Masyarakat Islam dalam Menghadapi Bahaya Kemurtadan
Masyarakat Islam dalam Menghadapi Bahaya Kemurtadan
Dewasa ini, masyarakat Islam menghadapi serangan-serangan yang
keras dan serbuan-serbuan yang gencar yang bertujuan untuk mencabut nilai-nilai
Islam dari akarnya. Di antaranya ini dilakukan melalui serangar missionaris
Kristen yang bekerja sama dengan imprealis Barat.
Mereka terus melakukan aktifitasnya di dunia Islam terutama di
wilayah minoritas Muslim yang bertujuan untuk mengkristenkan kaum Muslimin di
dunia sebagaimana diumumkan dalam muktamar "Colorado" pada tahun 1978
yang membahas tidak kurang dari empat puluh agenda seputar Islam dan kaum
Muslimin berikut strategi untuk menyebarkan agama Nasrani di kalangan kaum
Muslimin dengan dana seribu juta dolar. Selain itu, telah didirikan lembaga
"Zwemmer" untuk mencetak para spesialis dalam hal mengkristenkan kaum
Muslimin.
Bahaya besar yang dihadapi oleh masyarakat Islam adalah ancaman
terhadap aqidahnya. Oleh karena itu, murtad dari agama atau kufur setelah
beriman merupakan bahaya terbesar bagi masyarakat Islam. Mereka berusaha
mengacaukan barisan kaum Muslimin dengan kekuatan dan persenjataan, serta
berbagai bentuk makar dan tipu daya yang lain. Allah SWT berfirman,
"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat, mengembalikan
kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup." (QS
Al-Baqarah: 217)
Serangan juga dilakukan oleh kaum Komunis yang telah menjelajah
negara-negara Islam secara keseluruhan, baik di Asia, Afrika maupun Eropa.
Mereka bekerja dengan segenap kemampuan untuk memadamkan Islam dan mengusirnya
dari kehidupan ini secara total, kemudian mendidik generasi-generasi yang tidak
lagi memahami Islam , banyak atau sedikit.
Serangan lain juga dilakukan oleh kelompok sekuler anti agama
yang secara terus menerus melakukan aktivitasnya sampai saat ini, di
tengah-tengah kehidupan kaum Muslimin. Kadang-kadang mereka bergerak secara
terang-terangan dan kadang-kadang secara sembunyi. Mereka ingin menghilangkan
ajaran Islam yang sebenarnya kemudian mengganti dengan Islam yang penuh
khurafat, barangkali inilah yang merupakan serangan paling buruk dan paling
berbahaya.
Kewajiban masyarakat Islam agar tetap bisa terpelihara
keberadaan mereka' adalah berupaya memerangi kemurtadan dari mana saja sumbernya
dan dalam bentuk apa pun. Masyarakat Islam hendaknya tidak memberi kesempatan
kepada mereka sehingga tidak sampai menyebar/menjalar seperti menjalarnya api di
daun-daun yang kering.
Itulah yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar ra dan para sahabat
yang lainnya, ketika memerangi orang-orang yang murtad, pengikut nabi-nabi
palsu, yaitu Musailamah, Sajjah, Al-Asady dan Al-'Anasy; hampir saja mereka
melepaskan Islam dari ayunannya.
Merupakan suatu bahaya besar jika masyarakat Islam diuji dengan
munculnya orang-orang yang murtad dan keluar dari agama. Kemurtadan menjadi
menyebar luas, sementara kita tidak mendapatkan orang yang dapat menghadapi dan
memberantasnya. Inilah yang diungkapkan oleh salah seorang ulama tentang
kemurtadan yang ada saat ini dengan ungkapan, "Suatu kemurtadan yang tidak
ada Abu Bakar di dalamnya."
Kita harus memberantas kemurtadan secara individu dan
membatasinya sehingga tidak menjalar baranya menjadi kemurtadan secara kolektif
yang terstruktur karena api unggun itu berasal dari api yang kecil.
Karena itulah, para Fuqaha bersepakat untuk memberikan hukuman
pada orang yang murtad meskipun mereka berbeda pendapat tentang batasan
hukumannya. Adapun jumhur berpendapat mereka harus dibunuh, dan inilah
pendapatnya madzahib empat, bahkan delapan imam.
Selain itu ada beberapa hadits shahih dari sejumlah sahabat,
antara lain dari Ibnu Abbas, Abu Musa, Mu'adz, Ali. Utsman, Ibnu Mastud, Aisyah,
Anas, Abu Hurairah, dan Mubawiyah bin Haidah ra.
Dalam haditsnya, Ibnu Abbas ra berkata, "Barangsiapa menukar
mengganti agamanya maka bunuhlah ia." (HR. Al-Jamaah kecuali Muslim)
Dalam haditsnya Ibnu Mas'ud mengatakan, "Tidak halal darah
seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan sesungguhnya aku
adalah utusan Allah, kecuali (halal) dengan salah satu dari tiga: jiwa manusia
dibalas dengan jiwa pula, duda yang bezina, orang yang meninggalkan agamanya dan
orang yang berpisah dari jama'ah." (HR. Al-Jamaah)
Dalam riwayat lain disebutkan sebagai berikut, "Seseorang
yang kafir setelah Islam, atau berzina setelah menikah, atau membunuh jiwa yang
tidak bersalah." (HR. Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah)
Al-'Allamah Ibnu Rajab mengatakan, "Hukuman bunuh untuk
keseluruhan dari tiga hal tersebut itu telah menjadi konsensus kaum Muslimin."
(Lihat Syarah Hadits ke-14 dari Jami'ul Ulum wal Hikam).
Sahabat Ali ra pernah melaksanakan hukuman murtad kepada suatu
kaum yang mengakui ketuhanannya, maka beliau membakar mereka dengan api, yakni
setelah mereka diperintah untuk bertaubat. Akan tetapi, mereka menolak, maka Ali
ra melemparkan mereka ke dalam api.
Ibnu Abbas ra dalam hadits lain menolak hukum tersebut,
"Janganlah kamu sekalian menyiksa (menghukum) dengan siksa Allah (yaitu
membakar)," dan Ibnu Abbas berpendapat bakwa yang wajib mereka itu dibunuh,
bukan dibakar, maka khilaf (perselisihan) Ibnu Abbas di sini adalah dalam
wasilah (sarana) bukan masalah mabda' (prinsip)."
Demikian juga Abu Musa dan Mu'adz pernah melaksanakan hukuman
dengan membunuh terhadap orang Yahudi di Yaman yang Islam kemudian murtad,
Mu'adz mengatakan, "Ini adalah hukuman Allah dan Rasul-Nya." (Muttafaqun
'Alaih).
Abdur Razzaq pernah meriwayatkan bahwa sesungguhnya Ibnu Mas'ud
pernah menangkap suatu kaum yang murtad dari Islam, yaitu dari penduduk Iraq',
maka Ibnu Mas'ud berkirim surat kepada Umar untuk memberi tahu tentang mereka'
dan Umar membalas suratnya dengan mengatakan:
"Tawarkan kepada mereka agama yang haq (benar) dan bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, apabila mereka menerimanya maka lepaskanlah.
Tetapi, jika mereka tidak mau menerima maka bunuhlah mereka."Akhirnya sebagian
dari mereka ada yang menerima, lalu dilepaskan, tetapi sebagian yang lainnnya
tidak menerima, lalu dibunuh." (HR. Abdur Razzaq dalam kitab
Mushannif-nya)
Diriwayatkan dari Abi Amr Asy-Syaibani bahwa sesungguhnya
Mustaurid Al-'Ajli telah masuk agama Nasrani setelah ia Islam, maka 'Utbah bin
Firqid mengirimkannya kepada Ali, lalu Ali ra meminta kepadanya agar bertaubat,
tetapi ia menolak, maka Ali ra membunuhnya (diriwayatkan oleh Abdur Razzaq).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Nabi saw pernah
menerima taubatnya sekelompok dari orang-orang yang murtad dan memerintahkan
untuk membunuh sekelompok lainnya disebabkan kemurtadan mereka akan membawa
bahaya untuk Islam dan kaum Muslimin. Seperti perintah beliau untuk membunuh
Miqyas bin Khababah pada peristiwa Fathu Makkah ketika ia murtad dan membunuh
seorang Muslim serta mengambil hartanya dan ia tidak mau bertaubat. Demikian
juga Nabi saw memerintahkan untuk membunuh Ibnu Khaththal ketika ia murtad dan
mencaci maki serta membunuh seorang Muslim, dan memerintahkan untuk membunuh Abi
Sarah ketika ia murtad dan mencaci maki Nabi serta membuat kebohongan. Ibnu
Taimiyah memisahkan antara dua jenis: bahwa kemurtadan yang murni (tidak
disertai dengan kejahatan) itu diterima taubatnya, sedangkan kemurtadan yang
disertai dengan memerangi/memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta berusaha membuat
kerusakan di bumi ini, maka dia tidak diterima taubatnya sebelum ia mampu
(Ash-Sharimul Maslul, karya Ibnu Taimiyah. hlm. 368).
Ada yang mengatakan, "Belum pernah ada riwayat yang mengatakan
bahwa Rasulullah saw pernah membunuh orang yang murtad, sehingga apa yang
dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah bertentangan dengan pendapat ini dan seandainya
itu benar maka dosa ini belum pernah muncul di masa Nabi, sebagaimana Nabi belum
pernah memberikan sanksi kepada seseorang yang berbuat seperti perbuatan kaumnya
Nabi Luth, karena memang belum pernah ada di masa beliau saw."
Meskipun Jumhur ulama mengatakan dibunuhnya orang yang murtad,
tapi ada riwayat dari Umar bin Khaththab yang bertentangan dengan itu.
Abdur Razzaq, Al-Baihaqi dan Ibnu Hazm meriwayatkan bahwa Anas
pernah kembali dari "Tustar," maka ia datang menghadap Umar ra, lalu Umar
bertanya, "Apa yang diperbuat oleh enam orang dari kelompoknya Bikr bin Wail
yaitu orang-orang yang murtad dari Islam lalu bergabung dengan orang-orang
musyrik?" Anas menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, mereka itu kaum yang murtad
dari Islam lalu bergabung dengan orang-orang musyrik, mereka dibunuh dengan
peperangan," maka Umar membaca Istrja' (Innaa lillaahi wa innaa ilaihi
raaji'uun). Anas berkata, "Apakah tidak ada jalan lain kecuali dibunuh?" Umar
bertanya, "Ya, saya dulu menawarkan kepada mereka untuk masuk Islam (kembali),
jika mereka menolak maka mereka saya penjara."(Riwayat Awur-Razzaq dalam
Al-Mushannif: 1/165-166)
Ini juga merupakan pendapatnya Ibrahim An-Nakha'i dan
Ats-Tsauri yang mengatakan, "Pendapat inilah yang kami ambil." Di tempat lain ia
mengatakan, "Ditangguhkan sesuatu yang saya harap taubatnya."
Menurut pendapat saya, bahwa ulama telah membedakan tentang
masalah bid'ah. Ada yang mughallazhah (berat) dan ada yang mukhaffafah (ringan),
sebagaimana ulama juga memisahkan tentang orang-orang yang berbuat bid'ah' ada
yang mengajak dan ada yang tidak mengajak (mempengaruhi orang lain), demikian
juga harus kita bedakan tentang masalah kemurtadan, antara yang berat ada pula
yang ringan dan tentang orang-orang yang murtad, ada yang mengajak kemurtadannya
dan ada yang tidak mengajak.
Maka apabila kemurtadan itu berat, seperti murtadnya Salman
Rusydi dan dia mengajak ke arah kemurtadannya, baik dengan lesan atau penanya,
maka yang lebih baik bagi orang seperti ini adalah diperberat hukumannya, dan
mengambil pendapat jumhur ulama dan zhahirnya hadits karena demi memberantas
kejahatan dan menutup terbukanya pintu fitnah; jika tidak maka mungkin mengambil
pendapatnya Imam An-Nakhasi dan Tsauri yang diriwayatkan dari Umar Al Faruq.
Sesungguhnya orang murtad yang mengajak kepada kemurtadannya
itu tidak sekedar kufur terhadap Islam, tetapi tindakannya merupakan pernyataan
perang terhadap Islam dan ummatnya. la termasuk orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya serta membuat kerusakan di muka bumi. Peperangan itu sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Taimiyah ada dua macam: peperangan dengan tangan dan
peperangan dengan lesan. Peperangan dengan lesan dalam masalah agama bisa jadi
lebih kejam dari pada peperangan dengan tangan. Oleh karena itu, Nabi saw
membunuh orang yang memeranginya dan memerangi ajarannya dengan lesan sedangkan
beliau membiarkan sebagian orang yang memeranginya dengan tangan.
Demikian juga kerusakan-kerusakan itu ada yang diakibatkan oleh
tangan dan bisa juga oleh lesan. Kerusakan dalam agama yang disebabkan oleh
ucapan lesan itu berlipat ganda dari kerusakan dengan tangan. Maka telah menjadi
suatu ketetapan bahwa memerangi Allah dan Rasul-Nya dengan lesan itu merupakan
kesalahan yang lebih berat, dan membuat kerusakan di bumi dengan lesan itu lebih
kejam (As-Sharimul Masiul, Ibnu Taimiyah hal 385).
Pena merupakan salah satu dari dua lesan, sebagaimana dikatakan
oleh para ahli hikmah dalam mutiara kata, bahkan mungkin pena lebih tajam dari
pada lesan dan lebih kejam, terutama pada zaman kita sekarang ini karena
memungkinkan tersebarnya tulisan dalam lingkup yang luas.
Selain orang yang murtad itu dihukum dengan perlakuan yang
keras tidak terhormat dari jamaah Muslimah (kaum Muslimin), dia juga kehilangan
dukungan, cinta dan bantuan dari kaum Muslimin. Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpm, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka." (QS
Al-Maaidah: 51)
Bagi orang-orang yang berakal, ini lebih keras dari pembunuhan
fisik.
Post a Comment