Keterkaitan antara 'Udzr (Ampunan) dan Jahl (Kebodohan)


Keterkaitan antara 'Udzr (Ampunan) dan Jahl (Kebodohan)


Kebodohan adalah suatu terminologi (istilah) umum untuk menyebut seseorang yang tidak mempunyai ilmu atau pengetahuan, yaitu keyakinan terhadap sesuatu yang bukan sebenarnya atau melakukan suatu perbuatan yang berbeda dengan perbuatan yang seharusnya dilakukan. Perbedaan tersebut terjadi baik karena orang yang bersangkutan mempunyai keyakinan yang benar ataupun salah. Setiap tindakan yang dilakukan berdasarkan ukuran ini jauh dari kebenaran atau merupakan tindakan yang salah.
Ketika seseorang yang bodoh mengatakan sesuatu atau meyakini suatu keyakinan yang berlawanan dengan kebenaran tanpa berdasarkan pengetahuan dan tidak bermaksud menyeleweng dari kebenaran, ia telah melakukan kesalahan dalam perkataan dan keyakinan tersebut.
Dari bab ini kami katakan bahwa kebodohan dengan pengertian yang kedua dan ketiga dengan kesalahan adalah sama. Hal ini disebabkan karena kesalahan tersebut secara etimologis (dari segi bahasa) adalah lawan dari kebenaran. Pakar bahasa mengatakan,"Orang yang keliru (al-mukhthi'u) adalah seseorang yang bermaksud melakukan sesuatu yang benar tetapi melakukan sesuatu yang sebaliknya. Sedangkan orang yang bersalah (al-khathi') adalah seseorang yang sengaja melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan... dan kesalahan (al-khathi'ah) adalah dosa yang dilakukan dengan sengaja."
Ar-Raghib, dalam bukunya al-Mufradat, menjelaskan pengertian "salah" (al-khatha') sebagai sesuatu yang keluar dari jalur yang seharusnya. Selanjutnya, ia memberikan beberapa contoh tentang "salah" sebagaimana dia definisikan, ia mengatakan, "... seseorang bermaksud melakukan suatu kebaikan, tetapi dalam kenyataannya ia melakukan sesuatu yang ia tidak kehendaki. Orang seperti ini dikatakan bahwa ia keliru melakukan suatu perbuatan dan ia disebut orang yang keliru (al-mukhthi'u), karena ia telah bertindak benar dalam niatnya, tetapi keliru dalam tindakannya. Pengertian ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw, "Ruf'ia 'an ummati al-khatha'u wan nisyaanu (Umatku dimaafkan karena salah dan lupa)...." Secara umum dapat dikatakan bahwa seseorang yang menghendaki sesuatu kemudian ia mendapatkan sesuatu yang berlainan, maka orang itu disebut "salah" dan jika ia melakukan sesuatu sesuai dengan yang ia kehendaki, ia disebut "benar". Kadang-kadang disebutkan pula bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak baik atau berniat sesuatu yang tidak baik pula, maka orang tersebut juga dikatakan "salah".
Al-Jahl (orang bodoh atau orang yang tidak tahu) adalah sama pengertiannya dengan al-mukhthi'u (orang yang keliru). Banyak nash-nash Alquran dan sunnah yang menoleransi dan memaafkan keduanya, karena mereka dipandang sebagai orang-orang yang berada dalam wilayah hukum orang yang belum menerima khithab syar'i atau perintah agama. Oleh karena itu, ketika kami mengatakan bahwa orang bodoh yang keliru dalam melakukan suatu amalan agama, maka pengertiannya adalah bahwa orang tersebut dosa dan kekeliruannya dimaafkan, sehingga pengertian 'uzdr di sini adalah tidak ada penghukuman dosa, yakni ampunan.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, dalam menjelaskan hadis dari seseorang laki-laki Bani Israel yang berlebih-lebihan, mengatakan, "Orang laki-laki ini berkeyakinan bahwa Allah tidak berkuasa menggabungkan seandainya ia melakukan sesuatu atau ragu-ragu, dan bahwa Allah tidak mengutusnya.
Kedua keyakinan ini adalah kekafiran yang berlaku bagi orang yang sudah menerima hujjah, tetapi ia tidak mengetahui hal itu dan tidak pula mendapatkan ilmu yang dapat menghilangkan ketidaktahuannya, sedangkan ia memiliki keimanan kepada Allah dan perintah-Nya serta larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya, sehingga ia takut akan siksa-Nya dan Allah pun mengampuninya karena ketakutannya. Dengan demikian, jika dari kalangan orang-orang yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, hari akhir, dan amal yang shaleh ada seseorang yang keliru dalam mengaplikasikan (melaksanakan) beberapa persoalan akidah tidak lebih buruk dari orang yang bodoh, dan Allah memaafkan kekeliruannya, atau Dia akan mengazabnya jika orang tersebut lalai dalam mengikuti agama sesuai dengan tingkat pemahaman keagamaannya. Sedangkan klaim kafir terhadap orang yang telah mengetahui masalah akidah dan ia menyleweng, masalah tersebut adalah masalah besar ...."
Maka, kewajiban manusia adalah berusaha dan mencurahkan segala kemampuannya untuk mengetahui ajaran agama. Manusia tidak diwajibkan mencapai ketepatan atau kesesuaian dalam melaksanakan hukum Allah dari segi batin jika ia tidak mampu mencapai hal tersebut. Tetapi, ia diwajibkan berusaha atau berijtihad. Jika ia tidak berusaha dengan alasan lalai dan meremehkan kemudian ia salah, maka ia telah melakukan dosa.
Ibnu Taimiyyah berkata, "Kesalahan seseorang karena kelalaiannya dalam melaksanakan kewajibannya untuk mengikuti Alquran dan beriman umpamanya, atau karena ia melanggar hukum-hukum Allah dengan cara yang dilarang-Nya, atau karena mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah, maka ia adalah orang yang zalim (berbuat dosa) pada dirinya sendiri dan termasuk orang yang mendapatkan ancaman Allah. Berbeda dengan orang yang telah berusaha untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, baik secara batin maupun lahir yang dituntut oleh agama sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kesalahan orang ini dapat dimaafkan."
Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah menjelaskan, "Adapun mengenai pengafiran adalah sebagai berikut: Kebenaran dalam melaksanakan ajaran agama adalah bahwa seseorang di antara umat Muhammad telah berusaha menaati perintah agama tetapi ia keliru, maka ia tidak dapat dikafirkan, tetapi kekeliruannya dimaafkan. Sedangkan orang yang telah mengetahui seruan Rasul kemudian ia meninggalkannya dan menempuh cara selain cara orang-orang mukmin, maka ia adalah kafir. Adapun orang yang mengikuti hawa nafsunya dan lalai dalam mencari kebenaran serta berbicara tanpa berdasarkan pengetahuan adalah orang yang berdosa, kemudian kadang-kadang ia menjadi fasik, dan kadang-kadang pula ada kebaikannya yang dapat menghapus keburukannya."
Toleransi atas kekeliruan dan tidak adanya dosa sebagaimana dijelaskan di atas sama sekali tidak berarti mendapatkan pahala. Tetapi, pengertiannya adalah bahwa seseorang yang berusaha dan berijtihad melakukan atau mengatakan sesuatu dan keliru dalam larangan, sedangkan ia tidak mengetahui larangan itu, dan perbuatan atau perkataan itu merupakan jenis syari'at yang diperintahkan, maka ia mendapatkan pahala karena perbuatannya jika ia tidak mengetahui larangannya. Sedangkan perbuatan yang jenisnya tidak termasuk yang disyari'atkan atau perbuatan tersebut dilarang seperti syirik kepada Allah, maka tindakan itu tidak mendapat pahala, seperti halnya ia tidak mendapat siksa sampai datangnya hujjah syar'iyyah kepadanya.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah kembali berkata, "Setiap orang yang melaksanakan suatu perbuatan yang dilarang tetapi ia tidak mengetahui larangan itu, dan perbuatan tersebut termasuk jenis perbuatan yang diperintahkan seperti orang yang melaksanakan salat pada waktu-waktu yang dilarang, dan ia telah mengetahui perintah salat secara umum tetapi tidak mengetahui larangan salat pada waktu-waktu tertentu..., maka jika ia masuk dalam wilayah perintah salat yang umum dan tidak mengetahui larangan pada waktu tertentu, ia mendapatkan pahala... Berbeda dengan jenis perbuatan yang dilarang seperti syirik kepada Allah, maka kekeliruannya tidak mendapat pahala, meskipun Allah juga tidak mengazab pelakunya sampai ia mengetahui larangan tersebut. Allah SWT berfirman, "Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul." (Al-Israa: 15).
Pelakunya tidak akan diazab sebagaimana pula ia tidak mendapatkan pahala, tetapi perbuatannya tersebut adalah seperti debu sebagaimana firman Allah, "Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan debu yang berterbangan, " (Al-Furqan: 23).

Ibnu al-Mubarak mengatakan, "Perbuatan-perbuatan tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan bukan untuk Allah." Mujahid menyebutnya sebagai perbuatan yang tidak diterima. Allah SWT berfirman, "Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang." (Ibrahim: 18). Perbuatan mereka adalah perbuatan yang salah (bathil) yang tidak mendapatkan pahala...."
Ibnu Taimiyyah melanjutkan, "Seorang yang beriman dan berijtihad mencari kebenaran kemudian ia salah, sesungguhnya Allah memaafkan kesalahannya, baik dalam masalah-masalah teoritis maupun praktis. Ijtihad inilah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi saw dan jumhur ulama Islam."
Dengan demikian, orang bodoh yang salah dan menyalahi perintah Allah SWT dengan melakukan sesuatu yang haram dan meninggalkan kewajiban, jika ia telah mencurahkan segala kemampuannya dan berijtihad dalam lingkup dalil yang umum yang tidak mengetahui nasikhnya (dalil yang menghapus dalil yang lain) atau mukhassisnya (dalil yang mengkhususkan dalil yang lain), ia mendapatkan pahala atas perbuatannya melakukan suatu jenis perintah. Jika perbuatan itu termasuk yang dilarang, ia tidak mendapatkan pahala seperti halnya ia tidak mendapatkan siksa sampai ditegakkannya hujjah melalui penjelasan. Adapun jika ia melalaikan dan meremehkannya, ia tidak dimaafkan jika melakukan dosa atau sesuatu yang menyebabkannya kafir, tetapi termasuk orang-orang yang berdosa dan ingkar dari golongan kaum kafir.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa orang-orang bodoh dan pengikut-pengikut para pembesar dan pemimpin yang kafir dan sesat, jika mereka tidak berusaha mencari ilmu yang diwajibkan kepada mereka, mereka akan dihisab dan diadzab sesuai dengan perbuatan mereka dan termasuk orang-orang yang lalai dan ingkar. Hal demikian adalah karena sebagian besar siksaan dan azab ditimpakan kepada orang-orang yang lalai dan meninggalkan usaha mencari ilmu yang telah diwajibkan, dan Allah tidak memerintahkan kewajiban kepada manusia kecuali yang sesuai dengan kemampuannya.
Para ahli ushul telah menjelaskan mengenai kebenaran dan kesalahan para mujtahid. Dasar pendapat mereka dalam masalah ini adalah dibedakannya antara akidah dan syari'at serta pengafiran orang yang salah dalam masalah akidah, karena mereka memandang kesalahan dalam ijtihad mengenai masalah-masalah akidah berhubungan dengan dosa. Mengingat persoalannya demikian, saya tidak mau terjebak dalam lingkaran pendapat mereka mengenai masalah ini, karena saya melihat pendapat mereka tidak mempergunakan pemikiran dari pembahasan ini. Kemudian, pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah juga sering terjebak pada lingkaran pendapat mereka yang tidak didasarkan pada dalil-dalil Alquran dan sunnah.
Dari pembahasan ini, kami berusaha menjelaskan hubungan antara ampunan ('udzr) dan kebodohan (jahl), dan maksud masing-masing dari kata tersebut. Apakah perbuatan dosa menuntut hukum pengafiran atau berbuat dosa selain kekafiran menuntut adanya siksa? Selanjutnya, apakah ampunan menuntut adanya pahala, jika perbuatan yang menyalahi ketentuan tersebut berdasarkan dalil meskipun lemah, atau ampunan itu hanya menghapus siksa saja?
Setelah menganalisa nash-nash dari Alquran, Sunnah dan pendapat para ulama yang berdasarkan nash-nash tersebut, kami mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebodohan (jahl) dan kesalahan (khatha') mempunyai pengertian yang sama dilihat dari segi keyakinan yang berbeda, dari kenyataan yang seharusnya atau dilakukannya perbuatan yang semestinya tidak dilakukan tanpa bermaksud menyalahi hukum.
2. Siksa dapat ditiadakan dan dihapus karena kesalahan yang dilakukan orang bodoh selama ia tidak bermaksud mendustakannya dan menentang nash-nash.
3. Ijtihad dan mencurahkan segala kemampuan untuk mengetahui hukum Allah, meskipun salah dan tidak mencapai kebenaran, dosa dan kesalahannya diampuni.
4. Kelalaian dan sikap meremehkan, jika dosa yang dilakukannya masalah kekafiran, maka hal itu tidak diampuni. Jika perbuatan tersebut tidak menyebabkan kafir, maka hal itu sebagai alasan dikenakannya dosa dan siksaan, baik di dunia jika berkenaan dengan hukuman, maupun di akhirat jika pelakunya belum bertaubat.
5.Perbuatan bid'ah, jika termasuk jenis perbuatan yang diperintahkan, kemudian seseorang melakukannya berdasarkan ijtihadnya dan ia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang, maka ia mendapatkan pahala.
6.Perbuatan bid'ah, jika termasuk jenis perbuatan bukan perbuatan yang diperintahkan, seperti semedi di kuburan, jika seseorang melakukannya berdasarkan ijtihad tanpa dalil, dosanya diampuni, tetapi ia tidak mendapatkan pahala karena perbuatan tersebut bukan perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
7. Pendapat yang mengatakan adanya hubungan antara kesalahan dan dosa adalah pendapat orang-orang yang suka mengada-ada (ahlu bid'ah) dan orang-orang sesat.
Sumber: Al-Jahlu Bi Masaailil 'I'tiqaad wa Hukmuhu, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy

Tidak ada komentar