Pelajaran dari Hud-Hud
"Dan telah dihimpunkan bagi Sulaiman bala tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan)." (An Naml: 17). "Dan dia memeriksa burung-burung lantas berkata: "Mengapa aku tidak melihat (burung) hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir?" (An Naml: 20).
Hal semacam ini tentu tidak akan terjadi kecuali dalam kehidupan para nabi dan orang-orang beriman. Mereka takut, sebab semua hak tersebut akan dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah Ta'ala. Sebab, masalah kepemimpinan adalah masalah yang sangat besar dan berat. Berbeda halnya dengan mereka yang lemah akidah dan agamanya. Para penguasa yang kehilangan akidah dan agamanya akan sama sekali tidak memperhatikan rakyatnya, berbuat zhalim dan semena-mena untuk kepentingan sendiri, kerabat atau kelompok-nya. Ia tak akan peduli dengan burung, tak memperhatikan hewan dan tak memikirkan bagaimana manusia yang ada di bawah tanggung jawabnya dapat hidup. Tidak peduli apakah mereka tinggal di rumah-rumah, istana atau malah tidur di kolong jembatan dan trotoar.
Tidak ambil pusing apakah mereka makan, minum atau tidak mendapatkan makanan meski hanya sesuap. Tidak jadi soal apakah mereka hidup dengan aman atau selalu dalam kekhawatiran dan teror. Tidak masalah apakah tanah yang mereka tempati itu subur dan laik huni atau malah kering dan rawan gempa.Tak peduli apakah airnya cukup memadai atau malah sering ditimpa banjir sehingga banyak menelan korban. Tidak peduli apakah mereka dikuburkan atau dilempar ke laut sehingga menjadi santapan ikan dan hewan air lainnya. Para penguasa itu hidup dan memerintah tetapi rakyat tidak merasakan manfaatnya, bahkan rakyat cenderung sengsara. Karena itu jika mereka mati tiada seorangpun yang merasa kehilangan atas kepergiannya.
Demikianlah, bila syari'at Allah Ta'ala ditinggalkan maka para penguasa tersebut tidak akan memperhatikan kecuali kepentingan mereka sendiri, menumpuk-numpuk harta duniawi sehingga melupakan nasib rakyatnya, sibuk akan pangkat dan simbol-simbol kekuasaan dan berbagai tindakan lain yang pada umumnya merugi-kan kepentingan umum. Mereka melupakan bahwa semua itu akan berakhir dan akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Subhanahu Wata'ala.
Lihatlah Fir'aun, ia begitu berhamburan dengan berbagai macam kenikmatan. Pakaiannya bertahtakan emas permata, kendaraannya sangat banyak serta pilihan, tinggal di istana kebesaran yang amat megah, para tentara mengawalnya di segala arah, semua serba glamour dan mewah. Tapi ketika ia sombong dan bangga diri, mengklaim tiada seorangpun yang dapat menandingi kekuasaannya di seantero planet bumi, lalu memperbudak dan meng-hinakan bangsa Mesir, rakyatnya. Maka ketika semua tindakan kezhalimannya mencapai puncak, ia mengaku dirinya sebagai tuhan, ketika itulah dengan izin Allah ia meninggal secara tragis. Tenggelam di dasar laut dan tewas di bawah tapak kaki kudanya. Menjelang kematiannya, ia baru sadar lantas meminta tolong, tapi tak seorang pun menolongnya.
Mengemukakan alasan, tapi hal itu tidak diterima. Allah berfirman: "Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena ingin menganiaya dan menindas (mereka), hingga bila Fir'aun itu hampir tenggelam, ia berkata: "Saya percaya bahwasanya tiada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu kala, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaaan Kami." (Yunus: 90-92)
Apakah para penguasa di kolong langit ini tidak mau mengambil pelajaran? Padahal Allah telah berfirman: "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya." (Qaaf: 37)
Bagi Sulaiman, walaupun tentaranya terlalu banyak, demikian pula amanat dakwah yang diembannya sangatlah berat, tetapi beliau tetap memperhatikan hud-hud, seekor personil tentara dari lasykar burung. Hal yang sama pula, telah dilakukan oleh mukminin pilihan. Lihatlah Umar bin Khathab, pada suatu malam di sudut jalan kota Madinah, ia berjanji kepada seorang nenek buta untuk menolong dan menunai-kan semua keperluannya. Ketika Umar mendatanginya, ternyata orang lain telah mendahului menolong nenek tersebut. Berkali-kali Umar datang, tetapi ia selalu didahului oleh orang lain. Maka Umarpun mengintip siapa gerangan orang yang mendahuluinya tersebut? Umar lalu tahu, orang itu adalah Abu bakar yang ketika itu sedang manjabat sebagai khalifah.
Dari bibi Khubaib bin Abdur Rahman, ia berkata: "Abu Bakar selalu mendatangi kami selama tiga tahun, dua tahun sebelum ia diminta menjadi khalifah dan setahun sesudah ia menjadi khalifah. Anak-anak perempuan di kampung selalu mendatangi-nya sambil membawa kambing-kambing mereka, lantas Abu Bakar memerah susu kambing-kambing tersebut untuk mereka."
Suatu malam sebagaimana biasa, khalifah Umar mengadakan ronda. Tiba-tiba ia mendengar tangis dari sebuah rumah. Umarpun mendekat. Akhirnya beliau dapati beberapa anak kecil menangis dengan seorang ibu yang berusaha menenangkan mereka sambil menunjuk-nunjuk sebuah periuk (tempat memasak). Umar bertanya kepada sang ibu: "Kenapa anak-anak menangis?" Ia menjawab: "Mereka menangis sebab kelaparan." "Lalu apa yang kau tanak dalam periuk itu?" "Saya merebus batu agar dikira daging sehingga mereka berhenti menangis."
Umar spontan terduduk lemas dan haru, lantas menangis, lalu bangkit menuju Baitul Mal. Ia masukkan gandum, keju, kurma, daging, pakaian dan uang ke karung hingga penuh. Kepada penjaganya ia berkata: "Wahai Aslam, tolong angkatkan karung ini ke pundakku!" Aslam menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang membawanya". Dengan keras Umar membentak: "Hai Aslam. saya yang harus memikulnya, karena sayalah yang harus bertanggung jawab nanti di akherat."Maka ia pun memikul sekarung bahan makanan itu hingga sampai ke rumah wanita tersebut. Dengan segera wanita itu memasak makanan lalu anak-anaknya makan dengan lahap sampai kenyang, sehingga riang gembira." (Usudul Ghabah: 3/ 328)
"Mengapa aku tidak melihat hud-hud?..." (An Naml: 20) Ketika melakukan inspeksi pasukan, Nabi Sulaiman tidak melihat burung hud-hud, sehingga beliau menanyakannya kepada anggota pasukan yang lain. Ini adalah pertanda betapa Sulaiman amat memperhatikan semua rakyatnya, meski dari golongan papa sekalipun. Burung hud-hud adalah burung kecil yang hampir tak kelihatan di antara lautan rakyat beliau. Apalah lagi kerajaannya meliputi alam manusia, jin dan hewan. Subhanallah.
Sungguh amat jauh berbeda dengan kondisi para penguasa sekarang. Ada orang yang baru diberi wewenang untuk menye-lenggarakan kontrak kerja sebuah proyek. Ia cuman membawahi sekian ratus pekerja dengan devisi pekerjaan masing-masing. Mungkin -dan ini kebanyakan terjadi- orang yang diberi kuasa tersebut tidak mengetahui sama sekali perihal orang-orang yang dipimpinnya, apatah lagi kesulitan-kesulitan yang dialami masing-masing karyawan.
Ada orang yang diberi amanat untuk mengembangkan suatu metode pengajaran. Dengan tidak mengetahui dan memeriksa terlebih dahulu sistem pengajaran Islam, mereka serta merta menuduh bahwa materi-materi keislaman tak lagi relevan bagi kemajuan zaman, maka ia harus ditinggal-kan atau maksimal diberikan dengan waktu yang amat singkat. Akhirnya orang tua atau keluarga -yang nota bene banyak belum me-mahami Islam- dibebani untuk memberikan pendidikan Islam. Hasilnya pasti bisa ditebak. Anak-anak menjadi liar, jauh dari agama dan menghalalkan segala cara.
Ada yang serta merta menuduh bahwa orang-orang yang berusaha menjalankan Islam secara sempurna sebagai ekstrimis, fundamentalis dan berbagai tuduhan lain yang menyudutkan. Atas dasar apa mereka menilai orang-orang yang berusaha lurus itu sebagai para ekstrimis atau fundamentalis? Sudahkah diteliti secara benar? Betulkah dalam menilai tidak disertai unsur dengki dan benci? Berapa banyak korban -baik secara kejiwaan atau nyawa- dari tuduhan yang keliru itu? Tidakkah lebih baik bagi para penguasa untuk selalu memperhatikan dan mengayomi rakyat, daripada menyebar-kan tuduhan dan mata-mata di banyak tempat? Adapun Nabi Sulaiman, beliau menegaskan kepeduliannya kepada rakyat kecil dengan mengatakan: "Mengapa aku tidak melihat burung hud-hud?" "Apakah dia termasuk yang tidak hadir?" (An Naml: 20)
Nabi Sulaiman tidak memutuskan suatu hukum kecuali berdasarkan ilmu dan bukti nyata. Beliau tak langsung menvonis, tapi terlebih dulu menanyakan keberadaan hud-hud. Mungkin pandangan beliau yang kurang jeli atau terhalang sesuatu sehingga tidak melihatnya atau bisa jadi burung itu terkena musibah sehingga berhalangan hadir. Agar tak menghukumi sesuatu secara gegabah itulah, maka beliau menanyakannya terlebih dahulu.
Betapa pada saat ini kita sangat membutuhkan tabayyun (kejelasan masalah) sebelum memutuskan suatu hukum. Lihatlah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, ketika beliau yang pada saat itu sedang khutbah melihat Sulaik Al Ghathfani yang langsung duduk saat menghadiri Jum'at. Nabi bertanya:"Hai Sulaik, sudahkah anda Shalat?" Nabi tidak langsung menvonis tetapi beliau bertanya terlebih dahulu. Sebab siapa tahu sahabat tersebut telah shalat di tempat lain kemudian mendekat untuk lebih jelas mendengar khutbah. Baru setelah ia menjawab, "belum Ya Rasul," maka Nabi memerintahkannya: "Berdiri dan shalatlah dua rakaat." (HR. Muslim)
Ucapannya: "Sungguh aku benar-benar akan menyiksanya dengan siksa yang keras, atau menyembelihnya kecuali jika benar-benar ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas." (An Naml: 21)
Ucapan di atas menunjukkan ketegasan terhadap para tentara. Tentara yang melanggar perlu mendapatkan hukuman setimpal atau dimaafkan jika memang mempunyai alasan yang bisa diterima. Seorang pemimpin tidak boleh gegabah memberi keputusan kecuali setelah mendapat keyakinan tentang hakekat masalah yang sedang dihadapi.
Nabi Sulaiman mengancam hud-hud yang tidak hadir. Tetapi tidak dengan keputusan akhir sebelum beliau sendiri mendengar alasannya. "Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud)," (An Naml: 22) (Hud-hud) berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya." (An Naml: 22)
Ucapan di atas menegaskan kebatilan Rafidhah yang berpendapat bahwasanya imam mengetahui segala sesuatu dan tidak seorang pun yang sezaman dengannya lebih tahu dari padanya. Juga membatalkan kepercayaan para sufi yang berpendapat bahwa para guru mereka mengetahui hal-hal yang gaib. Tidak seorang pun tahu akan hal-hal yang gaib kecuali Allah semata. "Katakanlah: "Tiada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui kapan akan dibangkitkan?" (An Naml: 65)
Seorang Nabi Sulaiman pun tidak mengetahui kerajaan Saba', padahal kerajaan itu cukup dekat. Hal yang sama juga dialami oleh nabi Ya'kub. Beliau tidak mengetahui di mana tempat Nabi Yusuf, puteranya tercinta yang dibuang oleh para saudaranya. Demikian pula Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau tidak mengetahui kabar langit tentang fitnah keji yang menimpa Aisyah isteri tercinta, sehingga terpaksa beliau memulangkannya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, orang tuanya.
Jika para rasul dan nabi Allah tidak mengetahui masail ghaibiyah, apalah lagi dengan orang biasa lainnya. Hal ini sebagai motivasi agar makhluk tidak bergantung kepada makhluk lainnya. Mereka seyogyanya mengembalikan semua persoalan kepada Allah, Tuhan semesta alam. Sebuah teladan yang indah ketika hud-hud yang mungil, dengan tegas mengatakan kepada Nabi Sulaiman: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya." Dan Nabi Sulaiman pun tidak mengingkari ucapan tersebut.
Post a Comment