PERBEDAAN POKOK ANTARA ISLAM DAN TASAWUF Bagian II
PERBEDAAN POKOK ANTARA ISLAM DAN TASAWUF
Bagian II
Dengan muka yang cukup tegang ( padahal beliau orang Solo Jateng, dan sudah agak tua, yang tampaknya lembut tapi saat itu memerah wajahnya ), beliau menunjuk-nunjuk saya sambil berkata,"Anda belajar dimana ?! Keluaran mana ?! lalu belajar apa ?! Dengan suara keras dan mengagetkan teman-teman yang berjumlah 40-an orang dalam ruang kuliah itu. Setelah saya jawab, beliau hanya berseru," Anda harus banyak belajar lagi !" Ucapan-ucapan beliau itu, diluar perkuliahan dihafalkan oleh seorang teman yang kalau bertemu saya lalu dia praktekkan, dengan menunjuk-nunjuk muka saya, teman itu mempraktekkan kata-kata Pak profesor, kemudian ditutup dengan,"Ini marahnya seorang sufi, kamu harus tahu !" ucapnya sambil tertawa-tawa. Saya pun tertawa saja ketika dicandai begitu.
Pada kesempatan berikutnya, rupanya pertanyaan saya kepada Bapak Profesor itu diambil hati ( diperhatikan betul ). Kemungkinan beliau lantas membuka-buka referensi atau rujukan kitab-kitab, untuk membantah ucapan muridnya ini. Lalu dalam perkuliahan selanjutnya, beliau menjawab tentang kasus Al-Ghazali tokoh sufi kasyf, dan Mangkunegoro IV raja kerajaan ( kasunanan ) Mangkunegaran Surakarta Jateng, yang dipersoalkan tersebut. Kata Pak profesor yang jadi salah satu editor Ensiklopedia Islam yang sedang dikritik ini, Al Gahzali bukannya tidak memeberi perhatian terhadap kegiatan Islam. Buktinya, Al Ghazali juga pernah berkunjung ke Andalus, guna memberikan gelar kepada salah seorang anggota kekhalifahan di Andalus. Adapun Mangkunegoro IV, toh didalam Kitab Nailul Authar disebutkan bahwa sholat itu bisa dijama`. Nah Mangkunegoro IV itu sebelumnya dia "nyantri" dipesantren, lalu dipanggil untuk menjadi pegawai diKerajaan, jadi sibuk. Memang dalam dua baris syairnya, Mangkunegoro IV menyebutkan dirinya tidak sholat.
Tak tahulah. Saya dan teman-teman tidak bisa menjakau jawaban Pak Profesor itu. Apa hubungannya antara sholat boleh dijama` dengan tidak sholatnya Mangkunegoro IV, dan apa hubungannya antara perhatian yang dituntut oleh Islam dengan bertandangnya Al Ghozali untuk memberi gelar seorang anggota kekhalifahan di Andalus ? Yang bisa dijangkau hanyalah gumam yang kewetu ( terlanjur keluar ) dari lisan Pak profesor, bahwa beliau ketika diuji tesisnya untuk doktor (tentang Mangkunegoro IV kaitannya dengan tasawuf ) di IAIN Jakarta tidak sampai pertanyaan yang dicecarkan oleh muridnya ini.
Pada lain kesempatan, saya ceritakan hal tersebut kepada seorang teman. Lalu teman saya bercerita pula tentang model jawaban "marah" dari "syaikh" sufi yang pernah dia saksikan ketika mendapatkan kesempatan untuk penataran dai` International di Al Azhar Mesir selama 3 bulan. Dalam suatu perkuliahan, ada peserta ( dai` ) dari Bangladesh yang mengkritik tasawuf. Lantas guru yang "syaikh" sufi tidak menjawab kritikan itu dengan jawaban yang berkaitan dengan kritikan, namun hanyalah marah-marah disertai kata-kata,"Dinegrimu banyak masalah. Urusi itu. Tidak usah kamu mengkritik-kritik tasawuf. Urusan dinegrimu saja banyak sekali. Itu yang harus kamu urusi."
Entah kenapa, kok ada kemiripan sesama guru besar tasawuf baik yang ada di Jakarta maupun di Cairo, kalau dikritik tasawufnya lalu marah-marah, dan jawabannya ngaco ( tidak relevan ). Disamping itu ada kemiripan kenyataan pula, yang sekolah jauh-jauh ke Al Azhar Mesir atau Pasca Sarjana IAIN Jakarta tahu-tahu dimasyarakat menyebarkan tasawuf. Tidak semuanya, tetapi bisa dibilang jarang sekali yang kritis terhadap sufisme. Sebagai bukti, profesor di IAIN Jakarta tersebut bukannya mengkritik Mangkunegoro IV yang tidak sholat, tetapi malahan mencari-carikan jawaban dengan mengemukakan bolehnya sholat jama` (digabung antara Dhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya`). Padahal anatar keduanya ( tentang tidak sholat dan bolehnya sholat jama`) itu tidak ada kaitannya.
Perlu ditambahkan, saya menuturkan ini karena sering mendapatkan kesempata untuk menyaksikan ujian doktor di IAIN Jakarta, termasuk ujian beliau ( yang jadi Ensiklopedia Islam itu ), beberapa tahun sebelum saya ajukan pertanyaan tersebut. Ujian itu seperti biasanya, selalu dihadiri oleh Prof.Dr.Harun Nasution, dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta, sebagai salah satu penguji. Berkali-kali saya bertugas meliput ujian doktor semacam itu, karena ditugaskan oleh kantor redaksi atas undangan IAIN Jakarta untuk meliputnya.
Apa yang kewetu dari lisan Pak profesor bahwa ketika ujian justru tidak ada pertanyaan yang mencecar seperti itu, memang betul. Karena Harun Nasution sebagai dekan memang sudah dikenal arah pemikirannya secara umum adalah mengarah kepada Mu`tazilah, filsafat, dan sufisme. Untuk mengarahkan agar kenal dengan faham Mu`tazilah, misalnya Harun Nasution menanya kepada calon doktor yang diuji,"Apa makna yahdillaahu man yasya ?" Lalu sicalon doktor menjawab,"Allah SWT memberi petunjuk kepada orang yang Allah SWT kehendaki." Kemudian disahut oleh Harun Nasution ,"Itu makna menurut ahlus Sunnah. Kalau menurut Mu`tazilah ? Bila calon doktor tak bisa menjawab, maka dituntun oleh Harun Nasution,"Allah memberi petunjuk kepada orang yang orang itu sendiri menghendaki. Jadi yasya` itu dhomir-nya/ kata gantinya kembali kepada "man" yaitu orang itu sendiri". Lantas calon doktor itu tampaknya seperti kerbau yang dicocok hidungnya ( maaf ).
Meskipun sebenarnya dalam ujian yang saya saksikan itu ada penguji yang jeli dan mempertanyakan pula tentang shalat atau tidaknya Mangkunegoro IV, namun wibawa dekan yakni Harun Nasution yang sudah bisa dimengerti bahwa sufisme ini jelas-jelas dia dukung, ataupun kondisi saat itu bisa diatur oleh sang ketua Ujian, maka pertanyaanpun tak sampai menukik benar. Bahkan saya saksikan, pembangkitan kembali peninggalan Mangkunegoro IV yang pembahasannya dikaitkan dengan sufisme ( kedua-duanya ini sebenarnya sudah terkubur, tapi kemudian digali kembali oleh tangan-tangan yang kemungkinan mengotori Islam ) itu, mendapat sambutan yang baik dalam ujian tersebut. Dari sini bisa difahami, misi Harun Nasution dan murid-muridnya yang kurang lebihnya adalah sekulerisme, liberalisme berfikir, dan pluralisme ( tidak boleh mengakui bahwa Islam sajalah yang benar ) dicampur sufisme memang mendorong dimunculkannya ajaran-ajaran yang tidak jelas seperti tesis yang diujikan dan mendapatkan sambutan yang baik tersebut. Dan salah sarana yang disisipi misinya untuk disebarkan adalah Ensiklopedia Islam, yang teman saya mengaku termasuk orang yang diberi proyek untuk menulis itu oleh Harun Nasution, hingga cukup untuk membiayai kuliahnya hingga mencapai doktor.
Pantaslah kalau penggalian kembali tulisan Mangkunegoro IV tersebut dihargai, karena misinya sama dengan misi orientalis seperti Louis Massignon dan lain-lainnya yang mengggali kembali peninggalan-peninggalan tasawuf yang telah terkubur lalu ditampilkan lagi dan dicetak. Untuk apa ? untuk kepentingan orientalis yang kaitannya erat sekali dengan penjajahan terhadap umat Islam sedunia dan mengotori Islam, melemahkan serta merancukan. Dan misi itupun dilanjutkan oleh Harun Nasution dan pemerintahan Orde Baru dengan mentri-mentri agama: Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Tarmidzi Taher, dan dijaman reformasi setelah jatuhnya Presiden Suharto adalah mentri Agama Malik Fajar, yang mereka itu menggencarkan pengiriman dosen-dosen IAIN ke negri Barat untuk belajar "Islam" warisan orientalis. Adapun Mentri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara tak begitu terdengar apakah ia menggencarkan atau tidak, walau masanya setelah Mukti Ali. Sedang Quraisy Shihab yang menjadi mentri Agama selama 70 hari saja, walau alumni Al Azhar Mesir namun tidak tampak mencoba untuk membendung arus Harun Nasution yang pro-orientalis. Bahkan sebelumnya, ketika Quraisy menjadi Rektor IAIN pun tidak ada gaungnya alias tidak terdengar membendung Harunisme. Ketika buku ini ditulis, yang duduk sebagai dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta adalah Prof.Dr. Said Aqil Al-Munawar, seorang yang hafal Al Qur`an dan berguru Hadits ke Syaikh Yasin Al-Padangi di Makkah. Ustadz Aqil ini dari kalangan NU, beliau hafalannya kuat. Ketika saya sempat diajari ilmu Hadits dalam perkuliahan, beliau sering sekali menyebut nama Abdul Fattah Abu Ghuddah ( tokoh Ikhwanul Muslimin Syuriah, ada yang menggolongkan sufi juga ). Apakah Pak Aqil mendukung orientalis juga dan mendukung sufi, belum bisa saya berkomentar. Yang jelas, terhadap sufi tentu tidak seperti tulis dan saya ini. Sedang Mentri Agama angkatan Presiden Gur Dur September 1999 adalah Thallah Hasan, konon orang NU. Belum terdengar adanya penyetopan terhadap pengiriman dosen-dosen IAIN ke Barat untuk belajar Islam alias sufisme yang diprogramkan orientalis dan Yahudi. Apalagi Gus Dur justru dikenal sebagai orang yang dari awalnya pro-Yahudi Israel dan bersuara miring terhadap gerakan Islam murni. Jadi, paling kurang, program yang berbau orientalis dan Yahudi kemungkinan akan dilindungi oleh Gus Dur. Disamping itu, sekalipun Harun Nasution sudah meninggal dunia namun kader-kadernya telah banyak, dan programnya telah berjalan. Meskipun demikian, kebatilan yang mereka usung secara sistematis dan dibiayai oleh duit Muslimin lewat negara, insya Allah akan hancur juga, karena gelombang anti kolonialis, anti filsafat, anti tasawuf, anti bid`ah, anti orientalis yang menyesatkan, dan anti aneka tipuan Yahudi; semakin merebak. Diantara bukti nyata, gagasan reaktualisasinya Munawir Sjadzali, mentri agama yang lama, yang ingin mengubah hukum waris Islam, dari 2:1 antara bagian laki-laki dan perempuan menjadi 1:1; karena Munawir yang menganggap hukum Islam tentang waris itu tidak adil, ternyata gagasan itu luntur dengan habisnya masa jabatan kementrian beliau 1993.
Mengenai pembelaan samar terhadap tasawuf dalam buku Ensiklopedia itu bisa kita simak kutipan darinya sebagai berikut: "Paham-paham ittihad, hulul ataupun wahdah al wujud ini dipandang sesat dan menyesatkan oleh ulama-ulama syari`at. Oleh sebab itu, para penulis tentang tasawuf atau sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah ( masa subur dan berkembangnya paham tasawuf ), seperti Abu Bakar Al-Kalabadi (w 380 H.) dan Abu Qasim Abdul Karim Al Qusyairi (w 465 H.), enggan menulis masalah-masalah tersebut. Uraian mengenai hal ini dapat dijumpai dalam tulisan-tulisan kaum orientalis. Kemudian penulis Islam pun tergerak kembali hasratnya untuk mengungkapkan khazanah lama miliknya itu."
Bagaimana buku itu menggambarkan seakan tasawuf itu suatu yang berharga sekali dan sayang kalau hilang, ditulis dalam baris-baris kutipan terakhir tersebut. Istilah yang dikemukakan pun tampak dibuat sedemikian rupa, hingga para ulama pun disebut "ulama-ulama syari`at", seakan Islam itu tidak komplit kalau tidak pakai tasawuf. Sedang para ulama yang ahli hadits, fiqh, tafsir dan sebaiknya yang tentu saja faham benar tentang sesatnya tasawuf, disebutnya ulama-ulama syari`at.
Telah disebutkan diatas, bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal menasehati murid-muridnya agar tidak mendekati orang-orang sufi. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah seorang yang termasuk imam empat yang sangat terkenal, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi`I, dan Imam Hanbali. Dalam pembicaraan ilmu, hampir tak pernah mereka itu disebut ulama syari`at ( untuk maksud bahwa ada ulama tasawuf ) seperti penyebutan dalam Ensiklopedia itu, tetapi adalah imam ( madzhab ) yang empat, artinya mereka itu ulama, yang tingkatannya mujtahid mutlak, orang yang mampu berijtihad ( mencurahkan pikiran untuk menentukan hukum syara` yang tidak ada dalam nash/teks ayat ataupun hadits ) tanpa bersandar dari orang lain. Sehingga, ulama-ulama belakangan yang meneruskan ilmu para mujtahid atau imam madzhab tersebut, sebenarnya tidak perlu disebut ulama syari`at. Cukup disebut ulama. Namun orang sufi menyebutnya ulama syari`at karena dianggap tidak mengetahui yang batin atau yang ghaib. Padahal Nabi SAW sendiri tidak mengetahui yang ghaib, bahkan jelas-jelas menegaskan bahwa Nabi SAW tidak tahu apa yang diperbuat Allah SWT untuk Nabi SAW sendiri esok ( lihat dalam Bab Aqidah ). Allah SWT berfirman, " Katakanlah ! Tidak ada yang dapat mengetahui perkqara yang ghaib dilangit dan dibumi kecuali Allah ." ( An-Naml:65 ) Ada sebagian delegasi yang datang ke Nabi SAW, mereka menganggap bahwa Nabi SAW termasuk orang yang mengaku bisa melihat yang ghaib, maka mereka menyembunyikan sesuatu didalam ( genggaman ) tangan mereka untuk beliau. Dan mereka berkata kepada beliau," Kabarkanlah kepada kami, apa dia (yang ada dalam gemgaman kami ini) ? Lalu beliau menjawab kepada mereka dalam keadaan berteriak, "Aku bukan seorang dukun. Sesungguhnya dukun dan perdukunan serta dukun-dukun itu didalam neraka." ( Diriwayatkan Abu Daud: 286 ). Kembali kepada buku tersebut, untuk menegaskan satu sikap dari satu buku, atau pun untuk mengemukakan bahwa sufi itu juga perlu dianggap bahwa disana ada ulamanya, maka maksud-maksud itu bisa dibaca pula.
Sebagaimana Abdurrahman Abdul Khaliq dalam bukunya yang menyoroti sufi itu menyebut sufi sebagai ad-dien as-shufi ( agama sufi ), bukan sekedar aliran sufi, karena memang sufi ataupun tasawuf dinilai sebagai diluar agama Islam. Hanya saja bedanya, pihak yang satu ( pembela sufi ) ingin mendorong agar sufi atau tasawuf dimasukkan ke Islam, sedang pihak yang lain ( penolak sufi ) menjelaskan dengan bukti-bukti dan dalil bahwa sufi atau tasawuf itu diluar Islam.
Kalau sudah demikian, maka jalan keluarnya, kita ikuti perintah Allah SWT ,"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur`an ) dan Rasul ( sunnahnya ), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian." ( An-Nisaa`:59 )
Coba kita kembalikan kepada Al Qur`an atau Sunnah Rasul, apakah memang aqidah sufi itu cocok. Aqidah sufi terutama ittihad, hulul, dan wihdatul wujud itu sudah mencampuri urusan ke-ghaib-an yang tertinggi, yaitu Dzat Allah SWT, padahal Nabi SAW telah menjelaskan ; " Demi Allah, sesungguhnya aku ini pasti utusan Allah SWT, ( tetapi ) aku tidak tahu apa yang akan Allah SWT kerjakan padaku esok."( Diriwayatkan Al Bukhari dalam Fathul Bari; dan riwayat Imam Ahmad dari Ummul `Ala`Al-Andhariyah dengan semacamnya ).
2. Aqidah Sufi Mengenai Rasulullah SAW
Sufisme dalam hal mempercayai Rasulullah SAW juga ada bermacam-macam aqidah. Diantaranya ada yang menganggap bahwa Rasulullah SAW tidak sampai pada derajat dan keadaan mereka ( orang-orang sufi ). Dan Nabi SAW ( dianggap ) jahil ( bodoh ) terhadap ilmu tokoh-tokoh tasawuf seperti perkataan Busthami," Kami telah masuk lautan, sedang para nabi berdiri ditepinya."
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, pengarang kitab Ila At-Tashawwuf ya`Ibadallaah menisbatkan perkataan tersebut kepada At-Tijani ( pendiri tarekat At-Tijaniyah ). Lalu Al-Jazairi berkomentar bahwa kelanjutan ucapan At-Tijani ini bahwa quthub-quthub ( wali-wali yang ada dikutub-kutub dunia ) sufi itu menurut pendapat mereka lebih tahu dibanding nabi-nabi tentang Allah SWT dan lebih mengerti tentang syari`at-Nya yang mengandung kecintaan dan kemarahan." Bukankah ( kepercayaan ) ini merupakan kekafiran wahai hamba-hamba Allah SWT ?" komentar Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Khatib Masjid Nabawi Madinah. Diantara mereka ( orang-orang sufi ) ada yang mempercayai bahwa Rasulullah SAW itu adalah kubah alam, dan dia itulah
Post a Comment