Dampak Kebodohan terhadap Pokok Syariah
Dampak Kebodohan terhadap Pokok Syariah
Pasal ini mencakup dua pokok bahasan: dalil-dalil hukum syara
dan ketentuan agama yang sudah diketahui secara umum.
Berikut pembahasan mengenai kedua pokok bahasan tersebut.
Dalil-Dalil Hukum Syara
Bahasan ini secara khusus akan membicarakan orang-orang yang
mesti mengkaji dalil syara dan bagaimana cara menerapkannya. Mereka itu adalah
para ulama dan orang-orang yang berjalan menuju pintu gerbang mereka, yaitu para
penuntut ilmu. Adapun orang-orang awam tidak diwajibkan untuk melakukan hal
tersebut, kecuali jika menghendaki kebaikan dan keutamaan.
Tidak diragukan lagi bahwa bagi setiap orang diwajibkan beriman
terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. walaupun dengan keimanan yang
bersifat umum dan global. Demikian juga tidak diragukan lagi bahwa mengetahui
apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. secara rinci (detail) termasuk fardu
kifayah. Karena, hal itu mencakup penyampaian sesuatu yang telah diembankan oleh
Allah kepada Rasul-Nya, yang mencakup merenungkan, memikirkan, memahamkan, dan
mempraktikan Alquran.
Adapun sesuatu yang termasuk dalam perkara fardu ain atas
orang-orang beriman, maka kewajiban tersebut bermacam-macam sesuai dengan
kemampuan, kebutuhan, pengetahuan, dan apa yang diperintahkan kepada mereka
masing-masing. Sehingga, tidak diwajibkan bagi orang yang tidak mampu
mendengarkan sebagian ilmu atau pengetahuan yang sangat mendalam untuk melakukan
sesuatu sesuatu seperti yang diwajibkan kepada orang yang mampu melakukannya.
Tetapi, wajib bagi orang yang mendengar nas dan memahaminya secara detail untuk
melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada orang yang tidak mendengarnya,
serta wajib bagi seorang mufti (pemberi fatwa), ahli hadis, dan ahli hikmah
untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada orang selain mereka.
Perlu dipahami bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para ulama
dalam menyimpulkan dan mengambil ketetapan berbagai hukum tidak mustahil terjadi
kesalahan pada sebahagiannya, baik disadari ataupun tidak. Hal itu merupakan
tabiat yang melekat pada diri manusia. Hal ini telah dikemukakan oleh para imam
yang telah menjelaskan hal ini dengan sangat gambling ketika melarang taklid
kepada mereka, karena dikhawatirkan orang yang bertaklid mengikuti kesalahan
yang telah dilakukan oleh mereka, sebagaimana telah diriwayatkan dari Imam Malik
rhm. seraya berkata, "Aku ini hanyalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa
benar, maka perhatikanlah pendapatku, jika ada pendapatku yang bertentangan
dengan Alquran dan sunah, tinggalkanlah olehmu." Imam Ahmad rhm. Berkata,
"Janganlah kami bertaklid dalam urusan agamamu kepada orang-orang, karena mereka
itu tidak selamat dari kesalahan."
Ketidaktahuan seorang ulama terhadap suatu dalil bukanlah
merupakan hal yang mustahil untuk mendapat celaan dalam setiap keadaan, karena
hal ini dapat menjadi sebab yang menimbulkan pertentangan dan kesesatan. Ibnu
Taimiyah rhm. Berkata, "Sebagaimana hal ini telah disinyalir oleh Allah dalam
firman-Nya yang artinya, "Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, lalu dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh." (Al-Ahzaab:
72).
Ketidaktahuan terhadap dalil-dalil yang dapat menimbulkan
pertentangan dan kesesatan dapat dibagi menjadi dua: pertama, tidak adanya ilmu
pengetahuan yang memadai tentang suatu dalil.
Ibnu Abi al-Izz rhm. Berkata, "Kekurangan yang terjadi pada kebanyakan orang yang berkenaan dengan apa yang dibawa Rasulullah saw. adalah tidak adanya ilmu pengetahuan yang memadai tentang apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan keyakinan, ibadah, dan pemerintahan (politik) atau yang berkenaan dengan syariat yang beliau bawa, kecuali hanya berdasarkan prasangka mereka dan taklid dalam perkara yang sebenarnya bukan berasal dari syariat Rasulullah saw., dan mereka mengeluarkannya lebih banyak dari apa yang mereka dapatkan dari syariat. Karena, sebab kebodohan, kesesatan, kelalaian, rasa permusuhan, kemunafikan, dan kebanyakan mereka belajar ilmu yang terdapat pada risalah."
Ibnu Abi al-Izz rhm. Berkata, "Kekurangan yang terjadi pada kebanyakan orang yang berkenaan dengan apa yang dibawa Rasulullah saw. adalah tidak adanya ilmu pengetahuan yang memadai tentang apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan keyakinan, ibadah, dan pemerintahan (politik) atau yang berkenaan dengan syariat yang beliau bawa, kecuali hanya berdasarkan prasangka mereka dan taklid dalam perkara yang sebenarnya bukan berasal dari syariat Rasulullah saw., dan mereka mengeluarkannya lebih banyak dari apa yang mereka dapatkan dari syariat. Karena, sebab kebodohan, kesesatan, kelalaian, rasa permusuhan, kemunafikan, dan kebanyakan mereka belajar ilmu yang terdapat pada risalah."
Ibnu Taimiyah rhm. Berkata, "Karena sebab kebodohan orang-orang
bertentangan dengan hakikat sesuatu. Sehingga, timbullah perselisihan di antara
mereka dalam hal tersebut, atau karena ketidaktahuan tentang suatu dalil,
sehingga salah satu di antara keduanya menunjukkan yang lain kepada dalil
tersebut, atau kerena kebodohan salah satunya terhadap kebenaran yang dimiliki
oleh yang lain dalam suatu hukum atau dalil."
Kedua, tidak memahami dalil berdasarkan ilmu yang sesuai dengan
dalil tersebut. Ibnu Taimiyah telah mengemukakan dalil yang menunjukkan hal
tersebut, walaupun Imam Ibnu Abi al-Izz telah menjelaskannya secara gambling
dalam perkataannya, "Buruknya pemahaman tentang Allah dan Rasul-Nya merupakan
sumber setiap bidah dan kesesatan yang timbul dalam agama Islam, dan merupakan
sumber setiap kesalahan, baik dalam furu' (cabang) maupun ushul
(pokok), terlebih bila disandarkan kepada tujuan yang jelek."
Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah firman
Allah SWT yang artinya, "Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan Taurat
kepadanya, kemudian mereka tiada memikulnya (tidak mengamalkan isinya) adalah
seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal." (Al-Jumu'ah: 5).
Mereka menghafal kitab-kitab yang tebal di dalam akal mereka
tanpa memahami pengertiannya atau mengetahui maksud yang disampaikan. Sehingga,
di antara mereka ada orang-orang yang merasa tidak terikat dengan perintah dan
larangan yang merupakan maksud dan tujuan dari kitab-kitab tersebut. Oleh karena
itu, bagi mereka sama saja antara lafaz dan maknanya, sehingga mereka tidak
memperoleh hikmahnya. Karena itu, mereka hanya menjadi periwayat berita bukan
ulama yang saleh yang berpengetahuan. Di antara mereka juga terdapat orang-orang
yang hanya menghafal lafaznya, mengenal syakal (tanda bacanya) dan
meriwayatkannya, tetapi tidak mengerti kandungannya, padahal tidak ada suatu
dilalah atau lafaz kecuali hal itu menunjukkan makna yang dikehendaki oleh lafaz
tersebut. Perbuatan mereka semacam ini telah meruntuhkan syariat, sementara
mereka menganggap perbuatan itu baik.
Pandangan semacam ini telah menyesatkan beberapa golongan.
Apakah Anda tidak melihat bagaimana golongan Khawarij keluar dari agama secepat
melesatnya anak panah yang dibidikkan kepada binatang buruan? Rasulullah saw.
telah menggambarkan mereka bahwa mereka membaca Alquran, tetapi bacaan tersebut
tidak melewati tulang tenggorokannya (yakni hanya Allah Yang Maha Mengetahui),
mereka tidak mengerti kandungan Alquran yang semestinya tembus ke dalam hati.
Adapun aliran Zhahiriyyah (yang melihat segi lahiriah semata)
berpegang teguh pada nas, hingga mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh
lafaz. Padahal, dalam syariat ini terdapat maksud dan pengertian yang memberikan
kemaslahatan dan menolak kerusakan secara sempurna. Mereka mengabaikan
makna-maknanya karena lebih mendahulukan lafaz-lafaznya.
Sementara, kaum rasionalis (Muktazilah dan lainnya yang sama
dengan mereka) termasuk golongan yang lebih mementingkan akal dan mereka
menetapkan hukum berdasarkan akal, sehingga mereka termasuk kalangan rasionalis
yang tercela karena telah menyepelekan ketentuan syariat dan menempatkan akal
lebih tinggi dari syariat, akibatnya syariat diposisikan sebagai pengikut bukan
yang diikuti.
Seandainya seorang ulama terjebak dalam suatu kebodohan dalam
dua hal tersebut atau salah satunya, tetapi mempunya niat dan tujuan yang baik,
maka wajib atasnya melakukan pembahasan yang lebih mendalam, penelitian yang
lebih saksama, dan ijtihad yang lebih sempurna tentang apa yang diajarkan
Rasulullah saw. Dengan demikian, dia dapat mengetahui, meyakini, dan
mengamalkannya secara lahir dan batin.
Seandainya seseorang merasa tidak mampu mengetahui sebagiannya
atau mengamalkannya, maka ketidakmampuannya itu tidak boleh menjadi penghalang
untuk mengamalkan ajaran Rasulullah saw. Tetapi, dia mesti gembira dengan
kemampuan orang lain untuk melaksanakannya, dan menerimanya dengan penuh
kerelaan, dan dia harus mencintai orang tersebut, tidak boleh mengimani sebagian
dan mengingkari sebagian, dia harus beriman secara utuh menyeluruh, serta
menjaga dari masuknya hal-hal yang bukan bagian darinya, seperti riwayat atau
pendapat, serta tidak meyakini atau mengamalkan sesuatu yang tidak berasal dari
Allah Subhanahu wa Taala. Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan janganlah
kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu
menyembunyikan yang hak padahal kamu mengetahui." (Al Baqarah: 42). Inilah
jalan yang ditempuh oleh as-sabiqun al-awwalun (para pendahulu pertama)
yakni generasi sahabat, lalu diikuti oleh tabi'in kemudian tabi' tabi'in serta
orang-orang yang mengikuti langkah mereka.
Tetapi, apabila niatnya rusak dan tujuannya menyimpang, seorang
ulama tidak dapat menjadikan ilmunya sebagai perantara untuk memperoleh manfaat
di dunia maupun rida Allah. Dia termasuk orang yang menyimpang sehingga ilmunya
mengarahkannya pada jurang kemunafikan, mencari muka, rida akan kehinaan, serta
menjual agama demi dunia. Dengan demikian, ia termasuk orang yang bodoh. Hanya
kepada Allah semata kita memohon pertolongan dan perlindungan.
Sumber: Al-Madkhal li Diraasat al-Aqidah al-Islamiyyah 'ala
Madzhabi Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah, Dr. Ibrahim bin Muhamad bin Abdullah
al-Buraikan
Post a Comment