Hukum Orang yang Menentang Sunnah
Hukum Orang yang Menentang Sunnah
Para penentang sunnah, antara lain Mujtahid yang keliru, jahil
yang dimaafkan, zalim yang melampui batas, munafik zindiq dan musyrik yang
sesat.
Mujtahid yang Keliru
Di antara orang-orang yang menentang sunnah sebagian besar
disebabkan karena ijtihad yang keliru dalam rangka mencari kebenaran. Bisa juga
karena kurangnya pengetahuan ilmu syariat yang mereka kuasai, atau semacam
penakwilan khusus dengan data-data yang meragukan (syubhat). Namun, dalam hali
ini mereka tidak bertindak mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan tidak sengaja
menyalahi Allah dan Rasul-Nya, dan beriman kepada Allah lahir maupun batin.
Akidah golongan yang
selamat dipredikatkan Nabi saw dengan "keselamatan," sebagaimana sabdanya, "Umatku akan terpegah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan masuk neraka dan satu golongan masuk sorga, yaitu golongan orang yang menempuh jalan seperti yang aku dan para sahabatku tempuh atau al-jamaah.
selamat dipredikatkan Nabi saw dengan "keselamatan," sebagaimana sabdanya, "Umatku akan terpegah belah menjadi 73 golongan, 72 golongan masuk neraka dan satu golongan masuk sorga, yaitu golongan orang yang menempuh jalan seperti yang aku dan para sahabatku tempuh atau al-jamaah.
Keyakinan ini diambil sumbernya (ma'tsur)dari Nabi saw dan para
sahabatnya. Merekalah yang termasuk Firqah an-Najiyah (golongan yang
selamat), begitu pula pengikut-pengikut mereka. Tidak mesti setiap orang yang
menyalahi satu hal dari keyakinan ini menjadi binasa, sebab ada kemungkinan
orang yang berselisih itu termasuk mujtahid yang melakukan kekeliruan yang dapat
diampuni oleh Allah. Boleh jadi karena ilmu yang dimilikinya kurang memadai
untuk dijadikan hujjah yang kuat. Maka, dengan izin Allah dapatlah
keburukan-keburukannya dihapuskan karena kebaikan-kebaikan yang mungkin
dimilikinya. Kalaupun ada lafaz-lafaz ancaman yang diarahkan kepadanya, tidak
harus menggolongkan para pentakwil ke dalamnya. Termasuk di dalamnya adalah
orang yang taat, orang yang mempunyai banyak kebaikan yang dapat menghapus
dosanya, serta orang yang dapat diampuni, dan lainnya. Inilah yang lebih patut.
Dalam hal ini, siapa yang berkeyakinan demikian, selamatlah dalam akidah ini.
Adapun bagi yang memiliki keyakinan berlawanan, mungkin saja
selamat dan boleh jadi tidak selamat, sebagaimana dikatakan, "Barangsiapa diam,
ia akan selamat."
Jika telah ditetapkan kebenarannya dengan kitabullah yang
ditafsirkan menurut sunnah bahwa Allah telah mengampuni kekeliruan dan kealpaan
umat ini, maka inilah dalil umum yang terpelihara. Tidak ada dalil-dalil syar'i
yang mengharuskan Allah menyiksa orang yang telah mengakui kesalahan yang
diperbuat oleh umat ini, meskipun ada siksaan bagi manusia (selain umat Islam)
yang melakukan kesalahan.
Alquran dan As-Sunnah pun telah menjelaskan bahwa Allah tidak
menyiksa seseorang kecuali setelah disampaikannya risalah. Bagi yang belum
disampaikan risalah kepadanya secara global, ia tidak patut mendapat siksa. Dan
bagi yang telah menerima risalah secara global, tetapi tidak menerima uraian
rinci, ia pun tidak disiksa, kecuali ia mengingkari hujjah yang dikemukakan
risalah tersebut. Oleh karena itu, siapa yang telah beriman kepada Allah dan
rasul-Nya, tetapi tidak mengetahui sebagian yang telah diturunkan kepada nabi
karena tidak mendengar atau mendengar dari jalan yang tidak layak dibenarkannya,
ataupun meyakini makna lain termasuk takwil yang bisa dimaafkan, maka Allah
patut memberi kepadanya pahala disebabkan keimanannya itu.
Jahil yang Bisa Dimaafkan
a. Di antara mereka ada yang menyalahi sunah karena sedikitnya
sandaran mereka kepada Alquran dan as-sunnah.
Mereka yang menentang sunah, khususnya dari generasi
muata'akhirin, karena sedikitnya sandaran mereka kepada Alquran dan as-sunnah.
Selain itu mereka lebih mengandalkan pendapat yang diciptakan para guru mereka
tanpa mengetahui hakikat beserta akibat-akibatnya. Andaikan mereka mengetahui
bahwa pendapat-pendapat tersebut menyalahi sunah, pastilah mereka
meninggalkannya.
Kaum salaf berpegang teguh kepada Alquran dan iman. Akan
tetapi, ketika terjadi perselisihan dan perpecahan di kalangan umat, ahli
perpecahan dan perselisihan menjadi berkelompok-kelompok. Dalam batin mereka
tidak lagi berpegang kepada Alquran dan iman, tetapi lebih mengandalkan
prinsip-prinsip yang diciptakan guru-guru mereka. Di atas prinsiop-prinsip
itulah mereka menyandarkan pokok tauhid, sifat Allah, qadar, iman kepada rasul
dan lainnya. Bila ada ayat Alquran yang mereka anggap sesuai dengan prinsip
tersebut, mereka jadikan hujjah, dan jika tidak sesuai, mereka takwilkan. Oleh
karena itu, jika mereka berhujjah kepada Alquran dan hadis, mereka tidak
memperhatikan redaksional kedua dalil tersebut, juga tidak menyelidiki makna
yang terdapat dalam Alquran, sebab dalam hal ini mereka mengandalkan pegangan
lain. Sementara ayat-ayat yang bertentangan dengan kehendak mereka, ditakwilkan
untuk dijadikan aturan syariat selama mungkin, sesuai dengan tujuan yang mereka
inginkan, bukan menurut maksud yang dipahami Rasulullah saw. Bahkan, mereka
melawan orang yang menentangnnya demi mempertahankan hujjah mereka. Hal demikian
menunjukkan bahwa banyak ulama muataakhirin yang tidak menyandarkan agama mereka
kepada Alquran maupun keimanan yang dibawa Rasulullah. Berbeda dengan umat salaf
yang sempurna dalam ilmu dan iman, kesalahan mereka lebih ringan dibandingkan
dibandingkan kebenaran yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, hendaknya setiap mukmin tidak berbicara
mengenai sesuatu urusan agama, kecuali mengikuti apa-apa yang dibawa Rasulullah
saw dan menyelaraskan dengan ajaran beliau serta tidak mendahulukan pendapatnya.
Sehingga, ucapannya sesuai dengan ucapan Rasulullah dan ilmunya mengikuti
perintahnya. Demikian yang dilakukan para sahabat, tabi'in dan imam-imam kaum
muslimin. Oleh sebab itu, tidak seorang pun dari mereka yang menyalahi nash-nash
dalam mengeluarkan pernyataan (agama), dan tidak menegakkan agama dengan selain
yang dibawa Rasulullah saw. Kalau seseorang ingin mengetahui sesuatu tentang
agama dan perkataan yang ada di dalamnya, ia sesuaikan dengan firman Allah dan
sunah Rasulullah saw. Dari sumber inilah dia mengetahui dan dengannya dia
berbicara. Kepadanya dia melihat dan memikirkan suatu persoalan, dan dengannya
pula dia mengambil dalil. Inilah prinsip Ahli Sunnah wal Jamaah.
Setiap orang yang menyalahi ajaran yang dibawa Rasulullah saw
itu disebabkan tidak adanya ilmu tentang hal itu dan tidak berbuat adil, bahkan
jahil, zalim, dan mengikuti prasangka. Akan tetapi, kedua hal itu telah jatuh
dalam perkara yang samar dan rumit, yang mereka gali dengan ijtihad dan
mengerahkan segenap kemampuan untuk mencari kebenaran. Persoalan seperti ini
telah terjadi di antara sebagian sahabat dalam masalah cerai (thalak), waris,
dan lainnya. Tetapi, dalam masalah yang nyata dan terang tidak pernah terjadi
peristiwa seperti itu di kalangan para sahabat, sebab keterangan tentang hal itu
telah jelas dari Rasulullah. Sehingga, mereka tidak menentangnya, kecuali bagi
yang sengaja menentang Rasulullah. Mereka tetap berpegang teguh pada agama Allah
dan menjadikan Rasulullah sebagai hakim dalam setiap perselisihan yang terjadi.
Mereka tidak mendahulukan karsa pikir terhadap firman Allah dan sunah rasul,
lebih-lebih menentang Allah dan rasul-Nya.
Setelah lama waktu berlalu, terjadilah pada kebanyakan manusia
sesuatu yang sebelumnya jelas menjadi samar dan rumit. Sehingga, banyak kalangan
mutaakhirin yaang menyalahi kitabullah dan sunah--kasus yang tidak pernah
terjadi pada kalangan salaf--sekalipun mereka tergolong mujtahid yang dimaafkan
dan diampuni Allah, serta diberi pahala atas ijtihad yang mereka upayakan.
Mungkin saja kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan mendapat pahala sama dengan
pahala lima puluh orang yang melakukannya pada zaman itu, karena mereka
mendapati orang-orang yang memperhatikan hal itu. Sedangkan ulama mutaakhirin
tidak mendapati orang-orang yang memperhatikan hal seperti itu.
b. Di antara mereka ada yang menentang Sunnah karena ijtihad yang keliru atau takwil yang jauh.
Orang yang menentang Sunnah, diantara mereka ada yang membela Sunnah dihadapan musuh-musuhnya. Akan tetapi, kadang kala mereka menyalahi Sunnah itu sendiri disebabkan ijtihad yang keliru atau takwil yang jauh. Sehingga mereka melakukan dua perkara sekaligus: Sunnah dan bid'ah, cahaya dan kegelapan. Tetapi hal ini dimaafkan, khususnya jika panji Sunnah tidak tampak jelas dan terang.
b. Di antara mereka ada yang menentang Sunnah karena ijtihad yang keliru atau takwil yang jauh.
Orang yang menentang Sunnah, diantara mereka ada yang membela Sunnah dihadapan musuh-musuhnya. Akan tetapi, kadang kala mereka menyalahi Sunnah itu sendiri disebabkan ijtihad yang keliru atau takwil yang jauh. Sehingga mereka melakukan dua perkara sekaligus: Sunnah dan bid'ah, cahaya dan kegelapan. Tetapi hal ini dimaafkan, khususnya jika panji Sunnah tidak tampak jelas dan terang.
Perlu diketahui, ada kelompok-kelompok yang menasabkan kepada
orang-orang yang tunduk mengikuti pokok-pokok agama (ushuluddin) dan ilmu kalam.
Mereka terdiri atas beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang menyalahi
prinsip-prinsip besar dalam Sunnah. Ada juga yang menyalahi Sunnah dalam
perkara-perkara yang rumit. Dan ada juga yang menolak golongan lain yang lebih
jauh lagi dari Sunnah, hal ini bisa jadi terpuji selama yang ditolaknya adalah
kebatilan dan yang dikatakannya merupakan kebenaran. Tetapi, dalam penolakan
tersebut mereka melampui batas, karena mengingkari sebagian kebenaran dan
mengatakan sebagian kebatilan. Mereka telah menolak bid'ah besar dengan bdi'ah
yang lebih ringan. Inilah keadaan mayoritas ahli kalam yang menasabkan diri
kepada Ahli Sunnah wal Jamaah. Jika apa-apa yang mereka ciptakan itu selama
ucapan yang tidak memecah belah jamaah muslimin, tidak dijadikan landasan untuk
bersahabat dan bermusuhan, maka hal itu termasuk jenis kekeliruan. Adapun Allah
mengampuni kesalahan-kesalahan orang beriman karena kekeliruan semacam itu.
Terkadang kebaikan berdampingan dengan keburukan-keburukan,
baik yang diampuni maupun yang tidak diampuni. Terkadang juga sulit bagi
seseorang untuk memilih syariat yang murni, kecuali yang sudah tercampur dengan
bid'ah. Hal ini dikarenakan tidak ada orang yang menunjukkan jalan murni
tersebut, baik dalam hal ilmu maupun amalan. Apabila tidak diperoleh cahaya yang
murni--yang ada hanya manusia yang hidup dalam kegelapan-- maka tidak patut
seseorang mencela dan mencegah orang lain karena telah mengambil cahaya yang
tercampur dengan kegelapan. Kecuali, bila memang telah tercipta cahaya yang sama
sekali bersih dari kegelapan. Berapa banyak orang yang telah berpaling dari
cahaya yang tidak murni, bahkan keluar dari cahaya secara total, sehingga itu
tidak bisa melihat kegelapan di dalam jalan hidup manusia.
Prinsip ini dimaksudkan agar seseorang menempatkan cela dan aib
yang melekat pada kaum salaf dan para ulamanya pada proporsi yang sebenarnya.
Dan, agar dia mengetahui bahwa penyimpangan dari kesempurnaan khilafah yang
berdasarkan manhaj nubuwwah dibenarkan menurut pandangan syara'. Hal tersebut
mungkin disebabkan kealpaan hingga meninggalkan kebaikan, baik dalam hal ilmu
maupun amal. Atau, dikarenakan sikap permusuhan dengan melakukan keburukan, baik
dalam hal ilmu maupun amal. Masing-masing dari kedua hal ini bisa disebabkan
oleh keterpaksaan maupun kemauan sendiri. Adapun setiap orang yang lemah yang
tidak mampu melakukan kebajikan dengan sempurna hingga terpaksa melakukan
sebagian kejahatan adalah dimaafkan.
Hal tersebut merupakan prinsip yang pokok, yakni hendaknya Anda
mengakui kebaikan yang ada dalam diri seseorang, baik dalam hal ilmu maupun
amal. Atau, berupa kebajikan yang diwajibkan atau yang disunnahkan. Demikian
juga, Anda harus mengakui kejelekan yang ada pada diri orang tersebut, baik
ilmu, amal, maupun ucapan. Atau, berupa kejelekan yang dilarang ataupun tidak,
jika yang tak dilarang itu disebut juga kejelekan.
Sesungguhnya agama melahirkan kebaikan-kebaikan dan berbagai
kemaslahatan, disamping menghilangkan segala bentuk kejahatan dan kerusakan.
Sering kali dua hal ini berkumpul dalam satu perbuatan atau dalam pribadi
seseorang. Cela dan hukum kadang-kadang muncul karena salah satunya, tetapi
janganlah dilupakan yang muncul karena yang lainnya. Begitupun pujian,
kadang-kadang muncul akibat salah satunya, tetapi jangan melupakan pujian yang
muncul dari sisi yang lain. Misalnya, seseorang terkadang dipuji karena telah
meninggalkan suatu kejahatan bid'ah dan dosa, namun pujian kepadanya yang muncul
karena melakukan kebaikan dilupakan. Beginilah cara membuat suatu perbandingan.
Barang siapa yang berjalan diatasnya, berarti ia telah menegakkan keadilan.
Allah telah menurunkan Alquran serta neraca keadilan agar manusia
menegakkannya.
Bila kaum salaf mencela ahli kalam dengan mengatakan, "Ulama
kalam adalah orang-orang zindiq, dan tidak ada seseorang yang telah menyelami
ilmu kalam lantas dia lebih beruntung." Maka yang mereka maksudkan bukanlah
ahli kalam secara umum, tetapi kebiasaan yang berlaku pada seseorang yang
berbicara tentang agama dengan cara yang tidak dilakukan oleh para rasul utusan
Allah.
3. Orang yang melampui batas dan zalim.
Orang-orang yang menyalahi Sunnah di antara mereka ada yang
jatuh pada perbuatan keji, zalim, saling bermusuhan, baik karena kekeliruan
dalam ijtihad dan takwil ataupun karena kezaliman dan kebodohan. Mereka termasuk
pelaku maksiat yang mendapat dosa karena melakukan kekeliruan.
Setiap orang yang berbuat keji, zalim, bersikap melampui batas, atau melakukan hal yang berdosa, terbagi menjadi dua kelompok. Yakni, mereka yang melakukan takwil dan tidak melakukan takwil. Mereka yang melakukan takwil adalah orang yang berstatus mujtahid, seperti ahli ilmu dan agama yang berijtihad dan berkeyakinan mengenai halalnya permasalahan, sementara golongan lainnya mengharamkannya. Sebagaimana di antara mereka ada yang menghalalkan sebagian jenis minuman, mengenai muamalah yang berkaitan dengan riba, mengenai ikatan perjanjian tentang pemberian sebagai hiburan (mut'ah), dan lain-lainnya, yang pernah dialami oleh kaum Salaf ash-Shaleh. Maka, kelompok mujtahid ini hanya pada tingkatan pelaku kesalahan. Allah berfirman yang artinya, "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah." (Al-Baqarah: 286)
Setiap orang yang berbuat keji, zalim, bersikap melampui batas, atau melakukan hal yang berdosa, terbagi menjadi dua kelompok. Yakni, mereka yang melakukan takwil dan tidak melakukan takwil. Mereka yang melakukan takwil adalah orang yang berstatus mujtahid, seperti ahli ilmu dan agama yang berijtihad dan berkeyakinan mengenai halalnya permasalahan, sementara golongan lainnya mengharamkannya. Sebagaimana di antara mereka ada yang menghalalkan sebagian jenis minuman, mengenai muamalah yang berkaitan dengan riba, mengenai ikatan perjanjian tentang pemberian sebagai hiburan (mut'ah), dan lain-lainnya, yang pernah dialami oleh kaum Salaf ash-Shaleh. Maka, kelompok mujtahid ini hanya pada tingkatan pelaku kesalahan. Allah berfirman yang artinya, "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah." (Al-Baqarah: 286)
Juga telah di riwayatkan dalam sebuah hadis sahih bahwa Allah
telah mengabulkan doa tersebut.
Allah telah memberitakan tentang Daud dan Sulaiman, mereka
memberi keputusan tentang persoalan pertanian. Salah seorang dari mereka
memiliki kapasitas ilmu dan hikmah lebih unggul dari lainnya. Allah juga memuji
mereka berdasarkan kapasitas ilmu dan hikmah masing-masing. Oleh karena para
ulama merupakan pewaris para nabi, maka bila salah seorang di antara mereka
memahami satu persoalan yang tidak dipahami oleh lainnya, tidaklah menjadikan
ilmu dan diennya salah dan tertolak. Akan tetapi, jika hal itu dilakukan dengan
disertai ilmu dan hikmah, dia menjadi berdosa dan zalim, dan jika terjadi
berulang-ulang, maka dia bisa menjadi fasik. Bahkan jika keharaman suatu masalah
telah di ketahui secara pasti, maka penghalalannya adalah kufur. Oleh karena
itu, perbuatan aniaya termasuk dalam bab ini.
Apabila orang yang berbuat aniaya itu seorang mujtahid yang
melakukan takwil, sementara dia tidak menyadari perbuatan aniayanya, bahkan
menganggap dirinya di atas jalan kebenaran, sekalipun salah dalam keyakinannya
(i'tiqadnya), maka sebutan orang aniaya tidaklah menyebabkan berdosa, apalagi
sampai menjadi fasik. Mereka yang berpendapat perlunya memerangi orang-orang
yang berbuat aniaya dalam mentakwil mengatakan, "Kami memerangi mereka dalam
rangka menolak bahaya perbuatan aniaya mereka dan mencegah perlawanan, bukan
menghukum mereka."
Selanjutnya mereka mengatakan, "Orang-orang itu tetap berada
dalam keadilan dan tidak berbuat fasik, sebagaimana halnya anak kecil, orang
gila, orang lupa, orang pingsan, serta orang tidur yang tidak bisa di hukum
karena melakukan pelanggaran sebab mereka bukan mukalaf, bahkan sama dengan
binatang-binatang yang melakukan pelanggaran.
Ahli Sunnah wal Jamaah bersepakat terhadap orang-orang yang
dikenal kebaikan-kebaikannya seperti para sahabat yang dikenali dan selain
mereka dari pengikut Perang Jamal (Perang Unta) dan Perang Shiffin. Tidak
seorang pun dari mereka yang dituduh fasik, apalagi dikafirkan. Para fuqaha
menggolongkan mereka pada umumnya pelaku aniaya, sekalipun mewajibkan memerangi
mereka, namun menolak menghukumi fasik karena melakukan takwil, sebagaiman di
katakan oleh para ulama fiqh, "Sesungguhnya peminum sari kurma yang
diperselisihkan oleh ahli takwil tidak di dera dan tidak pula di tuduh fasik."
Kelompk Jahamiyah banyak menyembunyikan perkataan mereka
terhadap kebanyakan ahli iman, sehingga ahli iman menganggap bahwa kebenaran
yang mereka kemukakan termasuk syubhat. Orang-orang mukmin yang beriman kepada
Allah dan rasul-Nya, lahir dan batin, menganggap pantas untuk memberikan
predikat yang sama dengan kelompok-kelompok bid'ah lainnya. Oleh sebab itu,
mereka bukanlah kafir secara qath'i, namun menjadi fasik dan maksiat, dan mereka
menjadi pelaku kekeliruan yang layak mendapat ampunan. Pada diri mereka ada iman
dan takwa yang menjadikan adanya unsur wilayatillah (Kekuasaan Allah) sesuai
dengan kadar keimanan dan ketakwaan mereka.
Di antara ahli bid'ah ada yang mempunyai iman lahir dan batin hanya karena pada diri mereka terdapat unsur jahil dan zalim, maka mereka melakukan kekeliruan dalam memahami sunnah. Maka, mereka bukan kafir, juga bukan fasik. Bisa jadi mereka melakukan pelanggaran dan kezaliman yang menjadikan mereka jatuh sebagai orang fasik atau maksiat, dan bisa jadi mereka keliru dalam melakukan takwil yang berhak mendapat ampunan Allah. Oleh karena dalam diri mereka masih terdapat unsur iman dan takwa, maka mereka pun berhak mendapat wilayatillah sebagaimana disebut sebelumnya.
Di antara ahli bid'ah ada yang mempunyai iman lahir dan batin hanya karena pada diri mereka terdapat unsur jahil dan zalim, maka mereka melakukan kekeliruan dalam memahami sunnah. Maka, mereka bukan kafir, juga bukan fasik. Bisa jadi mereka melakukan pelanggaran dan kezaliman yang menjadikan mereka jatuh sebagai orang fasik atau maksiat, dan bisa jadi mereka keliru dalam melakukan takwil yang berhak mendapat ampunan Allah. Oleh karena dalam diri mereka masih terdapat unsur iman dan takwa, maka mereka pun berhak mendapat wilayatillah sebagaimana disebut sebelumnya.
Kesalahan yang dilakukan seorang hamba karena bertindak ceroboh
dalam mengikuti kewajibannya kepada Alquran, misalnya, atau karena ia melampaui
batas ketentuan-ketentuan Allah dengan menempuh jalan yang di larang oleh-Nya,
atau mengikuti kemauan nafsunya tanpa petunjuk dari Allah, berarti dia telah
menzalimi diri sendiri dan termasuk ahlul wa'id (orang yang mendapat ancaman
siksa Allah). Berbeda dengan orang yang berijtihad dalam rangka menaati Allah
dan rasul-Nya, lahir dan batin, yang mencari kebenaran dengan ijtihadnya
sebagaimana diperintahkan Allah dan rasul-Nya, maka kesalahannya berhak mendapat
ampunan Allah.
4. Munafik zindiq.
Orang-orang yang menyalahi sunnah di antara mereka ada yang
tergolong munafik zindiq, yang menyembunyikan kekufuran, dendam kesumat, dan
kemurkaan mereka kepada kaum muslimin.
Sesungguhnya orang yang mengerjakan salat namun menyimpan sifat
kufur terhadap sesuatu persoalan, maka tidaklah dia melakukan salat, melainkan
sebagai munafik. Jika demikian, maka para ahli bid'ah terdapat orang munafik
zindiq dan dia kafir. Orang-orang seperti ini banyak dijumpai di kalangan
Rafidhah dan Jahamiyah.
Di antara Rafidhah tampaklah induk-induk zindiq dan
kemunafikan, seperti zindiqnya Qaramithah Bathiniyyah dan yang semisal mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa mereka termasuk kelompok ahli bid'ah yang paling jauh
penyimpangannya dari kitabullah dan sunnah. Oleh sebab itu, mereka paling
populer di kalangan publik sebagai penentang as-sunnah. Jumhur kaum muslimin
tidak mengenal lawan sunni kecuali Rafidhah. Maka jika ada seseorang dari mereka
berkata, "Aku sunni," berarti dia bukan Rafidhah.
Pada golongan Rafidhiy terhimpun ketiga sifat itu. Bahkan,
bertambah satu lagi, mereka keluar dari ketaatan dan jamaah serta memerangi
orang mukmin dan kafir mu'ahid (orang yang terikat dengan perjanjian damai).
Mereka tidak menganggap penting menaati pemimpin kaum muslimin, baik yang adil
maupun yang fasik, fanatisme yang lebih jahat dari fanatisme keturunan, yaitu
fanatisme terhadap ajaran agama yang rusak. Sesungguhnya pada hati mereka
terdapat dendam dan kemarahan terhadap kaum muslimin serta terhadap "orang-orang
kecil" kaum muslimin yang saleh maupun tidak. Suatu dendam dan kebencian yang
tidak pernah ada pada selain mereka. Merekalah manusia yang paling gigih
memecah-belah jamaah kaum muslimin.
5. Musyrik yang sesat.
Orang-orang yang menentang sunnah, ada yang musyrik dan sesat,
serta harus disuruh bertaubat dari kemusyrikan mereka jika menampakkannya.
Andaikata menolak, mereka dibunuh sebagai orang-orang kafir yang murtad.
Kaum Druz dan Nushairiyah adalah kafir berdasarkan kesepakatan
kaum muslimin, tidak halal memakan hewan yang disembelih mereka, dan tidak halal
menikahi perempuan-perempuan mereka. Bahkan, mereka tidak dikenakan jizyah,
karena telah murtad dari dienul Islam, mereka bukan lagi sebagai muslim dan
bukan pula Yahudi dan Nasrani.
Mereka tidak mengakui kewajiban salat lima waktu, puasa
Ramadan, dan haji. Mereka juga tidak mengharamkan apa-apa yang di haramkan Allah
dan rasul-Nya, seperti bangkai dan khamar. Sekalipun secara lahiriyah mereka
mengucapkan dua kalimah syahadat, namun mereka termasuk orang-orang kafir
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Karena, mereka memiliki keyakinan seperti
itu.
Nushairiyah adalah para pengikut Syu'aib Muhammad bin Nushair,
golongan yang bertindak melampaui batas dengan mengatakan bahwa Ali adalah
Tuhan. Sedangkan kaum Druz adalah pengikut Hasytekin ad-Druz, seorang bekas
sahaya al-Hakim yang diutus kepada penduduk Wadi Taimullah bin Tsa'labah. Ia
menyeru kepada mereka agar menuhankan al-Hakim, serta menyebut al-Hakim sebagai
Al-Bari (sang pencipta) dan Al-Aliim (yang Maha Mengetahui), serta mereka
bersumpah dengan menyebut namanya. Mereka dari golongan Isma'iliyyah yang
mengatakan Muhammad bin Ismail menasakh syariat Muhammad bin Abdullah. Mereka
lebih besar kekafirannya dibandingkan dengan orang-orang yang melampaui batas
yang mengatakan bahwa alam itu qadim (tak berawal), dan mengingkari hari akhirat
serta kewajiban-kewajiban Islam dan larangan-larangannya.
Perihal kekafiran kaum Druza tidak ada perselisihan di kalangan
kaum muslimin, bahkan keraguan terhadap kekafiran mereka akan menjadikan seorang
muslim kafir sebagaimana mereka. Golongan ini tidak sama dengan ahli kitab dan
musyrikin, karena kekufuran mereka disertai dengan kesesatan. Oleh sebab itu,
tidak dibenarkan seseorang memakan makanan mereka, bahkan dibolehkan menawan
wanita-wanita mereka, dan merampas harta mereka, sebab mereka termasuk zindiq
yang murtad, tidak diterima taubat mereka serta boleh diperangai di mana saja
mereka berada. Mereka juga patut dilaknat sebagaimana disifatkan, dan tidak
boleh dijadikan sebagai pengawal atau penjaga. Ulama dan tokoh-tokoh mereka
wajib dibunuh agar tidak menyesatkan golongan lain. Selain itu, haram bagi kaum
muslimin untuk tidur bersama mereka di rumah-rumah mereka, menemani mereka dalam
perjalanan, dan mengantarkan jenazah mereka manakala diketahui kematian mereka.
Barangsiapa meyakini ketuhanan manusia, meyakini bahwa
seseorang bisa memanggil orang mati, bisa dimitai rezeki, pertolongan, dan
hidayah, juga bertawakal dan bersujud kepadanya, maka haruslah ia bertaubat
kepada Allah. Jika tidak mau bertaubat, dia wajib dibunuh. Barangsiapa
melebihkan seseorang dari guru-guru mereka melebihi nabi atau meyakini bahwa
seseorang tidak perlu taat kepada Rassulullah saw maka diharuskan bertaubat.
Jika menolak, dia harus dibunuh. Demikian juga bagi siapa yang meyakini bahwa
seorang wali berada bersama Nabi saw sebagaimana Khidr bersama Musa, maka dia
pun harus bertaubat.
Muhammad diutus Allah kepada seluruh Tsaqalain (yaitu jin dan
manusia). Barangsiapa beritikad bahwa ada yang memiliki kewenangan untuk keluar
dari syariat beliau dan untuk tidak menaati beliau, maka dia terhukum kafir dan
wajib dibunuh.
Orang-orang yang melampaui batas terhadap sebagian guru-guru
mereka juga tergolong ke dalam kelompok musyrik dan pelaku kesesatan. Seperti
mereka yang bersikap berlebihan terhadap orang-orang saleh, semisal Ali bin Abi
Thalib. Bersikap berlebihan (extreme) terhadap orang yang mereka yakini
ada kebaikan pada dirinya, semisal al-Hallaj dan al-Hakim yang berada di Mesir,
atau Yunus al-Qati dan yang lainnya. Bahkan termasuk mereka yang bersikap
berlebihan terhadap Isa bin Maryam as dan yang lainnya.
Kemudian mereka memberikan kepada guru-guru tersebut semacam
sifat ketuhanan (ilahiyyah), seperti ketika mereka berkata, " Semua rezeki yang
saya terima yang bukan pemberian Syekh Fulan, tidaklah aku kehendaki." Atau
mereka berkata, "Jika menyembelih seekor kambing, hendaklah dengan nama tuhanku.
Juga mereka menyembahnya dengan bersujud kepadanya atau kepada selainnya.
Termasuk orang yang berdoa dengan mengesampingkan Allah, seperti berkata, "Wahai
tuanku si Fulan, ampunilah aku. Berilah aku rahmat dan rezeki. Tolonglah aku dan
berilah aku pahala, aku bertawakal kepadamu, engkaulah yang mencukupiku, aku
berada di bawah kecukupanmu." Atau di sekitar permasalahan itu, baik berupa
perkataan ataupun perbuatan yang tak lain adalah ciri-ciri khusus Rububiyah,
yang tak layak di miliki oleh selain Allah. Oleh karena itu, setiap kemusyrikan
dan kesesatan sebagaimana yang dipaparkan itu, bagi pelakunya diperintahkan
bertaubat. Jika mereka bertaubat tentulah akan diterima, sedangkan mereka
menolak, hendaklah mereka dibunuh.
Post a Comment