Idul Fitri: Kemenangan dan cobaan
Idul Fitri: Kemenangan dan cobaan
Ketahuilah bahwa Allah ta’ala menjadikan kehidupan dunia
ini sebagai ujian dan
cobaan bagi hamba-hambanya agar diketahui siapakah dari
hambaNya yang mentataiNya
dan siapa yang mendurhakaiNya: Dialah Allah yang
menciptakan kematian dan
kehidupan untuk menguji kalian, manakah di antara kalian
yang paling baik amalnya, dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun)
Orang yang berbahagia adalah orang yang mampu menjadikan
kehidupannya
sebagai bekal menuju perjalanan panjang ke akherat kelak.
Ma’asyiral muslimin yahdikumullah…
Saat ini semua umat Islam diseluruh penjuru negeri bergembira
menyambut Idul
Fitri, yang memang merupakan waktu yang diajarkan oleh
Islam untuk bergembira.
Karena memang inilah hari raya kita, hari raya dimana kita
bias bergembira menyambut
kedatangannya. Ada
banyak hari di mana orang biasanya bergembia dan berpesta, kita
tidak akan hanyut pada hari-hari di mana orang lain
berpesta, karena kita sebagai orang
Islam memiliki hari raya sendiri yang ajarkan oleh Allah
yakni hari raya idul fitri dan hari
raya qurban.
Kegembiraan kita di hari raya ini merupakan perwujudan rasa
syukur kita kepada Allah
swt atas segala karunia dan nikmat yang telah kita terima,
baik karunia lahir maupun
batin. Khususnya kita bersyukur bahwa kita mampu dan masih
diberi kesempatan
melaksanakan puasa dan qiyam lail. Yang pahalanya tidak terhitung
nilainya di sisi Allah
swt. Allah berfirman bahwa orang yang senantiasa bersyukur
terhadap Allah pastilah
Allah akan menambah karunia, dan barang siapa yang
mengingkari nikmat Allah maka
Allah menjanjikan adzab yang sangat pedih. Dan ketahuilah
bahwa janji Allah pada
saaatnya nanti pasti akan terjadi.
Shalawat dan salam kepada junjungan nabi kita, nabi
Muhammad saw, yang telah
mengajarkan bagaimana mengenal Allah sang Pencipta kita dan
jagad raya ini. Nabi yang
telah mengajarkan kepada kita bagaimana menyembah Allah
dengan benar sehingga kita
menjadi sebaik-baik umat manusia di muka bumi. Maka kiat
senantiasa memanjatkan
salawat dan salam atas beliau sebagaimana Allah dan para
malaikatpun bershalawat pada
Rasulullah karena demikian agungnya sosok nabi Muhammad di
hadapan Allah dan para
malaikat. Al ahzab (33):56
56. Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi[1229]. Hai orangorang
yang beriman, bershalawatlah kamu untuk
Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya[1230].
Muslimin yang berbahagia..
Marilah kita sambut hari raya idul fitri ini dengan takbir
mengumadangkan
kebesaran Allah swt. Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar
kabira….Karena Allah
sajalah yang berhak untuk diagung-agungkan, barang siapa
yang mengagungkan selain
Allah maka ia termasuk orang yang melampui batas dan telah
berbuat kesyirikan yang
nyata.
Lihatlah diri kita, bukankah seringkali kita merasa paling
besar, gumedhe,
jumawa seolah-olah semua manusia kecil dan harus takluk
dihadapan kita. Kita berlagak
seolah kita adalah Tuhan yang kuasa atas segala keadaan.
Tidakkah kita sadar, bahwa
kita sesungguhnya tidak lain adalah makhluk yang
sangat-sangat lemah, maka kepada
siapa lagi kita berharap selain kepada Allah swt yang telah
menciptakan kita dan dengan
kasih saying Allahlah kita diberi kesempatan menikmati
hidup di dunia milik Allah ini.
Maka apa sesungguhnya yang menahan kaki kita tidak mau
melangkah ke masjid ?
Apakah yang menahan kepala kita sehingga tidak mau menunduk
ke tanah bersujud di
hadapan Allah ?
Apakah yang menahan lidah kita sehingga kaku dan kelu
mengucapkan dzikir dan takbir
??
Apakah yang menahan hati kita sehingga sulit merindukan
Allah ?
Apakah yang menahan pikirankita sehingga tidak mendambakan
surga ?
Apakah yang mendorong jiwa kita sehingga cenderung ke
neraka ?
Apakah yang menahan diri kita sehingga mengabaikan hak-hak
Allah dan cenderung
memperturutkan hawa nafsu padahal hawa nafsu itu mendorong
kepada kejelekan
Apakah kesombongan kita sudah demikian memuncak, sehingga
sedemikan lantang kita
durhaka kepada Allah. Na’udzu billah min dzalik…
Ma’syiral muslimin rahimakumullah…
Berbahagialah kita karena hingga saat ini kita dimudahkan
oleh Allah untuk
bersujud, rukuk, dihadapan Allah. Janganlah karena perilaku
kita yang menetang Allah
menjadikan Allah semakin murka kepada kita. Janganlah
karena kesombongan dan
kebodohan kita menjadi sebab terhalangnya kita dari jalan
surga dan menghalangi kita
mendekati Allah swt. Maka bersyukur kepada Allah atas
segala karunia ini. Karunia iman
dan islam. Apalah artinya kesenangan sesaat di dunia tapi
membawa penyesalan
berkepanjangan di akherat kelak.
Apakah selepas ramadhan semakin dekat dengan Islam ataukah
justru semakin
jauh ?? hanya diri kita sendiri yang nanti akan
membuktikan.
Ada dua sikap yang ditunjukkan manusia ketika menghadapi
nikmat atau cobaan.
Yakni pertama sikap syukur dan kedua sikap kufur. Ibrahim(14):7
Dan (ingatlah juga), tatkala
Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Marilah kita coba melihat satu persatu. Kita apakah kita
termasuk hamba yang bersyukur
atau yang kufur.
Kita hitung nikmat yang telah Allah berikan kepada kita
(dan kita sesungguhnya tidak
akan pernah mampu menghitung nikmat Allah)
Allah telah memberikan kita badan yang sehat lengkap, semua
berfungsi sebagaimana
mestinya. Satu saja dari anggota badan kita ini tidak
berfungsi sungguh betapa
tersiksanya kita. Kita punya dua mata, satu mata sakit
ringan untuk beberapa hari saja,
ingat …bukan sakit berat, serasa keseimbangan badan kita
menjadi oleng, mata terasa
mau copot. Belum anggota badan yang lain. Pernahkah kita
bersyukur, ingat kepada
Allah….bahwa Allah telah memberi kita bentuk yang
sedemikian sempurna. Pernahkah
terucap tabarakallah ahsanul khalikin (terpujilah Allah
dzat sebaik-baik pencipta) atau
justru kita tidak ingat Allah sama sekali.
Allah memberikan hewan ternak dan panen yang cukup untuk
kita makan, bersyukurkah
kita kepada Allah atas rezki ini ?? Ingatkah kita kepada
Allah, dzat yang memberi rezki
atas selama ini yang kita makan ??? . Ataukah justru kita
mengingkari Allah karena Allah
memberi panen tidak seperti yang kita harapkan. Ataukah
justru kita lupa kepada Allah
dan bahkan malah ingat kepada sesuatu yang kita anggap mbau
rekso panen kita.??
Allah memberikan kepada kita anak-anak yang sanagt kita
dambakan, ingatkah bahwa
Allah yang memberikan kita keturunan ataukah justru kita
lalai mengingat Allah karena
anak-anak kita ?
Allah memberikan kita perniagaan dan perdangan yang laris,
bersyukurkah kita bahwa
Allah ataukah justru kita lalai kepada Allah karena
kesibukan kita kepada perdangan
tersebut.
Ingatlah kisah anak paman nabi Musa yang bernama Qarun, ia
sesungguhnya adalah
termasuk hamba Allah yang shaleh pada awal mulanya,
memiliki suara yang merdu,
manakala membaca kitab Taurat maka hati dan jiwa akan
khusuk mnyimak firman Allah
tersebut. Karena kesalehannya Allah memberi karunia
perbedandaharaan harta benda
yang tak terkira banyaknya. Kunci-kunci gudang
perbendaharaan hartanya tidak mampu
dipikul sejumlah orang kuat pada masa itu. Tapi apa akhhir
dari qarun ini, ia tidak mau
bersyukur kepada Allah, ia lupa dan lalai kepada Allah,
dikiranya harta itu adalah jerih
payah dari ilmunya. Qarun berkata bahwa harta benda itu
didapat karena ilmunya sendiri
(al qashash (28):78):
Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya
diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. dan Apakah
ia tidak mengetahui,
bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat
sebelumnya yang lebih kuat
daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan
tidaklah perlu ditanya kepada
orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.
Ia tidak menyadari bahwa hartanya itu adalah karunia dan
kemurahan
Allah kepada dirinya. Karena Allah dzat maha pemberi rizki.
Karena lalai, maka
Allah menenggelamkan dirinya dan hartanya ke dalam bumi.
Itulah balasan orang
yng tidak mau bersyukur kepada Allah.
Maka berkatalah orang-orang yang dulu menginginkan harta
seperti qarun:
berkata: “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi
siapa yang Dia kehendaki dari
hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak
melimpahkan karunia-Nya
atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula).
Aduhai benarlah, tidak
beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (al qashash (28): 82)
Sulaiman alaih salam, seorang nabi dan raja diraja meng
menguasai dunia manusia dan
binantnag, laut dan daratan serta udara, baik dunia kasat
mata maupun dunia yang tidak
kasat mata. Beliau mampu memahami bahasa binantang. Maka
tatkala ia mendengar
suara semut. Ia ingat Allah swt seraya berdo’a : “Ya
Tuhanku berilah aku ilham untuk
tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau anugerahkan
kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang
Engkau ridhai; dan
masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu
yang saleh”.
(an naml:19)
Di sisi lain iapun bersyukur atas segala karunia yang telah
diterimanya iapun berkata: “Ini
Termasuk kurnia Tuhanku untuk mengujiku
aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-
Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka
Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya
sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka
Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (an
naml: 40)
Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya
mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami
dari kebanyakan hambahambanya
yang beriman.” (an naml: 15)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah..
Demikianlah teladan yang diberikan Nabi Sulaiman ketika
mendapat karunia dari Allah
swt.
Begitu pula ketika seseorang mendapat musibah baik pada
dirinya, keluarganya,
harta bendanya atau lingkungannya. Apakah ia akan ingat
kepada Allah dengan minta
ampunan dan istighfar. Ataukah justru berpaling dari Allah
segala tindakan kemungkaran
dan kesyirikan.
Ayyub, Nabi Allah yang begitu tabah mendapatkan cobaan
merupakan teladan yang baik
dalam hal ini. Ketika Allah karuniakan anak-anak yang
shalih, istri yang shalihah, kebun
dan ternak yang banyak hasilnya, tidak menambah apa – apa
selain rasa syukur kepada
Allah swt. Hingga akhirnya ia diuji dengan kehilangan
semuanya, tetapi tidak
mengurangi rasa syukurnya kepada Allah maka Allah
mengembalikan semuanya kepada
Nabi Ayyub. Bahkan ia tetap memuji Allah dengan berkata: “(Ya
Tuhanku),
sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah
Tuhan Yang Maha
Penyayang di antara semua penyayang.” Al anbiya(21): 83.
Ma’asyiral muslimin arsyadakumullah….
Hakekat hidup adalah ujian dan cobaan, maka barang siapa
yang lulus darinya Allah akan
meninggikan derajatnya dan memberikan karunianya di dunia
ini maupun di akherat
kelak. Akan tetapi siapa yang tidak lulus ujian dan menjadi
durhaka maka kehinaan dan
kenistaan akan diterimanya di dunia dan di akherat kelak.
Apakah kita akan mengatakan kami beriman kepada Allah
sebelum Allah
menerimakan cobaan kepada kita sebagaimana orang-orang
beriman jaman dahulu
menerima cobaan. Sehingga bisa diketahui dengan benar siapa
hamba Allah yang
sebenarnya/bersyukur dan siapa yang dusta/kufur. (al ankabut
(29):2)
2. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan:
“Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
3. Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka,
Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar
dan Sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.
Kalau ada musibah kemudian orang cenderung
mengkaitkan musibah itu dengan klenik, syirik,
sesaji, larung dan sebagainya maka bias
dipastikan bahwa hal tersebut merupakan kemungkaran yang
bertentangan dengan ajaran Islam, karena
semua hal adalah miliki Allah, dzat yang memberi manfaat dan
mudharat, maka semestinya bila ditimpa
musibah segera minta ampun, beristighfar memperbanyak dzikir
dan ingat serta kembali kepada Allah,
bukan mencari jalan keluar yang justru menambah kemurkaan Allah.
Sebaliknya bila mendapatkan karunia segera
ingat bahwa hal tersebut atas karunia Allah semata
sehingga semakin menambah rasa syukurnya
kepada Allah, dan tidak akan menjerumuskannya pada
pengagungan diri sendiri.
Maka idul fitri ini sekaligus kemenangan
kita menahan hawa nafsu kejelakan selama ini sekaligus
sebagai ujian keimanan bagi kita kaum
muslimin untuk menghadapi tahun-tahun mendatang. Semoga Allah
menguatkan hati kita untuk teguh perpegang
kepada Allah ta’ala.
Wallahu a’alm bishwab.
Ini barangkali renungan kita di sela-sela kita merayakan
idul fitri sehingga hari raya kita
tetap menjadi lebih bermakna. Maka marilah kita berdo’a
kepada Allah swt semoga Allah
memasukkan kita ke dalam hamba-hambaNya yang pandai
bersyukur, mentaati
perintahnya dan menjauhkan kita dari adzab dan siksanya
yang sangat pedih.
Dari Fitrah Menuju Muslim yang Lurus dan Tercerahkan
Dari Fitrah
Menuju Muslim yang Lurus dan Tercerahkan
Hadirin, sidang Idul Fitri yang dirahmati Allah.
Atas Rahmat Allah yang agung yang telah dilimpahkan
kepada kita, pada
hari
ini, 1 Syawal 1428 H yang bertepatan dengan hari Jum’at tanggal 12
Oktober
2007 M, kami sampai pada puncak dari seluruh rangkaian ibadah
Ramadhan
1428 H, yaitu Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya kemenangan Umat
Islam di seluruh pelosok dunia. Atas Hidayah Allah
yang tercurah deras
dalam hati sanubari kita, perayaan Idul Fitri ini
dapat kita lakukan dengan
khusu’ dan dengan hati yang bertaubat. Dan Atas
Karunia Allah yang
melimpah ruah, kita bisa menikmati indahnya beridul
fitri bersama sanak
keluarga, saudara, handau taulan, tetangga, teman dan
seluruh kaum
muslimin dengan penuh kebersamaan dan suka cita. Untuk
itu semua, puja
dan puji syukur wajib senantiasa kita haturkan ke
hadirat Allah SWT, Rabb
sekalian alam.
Idul Fitri artinya hari raya fitrah. Hari raya
kesucian manusia. Disebut juga
sebagai hari kembalinya kesucian kepada kita. Inilah
hari raya yang resmi
diajarkan agama kita melalui sunnah Rasulullah SAW,
selain Idul Adha.
Adapun semua hari raya atau hari besar Islam yang
lain, lebih merupakan
hasil budaya daripada ajaran agama, seperti Maulid
Nabi, Isra’ Mi’raj,
Nuzulul Qur’an, Muharram dan lain-lain. Atas sunnah
Rasulullah inilah kita
bisa meneladani bagaimana mensyukuri dan memaknai Idul
fitri. Untuk itu,
salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
dan Rasul kita
Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan
seluruh kaum
muslimin yang selalu setia dengan sunnah-sunnahnya. Sebagaimana
Allah
dan Malaikat bershalawat pula kepada Nabi Muhammad,
seperti dalam al-
Qur’an
surat Al ahzab,
ayat 56:
Sidang jama’ah Idul Fitri yang berbahagia
Dalam al-Qur’an, kata fitrah berasal dari kata fathara,
yang arti sebenarnya
adalah “membuka” dan “membelah”. Kalau dihubungkan
dengan puasa
Ramadhan yang sebulan penuh lamanya itu, maka kata ini
mengandung
makna “berbuka puasa”. Fitrah juga mengandung
pengertian “yang mulamula
diciptakan Allah”, yang tidak lain adalah “keadaan
mula-mula”, “yang
asal”, atau “yang asli”. Jika melihat firman Allah
dalam surat
al-An’am ayat
79,
sebuah surat
yang sangat dikenal karena sering dilafadzkan dalam
pembukaan shalat, sebelum membaca al-Fatihah, yang
bunyinya adalah
sebagai berikut:
“Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang
menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada
agama yang
benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.”
Kata fitrah dalam konteks ayat ini (fathara)
dikaitkan dengan pengertian
hanif, yang
jika diterjemahkan secara bebas menjadi “cenderung kepada
agama yang benar”. Istilah ini dipakai al-Qur’an untuk
melukiskan sikap
kepercayaan Nabi Ibrahim a.s. yang menolak menyembah
berhala, binatang,
bulan ataupun matahari, karena semua itu tidak patut
untuk disembah. Yang
patut disembah hanyalah Dzat pencipta langit dan bumi.
Dari pengertian tersebut, timbul suatu teori, bahwa
agama umat manusia
yang paling asli adalah menyembah kepada Allah. Hal
ini berkaitan dengan
kepercayaan kaum muslimin, berdasarkan keterangan
al-Qur’an, bahwa
manusia, segera setelah diciptakan, membuat perjanjian
dengan Allah,
sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat al-A’raf
ayat 172:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka
menjawab:
“Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami
lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya
kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan
Tuhan)”.”
Tidak selamanya manusia tetap dalam ikatan perjanjian
dengan Allah
sebagaimana tergambar dalam surat al-A’raf itu. Dalam banyak kasus,
manusia merusak perjanjian itu atau bahkan
memutuskannya. Kondisi
seperti inilah di saat manusia sudah sedemikian jauh
dari ajaran-ajaran
agama, karena lebih memberati dorongan hawa nafsu dan
godaan setan.
Manusia lupa akan jati dirinya, lupa dengan fitrahnya.
Secara nyata dapat
kita lihat tipe manusia seperti ini di segala lini
kehidupan. Pemimpin yang
sewenang-wenang dan menindas, pejabat yang korup,
pengusaha yang
serakah, pegawai yang tidak disiplin, pedagang yang
curang, tetangga yang
selalu menggunjing dan seterusnya, adalah gambaran
nyata dalam kehidupan
kita, bagaimana manusia lupa dengan fitrahnya. Sudah
menjadi sunnatullah,
di saat manusia memutus hubungan dengan Allah, maka ia
akan pula
memutus hubungan dengan sesama manusia dan akan
berbuat yang merusak
tatanan alam semesta, dan pada akhirnya ia termasuk
golongan manusia
yang merugi. Seperti tampak dalam firman-Nya surat al-Baqarah
ayat 27:
“yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah
sesudah
perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang
diperintahkan Allah
(kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan
di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.”
Ma’asyiral muslimin yahdikumullah
Ibadah Ramadhan yang kita jalankan sebulan penuh,
adalah sarana
untuk menemukan kembali jalan menuju fitrah. Pada
siangnya kita berpuasa,
di mana pahalanya tidak tergantung seberapa jauh kita
lapar dan dahaga,
melainkan tergantung pada apakah kita menjalankan
dengan iman dan
ihtisab kepada
Allah serta penuh intropeksi atau tidak. Pada malamnya kita
dirikan shalat malam (shalatullail/tarawih),
agar hati kita senantiasa terikat
dan tunduk kepada Allah pemilik jiwa raga ini. Hari-hari
Ramadhan pula
kita ramaikan dengan tadarrus al-Qur’an agar
kita bisa mengaca diri, apakah
tingkah-laku kita sudah sesuai dengan tuntunan al-Qur’an
atau belum. Dan
pada akhir Ramadhan, kita tutup dan sempurnakan
seluruh rangkaian ibadah
Ramadhan dengan zakat fitrah, sebagai ungkapan
simbolik kecintaan kita
kepada kaum miskin dan papa.
Seperti yang sudah disampaikan di muka, bahwa
pengertian fitrah
terkait dengan pengertian hanif. Manusia yang
sudah kembali menemukan
fitrahnya (idul fitri), ia akan terkondisikan untuk
menjadi hanif. Kata hanif
berasal dari kata kerja hanafa, yahnifu dan
masdarnya hanifan, artinya
adalah “condong”, atau “cenderung” dan kata bendanya “kecenderungan”.
Dalam al-Qur’an, kata hanif yang dimaksud
adalah “cenderung kepada yang
benar”, seperti dijelaskan oleh mufassir modern,
Maulana Muhammad Ali
dalam The Holy Qur’an, yang merujuk kepada
kamus al-Qur’an al-
Mufradat fi al-gharib karya al-Raghib al-Isfahani. Secara lengkap pengertian
hanif disampaikan oleh Nashir Ahmad sebagai berikut:
a. Orang yang meninggalkan atau menjahui kesalahan dan
mengarahkan
dirinya kepada petunjuk.
b. Orang yang secara terus menerus mengikuti
kepercayaan yang benar
tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya
c. Orang yang cenderung menata perilakunya secara
sempurna menurut
Islam dan terus menerus mempertahankannya secara teguh
d. Seseorang yang mengikuti agama Ibrahim, dan
e. Yang percaya kepada seluruh nabi-nabi.
Baik Muhammad Ali maupun Nashir Ahmad, keterangan
tentang
hanif tersebut,
merujuk kepada al-Qur’an, surat
al-Baqarah ayat 135:
“Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut
agama
Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”.
Katakanlah :
“Tidak, melainkan (Kami mengikuti) agama Ibrahim yang
lurus. dan
bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik”.
Dari ayat itu pula diketahui bahwa lawan dari hanif
adalah syirik
(politheis), yakni sebuah paham yang mempersekutukan
Allah dengan
lainnya. Islam tidak mengajarkan politheisme (syirik)
tetapi sebaliknya yang
ditekankan dalam ajaran Islam adalah monotheisme
(tauhid) yaitu menolak
segala pengakuan dan keyakinan mausia atas tuhan-tuhan
palsu. Jika pada
zaman Jâhiliyyah, tuhan-tuhan palsu itu
dimanifestasikan dalam wujud
berhala-berhala, maka pada zaman modern ini,
tuhan-tuhan palsu terwujud
dalam banyak aspek dan bidang yang lebih luas dan
komplek dari sekadar
berhala-berhala sesembahan. Tuhan-tuhan itu lebih
berbentuk kedhaliman
dan penindasan, atau kesenangan dunia yang ketika
meraihnya harus
merampas hak-hak orang lain.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Setelah orang selalu tertambat hatinya kepada
kebenaran (hanif) dan
menolak dengan keras syirik, ia akan meneladani
Rasulullah dalam
perjuangannya membebaskan umat Islam dari penindasan,
kebodohan dan
kemiskinan. Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan
sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang
penghidupannya
tergantung pada orang kaya kota itu. Orang-orang masih bodoh dan
bertakhayul, menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas,
bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup. Ada banyak budak, para
janda
dan anak yatim yang diabaikan tanpa ada yang peduli
terhadap nasib
mereka. Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di
samping
membebaskan diri mereka sendiri, juga berusaha
membebaskan orang-orang
dari kerajaan Romawi dan Persia yang menindas.
Rasulullah saw., yang secara harfiyah berarti manusia
yang terpuji, adalah
nabi terakhir dan merupakan pejuang sejati. Dia
membebaskan budakbudak,
anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan
lemah.
Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk
membedakan
yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang
palsu, dan kebaikan dari
kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu;
menegakkan
kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia.
Muslim yang peduli dengan nasib kaum miskin, bodoh dan
terbelakang
dengan menyantuninya sepenuh hati, adalah penjelmaan
manusia fitri yang
hanif.
Merekalah yang disebut rausanfikr, yaitu muslim tercerahkan yang
peduli dengan nasib umat. Kepedulian ini menjadi
sangat penting,
mengingat kondisi masyarakat kita yang masih terdapat
jurang pemisah yang
cukup lebar antara si kaya dan si miskin. Seperti
sindiran Allah dalam al-
Qur’an surat
an-Nisa’ ayat 75:
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan
(membela)
orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita
maupun anakanak
yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah
kami dari
negeri Ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah
kami
pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong
dari sisi
Engkau!”.
Rausanfikr (muslim
tercerahkan) harus tercipta dalam diri kita masingmasing.
Kita tidak boleh masa bodoh atau tidak peduli (cuek)
dengan
persoalan di sekitar kita. Kepedulian pada persoalan
ummat akan mendorong
kita menuju sebuah keshalehan sosial yang sangat
ditekankan oleh Islam.
Islam tidak saja mengajarkan keshalehan individu (taat
pada perintah ibadah
mahdhah),
tetapi juga keshalehan sosial atau bahasa agamanya adalah ihsan
(orangnya: muhsin/muhsinun), yaitu kegemaran pada amal
shaleh. Allah
berfirman dalam surat
an-Nisa’ ayat 125:
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang
yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun
mengerjakan
kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?
dan Allah
mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.“
Ada cerita menarik dalam sejarah dakwahnya Kyai Dahlan,
pendiri
Muhammadiyah. Waktu itu beliau mengajarkan sebuah surat pendek dalam
al-Qur’an yaitu surat
al-Ma’un (surat
ke-107) kepada murid-muridnya.
Para
murid sempat protes terhadap cara mengajaran beliau
terus mengulang-ulang
surat tersebut, walaupun para murid sudah lama menghapal di
luar kepala.
Sehingga pada suatu saat ada murid yang berani
bertanya kepada Kyai
Dahlan mengenai hal itu. Lalu, konon, kyai Dahlan
balik bertanya, “Apakah
engkau sudah mengamalkan surat itu ?”.
Sungguh sebuah model pengajaran Islam yang lebih
mengedepankan
amaliah shalihah daripada sekadar hafalan. Model
hafalan seperti inilah
yang banyak terlihat dalam pengajaran-pengajaran Islam
dewasa ini,
sehingga sulit untuk melahirkan santri atau murid yang
tercerahkan dan
mempunyai kepedulian (rausanfikr).
Hadirin yang berbahagi…
Ini barangkali renungan kita di sela-sela kita
merayakan idul fitri
sehingga hari raya kita tetap menjadi lebih bermakna.
Maka marilah kita
berdo’a kepada Allah SWT, semoga Allah memasukkan kita
ke dalam
hamba-hambaNya yang pandai bersyukur, mentaati
perintahnya dan
menjauhkan kita dari adzab dan siksanya yang sangat
pedih.
Post a Comment