Berpegang Teguh Kepada As-Sunnah

Berpegang Teguh Kepada As-Sunnah
Dari al-'Irbadh bin Sâriah radhiallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan wejangan kepada kami yang membuat hati ciut dan air mata berlinang, maka kami lantas berkata: sepertinya ini wejangan seorang yang berpamitan/meninggalkan (kami selamanya), lantas (aku berkata) wasiatilah kami !, beliau bersabda : "Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah dan bersikap mendengar dan ta'at (loyal) meskipun orang yang memerintahkan (menjadi Amir/penguasa) adalah seorang budak. Sesungguhnya siapa-siapa yang nanti hidup setelahku maka dia akan melihat terjadinya perbedaan/perselisihan yang banyak; oleh karena itu, berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (al-Mahdiyyin), gigitlah dia/sunnahku tersebut dengan gigi geraham, dan tinggalkanlah oleh kalian urusan-urusan baru (mengada-ada dalam urusan agama) karena sesungguhnya setiap bid'ah itu adalah sesat". (H.R. Abu Daud dan at-Turmuzi, dia berkata : hadits ini hadits hasan shahih).

Catatan : Demikian naskah asli dari kitab "Jami'ul 'Ulum wal hikam" karya Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali (II/109) yang menyatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud dan at-Turmuzi, dan setelah diteliti kembali ternyata matan yang ada dikedua sumber yang disebutkan oleh beliau (sunan Abu Daud dan at-Turmuzi) tidak persis seperti naskah/matan diatas ; barangkali naskah hadits tersebut diriwayatkan secara makna oleh Mushannif, Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali. Oleh karena itu, disini kami lampirkan juga naskah sebagaimana terdapat dalam kedua sunan tersebut : Takhrij hadits secara global Hadits tersebut ditakhrij oleh Imam Ahmad, Abu Daud, at-Turmuzi, Ibnu Majah, Ibnu 'Ashim, ad-Darimi, ath-Thahawi, al-Baghawi, al-Baihaqi dan lain-lain.

Makna hadits secara global

Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan wasiat yang merupakan wasiat perpisahan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan para shahabatnya, karenanya para shahabat tidak membuang-buang kesempatan tersebut untuk meminta washiat beliau maka beliau pun berwasiat agar mereka bertakwa kepada Allah dan loyal terhadap pemimpin meskipun yang memimpin itu adalah seorang budak.

Disamping itu beliau juga mengingatkan agar mereka berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah para khulafaur Rasyidin dan menyampaikan bahwa nanti akan terjadi perselisihan yang amat banyak antar mereka setelah beliau wafat ; oleh karenanya, beliau melukiskan sikap mereka terhadap sunnah beliau dan sunnah para khulafaur Rasyidun itu haruslah seperti orang yang sedang menggigit dengan gerahamnya . Beliau juga tidak lupa mengingatkan mereka agar meninggalkan bid'ah dalam urusan agama karena semua bid'ah itu adalah sesat .

Penjelasan tambahan

Terdapat tambahan dalam matan hadits tersebut dari riwayat-riwayat yang lain namun oleh para ulama menolak adanya tambahan tersebut dan menganggapnya sebagai "idraj" (sisipan) dari perawi yang dalam ilmu hadits disebut hadits Mudraj. Penjelasan hadits kali ini akan dibuat perpenggalan matan hadits diatas : Kalimat (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan wejangan kepada kami); Terdapat tambahan dalam riwayat Ahmad, Abu Daud dan at-Turmuzi dengan kata : yang menambah pengertian hadits yang kita bahas diatas yaitu bahwa wejangan sekaligus washiat tersebut sangat ringkas/simple, menyentuh sekali dan penuh dengan nuansa balaghah sehingga enak didengar. Dan dalam riwayat tersebut juga dijelaskan bahwa washiat/wejangan tersebut beliau sampaikan setelah shalat shubuh sebab beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak sekali menyampaikan wejangan selain dalam khuthbah-khuthbah yang rutin seperti khuthbah 'id dan jum'at. Hal ini juga sama seperti perintah Allah dalam AlQuran : "..Dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataaan yang berbekas pada jiwa mereka". (Q.,s. 4/an-Nisa' : 63). Namun, suatu hal yang perlu dicermati bahwa beliau tidak mau melakukan hal itu secara kontinyu sehingga tidak membuat mereka bosan.

Memberikan suatu wejangan diperlukan kecakapan dalam mengungkapkannya yaitu retorika dalam berpidato (balaghah) sehingga materi yang disampaikan enak didengar dan dapat diterima oleh hati pendengarnya. Diantara ciri khuthbah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah ringkas/simple, tidak panjang namun sangat bernuansa balaghah (berbekas dihati/menyentuh) dan îjaz (ringkas dan padat). Ada beberapa hadits yang menunjukkan hal itu, diantaranya : hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin Samurah, dia berkata : Aku shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka aku (dapati) shalatnya begitu ringkas dan khuthbahnya juga demikian. Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yang lafaznya :"bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memanjangkan mau'izhah/wejangan/khuthbah pada hari Jum'at namun hanya berupa kata-kata yang amat simple". Kalimat (yang membuat hati ciut dan air mata berlinang); terdapat beberapa penjelasan : bahwa demikianlah kondisi para shahabat dalam mendengarkan khuthbah/washiat terakhir beliau tersebut.

Kedua sifat/kondisi yang disebutkan dalam hadits tersebut, juga merupakan dua sifat/kondisi yang disifatkan oleh Allah kepada kaum Mukminin manakala mereka mendengar zikrullah, sebagaimana dalam firman Allah : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka…". (Q.,s. 8/al-Anfal : 2). Begitu juga hal yang sama dalam ayat yang lain seperti Q.S. al-Hajj : 34-35; al-Hadid : 16; az-Zumar : 23. Dalam ayat yang lain Allah berfirman : " Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammmad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (AlQuran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri)…". (Q.,s. 5/al-Maidah : 83).

Dalam kaitan ini, kita melihat bahwa betapa khuthbah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut sangat membekas dan menyentakkan, dan ini juga mengingatkan kita kepada hadits-hadits yang menyifati bagaimana kondisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat berkhuthbah, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila berkhuthbah dan mengingatkan tentang hari Kiamat, maka emosinya meluap-luap, suaranya kencang meninggi, sedangkan matanya memerah seakan-akan beliau tengah memberikan komandonya kepada pasukan kaum Muslimin, lantas beliau bersabda : (semacam ucapan seorang komandan kepada prajuritnya yang akan berperang).

Diantara indikasi lain bahwa khuthbah tersebut sangat lain daripada biasanya dan terasa sekali akan dekatnya perpisahan para shahabat dengan beliau adalah ketika beliau naik ke mimbar dan menyinggung masalah hari Kiamat dan hal-hal yang maha penting lainnya, beliau mengucapkan suatu ucapan yang belum pernah dilakukannya sebelum itu, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain dari Anas bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika keluar saat matahari tergelincir dan kemudian shalat Zhuhur dan salam, beliau naik ke mimbar dan menyinggung tentang hari Kiamat, dan hal-hal yang maha penting, lalu beliau bersabda : "Barangsiapa yang ingin bertanya tentang sesuatu maka tanyakanlah hal itu, demi Allah! Tiadalah sesuatu yang kalian tanyakan kepadaku melainkan akan aku beritahukan kepadanya saat ini juga (di tempat ini juga)". Anas berkata : para hadirin malah tambah menangis tersedu-sedu sedangkan Rasulullah malah memperbanyak bersabda : tanyakanlah kepadaku ! , lalu kemudian berdirilah seorang laki-laki dan bertanya : dimana tempat (masuk) ku (nanti) wahai Rasulullah ?, beliau menjawab : "di neraka".

Demikianlah, dalam hadits-hadits yang lain berkenaan dengan hal itu, beliau banyak mengingatkan tentang hari Kiamat dan siksaan neraka dimana hal itu juga mengungkapkan betapa khuthbah beliau tersebut membuat pendengarnya akan berlinang air mata dan hati mereka tersayat-sayat karena takut akan azab akhirat. Kalimat (sepertinya ini wejangan seorang yang berpamitan/meninggalkan (kami selamanya) ; menunjukkan bahwa beliau memang sangat berlebihan dan lain dari khuthbah beliau pada hari-hari sebelumnya karenanya para shahabat memahami bahwa hal itu adalah mau'izhah/washiat/wejangan seorang yang akan berpisah dengan mereka dan meninggalkan mereka selama-lamanya sebab orang yang akan berpamitan dan berpisah tentu akan sangat mendetail dan mendalam dalam ucapan dan tindakannya melebihi dari apa yang akan dilakukan oleh orang yang tidak dalam keadaan demikian dan karena itu pula beliau pernah memerintahkan agar dalam melakukan shalat hendaknya dilakukan seperti shalatnya orang yang akan pamitan sebab orang yang membuat suatu nuansa perasaan yang amat menyentuh/menghayati shalatnya seakan dia akan berpamitan dan meninggalkan tempat itu, tentu akan melakukannya sesempurna mungkin.

Barangkali juga, dalam wejangannya tersebut, terdapat semacam sindiran bahwa beliau berpamitan dan akan meninggalkan mereka untuk selamanya, sebagaimana hal itu sangat terasa dalam khuthbah beliau pada haji wada', dalam riwayat Imam Muslim dari hadits Jabir; beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "..Aku tidak tahu, barangkali aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian setelah tahun (keberadaanku di tengah-tengah kalian) ini". Dan beliau lantas kemudian berpamitan dengan para jemaah ketika itu, maka para shahabat serta merta menyeletuk : inilah haji wada'/haji perpisahan!. Sebab, ternyata tatkala beliau kembali dari hajinya menuju Madinah, beliau mengumpulkan khalayak di suatu tempat mata air antara Mekkah dan Madinah yang bernama "khumm" dan disitu beliau berkhuthbah lagi dihadapan mereka, dan bersabda : "Wahai sekalian manusia!, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang kepadaku utusan Tuhanku lantas aku tentu akan menyambut/memenuhi (panggilan)nya". Kemudian beliau mengajak agar senantiasa berpegang teguh kepada Kitabullah dan berwashiat agar memperhatikan dan menghormati Ahlul Bait beliau. Dan banyak lagi hadits-hadits yang lain yang mengindikasikan perpisahan beliau dengan para shahabatnya, dan khuthbah yang diriwayatkan oleh al-'Irbadh bin Sâriah dalam hadits yang kita bahas diatas adalah sebagian dari khuthbah-khuthbah beliau yang berisi tentang hal itu, atau mirip dengan itu yang mengindikasikan perpisahan.

Ucapan para shahabat dalam hadits diatas (washiatilah kami); maksudnya adalah mereka menginginkan washiat yang komplit dan valid, sebab manakala mereka tahu bahwa hal itu adalah wejangan perpisahan maka mereka minta diwashiatkan dengan washiat yang bermanfaat bagi mereka kelak untuk selalu dipegang setelah beliau wafat . Dengan begitu, washiat tersebut cukup sebagai pedoman hidup dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sabda beliau ["Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah dan bersikap mendengar dan ta'at (loyal)];

Dalam hal ini, dua kata inilah yang merupakan kunci kebahagiaan dunia dan akhirat ; Ketaqwaan merupakan jaminan kebahagiaan Akhirat bagi orang yang berpegang teguh kepadanya. Ketaqwaan juga merupakan wahsiat Allah kepada orang-orang terdahulu dan dating kemudian, sebagaimana firman Allah Ta'ala : "…Dan sungguh Kami talah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu: bertakwalah kepada Allah…". (Q.,s. 4/an-Nisa' : 231).

Sedangkan as-sam'u waththâ'ah (loyalitas) kepada para penguasa/pemimpin kaum Muslimin, merupakan kunci kebahagiaan dunia, sebab dengan itu pula kehidupan manusia akan teratur dan dapat membantu dalam menyemarakkan ajaran agama serta perbuatan-perbuatan ta'at terhadap Rabb mereka. Dalam hal ini, al-Hasan al-Bashri berkata (berkaitan dengan para umara'): " Mereka memimpin urusan kita dalam lima hal :pertama, (shalat) Jum'at. Kedua, (shalat) jama'ah. Ketiga, (shalat) 'Id. Keempat, dalam berjihad. Kelima, dalam menegakkan hukum hudud. Demi Allah! Tidak akan beres urusan dunia ini kecuali oleh mereka meskipun mereka berbuat zhalim. Demi Allah!

Sungguh adanya kemaslahatan yang Allah anugerahkan bersama mereka lebih banyak ketimbang perbuatan merusak yang mereka lakukan. Meskipun, demi Allah!, mena'ati mereka (dalam hal ini) adalah sesuatu yang membuat murka (dibenci oleh jiwa) sedangkan memusuhi/menyelisihi mereka dapat membawa kepada kekufuran". Dalam banyak hadits, Rasulullah senantiasa mengingatkan urgensi dari kedua hal tersebut (ketaqwaan dan loyalitas), diantaranya ; hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan at-Turmuzi dari Abu Umamah, dia berkata : aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhuthbah pada haji wada', beliau bersabda : "Bertaqwalah kepada Allah, shalatlah lima waktu, berpuasalah pada bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat harta serta ta'atlah kepada orang yang memimpin kalian, niscaya kalian akan masuk surga". Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : (meskipun yang memerintahkan (menjadi Amir/penguasa) adalah seorang budak) ; dalam riwayat yang lain terdapat tambahan (seorang hamba dari Habasyah/Ethiopia).

Penyebutan semacam ini, menurut Mushannif (Ibnu Rajab al-Hanbali) terdapat dalam banyak riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan hal ini merupakan sesuatu yang diinformasikan oleh beliau kepada umatnya terhadap apa yang akan terjadi setelah beliau wafat nanti dan akan adanya kekuasaan kaum budak terhadap mereka. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda : "Dengarkanlah dan ta'atlah kalian (loyal) meskipun kalian akan dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah/Ethiopia yang diatas kepalanya seakan terdapat anggur kering/kismis". Sinkronisasi dua versi hadits yang seakan bertentangan

Terdapat dua versi hadits, berkaitan dengan hal diatas yang nampaknya saling bertentangan (ta'arudh) yaitu hadits seperti diatas/yang kita bahas dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa kepemimpinan/imamah harus berada di tangan orang Quraisy. Diantara hadits yang menyatakan hal itu ; hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, dan lain-lain . Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "orang-orang (kaum Muslimin) adalah pengikut suku Quraisy". Dalam hadits yang lain : "para pemimpin/imam (harus berasal) dari suku Quraisy". Dalam menyinkronkan pertentangan dua versi tersebut, Mushannif mengatakan bahwa bisa saja kekuasaan para budak tersebut masih dibawah kendali seorang pemimpin/imam dari suku Quraisy. Sebagai buktinya adalah hadits yang dikeluarkan oleh al-Hakim dari 'Ali radhiallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda : "para pemimpin/imam (harus berasal) dari suku Quraisy; orang-orang baik dari mereka adalah umara' bagi orang-orang baik dari mereka pula, sedangkan orang-orang fajir dari mereka juga menjadi umara' bagi orang-orang fajir dari mereka, masing-masing memiliki hak, oleh karenanya berikanlah setiap empunya hak akan haknya, dan jika aku jadikan sebagai Amir/pemimpin kalian dari kalangan suku Quraisy (yang kedudukannya sebagai) budak, dari Habasyah/Ethiopia serta (fisiknya) cacat (pada ujung-ujung anggota badannya), maka hendaklah kalian dengarkan dia dan mena'atinya". (Mushannif menegaskan bahwa sanadnya adalah jayyid akan tetapi diriwayatkan dari 'Ali secara mauquf).

Ada juga pendapat yang mengatakan (dalam menyinkronkan kedua versi tersebut) bahwa adanya penyebutan hamba dari Habasyah/Ethiopia hanyalah sebagai perumpamaan meskipun dalam kaitannya dengan nash tersebut ungkapan semacam ini tidak dapat dibenarkan secara kaidah; yaitu (bahwa hal itu sebagai perumpamaan saja) sebagaimana sabda Nabi : " …Orang yang membangun masjid meskipun seperti galian burung Qathah (sejenis burung)". (Hadits yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban). Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam: [Sesungguhnya siapa-siapa yang nanti hidup setelahku maka dia akan melihat terjadinya perbedaan/perselisihan yang banyak; oleh karena itu, berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (al-Mahdiyyin), gigitlah dia/sunnahku tersebut dengan gigi taring (kinayah ; agar berpegang teguh dan tidak melepaskannya)]

Hadits ini merupakan informasi dari beliau tentang apa yang akan terjadi terhadap umatnya nanti setelah beliau wafat, yaitu terjadinya banyak perselisihan dalam masalah-masalah agama yang prinsipil (ushuluddin) dan yang tidak prinsipil (furu'), begitu juga perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan serta keyakinan-keyakinan/aliran-aliran. Dan apa yang beliau informasikan tersebut sangat sinkron dengan hadits-hadits yang mengingatkan akan adanya perpecahan umat ini menjadi tujuh puluh-an aliran dimana semuanya masuk neraka kecuali satu yaitu orang-orang yang berjalan diatas manhaj Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya.

Begitu juga, hal ini sinkron dengan hadits-hadits yang mengajak berpegang teguh kepada manhaj yang telah digariskan oleh Rasulullah dan para shahabatnya, terutama al-Khulafaur Rasyidun yaitu dalam keyakinan-keyakinan, perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan.

Inilah yang dimaksud dengan as-Sunnah secara sempurna, oleh karena itu para Salaf hanya menyebut kata as-Sunnah terhadap hal yang mengandung semua makna tersebut. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, al-Auza'i dan al-Fudhail bin 'Iyadh. Sehubungan dengan itu, banyak diantara ulama-ulama al-Muta-akhkhirin (yang hidup kemudian) hanya mengkhususkan sebutan "as-Sunnah" kepada hal yang berkaitan dengan masalah-masalah keyakinan (I'tiqâdât) karena ia merupakan pokok agama sedangkan penentangnya tentu akan mengalami bahaya yang amat besar yaitu kesengsaraan di dunia dan akhirat. Adapun penyebutan hal ini (tentang keharusan berpegang teguh kepada Sunnah Rasul dan al-Khulafaur Rasyidun) setelah perintah loyal (as-sam'u waththâ'ah) kepada para pemimpin/umara' mengisyaratkan bahwa tiada keta'atan terhadap mereka kecuali selama mereka mengajak berbuat ta'at kepada Allah, sebagaimana dalam hadits yang shahih dikatakan dalam sabda beliau : "Sesungguhnya keta'atan hanya berlaku dalam berbuat ta'at". Dan banyak sekali hadits-hadits lain yang memerintahkan demikian.

Dalam kaitannya dengan penggalan hadits diatas, juga dibahas masalah kenapa diperintahkan agar loyal terhadap al-Khulafaur Rasyidun, mengingat banyak sekali hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan mereka. Disamping itu, Mushannif juga menyinggung pengertian ar-Rasyid, serta dikategorikannya khalifah Umar bin 'Abdul 'Aziz sebagai khalifah ar-Rasyid kelima. Masalah Ijma' para Khalifah yang Empat sebagai hujjah Masalah ini sebenarnya secara luas dibahas dalam ushul fiqh, namun Mushannif juga menyinggung hal ini. Diantaranya; apakah ijma' mereka dapat dipakai sebagai hujjah meskipun ada diantara shahabat yang lain menyalahi/menentang mereka ?..

Maka dalam hal ini, terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad. Begitu juga masalah ; bila sebagian dari mereka berempat mengemukakan pendapat sedangkan yang lainnya tidak menyalahi/menentang mereka tetapi justru shahabat lain yang menentangnya ; manakah yang didahulukan, pendapat sebagian mereka tersebut atau shahabat selain mereka?..

Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat ulama; sedangkan Imam Ahmad menyatakan secara tertulis bahwa dia lebih mendahulukan pendapat sebagian dari shahabat yang empat daripada pendapat shahabat selain mereka. Begitu juga, mayoritas Salaf berpendapat demikian, terutama pendapat Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu berdasarkan hadits-hadits yang menyebut keutamaan Umar dan ketajaman pendapatnya yang telah terbukti di kemudian hari. Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : (yang mendapat petunjuk); maksudnya adalah bahwa Allah menunjuki mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka.

Manusia diklasifikasikan kepada tiga : pertama, Râsyid. Kedua, Ghâwin. Ketiga, Dhâllun. Ar- Râsyid artinya orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Al-Ghâwi artinya orang yang mengetahuinya tetapi tidak mengikutinya. Sedangkan adh-Dhâllu artinya orang yang tidak mengetahuinya sama sekali. Jadi, setiap Râsyid sudah pasti Muhtadun (orang yang mendapat hidayah) sementara setiap Muhtadun (orang yang mendapat hidayah) secara sempurna maka dia sudah pasti Râsyid sebab hidayah hanya akan sempurna bilamana mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : (gigitlah dia/sunnahku tersebut dengan gigi geraham). Ungkapan tersebut merupakan kinayah yang maksudnya agar berpegang teguh dan tidak melepaskannya).

Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : (..dan tinggalkanlah oleh kalian urusan-urusan baru (mengada-ada dalam urusan agama) karena sesungguhnya setiap bid'ah itu adalah sesat) Disini, umat diingatkan akan bahaya bid'ah dan diperintahkan agar tidak mengikuti hal-hal yang berbau bid'ah, dengan mempertegasnya bahwa " setiap bid'ah itu adalah sesat".

Yang dimaksud dengan bid'ah adalah sesuatu yang diada-adakan (diperbaharui) yang tidak memiliki asal/akar yang mendukungnya dalam syari'at. Sedangkan sesuatu yang memiliki asal/akar yang mendukungnya dalam syara' maka hal itu bukanlah bid'ah, meskipun bisa disebut bid'ah secara lughah/bahasa. Banyak sekali hadits-hadits yang melarang kita melakukan bid'ah dan mengecamnya serta mengancamnya.

Diantaranya, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Jabir dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "sesungguhnya sebaik-baik hadits/ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan, dan setiap sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) maka hal itu adalah sesat". Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : (setiap bid'ah adalah sesat); ungkapan ringkas/simple ini termasuk dalam kategori "jawami'ul kalim" (Himpunan sabda yang amat ringkas/simple namun padat), ungkapan seperti ini hampir mirip dengan sabda beliau yang lain, yaitu yang berbunyi :"barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan darinya maka hal itu adalah ditolak". Setiap sesuatu yang diada-adakan dan mengatasnamakan agama sedangkan tidak ada dasar/asalnya dalam syara' yang mendukung dan bisa dirujuk kepadanya maka hal itu adalah sesat dan agama berlepas diri darinya, baik sesuatu itu berkaitan dengan masalah keyakinan/'aqidah, perbuatan maupun perkataan secara lahir atau bathin.

Masalah klasifikasi bid'ah Dalam hal ini muncul beberapa ungkapan dari Salaf yang mengindikasikan istihsan (memandang baik) sebagian bid'ah, sehingga terciptalah suatu asumsi bahwa bida'ah itu terbagi dua. Maka semata-mata maksud mereka adalah bid'ah lughawiyyah (secara bahasa) bukan secara agama/syar'i. Diantara dalil yang sering dipakai oleh orang-orang yang berpendapat demikian adalah perkataan Umar :"jika hal ini (perbuatan ini) adalah bid'ah, maka ia lah sebaik-baik bid'ah". Ucapan ini berkaitan dengan tindakannya mengumpulkan orang-orang dengan seorang imam saja di masjid untuk mengimami shalat dalam bulan Ramadhan. Namun sebenarnya apa yang dikatakan oleh Umar tersebut adalah bid'ah secara bahasa, dan ketika itu beliau seperti disebutkan oleh suatu riwayat, ditegur oleh Ubai bin Ka'ab, dia berkata kepadanya : sesungguhnya apa yang engkau lakukan ini belum pernah ada. Umar menjawab : aku tahu itu, tetapi hal ini adalah baik.

Dalam hal ini, Mushannif mengatakan; maksud Umar tersebut adalah bahwa perbuatan ini belum pernah dilakukan seperti ini sebelumnya tetapi akar/asalnya ada dalam syari'at yang dapat dirujuk yaitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menganjurkan sekali agar orang-orang shalat malam di bulan Ramadhan sehingga orang-orang pun melakukannya di masjid baik secara jama'ah, berpencar-pencar, atau pun sendiri-sendiri.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama para shahabatnya di bulan Ramadhan dan hal itu dilakukan bukan satu malam saja, kemudian beliau menghentikannya dengan alasan takut menjadi suatu kewajiban bagi mereka nantinya sedangkan mereka tentu tidak akan mampu melakukannya, namun setelah beliau wafat (Umar) melihat hal itu bila dilakukan tidak akan menjadi kewajiban lagi alias alasannya sudah tidak ada sebab Rasulullah telah wafat. Rasulullah juga, seperti banyak riwayat melakukan hal itu terutama di malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Banyak hal yang dilakukan oleh para shahabat yang sebelumnya tidak ada pada zaman Rasul namun hal itu semua memiliki akar/asal yang bisa dirujuk dan mendukungnya dalam syari'at, seperti azan kedua pada hari Jum'at yang dibuat oleh 'Utsman dengan alasan orang-orang saat itu memerlukan hal itu dan hal itu juga disetujui oleh 'Ali . Begitu juga, dengan masalah kodifikasi mushhaf yang semula tidak mau dilakukan oleh Zaid bin Tsabit, dan banyak lagi yang lain.

Sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Abu Na'im, bahwa Harmalah bin Yahya mendengar Syafi'i berkata : "Bid'ah terbagi dua; bid'ah mahmudah (yang dipuji) dan bid'ah mazmumah (yang dicela); maka apa yang sesuai dengan sunnah maka ia termasuk yang dipuji sedangkan yang bertentangan dengan sunnah maka ia termasuk yang dicela. Dan beliau berhujjah dengan ucapan Umar :" sebaik-baik bid'ah, adalah ini (perbuatan ini)". Maksud dari ucapan Imam asy-Syafi'i tersebut adalah sebagaimana apa yang disinggung sebelumnya yaitu bahwa bid'ah mazmumah adalah sesuatu yang tidak memiliki akar/asal dari syari'at yang bisa dirujuk dan mendukungnya. Dan bid'ah inilah yang dimaksud ketika hal itu terdapat dalam terminologi Syari'ah. Sedangkan bid'ah mahmudah adalah sesuatu yang bersesuaian dengan sunnah, artinya sesuatu yang memiliki akar/asal dari sunnah yang dapat dijadikan rujukan.

Inilah pada dasarnya apa yang dinamakan dengan bid'ah secara bahasa bukan secara syara' karena bersesuaian dengan sunnah. Sehubungan dengan itu, ada riwayat lain dari ucapan Syafi'i yang mendukung interpretasi ini yaitu ucapan beliau : "dan sesuatu yang diada-adakan (muhdatsat) terbagi kepada dua : yang diada-adakan tetapi menyalahi kitabullah, sunnah, atsar atau ijma' dan ini dinamakan (bid'ah) yang sesat, dan yang diada-adakan tetapi ia adalah baik dan tidak ada yang bertentangan dengan perbuatan semacam ini, maka inilah yang dinamakan sebagai (bid'ah) yang tidak dicela itu". Dan memang kemudian, sejarah membuktikan bahwa apa yang disinyalir oleh Rasulullah akan terjadi memang terjadi, diantaranya adalah munculnya Ahlur Ra'yi, al-Mutakallimun, Khawarij, Rawafidh, Murjiah, Ahli Tasawuf dan lain-lain. Demikian pula, terdapat hal-hal yang para ulama tidak berselisih pendapat mengenai apakah ia termasuk bid'ah hasanah hingga harus dirujuk kembali kepada as-Sunnah atau tidak ?, diantaranya adalah masalah penulisan hadits dimana Umar dan sebagian shahabat melarang hal itu, sementara yang lainnya memberikan keringanan dengan berargumentasi kepada hadits-hadits.

Pada masa ini dimana keilmuan orang sangat jauh dari ilmu para Salaf, maka sudah semestinya dilakukan suatu pengecekan dan kaidah khusus terhadap hal-hal yang memang berasal dari mereka hingga dapat dibedakan antara ilmu yang berkembang pada masa mereka dengan masa sesudah mereka. Mari kita renungi ucapan Ibnu Mas'ud yang diucapkannya ketika pada masa al-Khulafaur Rasyidun : "Sesungguhnya kalian hari ini masih hidup dalam kondisi yang sesuai dengan fithrah, sungguh kalian nanti akan mengada-ada (melakukan suatu hal yang baru dalam urusan agama) dan akan dibuat pula (oleh orang lain) buat kalian hal semacam itu ; jika kalian melihat sesuatu yang diada-adakan tersebut (muhdatsah), maka hendaklah kalian berpegang teguh kepada petunjuk yang pertama (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat). Intisari Hadits

Diantara ciri wejangan/khuthbah Rasulullah adalah ringkas/simple dan padat yang dinamakan dengan "jawami'il kalim". Rasulullah telah mengingatkan umatnya akan adanya perselisihan pendapat diantara mereka, oleh karena itu beliau memerintahkan mereka agar berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah al-Khulafaur Rasyidun setelahnya.

Umat Islam diperintahkan agar loyal terhadap pemimpinnya, meskipun harus dipimpin oleh seorang budak. Rasulullah melarang kita melakukan suatu perbuatan dalam urusan agama yang tidak pernah beliau ataupun para shahabatnya melakukannya dan bahwa hal itu adalah mengada-ada dalam agama atau disebut dengan bid'ah. Semua bid'ah adalah sesat, dan apa yang disebut dengan bid'ah terbagi-bagi adalah tidak benar dan kalaupun ada maka yang dimaksud adalah bid'ah secara bahasa. Wallâhu a'lam.

Tidak ada komentar