Praktek Sunnah


Praktek Sunnah
Pertanda jauh dari sunnah terdapat dalam dua hal; Pertama, berlebihan dalam mempraktekkannya. Kedua, meremehkan dan menganggap enteng persoalan sunnah.

Termasuk berlebihan dalam mempraktekkan sunnah adalah:
  1. Mempraktekkan hal yang majhul (tidak diketahui)
    Menghidupkan sunnah ialah hal yang terpuji. Tetapi terkadang dengan pengeta-huannya yang baru yang sama sekali belum pernah dipraktekkan oleh umat Islam di zamannya seseorang dengan terang-terangan mempraktekan sunnah yang baru dikenalnya tersebut. Jika praktek sunnah itu dilakukan dengan penuh hikmah tentu tidak menjadi masalah sejauh ia memang bersumber dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Tetapi yang menjadi masalah yaitu jika ia dilakukan untuk menarik perhatian orang lain atau tampil beda, sehingga orang yang bersangkutan merasa memiliki kelebihan dari orang lain. Ini tentu termasuk dari perangkap setan. Jika tujuannya untuk menghidupkan sunnah, mengapa tidak memprioritaskan sunnah yang umum diketahui orang tetapi ia ditinggalkan?
    Menyatukan hati umat Islam adalah suatu keharusan menurut syara'. Ibnu Mas'ud berkata: "Janganlah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan pembicaraan yang tidak sampai pada akal mereka, karena hal itu akan membuat fitnah pada sebagian mereka". Ali berkata: "Ajaklah orang berbicara tentang hal-hal yang mereka ketahui. Apakah kamu ingin mereka mendustakan Allah dan RasulNya? Bahkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak membunuh orang-orang menafik agar tidak dikatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri. Sesung-guhnya menyatukan hati umat dengan meninggalkan sunnah atau menundanya lebih utama daripada membunuh orang-orang munafik".
    Banyak orang tua di masyarakat kita yang hidup puluhan tahun dengan praktek keagamaan yang senantiasa dijaga. Jika tiba-tiba seorang anak muda melakukan witir lima rakaat atau amalan lainnya yang sebelumnya tidak mereka kenal tentu akan banyak mengundang fitnah, bahkan mungkin sebagian jamaah enggan ke masjid yang pada akhirnya umat menjadi berkelompok kelompok.
    Sekali lagi mempraktekkan sunnah adalah sangat penting, tetapi lebih penting lagi adalah memasyarakatkannya dengan penuh kebijaksanaan. Dan hendaknya hal itu dilakukan oleh orang yang terpercaya ilmu dan agamanya.
  2. Lebih memperhatikan perbuatan sunnah daripada yang wajib
    Mungkin tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa sebagian orang yang memahami dalil tentang sunnah secara terperinci tersebut, terkadang salah dalam memahami rukun, syarat dan hal-hal yang membatalkan shalat, bahkan mungkin tidak bisa memilah dengan benar antara yang wajib, syarat dan yang rukun. Tentang hal yang membatalkan puasa dan yang tidak, akad yang sah dan yang batal. Belum lagi tentang dalil berbagai persoalan penting tersebut berikut perinciannya. Barangkali mereka bisa membahas persoalan-persoalan sunnah tersebut dengan mendetail dan amat menakjubkan tetapi tidak terhadap syarat-syarat syahadatain beserta konsekwensinya. Juga mungkin kesulitan dalam membahas prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah, batasan yang menjadikan seseorang masuk katagori Ahlus Sunnah atau sebaliknya. Inilah hal-hal yang amat merugikan bagi kehidupan beragama umat Islam. Persoalan yang sebenarnya wajib dan amat penting dikesampingkan, sebaliknya hal-hal kecil malah dibesar-besarkan. Mestinya, besar perhatian terhadap setiap persoalan disesuaikan dengan kadarnya atau dengan kata lain harus menggunakan skala prioritas.
  3. Memperhatikan sunnah dengan melalaikan problematika umat masa kini (kontemporer)
    Pada saat ini, umat Islam dirundung berbagai penyimpangan agama yang amat membahayakan. Bahkan terkadang sampai pada tingkat kekufuran yang nyata. Seperti berhukum dengan selain hukum Allah, pemberlakuan undang-undang yang bertentangan dengan syara', pembolehan riba dan legalisasi berbagai kemaksiatan, propaganda kebebasan wanita, sekulerisme dan lain-lain. Kelompok-kelompok sesat dengan leluasa menjebol tirani sejarah untuk mengembalikan kebengisan Qaramithah, menghidupkan lagi kekejaman Fir'aun dan sebangsanya. Hal yang tak mungkin terjadi jika para pembela Ahlus Sunnah wal Jamaah benar-benar berjuang dengan memperhatikan skala prioritas.
    Jika hal-hal di atas mendapat perhatian yang memadai, misalnya dengan melakukan penelitian ilmiah, seminar dan pembahasan serius di berbagai hal tersebut insya Allah masalahnya tidak sampai pada tahap kronis seperti sekarang. Barangkali juga tidak berlebihan jika dikatakan, sebagian du'at tak memahami prinsip-prinsip permasalahan tersebut, apatah lagi hal-hal mendetail tentangnya.
  4. Menjadikan masalah-masalah sunnah sebagai materi pembicaraan pada banyak kesempatan
    Sebagian orang demikian semangat mencurahkan perhatiannya kepada masalah-masalah sunnah sehingga selalu mambicarakannya pada setiap pertemuan, mengajak mendiskusikannya kepada setiap orang yang ia jumpai dan bentuk perhatian besar lainnya. Yang bijaksana adalah kita mem-bahasnya dalam sekali atau dua kali kesempatan saja. Selebihnya kita mem- praktekkan dan membahas hal lain yang lebih penting. Sebab persoalan sunnah bukanlah segalanya dalam hidup ini.
  5. Bersikap ekstrim dalam pelaksanaan sunnah
    Semestinya kita mendidik diri untuk melakukan semua yang diwajibkan dan meninggalkan segala yang dilarang. Selanjutnya kita berupaya menerapkan amalan-amalan sunnah semampu kita, tidak ekstrim dan berlebihan. Suatu contoh tindakan ekstrim dalam masalah sunnah yaitu dalam ibadah haji atau umrah. Tak sedikit orang yang membiarkan rambutnya panjang sebatas pundak. Mereka mendakwakan bahwa hal itu adalah sunnah. Bagaimana jika pendapat seperti ini dihadapkan pada firman Allah dalam masalah haji, "...dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya" (Al Fath: 27). Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Ya Allah ampunilah orang-orang yang mencukur rambut kepalanya."
Adapun yang termasuk meremehkan praktek sunnah adalah:
  1. Tidak menaruh perhatian besar dalam masalah sunnah
    Sebagian da'i ada yang kurang menaruh perhatian dalam amalan-amalan sunnah. Hal yang tidak mustahil akan berakibat jauh dengan diremehkannya amalan wajib dan yang diharamkan. Tidak diragukan lagi bahwa setiap muslim wajib melakukan syari'at Islam secara keseluruhan. Dan sungguh tidak diterima orang yang beralasan karena hidup dalam lingkungan jelek lalu ia mesti dibolehkan mengamalkan Islam secara parsial (sebagian).
  2. Anggapan bahwa Islam terdiri dari isi (substansi) dan kulit (simbol)
    Adanya anggapan di atas adalah akibat dari hilangnya manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam memahami Islam serta merajalelanya kebodohan tentang agama. Sungguh amat sederhana untuk membuktikan kebatilan anggapan tersebut. Yakni pembagian bahwa Islam terdiri dari isi dan kulit itu sama sekali tak dikenal di kalangan ulama salafus shalih. Bagaimana pula jika pembagian itu dihadapkan pada ayat, "Dan tidaklah patut bagi mukmin dan tidak (pula) bagi mukminah, jika Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka," (Al- Ahzab: 36). Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam amat keras dalam mengingatkan orang yang meremehkan dosa-dosa kecil, karena alasan amalan itu hanyalah kulit (bukan substansi) atau sebagai masalah khilafiyah. Beliau bersabda, "Wahai Aisyah, jauhilah dosa-dosa (kecil) yang diremehkan, sesungguhnya ia akan dituntut oleh Allah," (HR. Nasai dan Ibnu Majah).
    Pembagian masalah agama menjadi substansi dan simbol tidak bisa dianalogi-kan dengan pembagian yang dilakukan oleh salafunas shaleh, yang membaginya menjadi masalah prinsip dan cabang. Pembagian ini berdasarkan kesimpulan dari Al Qur'an dan Hadis. Sedang apa yang mereka lakukan hanyalah rekaan dan logika belaka.
  3. Hanya mengurusi persoalan-persoalan kontemporer
    Terkadang dengan niat baik seseorang berkata, "Kenapa kita sibuk dengan masalah-masalah sunnah, sedang diha-dapan kita banyak persoalan yang lebih penting. Disana sini umat Islam dibantai, disembelih dan diinjak-injak haknya, sedang kita masih membahas seputar isbal (menurunkan pakaian hingga di bawah mata kaki), jenggot, isyarat dengan telunjuk dalam shalat dsb. ?"
Kita tidak membantah, ada banyak persoalan yang lebih penting dari hal-hal di atas. Tetapi dengan begitu, apakah serta merta kita antipati dan melecehkan orang yang mengamalkan amalan furu' tersebut?
Mereka yang kurang suka dengan amalan furu' tersebut, dengan dalih masih banyak persoalan besar, terkadang justru tidak berbuat untuk kaum tertindas, juga tidak memberi sumbangsih untuk penyelesaian masalah. Malah yang terjadi, hal itu merupakan langkah awal yang pada kelanjutannya mengantarkan mereka kepada keengganan memahami prinsip-prinsip agama yang fundamental.
Secara garis besar, semua persoalan harus mendapat perhatian. Dengan memikirkan persoalan-persoalan besar bukan berarti kita meninggalkan hal-hal kecil yang juga harus kita perhatikan.
Kesimpulan:
  • Pentingnya para da'i terhadap masalah ke-Islaman baik secara global maupun terperinci, yang wajib maupun yang sunnat, yang prinsip maupun yang furu'. Dalam hal ini perhatian para da'i harus lebih besar daripada yang lain.
  • Pentingnya menghidupkan kembali beberapa bentuk sunnah yang ditinggalkan (bukan sunnah yang tidak diketahui) seperti bersegera mendirikan shalat dan jum'at, melakukan tahajud, i'tikaf seusai shalat subuh misalnya, karena hal itu bisa menghilangkan keresahan hati dan sebagainya.
  • Hendaknya dalam sosialisasi (memasyarakatkan) sunnah diupayakan agar melakukannya dengan penuh kebijaksanaan dan tidak mengagetkan masyarakat dengan persoalan yang tidak mereka kenal sebelumnya, tidak menganggap enteng persoalan sunnah juga tidak berlaku ekstrim untuk memberlakukannya.
  • Tidak patut membahas terlalu panjang persoalan-persoalan sunnah, cukup kita ketahui lalu kita amalkan, niscaya akan jadi panutan.
  • Mengagendakan persoalan umat menurut skala prioritas. Masing-masing persoalan hendaknya diperhatikan sesuai dengan kadarnya.
Sumber:

Tidak ada komentar