Hukum Tidak Mengetahui Masalah Agama yang Jelas
Dalil-dalilnya
Semua penjelasan yang dibutuhkan manusia untuk mengetahui,
meyakini, dan mempercayai masalah-masalah tauhid, kenabian, dan hari akhir,
masalah halal dan haram telah dijelaskan Allah dan Rasul-Nya. Karena,
masalah-masalah tersebut merupakan masalah-masalah yang paling penting yang
harus disampaikan oleh Rasulullah saw dengan jelas dan beliau telah
menjelaskannya.
Hal itu juga merupakan hujjah terbesar yang ditegakkan Allah
bagi hamba-hamba-Nya melalui Rasul-Nya yang menyampaikan dan menjelaskannya
kepada mereka. Kitab Allah (Alquran) yang diriwayatkan para sahabat dan tabi'in
dari Rasulullah saw baik lafal maupun maknanya, dan hikmah yang merupakan sunnah
Rasulullah saw yang juga diriwayatkan dari beliau saw telah mencakup semua
persoalan di atas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa syar'i (Pembuat Syari'at),
dalam hal ini adalah Rasulullah saw, telah menjelaskan semua hal yang dapat
menjaga manusia dari berbagai kerusakan dan tidak ada yang lebih merusak manusia
selain kekafiran dan kemaksiatan. Beliau telah memberikan penjelasan tersebut
yang menggugurkan alasan untuk tidak mempercayai beliau.
Allah SWT berfirman: "Dan Allah sekali-kali tidak akan
menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberikan petunjuk kepada mereka hingga
dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang mereka harus jauhi. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu." (At-Taubah: 115).
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan
telah Ku-cukupkan kepada nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamu.
Maka, barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang." (Al-Maidah: 3).
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana." (An-Nisa: 165).
"Katakanlah: 'Ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada
Rasul, dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa
yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu.
Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapatkan petunjuk. Dan tiada lain
kewajiban Rasul hanya menyampaikan (amanah Allah dengan terang)." (An-Nuur:
54).
Abu Dzarr berkata: "Rasulullah saw telah wafat dan tidak ada
seekor burung pun yang mengepakkan sayapnya dan tidak menyampaikan ilmu kepada
kita." Di dalam shahih Muslim dikatakan, "Sebagian orang-orang musyrik berkata
kepada Salman: "Nabi kamu telah mengajarkan kepadamu segala sesuatu, hingga
persoalan buang air." Salman menjawab: Betul demikian...."
Berdasarkan hal di atas, maka masalah-masalah tersebut
(Meng-Esakan Allah dan tidak menyekutukan-Nya, penetapan kenabian dan kerasulan,
pengharaman riba dan judi, dan lain-lain) adalah pengetahuan-pengetahuan dan
petunjuk-petunjuk yang pasti. Oleh karena itu, orang yang hidup di Daar
al-Islam (negara Islam) dan dalam lingkungan keimanan, ia tidak mempunyai
alasan untuk tidak mengetahui dan menentang perintah-perintah Allah
tersebut.
Imam as-Syafi'i mengatakan, "Ilmu itu terdiri dari dua macam:
pertama, ilmu umum, yaitu ilmu yang pasti diketahui oleh seorang yang sudah
baligh yang tidak hilang akalnya (gila)... seperti salat lima waktu, kewajiban
puasa Ramadhan, haji bagi orang yang mampu, zakat harta, diharamkannya zina,
pembunuhan, pencurian dan khamr, serta persoalan-persoalan lain yang masuk dalam
pengertian ini yang telah diperintahkan kepada hamba-hamba Allah untuk
mengetahuinya dan mengamalkannya, mentaatinya dengan jiwanya dan hartanya dan
mencegah dari hal-hal yang telah diharamkan bagi mereka."
"Bentuk pengetahuan ini secara keseluruhan terdapat dalam kitab
Allah dan diketahui secara umum di kalangan kaum muslimin, orang-orang awam
sekarang mengetahinya dari orang-orang terdahulu, mereka meriwayatkan dari
Rasulullah saw dan tidak ada pertentangan dalan cerita mereka dan tidak pula
dalam hal kewajiban yang diperintahkan kepada mereka. Ilmu umum ini merupakan
ilmu yang tidak mungkin salah dalam pemberitaannya dengan penafsirannya, dan
tidak boleh bertentangan dalam kasus ini...."
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan, "Secara umum Allah dan
Rasul-Nya tidak meninggalkan masalah halal-dan haram tanpa menjelaskan keduanya.
Akan tetapi, sebagiannya lebih jelas dari sebagian yang lain. Maka, masalah yang
keterangannya telah jelas, terkenal di kalangan masyarakat dan diketahui secara
umum sebagai ajaran agama sesuai kebutuhan, tidak ada keraguan di
dalamnya
sehingga tidak ada pula alasan bagi siapapun yang hidup di negeri
Islam untuk tidak mengetahuinya."
Oleh karena itu, ketika para ulama ushul memperbincangkan
masalah 'kebodohan' (ketidaktahuan dalam masalah agama), yang dapat dijadikan
alasan dan yang tidak, mereka mengatakan bahwa kebodohan akan Pencipta Yang Maha
Tinggi dan kenabian Muhammad saw merupakan kebodohan yang bathil (sesat) yang
tidak dapat dijadikan alasan berpaling dari Islam.
Ketentuan-ketentuan syariat yang tidak mungkin menjadikan
kebodohan terhadapnya dipandang sebagai alasan untuk mengingkarinya, secara umum
dapat dibagi menjadi dua bagian:
Pertama, kebodohan dalam masalah pokok-pokok agama (Ushulud
Din) dan masalah-masalah akidah yang global, seperti kebodohan orang kafir
terhadap Dzat Allah SWT dan sifat-sifat kesempunaan-Nya, serta kenabian Muhammad
saw.
Kedua, masalah agama yang secara niscaya diketahui, diikuti
selanjutnya seluruh hukum syari'at yang telah diketahui dan tersebar di
negara-negara Islam, seperti salat, zakat, puasa, haji, haramnya zina,
pembunuhan, khamr dan pencurian.
Beberapa pejelasan mengenai masalah ini:
1.Tidak ada alasan bagi kebodohan dalam pengakuan keislaman
secara global dan kebebasan yang umum dari setiap agama yang ditentangnya. Maka,
setiap orang yang tidak memeluk agama Islam adalah kafir, baik sebagai
pengingkaran maupun kebodohan.
Ibnu Qayyim ra menjelaskan, "Islam adalah agama tauhid
(mengesakan) Allah, ibadah hanya kepada-Nya yang tidak ada sekutu bagi-Nya, iman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengikuti ajarannya. Maka seorang hamba yang
tidak melaksanakan hal itu bukanlah muslim, jika ia bukan kafir karena ingkar,
maka ia adalah kafir karena kebodohannya."
Tingkat tertinggi dari golongan ini adalah orang-orang kafir
yang bodoh yang tidak ingkar, tetapi tidak adanya pengingkaran dari mereka tidak
lantas mengeluarkan mereka dari kekafiran. Sebab, orang yang kafir adalah oang
yang mengingkari keesaan Allah dan mendustakan Rasul-Nya, baik karena
keingkarannya maupun karena kebodohannya dan taklidnya kepada orang-orang yang
mengingkarinya.
2. Kebodohan yang tidak dapat dijadikan alasan dalam masalah
ini mensyaratkan adanya penegakan hujjah dan penyampaiannya, seperti terwujudnya
bentuk konkret secara syar'i dari penegakan hujjah, seperti Daar Islam
dan lingkungan ilmu dan iman, tempat terdapat para da'i dari kalangan para ahli
yang mengetahui Alquran dan sunnah, sehingga masalah-masalah tersebut menjadi
umum dan dikenal di kalangan kaum muslimin.
Mengenai syarat ini, banyak dalil-dalil Alquran dan sunnah yang
menjelaskannya, dan karena alasan kebodohan tetap berlaku bagi seorang hamba
hingga hujjah Allah ditegakkan dan orang yang meninggalkannya akan dihukum
sesuai dengan pelanggarannya. Allah SWT berfirman, "(Mereka Kami utus) selaku
rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada
bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu." (An-Nisaa':
165).
Firman-Nya yang lain, "Dan Kami tidak akan mengazab sebelum
Kami mengutus seorang rasul." (Al-Isra': 15).
Pendapat yang mengatakan bahwa kebodohan dalam masalah-masalah
yang besar (pokok)ini yang dalil-dalilnya telah jelas tidak dapat dimaafkan
secara mutlak meskipun belum ditegakkan hujjah adalah tidak benar. Dalil-dalil
Alquran maupun sunnah juga menolak pendapat tersebut. Ini merupakan mazhab
imam-imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan, "Pokok-pokok agama
(ushulud din) yang telah dijelaskan oleh Allah dan ditetapkan dalam kitab-Nya
(Alquran) adalah hujjah, dan karena itulah hujjah Allah adalah Alquran. Maka,
orang yang telah mengetahui Alquran, ia telah mengetahui hujjah."
Syekh Hamad bin Mu'ammar ra berkata, "Setiap orang yang sampai
kepadanya Alquran, tidak ada alasan baginya untuk meninggalkannya. Karena,
pokok-pokok besar yang merupakan pokok agama Islam telah dijelaskan oleh Allah
di dalam kitab-Nya dan dengannya Allah menegakkan hujjah bagi
hamba-hamba-Nya."
3. Kebodohan orang-orang awam yang mengikuti dan bergabung
dengan beberapa golongan yang sesat, seperti golongan sufi yang sesat yang pada
hakikatnya mazhab mereka adalah kafir dan mengingkari pokok-pokok agama Islam
yang sudah jelas.
Golongan sufi yang sesat meyakini bahwa sampainya pada derajat
keyakinan menjadikan kewajiban-kewajiban mereka gugur dan larangan-larangan
dibolehkan bagi mereka. Mereka juga bependapat bahwa mereka tidak wajib
mengikuti Nabi Muhammad saw.
Imam al-Asy'ari di dalam 'Maqaalat'nya mengatakan, "Ada
segolongan kaum yang berkeyakinan bahwa ibadah mereka telah sampai pada satu
tingkatan yang menjadikan mereka tidak wajib menjalankan ibadah-ibadah yang lain
dan perkara-perkara yang dilarang bagi orang lain seperti zina dan lain-lain,
dibolehkan untuk mereka.
Abu Muhammad bin Hazm mengatakan, "Suatu golongan dari kaum
Sufi menganggap bahwa di antara wali-wali Allah terdapat seseorang yang lebih
utama daripada nabi-nabi dan rasul-rasul secara keseluruhan. Mereka mengatakan,
orang yang sudah mencapai puncak kewalian, maka gugurlah semua kewajibannya
seperti salat, puasa, zakat, dan lain-lain, dan dihalalkan untuknya
perkara-perkara yang diharamkan seperti zina, khamr, dan lain-lain, dan dengan
alasan ini pula mereka membolehkan berhubungan dengan istri-istri orang lain.
Dan mereka mengatakan, "Kami melihat Allah dan berbicara dengan-Nya dan segala
sesuatu yang kamu ucapkan dari hati kami adalah benar."
Tidak diragukan lagi, keyakinan seperti ini sangat bertentangan
dengan syariat dan merupakan kekafiran terhadap Allah SWT.
4.Kebodohan orang-orang yang hidup di daerah terpencil mengenai
sebagian amalan yang bercampur dengan ibadah selain kepada Allah.
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penjelasan di atas
adalah bahwa kebodohan atau ketidaktahuan dalam masalah agama, dan orang
bersangkutan tidak dapat menghindarinya, maka kebodohan itu dapat dijadikan
alasan dan dimaafkan sampai datang penjelasan agama baginya. Dalam konteks ini
tidak dapat dibedakan, apakah kebodohan itu mengenai masalah-masalah agama yang
sudah jelas dalil-dalilnya ataupun masalah-masalah lain yang tidak dikenal
secara umum (belum jelas dalilnya). Arus utama dalam pembicaraan di sini adalah
tentang tegaknya hujjah syar'iyyah dan kemungkinan mendapatkan ilmu tentang
agama dan mencapai pemahaman terhadapnya.
Syekh Muhammad Shalih al-Utsaimin mengatakan, "Kebodohan
sebagai alasan telah ditetapkan bagi hamba Allah, karena Allah telah befirman:
'Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah
memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang
harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu'. "
(At-Taubah: 115).
Rasulullah saw bersabda, "Demi Dzat yang diriku berada di
tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini yang mendengar tentang diriku,
baik yahudi maupun Nashrani, kemudian ia tidak beriman kepada apa yang aku bawa,
tidak lain ia adalah termasuk penghuni neraka."
Nash-nash yang menjelaskan masalah ini banyak kita temukan.
Dengan demikian, orang yang tidak mengetahui agama, ia tidak akan disiksa karena
kebodohannya dalam masalah apa pun dari agama ini.
Sumber: Al-Jahlu bi Masa'il al-I'tiqaad wa Hukmuhu,
Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy
Post a Comment