah SWT. dan Rasul-Nya serta
berjihad di jalan Allah dengan harta dan dirinya dengan imbalan ampunan,
kenikmatan sorga, pertolongan Allah dan kemenangan yang dekat waktunya (Q.S.
Ash-Shaf:10-13).
Ulama, cendekiawan, dan setiap muslim yang memiliki kesadaran
akan nasib umat Islam, tidak bisa tinggal diam dan terus "sakit gigi"
menyaksikan kenyataan memilukan ini "Jika kita masih ingin mendengar kumandang
adzan dari masjid di dekat rumah kita." (Muhammad Nurkholis Ridwan).
Catatan akhir :
- Baca: Sejarah Umat Islam, Josuf Syo'ub, bagian akhir dari Bab Sejarah
Daulah Turki Utsmaniyah.
- A. Hassan, Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid, Syafiq A. Mughni.
- Lebih lanjut baca: Fiqh Prioritas, Dr. Yusuf Al-Qardhawi.
- Kutubus Sittah, Dr. Muhammad M. Abu Syuhbah, (terjemahan), terbitan
Pustaka Progresif.
- Anwar Ibrahim, Renaisans Asia, hal. 128-129.
- Lebih lanjut baca: Orientalisme, Edward W. Said, (terj.) terbitan
Pustaka.
- Nikki R. Keddie, An Islamic Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal Ad-Din Al-Afghani (Berkeley: University of California Press 1983), hal 102-103, sebagaimana dikutip oleh Anwar Ibrahim, ibid, hal. 123-124).
Post a Comment