Shalat, Kepemimpinan dan Kepengikutan
Shalat, Kepemimpinan dan Kepengikutan
Sekarang ini sudah masuk lagi bulan Rajab, itulah sebabnya saya teringat
akan peristiwa pergantian keimaman dalam shalat Maghrib di Masjid Syura
tersebut. Bahkan dalam bulan Rajab ada suatu peristiwa yang sangat penting yang
selalu diperingati oleh ummat Islam sedunia, peristiwa Isra' dan Mi'raj. Tulisan
ini akan membicarakan secuil dari sekian banyak segi dalam meresapi makna Isra'
dan Mi'raj itu. Akan dibatasi hanya dalam hal hasil yang dibawa pulang oleh
RasululLah SAW dari Mi'raj beliau, yaitu shalat. Itupun hanya menyangkut dengan
apa yang tertera dalam judul di atas, Kepemimpinan dan Kepengikutan.
Shalat adalah bahasa Al Quran, biasanya diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan sembahyang, ataupun misalnya to pray, bidden dalam bahasa
Inggeris dan Belanda. Terjemahan-terjemahan itu tidaklah mencakup makna yang
sebenarnya. To pray dan bidden adalah berdoa, dan berdoa itu hanya merupakan
bagian dari shalat. Adapun terjemahan dengan sembahyang juga tidak kena. Bukan
karena semata-semata "yang" itu dari "hyang" maka terjemahan itu tidak kena,
melainkan lebih dari itu. Shalat esensinya bukan menyembah, melainkan berzikir,
mengingat, jadi juga bukan mengheningkan cipta. Maka sebaiknya shalat itu tidak
usah diterjemahkan. Dalam bahasa daerah Sunda tidak diterjemahkan, tetap
shalat.
Ajaran Islam tentang kepemimpinan dan kepengikutan dapat kita simak dari
shalat. Kepemimpinan dan kepengikutan tidak boleh lepas dari kodrat manusia
sebagai makhluk pribadi dan sosial. Perhatikanlah misalnya dalam shalat maghrib,
'isya, zhuhur, di mesjid. Setelah selesai shalat berjama'ah, bersama-sama shalat
diimami oleh imam, lalu masing-masing melanjutkan shalat sunnat. Atau
sebaliknya, sebelum shalat subuh, zhuhur dan 'ashar masing-masing secara
individual shalat sunnat, baru dilanjutkan dengan shalat berjama'ah. Kalau tadi
pada waktu shalat berjama'ah menggambarkan suatu jama'ah, komunitas, maka pada
waktu shalat sunnat menggambarkan suatu hal yang menunjukkan perorangan. Artinya
shalat berjama'ah diikuti oleh shalat sunnat, atau sebaliknya shalat sunnat
diikuti shalat berjama'ah, menggambarkan makhluk sosial dan makhluk
pribadi.
Seorang imam yang merasa tidak sanggup lagi memimpin shalat, dia minggir
secara "legowo", seperti yang dilakukan oleh Allahu yarham H.AbdulGhani. Dalam
konstruksi mesjid, pada bahagian mihrab harus ada pintu. Maksudnya pintu itu
antara lain khusus disediakan bagi imam untuk keluar masjid pergi beristirahat,
dan kalau masih sanggup shalat akan menjadi makmun. Inilah ajaran etika
dalam kepemimpinan dalam Islam, kalau sudah merasa tinggak sanggup lagi, akan
dengan ikhlas akan minggir. Ketidak sanggupan itu ada yang nampak, namun ada
yang tidak nampak. Semisal diserang batuk, itu adalah ketidak sanggupan yang
kelihatan. Kalau mengeluarkan angin, wudhuk akan batal, shalatpun akan batal.
Dan ini adalah ketidak bolehan memimpin shalat yang penyebabnya tidak
dapat dipantau oleh makmun. Jadi etika kepemimpian menurut Islam seorang
pemimpin akan dengan ikhlas menyingkir kalau sudah tidak sanggup atau tidak
pantas lagi menjadi pemimpin, apakah ketidak sanggupan atau ketidak pantasan itu
dapat dipantau atau tidak oleh para pengikutnya.
Seorang imam yang melakukan kesalahan, salah bacaannya atau salah
gerakannya wajib ditegur oleh makmun. Kalau yang menegur itu laki-laki ucapan
teguran itu adalah kalimah subhalLah, untuk gerakan yang salah, dan membacakan
bacaan yang benar untuk membenarkan bacaan imam. Dan kalau yang menegur itu
perempuan cukup dengan isyarat menepuk punggung tangan. Dan imam harus tunduk
pada teguran, memperbaiki bacaannya atau memperbaiki gerakannya. Adapun nilai
yang dapat disimak tentang kepemimpinan dan kepengikutan adalah seorang pengikut
wajib menegur pemimpinnya. Namun cara menegur adalah harus sopan, tidak boleh
brutal. Teguran dengan kalimah subhanalLah bermakna bahwa Allah Maha Suci, hanya
Allah yang luput dari kesalahan. Adapun manusia itu tidak akan sunyi dari
kesalahan. Pemimpin harus dengan ikhlas dan berlapang dada menerima teguran,
karena teguran itu adalah untuk memperbaiki, bukan untuk menjatuhkan.
Sebaliknya, seorang makmum tidak boleh mendahului imam. Sebelum komando
Allahu Akbar dikomandokan imam, makmum tidak boleh bergerak. Ini adalah ajaran
kepengikutan menurut Islam, ketaatan pengikut kepada pemimpinnya.
Demikianlah nilai-nilai yang dapat disimak dari shalat tentang hal
kepemimpinan dan kepengikutan, khususnya etika kepemimpian dan etika
kepengikutan dalam hal
Post a Comment