Antara "Nafsu" & "Hawa" (Syahwat)
Antara "Nafsu" & "Hawa" (Syahwat)
Dalam
bahasa keseharian kita mengenal istilah "hawa nafsu". Yang dirangkai
dari dua kata yakni "Hawa" dan "Nafsu". Istilah ini telah lumrah kita
sebut dalam percakapan sehari-hari. Namun demikian, jika dirujuk ke
dalam kaidah bahasa Arab,
ternyata padanan istilah ini kurang tepat. Antara hawa dan dan nafsu
adalah dua kata yang sama sekali berbeda. Secara sederhana "hawa"
pegertiannya adalah keinginan, kehendak atau hasrat. Istilah "hawa" ini
lebih identik dengan istilah "syahwat". Sedangkan nafsu secara sederhana
artinya adalah "jiwa" atau "diri" manusia.
Menurut bahasa (lughawiy) "al-hawâ" pengertiannya antara lainnya adalah "Saqatha min 'ulwin" (terjatuh dari atas ke bawah); "al-Mailu" (keinginan dan kesenangan); dan "al-Hubb" (cinta). Dari sini terbentuk beberapa istilah seperti " 'ala hawâhu " (artinya menurut seleranya, cocok dengan kemauannya atau kesenangannya); "Ittaba'a hawâhu" (mengikuti dan memperturutkan keinginan syahwatnya); dan "Fil-Hawâ"
(jatuh cinta atau diliputi oleh syahwatnya). Jadi istilah "hawa" ini
lebih tepat jika disamakan dengan "syahwat". Syahwat artinya segala
sesuatu yang diingini, yang digemari, yang disukai, yang menarik hati
dan yang mendorong hasrat seksual. Sebagaimana Firman Allah Ta'ala: "Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada "syahwat" (apa-apa yang
diingini), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga)" (Q.S. Ali Imran: 14).
Sesuai
dengan pengertiannya, "hawa" atau "syahwat" inilah yang banyak
menyebabkan manusia terjatuh dari derajat yang tinggi ketempat yang
rendah (Saqatha min 'ulwin). Ada beberapa istilah yang menggambarkan posisi manusia yang telah jatuh ini, yakni antara lain: "Inkasârat Tâjir" (Jatuh bangkrut); "Inkasâral 'Aduww" (Jatuh hancur, kalah); dan "Inkasâral Qalb"
(Patah hati-putus asa). Jadi orang yang memperturutkan syahwatnya akan
bangkrut, hancur, kalah, dan terhinakan dihadapan Allah Ta'ala kelak serta akan digelayuti rasa putus asa dan hati yang hancur luluh.
Sedangkan "nafsu" menurut bahasa pengertiannya antara lainnya adalah: "an-Nafs" jamaknya "anfusun- wa nufûsun" (artinya jiwa, diri atau ruh); "an-Nafsiyyu" (artinya jiwa terdalam, batin, atau rohani); dan "al-'Izz"
(artinya kemuliaan). Berdasarkan pengertian ini nafsu berarti "jiwa"
yang merupakan bagian dari ruh manusia. Ia pada mulanya bersifat mulia
dan bersih. Jadi pada dasarnya nafsu dengan hawa sama sekali berbeda.
Oleh karena itu, menjadi kurang tepat jika kita sering menyebut "nafsu"
identik atau meyerupai "hawa" dan "syahwat". Namun karena telah
"terlanjur" dipakai dan malah telah dibakukan dalam bahasa Indonesia,
maka istilah nafsu ini dalam benak orang Indonesia sama persis dengan
"syahwat".
Kita
tidak akan mempersoalkan lebih jauh istilah ini, karena kami hanya
ingin mengabarkan bahwa penggunaan istilah "nafsu" dan "hawa" atau
"syahwat" harus kita bedakan dalam tulisan ini. Namun yang akan
dipertegas disini adalah bahwa selalu terjadi hubungan tarik menarik
antara jiwa dan hawa-syahwat. Keduanya saling mempengaruhi, saling
mendominasi dan berusaha untuk saling mengalahkan. Inilah yang akan
menjadi pusat perhatian kita kali ini.
Mengendalikan Hawâ-Syahwat (وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى)
Al-Hawa
atau syahwat adalah tabiat yang telah ada sejak awal pada diri manusia.
Syahwat (atau yang lumrah disebut hawa nafsu) ini tidak dapat
dimusnahkan, karena ia telah tertanam pada diri manusia. Oleh karena itu
manusia tidak diperintahkan membunuh syahwarnya. Namun manusia
diperintahkan untuk memimpin hawa nafsunya dengan kebenaran dan akal
sehat. Agar hawa nafsu tersebut dapat dikendalikan dan diarahkan sesuai
dengan aturan Allah Ta'ala. Dalam hal ini Allah Ta'ala memerintahkan
kita agar menempa jiwa dan berupaya mengendalikan atau mengekang hawa
nafsu. Sebagaimana Firman Allah Ta'ala yang artinya:
“Dan
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
Jiwanya dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal(nya)". (QS. An-Nazi’at: 40-41).
Pusat pembahasan kita pada ayat diatas adalah kalimat “Wa nahan-nafsa 'anil-hawâ" ("menahan" Jiwa dari keinginan hawa-nafsu atau syahwat). Menurut Tafsîr Al-Jalâlain bahwa yang dimaksudkan adalah orang yang senantiasa mengendalikan diri dari mengikuti kehendak hawa nafsunya. Kemudian menurut Tafsir Ibnu Katsîr,
yang dimaksudkan adalah orang-orang yang senantiasa takut dengan Allah
‘Azza wa Jalla dan dengan ketentuan hukum-Nya. Sehingga ia mengendalikan
jiwanya (atau dirinya) dari kungkungan syahwat-nya dan berusaha untuk
senantiasa taat kepada Allah Ta'ala.
Sedangkan dalam Tafsîr Al-Qurthubî
disebutkan bahwa yang dimaksud orang yang menahan dirinya dari hawa
nafsunya adalah orang yang menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan
perbuatan yang diharamkan. Sahabat Sahal r.a., berkata:
"Bahwameninggalkan hawa nafsu adalah "kunci" pembuka pintu surga".
Berkaitan dengan ayat ini pula, Abdullah bin Mas’ud r.a., berkata:
“Kalian sedang berada pada zaman dimana manusia mendahulukan kebenaran (al-Haqq)
diatas hawa nafsunya, dan akan datang suatu zaman dimana manusia
mendahulukan hawa nafsunya diatas kebenaran, maka kami berlindung dari
zaman yang demikian”.
Allah
Ta'ala juga menjajikan pahala dalam ayat ini bahwa bagi siapapun yang
yang mampu memimpin jiwanya dan mampu mengendalikan hawa nafsunya, maka
surgalah tempat tinggalnya.
Puasa Adalah Perisai
Puasa dalam bahasa Arab disebut "Shoum" atau "Shiyâm" yang asal katanya adalah "Shâma, Yashumu, Shawman-wa Shiyâman"
yang artinya "menahan" dan "mengekang". Menurut pengertian secara
bahasa saja telah tergambarkan bahwa puasa bertujuan untuk menahan jiwa
dari hawa nafsu (atau syahwat). Hal ini sejalan dengan Firman Allah
Ta'ala surat an-Nazi'at ayat 40 diatas. Dengan berpuasa kita akan
belajar dan melatih diri bagaimana upaya mengendalikan syahwat atau
keinginan. Pada saat berpuasa secara lahiriah tampak bahwa kita menahan
diri agar tidak makan dan minum, baik yang halal maupun yang haram.
Sedangkan secara batiniyah, puasa akan menempa jiwa kita agar tangguh
dalam menguasai dan mengekang kehendak syahwat. Oleh karena itu
Rasulullah SAW menamai puasa sebagai "perisai", yakni perisai jiwa dari
rongrongan hawa nafsu (syahwat).
Dalam
momentum bulan suci Ramadhan kali ini mari kita jadikan puasa sebagai
media untuk menempa jiwa dan mengekang hawa nafsu. Rasulullah SAW
bersabda: “Terangilah hatimu dengan lapar (puasa), terangilah jiwamu
dengan lapar dan haus, ketuklah pintu surga dengan lapar pula. Dan
pahala orang yang puasa itu seperti jihad di jalan Allah. Sesungguhnya
tidak ada amal yang dicintai Allah selain seperti lapar dan haus.
Sedangkan orang yang memenuhi perutnya tidak akan mampu memasuki
kerajaan langit (surga) dan tidak pula mampu merasakan manisnya ibadah"
Post a Comment