Sikap Ahli Sunnah wal Jamaah terhadap Ahli Bid'ah (Bagian III)
Sikap Ahli Sunnah wal Jamaah terhadap Ahli Bid'ah (Bagian III)
Berikut ini adalah kajian tentang sukap Ahli Sunnah terhadap
Ahli Bid'ah, yang merupakan lanjutan dari kajian sebelumnya.
Ahli Sunnah wal Jamaah tetap Mendoakan Ahli Bid'ah agar
Memperoleh Hidayah dan Rahmat-Nya, Selama Tidak Diketahui Kekufuran
Mereka
Bagaimanapun juga, Ahli Sunnah wal Jamaah tetap mendoakan ahli
bid'ah agar mendapat petunjuk, rahmat dan ampunan dari Allah selama tidak
menampakkan kekufuran dan kemunafikan mereka. Jika ahli bid'ah bercampur bersama
kaum muslimin, maka Ahlus Sunnah memperlakukan mereka sesuai dengan hak
masing-masing serta tidak menolak bid'ah dengan bid'ah yang lain. Karena, yang
penting adalah melindungi darah, harta, dan kehormatan kaum muslimin.
Berdasarkan nash, menyalatkan jenazah orang munafik tidak
diperbolehkan. Kita mengetahui kemunafikannya berdasarkan kenyataan lahiriyah,
sedangkan hati mereka hanyalah Allah yang mengetahui. Pada waktu Nabi saw
menyalatkan dan memohonkan ampun untuk mereka, Allah melarang beliau karena
alasan kekufuran mereka. Hal itu merupakan dalil yang menunjukkan bahwa orang
yang menyimpan kekafiran di dalam batinnya boleh disalatkan dan dimohonkan
ampunan untuknya, sekalipun ia melakukan bid'ah dan perbuatan dosa. Apabila
imam, ahli ilmu, dan ahli agama tidak menyalatkan pelaku bid'ah dan
kedurhakaan--dengan tujuan mencegah perbuatan mereka--maka hal itu tidak berarti
larangan untuk menyalatkan dan memohonkan ampun bagi mereka. Bahkan, ketika Nabi
tidak mau menyalatkan orang yang melampui batas, orang yang membunuh dirinya,
serta orang yang tidak mau membayar utangnya, beliau berkata, "Salatilah
sahabatmu." Diriwayatkan bahwa beliau memohonkan ampunan untuk orang
tersebut secara tersembunyi (dalam batin), sekalipun lahiriyahnya beliau
meninggalkannya. Hal ini dilakukannya untuk mencegah orang lain berbuat seperti
itu.
Imam Ahmad, misalnya, pernah bergaul dengan Jahamiyah yang
menyerunya kepada keyakinan bahwa Alquran adalah makhluk dan Allah tidak
memiliki sifat. Mereka menguji Imam Ahmad dan ulama-ulama pada jamannya. Selain
itu, mereka juga membuat fitnah terhadap orang-orang mukmin yang tidak sepaham
dengan keyakinan mereka dengan cara memukul, memenjarakan, membunuh, memecatnya
dari jabatan, memblokade perekonomian, menolak kesaksian, serta membiarkan
mereka tetap dalam penguasaan musuh. Ketika itu banyak tampuk pimpinan dipegang
oleh kaum Jahamiyah, semisal gubernur, hakim, dan jabatan lainnya. Mereka
mengafirkan setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka. Hal seperti ini
merupakan kekejaman Jahamiyah yang paling berat.
Sesungguhnya menyeru kepada suatu paham adalah lebih berat
daripada sekedar mengatakannya, memberi imbalan kepada yang mengatakannya serta
menghukum orang yang meninggalkannya adalah lebih besar dosanya dari sekedar
menyerukan kepadanya, dan menjatuhkan hukuman dengan membunuhnya lebih berat
dosanya daripada memukulnya. Meskipun demikian, Imam Ahmad berdoa untuk khalifah
dan lainnya yang memukul dan memenjarakannya. Beliau pun memohonkan ampunan
untuk mereka dan memaafkan mereka dari kezaliman dan seruan mereka yang mengarah
kepada kekufuran. Seandainya mereka termasuk orang-orang yang murtad dari Islam,
tentu tidak boleh memohonkan ampunan bagi mereka. Karena memintakan ampunan bagi
orang-orang kafir tidak diperbolehkan berdasarkan kitabullah, sunnah, dan ijma'
Salaf.
Darah dan harta kaum muslimin tetap suci, sekalipun mereka
dalam keadaan durhaka atau lainnya. Dan, membantu orang-orang keluar dari
syariat Islam adalah terlarang. Bagi orang yang berdiam di perkampungan
pendurhaka, diwajibkan hijrah jika tidak dapat melaksanakan diennya (agamanya).
Tetapi, jika dia masih dapat melaksanakannya, maka hanya disunnahkan berhijrah.
Membantu pendurhaka untuk memusuhi kaum muslimin dengan jiwa dan harta merupakan
perbuatan terlarang dan wajib menolaknya dengan jalan apa pun, baik dengan
mengumpat, menyindir, atau membujuk. Jika cara-cara seperti itu tidak
dimungkinkan, maka hendaklah berhijrah, dan tidak boleh mencaci mereka secara
keseluruhan serta menuduh mereka munafik.
Jika perkampungan tersebut menyangkut daarul harb (daerah
perang) dan darus silmi (daerah damai), maka tidak sama dengan kawasan damai
yang berlaku hukum Islam di dalamnya, karena adanya tentara-tentara muslim.
Begitu juga tidak sama kedudukannya dengan daerah perang yang penduduknya kafir,
maka ia termasuk golongan ketiga. Maksudnya, orang muslim yang ada di daerah
tersebut harus diperlakukan sebagaimana mestinya. Adapun orang yang keluar dari
syariat Islam haruslah diperangi sebagaimana mestinya.
Pandangan Ahli Sunnah wal Jamaah mengenai Salat di Belakang
Ahli Bid'ah
Syiar Ahlus Sunnah wal Jamaah jika berada di daerah kaum
muslimin adalah melakukan salat berjamaah, salat Jumat, salat Id, dan mengikuti
prinsip muwalah kaum muslimin.
Termasuk prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah melakukan salat
jamaah, salat Jumat, dan salat Id. Mereka tidak meninggalkan salat jumat dan
salat berjamaah seperti ahli bid'ah dari golongan Rafidhah dan lainnya. Jika
seorang imam tertutup keadaannya, yaitu tidak menampakkan bid'ah dan
kedurhakaannya, maka dibolehkan salat di belakangnya, baik pada salat Jumat
maupun pada salat jamaah lainnya, hal ini berdasarkan kesepakatan imam kaum
muslimin yang empat dan lainnya. Tidak satu pun dari imam-imam itu melarang
salat di belakang imam yang tidak diketahui amalannya. Bahkan, kaum muslimin
sepeninggal Nabi saw tetap salat di belakang seorang muslim yang tertutup
pelakunya. Adapun jika tidak mungkin melakukan salat kecuali dibelakang
pelaku bid'ah atau orang fajir, seperti salat jumat--sementara tidak ada lagi
tempat jumat lainnya--maka dibolehkan salat di belakangnya, menurut kebanyakan
Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sebagian orang ada yang tidak mau salat, kecuali di belakang
orang yang benar-benar telah dikenalnya dikarenakan telah tersiar paham yang
sesat. Hal ini dibolehkan, bahkan merupakan anjuran. Diriwayatkan, Imam
Ahmad mengatakan hal seperti itu ketika ditanya oleh seseorang, dan beliau tidak
mengatakan bahwa salat tersebut tidak sah.
Ketika Abu Amru bin Marzuq berkunjung ke negeri Mesir, ia
memerintahkan para sahabatnya agar tidak melakukan salat, kecuali di belakang
orang yang sudah mereka kenal. Karena pada waktu itu, raja-raja di negeri itu
menampakkan kesyi'ahannya dan termasuk golongan bathiniyah malahidah yang
menyebabkan tersebarnya bid'ah di Mesir. Setelah ia wafat, negeri-negeri itu
ditaklukkan oleh raja-raja berpaham Sunnah, seperti Shalahuddin, sehingga
muncullah kalimah yang menentang Rafidhah. Akhirnya, berkembanglah sunnah dan
ilmu di sana. Maka, salat di belakang imam yang tidak diketahui keadaannya,
diperbolehkan menurut kesepakatan ulama muslimin. Barangsiapa mengatakan bahwa
salat di belakang orang yang tidak diketahui keadaannya haram atau batil,
berarti ia menyalahi ijma Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kewajiban seorang muslim jika berada di tengah kaum muslimin
adalah melakukan salat jumat dan salat berjama'ah bersama mereka, serta
mencintai kaum muslimin dan tidak memusuhi mereka. Jika ia melihat sebagian
mereka melakukan kesesatan atau kekeliruan, sedangkan ia mampu untuk meluruskan
dan membimbing mereka, maka hendaklah ia lakukan. Tetapi, jika tidak mampu, maka
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Demikian
juga, bila dia mampu mengangkat pemimpin muslim yang lebih utama, hendaklah ia
melakukannya. Jika ia tidak mampu melakukan semua itu, maka salatlah di belakang
orang yang lebih mengetahui kitabullah dan sunnah Rasul, serta mereka yang lebih
menaati Allah dan Rasul-Nya.
Kalau pemutusan hubungan terhadap pelaku bid'ah dan
kedurhakaan lebih membawa kemaslahatan, hendaklah ia melakukannya,
sebagaimana Nabi saw mengucilkan ketiga sahabat yang menolak ikut Perang
Tabuk sampai taubat mereka diterima oleh Allah. Adapun jika imam dipegang oleh
orang lain tanpa seizinnya, dan meninggalkan salat jamaah dan salat jumat di
belakangnya tidak menimbulkan maslahah syar'iyyah, maka tindakannya merupakan
kebodohan dan kesesatan. Ia telah menolak bid'ah dengan bid'ah.
Sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam Menjatuhkan Tuduhan
Fasik dan Kafir bagi Ahli Bid'ah
Ahlus Sunnah wal Jama'ah sangat berhati-hati dalam mengafirkan
ahli bid'ah, khususnya jika mereka menakwilkan dengan cara yang wajar. Tidak
boleh mengafirkan seorang muslim karena dosa dan kekeliruan yang diperbuatnya,
seperti masalah-masalah yang diperselisihkan ahli kiblat dan Khawarij
pembangkang yang harus diperangi menurut Nabi saw. Maka, Ali, salah seorang
Khulafaur Rasyidin, memerangi mereka, demikian juga para Imam agama dari
kalangan sahabat, tabi'in, serta generasi setelah mereka. Akan tetapi, Ali bin
Abu Thalib, Sa'ad bin Abu Waqaash, dan para sahabat lainnya, tidak mengafirkan
mereka, bahkan tetap menganggap sebagai muslim meskipun mereka harus
diperangi. Ali tidak memerangi mereka, jika mereka tidak menumpahkan darah
kaum muslimin dan menjarah harta mereka. Maka, kalaupun Ali memerangi mereka,
hanyalah untuk mencegah kezaliman mereka, bukan karena kekafiran mereka.
Oleh karena itu, beliau tidak menawan wanita-wanita dan tidak pula merampas
harta mereka.
Kalau mereka yang telah jelas kesesatannya berdasarkan nash
dan ijma' tidak dikafirkan--sekalipun diperintahkan Allah dan Rasul-Nya--maka
bagaimana halnya dengan kelompok-kelompok yang masih berselisih dalam
persoalan-persoalan yang di dalamnya masih terdapat keraguan? Maka, tidak
dibolehkan salah seorang dari kelompok-kelompok tersebut mengafirkan yang
lainnya, serta tidak boleh menghalalkan darah dan hartanya, sekalipun tampak
perbuatan bid'ah padanya. Bagaimana pula jika yang mengafirkan sendiri
melakukan bid'ah? Tentulah bid'ah mereka lebih berat. Dan ironisnya, mereka
tidak mengetahui hakikat yang mereka perselisihkan.
Pada prinsipnya, darah, harta, serta kehormatan sebagian kaum
muslimin adalah haram atas yang lainnya, kecuali dengan izin Allah dan
Rasul-Nya. Dan, jika seorang muslim melakukan takwil dalam hal memerangi dan
mengafirkan, maka ia pun tidak dikafirkan, sebagaimana dikatakan Umar bin
Khaththab kepada Hatib bin Abu Balta'ah, "Ya Rasulullah, biarkanlah aku menebas
leher orang munafik ini!" maka Nabi menjawab, "Ia telah mengikuti perang
Badar, dan siapa tahu Allah memperhatikan orang yang ikut perang Badar."
Kemudian beliau bersabda, "Lakukanlah apa yang kamu sukai, sesungguhnya aku
telah mengampuni kesalahanmu." Riwayat ini terdapat dalam Sahihain.
Post a Comment