Sumberdaya Manusia yang Berkwalitas
Sumberdaya Manusia yang Berkwalitas
Marilah kita buka tulisan ini dengan dialog antara Allah dengan para
malikat. Pada waktu Allah SWT akan menjadikan khalifah di muka bumi ini, maka
para malaikat mempermasalahkannya, seperti dapat kita baca dalam S. Al Baqarah,
30:
ataj'alu fieha man yufsidu fieha wa yasfiqu ddima-a....,apakah Engkau
akan menjadikan di atasnya (bumi) yang akan merusak di atasnya dan menumpahkan
darah? Para malaikat itu hanya melihat kepada naluri manusia, yaitu naluri
mempertahankan hidup. Mencari makan kalau lapar, air kalau haus, melawan atau
melarikan diri kalau diserang, nafsu syahwat untuk kelangsungan jenisnya.
Dan untuk itu semua, kalau perlu akan merusak dan menumpahkan darah. Malaikat
mempunyai penilain yang negatif tentang diri Adam yang akan diangkat menjadi
khalifah, karena hanya melihat secara parsial, malaikat tidak dapat membedakan
antara mnusia dengan binatang. Karena memang dari segi naluri mempertahankan
hidup ini tidak ada perbedaan antara manusia dengan binatang. Makhluk "manusia"
pra-Adam yang telah disaksikan malaikat selama itu, sesungguhnya tidaklah sama
dengan Adam yang akan diangkat menjadi khalifa itu. Kita akan membahas "manusia"
pra-Adam atau manusia purba ini insya Allah dalam kesempatan yang akan datang.
Maka Allah menujukkan kepada malaikat akan pandangan malaikat yang hanya
mengandung separuh dari kebenaran itu. Dalam ayat yang berikutnya dapat kita
baca:
Wa
'allama adama l-asma-a kullaha, .... Dan Allah mengajarkan setiap nama kepada
Adam. Nama-nama yang diajarkan Allah kepada Adam ialah dalam arti identifikasi
benda-benda beserta dengan fungsinya untuk dapat dimanfaatkan, dan yang
terpentng bagaimana memelihara dan memodifikasi benda-benda iutu. Dan untuk itu
perlu adanya perlengkapan pada manusia yang lebih tinggi dari naluri yaitu akal.
Adapun manusia purba dan binatang hanya dapat mengenal benda-benda berdasarkan
atas naluri saja. Manusia purba dan binatang tidak dapat memelihara apalagi
untuk memodifikasi benda-benda itu. Dan di sinilah kelebihan manusia itu.
Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang dan manusia purba yang
telah disaksikan oleh malaikat selama itu. Dengan akal manusia dapat belajar,
utamanya berzikir dan berpikir.
Supaya akal dapat berpikir, maka perlu informasi. Kwalitas produk akal
yaitu hasil pemikiran tergantung pada banyaknya informasi yang didapatkan. Makin
banyak informasi yang diperoleh, makin tinggi kwalitas hasil pemikiran.
Kesanggupan manusia untuk dapat mengumpul informasi hanya sebatas apa yang dapat
ditangkap oleh pancainderanya, jadi hanya sebatas alam syahadah (physical
world). Itupun hanya sebatas bumi dan sekelilingnya, yang jauh-jauh tentu sangat
terbatas, hanya secuil, paling-paling pancaindera dapat dibantu dengan
telescoop. Maka dengan terbatasnya informasi yang mampu dikumpul manusia,
berarti sangat terbatasnya pula daya pikir akalnya. Itupun baru dalam ruang
lingkup alam syahadah, yang dapat ditangkap oleh pancainderanya. Lalu bagaimana
dengan alam ghaib, yang tidak dapat dideteksi oleh pancaindera?
Allah SWT sebagai Ar Rabb, Maha Pengatur, Yang telah memberikan tugas
kekhalifaan kepada manusia di atas bumi, menurunkan wahyu kepada para Rasul.
Dimulai dari Nabi Adam AS dan berakhir pada Nabi Muhammad SAW. Dengan wahyu itu
manusia mendapatkan informasi yang tidak mungkin dapat diperolehnya dengan
usahanya sendiri. Maka demikianlah adanya. Manusia punya naluri, yang dalam hal
ini ia sama dengan binatang. Lalu Allah membrikan akal dan inilah yang
membedakan antara manusia dengan manusia purba dan binatang. Kemudian Allah
menurunkan wahyu kepada para manusia pilihan. Dan dengan wahyu inilah yang
membedakan antara manusia beriman dengan manusia yang bersikap sekuler. Manusia
beriman akalnya dituntun oleh wahyu, manusia sekuler bertuan kepada akalnya,
menjadikan akalnya sebagai berhala.
Di
dalam Isra, Rasulullah SAW mengendarai Buraq, lalu dituntun oleh Jibril. Kalau
kita simak, inilah konfigurasi atau tata-letak naluri, akal dan wahyu. Akal
mengendarai naluri, wahyu menuntun akal. Konfigurasi akal dituntun wahyu dan
akal mengendalikan naluri sangat penting artinya dalam pembangunan bangsa maupun
pembangunan kebudayaan ummat manusia pada umumnya. Perencanaan yang berkwalitas
berasal dari pemikiran yang berkwalitas. Dan pemikiran yang berkwalitas baru
tercapai jika pemikir itu tidak semata-mata mengandalkan akal belaka. Harus
mengikuti konfigurasi atau tata-letak tersebut tadi, yaitu akal dituntun oleh
wahyu. Tidak kurang hasil perencanaan yang tidak berkwalitas karena dihasilkan
oleh pemikir yang akalnya tidak dituntun oleh wahyu. Nilai-nilai wahyu dicuekkan
olehnya.
Sekadar contoh yang sederhana. Perencanaan tentang SDSB lahir dari
pemikir yang akalnya tidak mengindahkan nilai wahyu. Demikian pula selanjutnya,
perencanaan baru ada artinya jika pelaksanaannya sesuai dengan perencanaan.
Inipun harus mengikui konfigurasi tadi, akal harus mengendalikan naluri. Betapa
banyaknya pelaksanaan yang tidak berhasil dengan baik dalam arti
sesuai dengan perencanaan, oleh karena para pelaksananya meletakkan nalurinya di atas akalnya. Betapa tidak kurangnya yang profesional dan terampil dalam bidang ilmunya tidak berhasil dalam pelaksanaan perencanaan, karena naluri kebinatangannya mengendarai akal kemanusiaannya, yaitu melanggar konfigurasi yang di atas itu.
sesuai dengan perencanaan, oleh karena para pelaksananya meletakkan nalurinya di atas akalnya. Betapa tidak kurangnya yang profesional dan terampil dalam bidang ilmunya tidak berhasil dalam pelaksanaan perencanaan, karena naluri kebinatangannya mengendarai akal kemanusiaannya, yaitu melanggar konfigurasi yang di atas itu.
Maka
demikianlah adanya. Sumberdaya manusia yang berwalitas bukan hanya sekadar
manusia yang profesioanl dan terampil dalam bidang ilmunya, yang sekarang ini
namapaknya bobotnya dikhususkan pada penguasaan sains dan teknologi. Sekali
lagi, sumberdaya manusia yang berkwalitas bukan sekadar penguasaan ilmu dan
teknologi belaka. Sumber daya manusia yang berkwalitas adalah para manusia yang
tunduk pada konfigurasi, wahyu menuntun akal dan akal mengendalikan naluri.
Penguasaan ilmu dan teknologi adalah urutan kedua. WaLlahu a'lamu
bishshawab.
Post a Comment