Sikap Ahli Sunnah wal Jamaah terhadap Orang-Orang yang Menyembunyikan Bid'ahnya Berbeda dengan Sikap Mereka terhadap Orang yang Menampakkannya dan Menyeru Kepadanya
Sikap Ahli Sunnah wal Jamaah terhadap Orang-Orang yang Menyembunyikan Bid'ahnya Berbeda dengan Sikap Mereka terhadap Orang yang Menampakkannya dan Menyeru Kepadanya
Sikap Ahlu Sunnah terhadap orang yang menyembunyikan bid'ahnya
berbeda dengan sikapnya terhadap orang-orang yang menampakkannya dan menyeru
kepadanya.
Mengingat bahaya kelompok yang disebutkan terakhir terhadap
orang lain, wajib bagi kita menghentikan dan mengingkarinya serta memberikan
hukuman kepadanya, seperti memutuskan hubungan dengannya atau dengan cara
lainnya. Adapun terhadap orang yang menyembnyikan bid'ahnya, maka harus
diingkari secara diam-diam dan ditutupinya, dengan tujuan mendudukkan mereka
seperti orang-orang munafik, sebagaimana Nabi menerima orang munafik sebatas
yang tampak dari mereka, sedangkan yang berhubungan dengan hal-hal yang mereka
sembunyikan kita serahkan kepada Allah.
Siapa yang menyalahi kitab yang jelas dan sunnah yang terang
atau apa yang disepakati Salaf umat, maka kesalahan tersebut tidak bisa
dimaafkan, dan harus diperlakukan seperti memperlakukan ahli bid'ah. Kaum
muslimin berpendapat agar memutuskan hubungan dengan mereka karena tanda-tanda
penyimpngan yang mereka tampakkan. Termasuk terhadap mereka yang menampakkan
bid'ah, yang menyeru kepada bid'ah, dan yang menampakkan dosa-dosa besar yang
mereka lakukan.
Adapun terhadap orang yang menyembunyikan kemaksiatan atau
bid'ahnya yang tidak dikafirkan tidak boleh memutuskan hubungan. Hijrah
(pemutusan hubungan) dari orang yang menyeru bid'ah hanyalah salah satu cara
hukuman baginya. Yang harus dihukum adalah orang yang menampakkan kemaksiatan,
baik perkataan maupun perbuatan. Adapun orang yang menampakkan kebaikan kepada
kita, maka kita terima sebatas yang ditampakkannya. Mengenai yang
disembunyikannya, kita serahkan kepada Allah. Inilah yang dicontohkan Nabi
saw.
Oleh karena itu, imam Ahmad dan para imam sebelum dan sesudah
beliau, seperti imam Malik dan lainnya, menolak riwayat dari orang yang menyeruh
kepada bid'ah dan tidak mau bergaul dengan mereka, kecuali yang bersikap diam.
Para penulis kitab sahih telah mengeluarkan riwayat dari sekelompok ahli bid'ah
yang bersikap diam, tetapi mereka tidak meriwayatkan dari para penyeru
bid'ah.
Perlu diketahui bahwa hijrah (pemutusan hubungan) syariat itu
ada dua macam. Pertama, dalam pengertian meninggalkan kemunkaran. Kedua, dalam
pengertian hukuman atas kemunkaran tersebut. Maksud hijrah yang pertama adalah
tidak menyaksikan kemunkaran tanpa ada keperluan. Berbeda halnya dengan orang
yang hadir menyaksikan kemunkaran untuk menolak mereka atau hadir tanpa
dikehendakinya. Hijrah ini termasuk hijrah nafsiah (memutuskan hubungan dirinya)
dari perbuatan munkar. Termasuk dalam hijrah ini adalah hijrah dari darul kufur
wal wusuq (negara kafir dan fasiq) ke darul Islam wal iman (negara yang menjamin
kebebasan beragama Islam dan iman). Oleh karena itu, hijrah dari tempat tinggal
kalangan orang-orang kafir dan munafik termasuk perbuatan yang diperintahkan
Allah.
Adapun pengertian hijrah yang kedua adalah dengan maksud
mendidik. Yakni, hijrah dari orang yang menampakkan kemunkaran sehingga ia
bertaubat dari kemungkarannya, sebagaimana hijrah yang dilakukan nabi serta kaum
muslimin dalam memutuskan hubungan dengan ketiga orang sahabat yang menolak
untuk ikut berperang (dalam perang Tabuk), sehingga Allah menurunkan ayat
tentang taubat mereka. Hal itu dilakukan Nabi karena mereka jelas-jelas
meninggalkan jihad yang diwajibkan atas mereka tanpa uzur syar'i. Tetapi, Nabi
tidak berhijrah dari orang yang menampakkan kebaikan, sekalipun ia munafik. Oleh
karena itu, hijrah di sini kedudukannya sama dengan ta'zir (hukuman). Sanksi ini
berlaku bagi siapa saja yang meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan
terlarang, seperti seseorang yang meninggalkan salat dan zakat, atau orang yang
melakukan kezaliman dengan terang-terangan, termasuk juga orang yang berbuat
keji. Sementara, bagi penyeru bid'ah yang menentang kitab dan sunnah serta ijma
Salaf umat --yang tindakan bid'ahnya tampak oleh kita-- maka berlaku hukuman
baginya.
Inilah hakikat ucapan Salaf dan para Imam, "Sesungguhnya
orang-orang yang menyeru kepada bid'ah tidaklah diterima syahadatnya, tidak
boleh salat di belakang mereka, tidak boleh menerima ilmu dari mereka, dan tidak
boleh menikahi wanita mereka." Ini merupakan bentuk hukuman bagi mereka,
sehingga mereka menghentikan perbuatannya.
Oleh sebab itu, para imam membedakan antara penyeru bid'ah dan
yang bukan penyeru bid'ah. Orang yang menyerukan bid'ah berarti menampakkan
kemunkarannya sehingga patut mendapatkan hukuman. Berbeda halnya dengan orang
yang menyembunyikan bid'ahnya, ia tidak lebih buruk dari orang-orang munafik
yang sikap lahiriyah mereka diterima Nabi saw, dan apa-apa yang disembunyikan
diserahkan kepada Allah SWT. Meskipun Nabi mengetahui banyak tentang mereka.
Dengan demikian, orang-orang yang melakukan kemunkaran secara terang-terangan
wajib diingkari, berbeda dengan orang yang melakukannya di dalam batin, hukuman
baginya lebih bersifat khusus.
Barangsiapa yang melakukan kemunkaran, seperti berbuat keji,
minum khamar, suka permusuhan, dan lainnya, wajib diingkari sesuai dengan kadar
kemunkarannya. Jika orang tersebut menyembunyikan kemunkarannya, dan kita tidak
mengetahui dengan jelas, haruslah mengingkarinya dengan diam-diam dan
menutupinya, kecuali jika melampui batas. Orang yang melampui batas haruslah
dicegah dengan perlawanan, karena jika mencegahnya secara diam-diam, maka ia
tidak akan meninggalkannya. Lakukanlah sesuatu yang tidak ia sukai, seperti
hijrah darinya atau dengan cara lainnya jika hal itu akan membawa kemaslahatan
dalam agama.
Jika seseorang melakukan kemunkaran dengan terang-terangan,
maka wajib mengingkarinya dengan terang-terangan pula agar dia jera, seperti
memutuskan hubungan dengannya atau lainnya. Maka tidak perlu mengucapkan salam
kepadanya dan menjawab salamnya, jika pelaku kemunkaran itu tidak termasuk yang
perusak berat. Bagi orang yang baik dan ahli ad-dien (taat beragama) hendaklah
menjauhi mayatnya, sebagaimana menjauhinya ketika dia masih hidup, dan tidak
perlu mengantarkan jenazahnya. Sikap seperti ini dimaksudkan agar para pelaku
dosa seperti dia merasa jera.
Para ulama tidak berbeda pendapat tentang bolehnya melakukan
ghibah (mengumpat) terhadap kedua golongan tersebut.
Pertama, Jika seseorang menampakkan kemunkaran dan kedurhakaan, seperti kezaliman, kekejian, dan bid'ah-bid'ah yang bertentangan dengan as-Sunnah, maka wajib diingkari sesuai dengan kemampuan: bisa dengan dikucilkan dan dicela. Berbeda dengan orang yang menyembunyikan perbuatan dosanya sehingga benar-benar tidak terlihat. Jika demikian, hendaknya ditutupi keburukannya dan dinasihati secara diam-diam. Akan tetapi, bagi orang yang mengetahui keadaannya, bolehlah ia menjauhinya agar pelaku dosa tersebut bertaubat.
Kedua, Jika seseorang dimintai pendapatnya untuk menikah dengan pelaku perbuatan tercela ini untuk bergaul dengannya atau untuk menjadikannya sebagai saksi, padahal dia mengetahui bahwa tidak dibenarkan melakukan hal itu, maka hendaklah ia menasihatinya dengan menjelaskan keadaannya.
Pertama, Jika seseorang menampakkan kemunkaran dan kedurhakaan, seperti kezaliman, kekejian, dan bid'ah-bid'ah yang bertentangan dengan as-Sunnah, maka wajib diingkari sesuai dengan kemampuan: bisa dengan dikucilkan dan dicela. Berbeda dengan orang yang menyembunyikan perbuatan dosanya sehingga benar-benar tidak terlihat. Jika demikian, hendaknya ditutupi keburukannya dan dinasihati secara diam-diam. Akan tetapi, bagi orang yang mengetahui keadaannya, bolehlah ia menjauhinya agar pelaku dosa tersebut bertaubat.
Kedua, Jika seseorang dimintai pendapatnya untuk menikah dengan pelaku perbuatan tercela ini untuk bergaul dengannya atau untuk menjadikannya sebagai saksi, padahal dia mengetahui bahwa tidak dibenarkan melakukan hal itu, maka hendaklah ia menasihatinya dengan menjelaskan keadaannya.
Jika seseorang meninggalkan salat dan melakukan berbagai
kemungkaran, kemudian bergaul dengan orang lain yang dikhawatirkan rusak
agamanya, maka hendaknya dijelaskan agar menjauhinya. Jika dia seorang pelaku
bid'ah yang menyeru kepada aqidah yang bertentangan dengan Alquran dan Sunnah,
atau meniti jalan yang dapat menyesatkan orang lain, maka haruslah dijelaskan
kepadanya dan menyerukan kepada masyarakat agar berhati-hati dan sebarkanlah
keadaannya. Hal seperti ini wajib dilakukan dengan cara yang baik dan
semata-mata mencari ridha Allah. Bukan karena sentimen pribadi, seperti adanya
perselisihan duniawi antara keduanya, saling mendengki, saling membenci, atau
bersaing berebut kedudukan, sehingga ia membicarakan segala keburukannya dengan
alasan memberi nasihat, padahal bertujuan untuk merendahkan martabatnya. Inilah
perbuatan setan.
Sesungguhnya semua amalan tergantung pada niat, dan setiap
perkara hanyalah mengikuti apa yang ia niatkan. Oleh karena itu, orang yang
memberi nasihat agar bertujuan agar Allah menjadikan orang yang dinasihati
kembali kepada kebaikan dan sekaligus melindungi kaum muslimin dari bahaya orang
tersebut, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Dalam memberi nasihat
hendaklah menempuh jalan yang paling mudah jika memang memungkinkan.
Allah membolehkan membunuh jiwa seseorang demi menjaga
kemaslahatan umat, sebagaimana firman-Nya, "Dan fitnah itu lebih jahat
daripada pembunuhan." (Al-Baqarah: 91). Maksudnya, sekalipun di dalam
pembunuhan terdapat keburukan dan kerusakan, tetapi fitnah yang disebarkan
orang-orang kafir akan menimbulkan keburukan dan kerusakan yang lebih besar.
Oleh karena itu, orang yang menghalangi kaum muslimin dalam menegakkan agama
Allah, maka bahaya kekafirannya akan menimpa dirinya sendiri. Dalam hal ini para
Fuqaha berkata, "Sesungguhnya para penyeru bid'ah yang bertentangan dengan kitab
dan sunnah haruslah dihukum dengan hukuman yang tidak sama dengan yang dikenakan
kepada ahli bid'ah yang diam (tidak menyeru orang lain kepada bid'ah)."
Upaya-Upaya Syar'iyyah Ahli Sunnah wal Jamaah dalam Memperlakukan Ahli Bid'ah
Apabila Ahli Sunnah wal Jamaah mengungkapkan ahli bid'ah dan
menjelaskan perihal mereka kepada khalayak, dan mencela tindakan mereka dengan
lisan dan perbuatan, maka hal itu dilakukan dengan berpedoman kepada dua
ketentuan syar'iyyah yang asasi.
Pertama, mereka melakukan hal itu secara ikhlas karena Allh, karena taat kepada-Nya, karena menunaikan perintah-Nya, serta mengharapkan adanya perbaikan, bukan berdasarkan hawa nafsu, balas dendam, atau permusuhan duniawi.
Kedua, semua yang mereka lakukan berupa amalan syar'i yang diperintahkan sehingga dapat mewujudkan kemaslahatan dan menyingkirkan kerusakan sesuai dengan keadaan dan situasi yang berbeda-beda. Jika tidak demikian, maka perbuatan tersebut tidak disyariatkan dan tidak diperintahkan.
Pertama, mereka melakukan hal itu secara ikhlas karena Allh, karena taat kepada-Nya, karena menunaikan perintah-Nya, serta mengharapkan adanya perbaikan, bukan berdasarkan hawa nafsu, balas dendam, atau permusuhan duniawi.
Kedua, semua yang mereka lakukan berupa amalan syar'i yang diperintahkan sehingga dapat mewujudkan kemaslahatan dan menyingkirkan kerusakan sesuai dengan keadaan dan situasi yang berbeda-beda. Jika tidak demikian, maka perbuatan tersebut tidak disyariatkan dan tidak diperintahkan.
Jika demikian, maka pemutusan hubungan sesuai dengan syari'at
(hijrah syar'iyyah) termasuk perbuatan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Oleh sebab itu, ketaatan haruslah dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena
Allah dan selaras dengan perintah-Nya, sehingga keikhlasan itu menjadi amalan
yang benar. Maka, barang siapa memutuskan hubungan karena menuruti hawa nafsu,
atau tanpa mengikuti perintah-Nya, berarti ia telah keluar dari ketentuan ini.
Sering kali manusia melakukan perbuatan yang didasarkan pada hawa nafsu, namun
ia sendiri menganggapnya sebagai ketaatan kepada Allah. Pemutusan hubungan yang
semata-mata karena kepentingan manusia tidak boleh lebih dari tiga hari. Maka,
jika hijrah untuk tujuan seperti ini, hukumnya haram. Meskipun dalam beberapa
hal manusia diberi keringanan, seperti dibolehkannya seorang suami untuk
menjauhi istrinya di tempat tidur karena sang istri nusyuz (membangkang).
Bertolak dari hal tersebut, haruslah dipisahkan antara
pemutusan hubungan karena Allah dengan pemutusan hubungan demi kepentingan
pribadi. Niat yang pertama diperintahkan oleh Allah, sedangkan niat yang kedua
dilarang. Karena, sesama mukmin itu bersaudara.
Hijrah (pemutusan hubungan) ini bermacam-macam sesuai dengan
kekuatan, kelemahan, sedikit dan banyaknya jumlah pelaku hijrah. Yang
dimaksudkan di sini adalah menjauhi orang dengan meninggalkannya dan mendidiknya
agar kembali sebagaimana keadaannya. Jika sikap ini membawa kemaslahatan berupa
melemahnya kejahatan, maka hijrah seperti ini disyari'atkan. Tetapi, jika hal
ini tidak menimbulkan ketakutan pada pelaku dosa atau yang lainnya, atau bahkan
bertambah buruk, sementara yang melakukan hijrah dalam posisi lemah sehingga
mafsadah (kerusakan) yang timbul lebih menonjol daripada kemaslahatannya, maka
hijrah seperti ini tidak dibenarkan syari'at. Bahkan, bersikap lunak demi
keutuhan persatuan lebih baik daripada memutuskan hubungan dengannya, meskipun
adakalanya memutuskan hubungan dengan sebagian mereka lebih baik dibandingkan
bersikap lunak seperti itu.
Oleh karena itu, Nabi saw terkadang bersikap lunak terhadap
suatu kaum, dan adakalanya memutuskan hubungan dengan sebagian lainnya, seperti
yang dilakukan kepada ketiga orang sahabat yang menolak perang Tabuk. Hal itu
lebih baik daripada memutuskan hubungan terhadap para muallaf (orang yang baru
masuk Islam) sebagai pemimpin-pemimpin suku yang disegani. Karena, dengan
menjinakkan hati mereka akan membawa kemaslahatan bagi agama. Sehingga, ketiga
sahabat tersebut merupakan orang-orang mukmin --sementara orang-orang mukmin
seperti mereka masih banyak-- maka pengecualian terhadap mereka merupakan
kemuliaan agama sekaligus membersihkan dosa-dosa mereka. Demikian halnya
syari'at dalam menghadapi musuh, kadang-kadang perlu diperangi, kadang-kadang
perlu berdamai, terkadang pula dengan memungut jizyah (pajak). Semuanya itu
sesuai dengan keadaan dan kemaslahatan yang ingin dicapai.
Jawaban imam Ahmad dan para imam Ahli Sunnah lainnya tentang
perkara ini sebenarnya berdasarkan prinsip ini. Oleh karenanya, beliau
membedakan antara tempat-tempat yang di dalamnya banyak terdapat bid'ah, seperti
Basrah dengan Qadariyahnya, Khurasan dengan banyaknya Jahamiyah, dan Kufah
dengan Syi'ahnya-- dengan tempat-tempat yang tidak banyak terjadi bid'ah.
Demikian juga, dalam menghadapi imam yang perlu ditaati dan yang tidak perlu
ditaati. Jika beliau mengetahui syari'at, maka beliau tempuh jalan dekat untuk
sampai kepadanya.
Ishak bertanya kepada Abu Abdillah (imam Ahmad), "Siapakah yang
mengatakan bahwa Alquran itu makhluk?" Beliau menjawab, "Aku menghubungkan
perkara ini dengan segala bencana." Kemudian Ishak berkata lagi, "Apakah kita
harus memperlihatkan permusuhan terhadap mereka atau membujuk mereka?" Beliau
menjawab, "Penduduk Khurasan tidak mampu menghadapi mereka." Jawaban ini
berkenaan dengan pendapat beliau tentang Qadariyah. Beliau meneruskan, "Kalau
kita tolak periwayatan hadis dari Qadariyah, niscaya kita tinggalkan periwayatan
dari mayoritas penduduk Basrah. Meskipun sikap dan tindakannya dalam menghadapi
ujian dan cobaan atas dirinya demikian besar, seperti menolak kejahatan dengan
cara baik-baik, berdiskusi dengan hujjah-hujjah yang kuat, mengisolasi mereka,
melarang berbicara dan bergaul dengan mereka, sehingga mereka berhijrah di satu
jaman yang bersih dari sumber-sumber kabair (dosa-dosa besar). Maka, perintah
hijrah ini karena adanya sifat Jahamiyah pada diri mereka. Hijrah dalam
pengertian pemutusan hubungan termasuk salah satu jenis hukuman, dan hukum
sendiri termasuk jenis hijrah. Hijrah seperti ini terkadang tergolong dalam
jenis ketakwaan, bila di dalamnya meninggalkan keburukan. Terkadang juga masuk
dalam jenis jihad dan amar ma'ruf nahi munkar. Hal itu merupakan hukuman bagi
orang-orang zalim.
Menghukum pelaku kezaliman didasarkan pada kemampuan. Oleh
karena itu, hukum syar'i terhadap kedua macam bentuk hijrah tersebut berlainan
antara yang mampu dengan yang tidak mampu, antara sedikit dan banyaknya pelaku
bid'ah, dan antara yang kuat dan yang lemah. Begitu juga terhadap hukum dalam
berbagai macam kezaliman, kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Semua yang
diharamkan Allah adalah kezaliman, baik mengenai hak Allah, hamba Allah, ataupun
kedua-keduanya.
Kedua bentuk hijrah yang diperintahkan itu, dalam artian
meninggalkan kejahatan ataupun pemutusan hubungan, hanya dapat dilakukan apabila
benar-benar tidak ada kemaslahatan di dalamnya. Jika tidak demikian, maka hal
itu bukanlah kejahatan, sebab bukanlah kejahatan jika di dalamnya terdapat
kebaikan. Bila karena hukuman muncul mafsadat yang kuat pada kejahatan tersebut,
maka hal itu bukanlah langkah kebaikan. Jika seimbang antara keduanya, maka hal
itu bukanlah kebaikan, juga bukan keburukan.
Hijrah adakalanya dimaksudkan untuk meninggalkan keburukan
bid'ah, sperti kezaliman , dosa, dan kerusakan. Terkadang juga dimaksudkan untuk
melakukan kebaikan, seperti jihad, amar ma'ruf nahi munkar, serta menghukum
orang-orang yang zalim agar meninggalkan perbuatannya. Disamping itu, hukuman
dimaksudkan agar pelakunya dapat memperkuat iman dan beramal saleh. Maka hukuman
terhadap orang-orang yang zalim dapat mencegah kezaliman mereka serta
menggantikannya dengan perbuatan yang berdasarkan iman dan Sunnah.
Oleh sebab itu, jika kedua hijrah tersebut tidak membuat jera
pelakunya, bahkan semakin bertambah kebatilannya sehingga mengalahkan kebaikan,
maka dalam hal ini hijrah tidak diperintahkan. Hal ini disebutkan oleh Imam
Ahmad tentang penduduk Khurasan yang tidak mampu menghadapi Jahamiyah. Maka,
jika mereka tidak mampu menampakkan perlawanan terhadap golongan tersebut,
gugurlah perintah hijrah atas mereka. Tugas mereka hanyalah mencegah bahaya agar
tidak mempengaruhi mukmin yang lemah dan melemahkan hati pendurhaka yang
kuat.
Sama halnya ketika ahli Qadariyah menjadi mayoritas di Basrah.
Apabila periwayatan hadis dari mereka ditolak, tentu kita tidak dapat
mempelajari ilmu, sunnah-sunnah, serta atsar yang terpelihara di kalangan
mereka. Apabila menegakkan kewajiban sulit dilakukan, baik dalam hal ilmu,
jihad, atau yang lainnya, kecuali menyertakan ahli bid'ah yang mudharatnya tidak
sampai menggugurkan kewajiban tersebut demi menciptakan kemaslahatan, sekalipun
di dalamnya masih terdapat mafsadat (kerusakan), maka hal ini lebih baik
daripada bersikap sebaliknya.
Perbincangan persoalan ini sangatlah luas, dan banyak jawaban
yang diberikan Imam Ahmad serta lainnya menghindari pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat memancing. Atau, beliau sengaja keluar dari pokok persoalan jika telah
mengetahui keadaan penannya agar tetap menempatkan persoalan menurut sumber dari
Rasulullah.
Beberapa golongan melaksanakan hal tersebut tanpa pandang bulu.
Mereka menempatkan hukuman isolasi (hijrah) dan pengingkaran yang tidak
diperintahkan. Adapun lainnya berpaling secara keseluruhan, yakni tidak
meninggalkan pelaku-pelaku bid'ah sesuai perintah Allah. Kalaupun mereka
meninggalkannya hanyalah karena kebencian. Mereka juga tidak berusaha mencegah
orang lain agar terhindar dari perbuatan itu, dan tidak memutuskan hubungan
dengan orang yang berhak menerimanya. Dengan demikian, mereka telah mengabaikan
nahi munkar. Mereka di tengah-tengah antara berbuat kemunkaran dan meninggalkan
larangan, yaitu melakukan perbuatan terlarang dan meningglkan perintah.
Begitulah Dienullah (agama Allah) berada di tengah-tengah antara sikap ekstrem
(berlebihan) dan jumud (meninggalkan sama sekali). Waallahu a'lam.
Post a Comment