Jiwa Manusia
Jiwa Manusia
Jiwa Manusia
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى(40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى(41)
Artinya:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan Jiwanya dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah
tempat tinggal(nya). (QS. An-Nazi’at: 40-41).
Pusat pembahasan kita pada ayat diatas adalah kalimat “(orang yang) menahan Jiwanya dari keinginan hawa nafsunya”. Dalam Tafsir Al-Jalalain dijelaskan bahwa yang dimaksudkan adalah orang yang senantiasa mengendalikan diri dari mengikuti kehendak hawa nafsunya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir
yang dimaksudkan adalah orang-orang yang senantiasa takut dengan Allah
‘Azza wa Jalla dan dengan ketentuan hukum-Nya. Sehingga ia mengendalikan
jiwanya (atau dirinya) dari kungkungan hawa nafsunya dan berusaha untuk
senantiasa taat. Sedangkan dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan
bahwa orang yang menahan dirinya dari hawa nafsunya adalah orang yang
menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan perbuatan yang diharamkan.
Sahal ra., berkata bahwa meninggalkan hawa nafsu adalah pembuka pintu
surga. Berkaitan dengan ayat ini, Abdullah bin Mas’ud ra., berkata:
“Kalian sedang berada pada zaman dimana manusia mendahulukan kebenaran (al-Haqq)
diatas hawa nafsunya, dan akan datang suatu zaman dimana manusia
mendahulukan hawa nafsunya diatas kebenaran, maka kami berlindung dari
zaman yang demikian”(Tafsir Al-Qurthubi).
Hawa nafsu (al-Hawa)
adalah tabiat yang telah ada sejak awal pada diri manusia. Manusia
diperintahkan untuk memimpin hawa nafsunya dengan kebenaran dan akal
sehat. Hawa nafsu tidak dapat dimusnahkan bahkan harus dipelihara. Oleh
karena itu, manusia membutuhkan bimbingan wahyu agar bisa membimbing
jiwanya dan mengendalikan hawa nafsunya.
Berikut ini tingkatan (maqam) jiwa manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya:
1. Nafsu Ammarah (اَلنَّفْسُ اْلأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ)ِ
Nafsu Ammarah atau Ammaratun bissu’
adalah jiwa yang selalu mendorong untuk berbuat keburukan dan dosa.
Jiwa semacam ini dimiliki oleh golongan manusia yang hatinya dipimpin
oleh hawa nafsunya, sehingga ia menjadi budak yang selalu mengikuti hawa
nafsunya. Hari-hari orang semacam ini hanya merisaukan dunia tetapi
melupakan ibadah dan sama sekali tidak merisaukan kehidupan akherat.
Ambisi dan cita-citanya hanya sebatas dunia. Puncak pengetahuannya pun
hanya terbatas tentang dunia. Mereka menghabiskan waktu dalam keseharian
bahkan seluruh perjalanan hidupnya hanya untuk dunia. Celakanya mereka
tidak pernah menyesali perbutannya bahkan selalu memandang baik apa yang
telah dilakukannya. Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Artinya: “Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (QS. Al-Kahfi: 104)
Golongan
manusia ini sangat mencintai dunia, bangga dengan materi, kedudukan,
kehormatan dan tidak henti-hentinya menumpuk harta. Sebagian yang lain
hanya menghabiskan waktunya untuk berbuat maksiat, seperti berzina,
berjudi, menenggak minuman keras, bermain musik dan berfoya-foya
sehingga kehidupannya berantakan. Inilah Jiwa yang dikuasai oleh hawa
nafsu sehingga disebut jiwa yang selalu mendorong perbuatan jahat. Allah
Ta’ala berfirman:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ(53)
Artinya: (Yusuf berkata) Dan
aku tidak membebaskan diriku (dari hawa nafsu), karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi
rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Yusuf: 53).
2. Nafsu Lawwamah (اَلنَّفْسُ اللَّوَّامَةِ)
Nafsu Lawwamah adalah jiwa yang selalu menyesali dirinya. Menurut Imam Al-Ghazali Nafsu Lawwamah
adalah jiwa yang tidak tetap, ia selalu berubah-ubah dan
berbolak-balik, terkadang sadar, terkadang lalai, adakalanya menerima
dan adakalanya menyangkal, sewaktu-waktu taat dan sewaktu-waktu
membantah. Orang semacam ini selalu menyesal ketika usai melakukan
maksiat, namun tetap juga mengulanginya lagi. Menginginkan menjadi orang
yang baik-baik, namun masih dengan susah payah ia mengusahakannya.
Perilakunya bercampur-baur, kadangkala beribadah dan kadangkala
meninggalkannya. Orang semacam ini belum mampu istiqamah, jiwanya selalu
goncang dan bimbang. Nafsu Lawwamah ini sadar akan kelalaian dan perbuatan dosanya, berbeda dengan Nafsu Ammarah yang justeru puas dan memandang baik kelalaiannya. Berkenaan dengan keberadaan Nafsu Lawwamah Allah Ta’ala berfirman:
لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ(1) وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ(2)
Artinya: Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (QS. Al-Qiyamah:1-2).
3. Nafsu Muthma’innah (( النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
Nafsu Muthma’innah adalah jiwa yang tenang, tenteram dan diberkahi oleh Allah. Menurut Imam Al-Ghazali, Nafsu Muthma’innah
adalah Jiwa yang senantiasa mengingat Allah, senantiasa tunduk
kepada-Nya, rindu untuk selalu berjumpa dengan-Nya. Imam Qatadha
mengatakan bahwa Nafsu Muthma’innah adalah jiwa yang tenang,
tenteram dan menerima segala ketentuan Allah SWT. Mereka tidak pernah
putus asa dari rahmat Allah. Mereka menjalani kehidupan dunia ini
bagaikan pengembaraan dan tempat singgah belaka. Mereka tidak pernah
merasa memiliki dunia begitupun isinya. Mereka menginginkan kepulangan
ke kampung halaman yang sebenarnya yaitu kampung akherat yang telah
dijanjikan. Jiwa Muthma’innah selalu berdzikir kepada Allah, istiqamah dalam beribadah dan disibukan dengan kegiatan yang bermanfaat. Allah Ta’ala berfirman:
يَاأَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ(27)ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً
مَرْضِيَّةً(28)فَادْخُلِي فِي عِبَادِي(29)وَادْخُلِي جَنَّتِي(30)
Artinya: Hai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan
masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr: 27-30).
Post a Comment