SYAFA'AT
SYAFA'AT
Tidak ada seorangpun yang menginginkan hidup sengsara, begitu juga sebaliknya tidak ada seorangpun yang tidak menginginkan hidup bahagia. Yang diimpikan adalah mendapatkan kebahagiaan, mendapatkan pertolongan, mendapatkan kecukupan dari apa yang dia butuhkan dalam hidup di dunia. Bagi seorang muslim pasti beri'tiqad (berkeyakinan) bahwa hidup di dunia bukanlah hidup yang finish atau yang terakhir. Di sana akan ada hidup setelah hidup kita di dunia ini. Sedangkan bahagia atau sengsara pada kehidupan nanti (di akhirat) akan sangat ditentukan oleh bagaimana hidup di dunia, plus karunia Allah, karena pada dasarnya seseorang tidak akan mendapatkan kenikmatan akhirat dengan perbuatan baiknya tanpa adanya karunia dari Allah. Karunia Allah itulah syafa'at yang sangat kita harapkan.
Karena adanya syafa'at itu, maka ada orang-orang yang berusaha untuk mendapatkannya dengan aneka macam usaha. Mulai dari minta langsung kepada Allah dengan tidak membuat serikat (tandingan) peribadatan kepadaNya dengan yang lain, sampai ada yang minta syafa'at kepada selain Allah.
Tentu saja, dari sekian banyaknya macam usaha untuk mendapatkan syafa'at itu tidak semuanya benar. Yang benar hanyalah yang dinilai benar oleh Allah dan RasulNya.
Syafa'at Hanya Milik Allah
Pertama, kita pahami bahwa syafa'at itu hanya milik Allah saja bukan milik malaikat, nabi atau manusia yang lain. Hal itu berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Katakanlah : Hanya kepunyaan Allah syafa'at itu semuanya" (Az-Zumar : 44). Ayat itu bermula dari adanya orang-orang musyrik yang mereka itu mengambil (menjadikan) selain Allah sebagai pemberi syafa'at, berupa patung, ataupun bentuk lain yang mereka jadikan sendiri tanpa dalil dan keterangan (bahwa benda-benda tadi akan bisa memberi syafa'at). Padahal hal itu sangat tidak mungkin terjadinya, karena benda-benda tersebut tidak mempunyai kekuasaan sama sekali, tidak berakal, tidak mendengar, tidak melihat, bahkan dia adalah benda padat yang jauh lebih jelek daripada binatang (lihat tafsir Ibnu Katsir surat Az-Zumar: 43-44). Sampaipun nabi atau bahkan malaikat, mereka tetap tidak bisa memberi syafa'at kecuali ada izin dari Allah, karena keberadaannya hanya milik Allah semata.
Kedua, berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izinNya" (Al-Baqarah : 255). "Dan mereka tiada memberi syafa'at melainkan kepada orang yang diridhai Allah" (Al Anbiya : 28)
Maka bisa diambil kesimpulan bahwa syafa'at tidak akan terwujud kecuali dengan terpenuhinya dua syarat, yaitu :
- Adanya izin dari Allah kepada yang memberi syafa'at.
- Adanya ridha dariNya kepada orang yang diberi syafa'at.
Ayat di atas menunjukkan bahwa malaikatpun, syafa'atnya tidak berguna sama sekali kecuali setelah ada izin dari Allah dan setelah ada izinpun, syafa'at itu tidak akan terwujud kecuali kepada orang-orang yang dikehendaki dan diridhaiNya, apalagi selain dari malaikat. Sungguh hal itu hanya angan-angan yang dibuat-buat belaka.
Berkaitan dengan syarat yang kedua dari syarat terwujudnya syafa'at (yaitu adanya ridha Allah kepada orang yang akan diberi syafa'at), maka perlu diketahui bahwa hal itu hanyalah bagi orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dalam per-ibadatan dengan sesuatupun. Rasulullah ` ditanya, "Siapakah manusia yang paling berbahagia mendapatkan syafa'atmu (wahai Rasulullah) ? Beliau menjawab : Orang yang mengatakan Laa ilaaha illallah ikhlas dari hatinya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Konsekuensi dari Laa ilaaha illallah adalah menyembah hanya kepada Allah dan menjauhi syirik. Sedangkan yang termasuk perbuatan syirik adalah minta terpenuhi kebutuhannya kepada orang mati, ataupun minta bantuan kepada mereka. Karena sesungguhnya orang mati amalnya telah terputus dan dia tidak mampu mendatangkan kemudharatan juga tidak pula kemanfaatan kepada dirinya sendiri, lebih-lebih kepada yang meminta bantuan kepadanya, dan tidak pula mampu memintakan syafa'at kepada Allah. Sungguh hal ini tidak akan bisa.
"Syafa'atku untuk orang yang mengatakan Laa ilaaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) secara ikhlas, hatinya membenarkan ucapannya, ucapannya membenarkan hatinya". (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Ibnul Qayyim mengomentari makna hadits Abu Hurairah, "Renungkanlah hadits ini bagaimana Dia jadikan sebab yang paling dominan untuk memperoleh syafa'at adalah memurnikan tauhid (menyembah hanya kepada Allah dan menjauhi syirik). Sebaliknya menurut orang-orang musyrik, syafa'at itu akan diperoleh dengan menjadikan (sembahan-sembahan selain Allah) sebagai pemberi syafa'at, beribadah kepada mereka, wala' (loyalitas) kepada mereka. Maka Nabi menolak sangkaat salah yang ada pada mereka dan mengkhabarkan bahwa sebab terwujudnya syafa'at adalah dengan memurnikan tauhid, maka barulah Allah memberi izin kepada pemberi syafa'at untuk memberikan syafa'atnya. Dan termasuk kebodohan orang musyrik, mereka berkeyakinan bahwa siapa yang menjadikan wali (penolong) atau pemberi syafa'at, sungguh dia (yang dijadikan itu) akan memberikan syafa'at dan memberikan kemanfaatan di sisi Allah sebagaimana kekhususan para raja adalah memberikan manfaat (imbalan baik) kepada siapa yang loyal kepada mereka. Mereka tidak mengetahui bahwa tidak ada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali dengan izinNya, dan tidak akan diberi izin memberikannya kecuali bagi siapa yang ucapan dan perbuatannya diridhaiNya, sebagaimana firman Allah surat dalam Al-Baqarah: 255 pada pasal pertama, surat Al-Anbiya: 28 pada pasal kedua dan hadits riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah di atas pada pasal ketiga."
Maraji': Fathul Majid, bab asy-Syafa'ah, Tafsir Ibnu Katsir, Surat Az-Zumar: 43-44).
Post a Comment