| | | | | Haramnya seorang lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya termasuk dalam
kategori tahrimul wasilah. Artinya, diharamkan karena merupakan wasilah
(perantara) yang akan menyeret kepada perkara inti yang memang haram pada
asalnya. Sehingga seluruh wasilah dan dzari’ah (jalan) menuju perkara tersebut
ditutup oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan cara diharamkan. Kaidah ini
dikenal di kalangan ulama dengan istilah saddudz-dzari’ah (menutup
jalan/wasilah). Sesuatu yang pengharamannya termasuk dalam bab ini, bisa
dibolehkan ketika ada hajat (tuntutan) kebutuhan meskipun bukan darurat. Ini
adalah ushul (prinsip hukum) yang dipegang oleh Al-Imam Ahmad, sebagaimana
dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (23/186-187,
214-215). Berdasarkan hal ini, tatkala seorang lelaki berhajat untuk
memperistri seorang wanita dan sebaliknya, maka hajat tersebut menuntut untuk
saling mengenal terlebih dahulu. Sehingga keduanya menikah tidak secara membabi
buta, yang mengandung resiko timbulnya penyesalan di kemudian hari dan berakibat
tidak harmonisnya kehidupan rumah tangga mereka berdua. Syariat yang penuh
hikmah dan bijaksana ini menginginkan terciptanya rumah tangga yang harmonis,
yang terbina di atas cinta dan kasih sayang, agar pasangan suami istri hidup
tenang dan bahagia. Dengan demikian keduanya akan memiliki ‘iffah (mampu menjaga
diri dari perzinaan dan perkara-perkara yang menyeret kepada perbuatan zina)
serta mampu ber-ta’awun (bekerja sama dan saling membantu) dalam menaati Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan menjaga diri dari maksiat. Demikian pula berbagai
maslahat lainnya yang merupakan tujuan disyariatkannya pernikahan. Wallahu
‘alimun hakim (Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana). Dalam rangka memenuhi
tuntutan hajat ini, maka seorang lelaki yang hendak menikahi seorang wanita
diizinkan untuk melakukan nazhar (melihat dan mengamati dengan seksama) wanita
yang hendak dilamarnya. Sebagaimana dalam hadits Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا خَطَبَ
أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا
يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Apabila salah seorang kalian
melamar seorang wanita, hendaklah dia memandang bagian tubuhnya yang akan
menjadikannya tertarik untuk menikahinya, jika dia mampu melakukannya.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, dan selainnya, dihasankan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah
no. 99 dan Al-Irwa` no. 1791) Begitu pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu, yang mengisahkan seorang lelaki yang datang dan mengabarkan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia telah melamar seorang wanita
dari kalangan Anshar. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya:
أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَانْظُرْ إِلَيْهَا
فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ اْلأَنْصَارِ شَيْئًا
“Apakah engkau telah
melihatnya?” Lelaki itu menjawab: “Belum.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata: “Hendaklah engkau melihatnya terlebih dahulu karena pada mata
wanita-wanita Anshar ada sesuatu.” (HR. Muslim, Ahmad dan An-Nasa`i) Terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum nazhar. Sebagian mereka
mengatakan hukumnya mubah (boleh), dan sebagian yang lain mengatakan sunnah
mustahab. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Asy-Syarhul
Mumti’ (5/125-126, cetakan Darul Atsar): “Yang benar dalam masalah ini hukumnya
sunnah (karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya). Jika
seseorang telah mengenalnya tanpa melakukan nazhar maka tidak ada hajat baginya
untuk melakukan nazhar. Seperti halnya bila dia mengutus seorang wanita yang
benar-benar dia percayai untuk mengenali wanita yang hendak dipinangnya (dan dia
bersandar dengan berita dari wanita itu). Meskipun demikian, pada hakekatnya
nazhar orang lain tidak cukup mewakili nazhar yang dilakukan sendiri. Karena
boleh jadi wanita itu cantik di mata orang lain, namun belum tentu cantik di
mata sendiri.1 Boleh jadi wanita itu dinazhar dalam keadaan gembira dan riang,
yang tentu saja berbeda jika dinazhar dalam keadaan sedih. Juga, terkadang
wanita yang dinazhar berusaha untuk tampil cantik dengan berdandan menggunakan
make up, sehingga disangka cantik padahal tidak demikian hakikatnya.” Perlu
diketahui bahwa nazhar yang syar’i memiliki beberapa persyaratan: 1. Nazhar
hanya terbatas pada bagian tubuh tertentu. Batasan ini diperselisihkan para
ulama. Dalam hal ini, Al-Imam Ahmad memiliki tiga riwayat (pendapat). Riwayat
pertama sama dengan pendapat jumhur ulama, yang mengatakan bahwa yang boleh
dilihat adalah sebatas wajah dan telapak tangan. Riwayat kedua, beliau
berpendapat bahwa boleh untuk melihat bagian tubuhnya yang biasa nampak dan
terlihat dalam kesehariannya ketika di rumah saat bersama mahramnya, seperti
wajah, kepala, leher, lengan, dan betis. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni
menerangkan riwayat ini: “Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan
untuk nazhar secara mutlak, baik dengan seizin dan sepengetahuan si wanita yang
bersangkutan ataupun tidak, berarti beliau mengizinkan untuk melihat apa yang
biasa terlihat dalam kesehariannya ketika di rumah bersama mahramnya. Karena
ketika melakukan nazhar secara diam-diam tanpa seizin dan sepengetahuan si
wanita, maka tidak mungkin membatasi diri hanya melihat wajah saja. Bahkan
bagian-bagian tubuh lainnya yang biasa nampak tentu akan terlihat
pula.” Riwayat ketiga sama dengan pendapat Azh-Zhahiriyah, yakni boleh
melihat seluruh bagian tubuh tanpa kecuali. (Lihat Al-Mughni, 6/387-388, Tahdzib
Sunan Abi Dawud hadits no. 2068, dan Nailul Authar, 6/111) Dan yang rajih
adalah riwayat/pendapat kedua dari Al-Imam Ahmad. Asy-Syaikh Al-Albani
berkata dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin Nadiyyah (2/154): “Jika
hadits Jabir radhiyallahu 'anhu tidak menunjukkan apa yang dikatakan Ibnu Hazm
(yakni pendapat Azh-Zhahiriyyah) maka tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut
menunjukkan makna lebih dari batasan yang disebutkan oleh jumhur. Wallahu
a’lam.” Asy-Syaikh Al-Albani juga berkata dalam Ash-Shahihah (1/157):
“Riwayat yang kedua dari Al-Imam Ahmad lebih dekat kepada dzahir2 hadits dan
praktik para shahabat. Wallahu a’lam.” Pendapat ini juga dipilih oleh
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’
(5/126). Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Jika dia belum melihat sesuatu
yang menjadikan dia tertarik pada nazhar yang pertama, boleh baginya untuk
mengulangi nazhar untuk yang kedua atau ketiga kalinya.” Hal ini karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan secara mutlak tanpa
membatasi satu kali saja. 2. Nazhar dilakukan tanpa khalwat (berduaan).
Karena tidak ada tuntutan hajat dan maslahat untuk ber-khalwat. Bahkan bisa
menjatuhkan keduanya dalam perkara-perkara yang melanggar syariat, sehingga hal
ini tetap haram hukumnya. Jadi, nazhar dilakukan dengan cara ditemani oleh wali
atau mahram si wanita. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Jika tidak mungkin
(nazhar ditemani walinya) maka boleh bagi si lelaki untuk bersembunyi di tempat
yang akan dilewati wanita tersebut dan mengamatinya secara diam-diam.” 3.
Nazhar dilakukan tanpa disertai syahwat. Karena wanita tersebut belum menjadi
istrinya, sehingga tidak dibenarkan dia bersenang-senang dengan memandanginya
disertai syahwat. 4. Nazhar dilakukan apabila si lelaki telah bertekad untuk
melamar si wantia. Jika sekedar coba-coba, atau barangkali dan barangkali, maka
tidak dibenarkan. Karena pada asalnya, nazhar hukumnya haram. Hanya saja
diizinkan ketika ada kebutuhan dan maslahat pernikahan. Sehingga nazhar tidak
boleh melampaui apa yang diizinkan syariat. 5. Nazhar dilakukan apabila ada
ghalabatuzh zhann (persangkaan kuat) bahwa lamarannya akan diterima. Seandainya
dia seorang yang fakir atau miskin, kemudian menazhar anak seorang pejabat, atau
seorang lanjut usia menazhar seorang gadis belia, perawan dan cantik, maka
kemungkinan besar lamarannya akan ditolak. (Al-Mughni, 6/387-388, Asy-Syarhul
Mumti’, 5/126-127) Terakhir, sebagai peringatan, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/126): “Tidak boleh melakukan percakapan
dengan wanita yang dinazhar saat melakukan nazhar. Karena percakapan lebih
membangkitkan syahwat dan lebih menggoda untuk menikmati suaranya dari sekedar
nazhar. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
‘Hendaklah ia memandang dari tubuhnya’, bukannya mengatakan: ‘Hendaklah dia
mendengar suaranya’.” Wallahu a’lam.
1 Karena kecantikan adalah
sesuatu yang relatif. (pen.) 2 Makna hadits yang nampak dan terpahami secara
langsung. (pen.)
Hukum Memakai Cincin Kawin/Cincin
Pertunangan
Apa hukumnya memakai cincin kawin atau cincin
pertunangan? (Mawardi, Banjarmasin)
Alhamdulillah, wash-shalatu
was-salamu ‘ala Rasulillah. Telah diajukan pertanyaan seputar masalah ini
kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Dan beliau
berfatwa: “Cincin tunangan adalah ungkapan dari sebuah cincin (yang tidak
bermata). Pada asalnya, mengenakan cincin bukanlah sesuatu yang terlarang
kecuali jika disertai i’tiqad (keyakinan) tertentu sebagaimana dilakukan oleh
sebagian orang. Seseorang menulis namanya pada cincin yang dia berikan kepada
tunangan wanitanya, dan si wanita juga menulis namanya pada cincin yang dia
berikan kepada si lelaki yang melamarnya, dengan anggapan bahwa hal ini akan
menimbulkan ikatan yang kokoh antara keduanya. Pada kondisi seperti ini, cincin
tadi menjadi haram, karena merupakan perbuatan bergantung dengan sesuatu yang
tidak ada landasannya secara syariat maupun inderawi (tidak ada hubungan sebab
akibat).1 Demikian pula, lelaki pelamar tidak boleh memakaikannya di tangan
wanita tunangannya karena wanita tersebut baru sebatas tunangan dan belum
menjadi istrinya setelah lamaran tersebut. Maka wanita itu tetaplah wanita
ajnabiyyah (bukan mahram) baginya, karena tidaklah resmi menjadi istri kecuali
dengan akad nikah.” (sebagaimana dalam kitab Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 113, dan
Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 476)
Telah diajukan juga sebuah
pertanyaan kepada Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah: “Apa hukum
mengenakan cincin atau cincin tunangan apabila terbuat dari perak atau emas atau
logam berharga yang lain?” Beliau menjawab: “Seorang lelaki tidak boleh
mengenakan emas baik berupa cincin atau perhiasan yang lain dalam keadaan
apapun. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan emas atas kaum
laki-laki umat ini. Dan beliau melihat seorang lelaki yang mengenakan cincin
emas di tangannya maka beliaupun melepas cincin tersebut dari tangannya.
Kemudian beliau berkata:
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ
فَيَضُعَهَا فِي يَدِهِ؟
“Salah seorang kalian sengaja mengambil bara api
dari neraka lalu meletakkannya di tangannya?” Maka, seorang lelaki muslim
tidak boleh mengenakan cincin emas. Adapun cincin selain emas seperti cincin
perak atau logam yang lain, maka boleh dikenakan oleh laki-laki, meskipun logam
tersebut sangat berharga. Mengenakan cincin tunangan bukanlah adat kaum muslimin
(melainkan adat orang-orang kafir). Apabila cincin itu dipakai disertai dengan
i’tiqad (keyakinan) akan menyebabkan terwujudnya rasa cinta antara pasangan
suami istri dan jika ditanggalkan akan memengaruhi langgengnya hubungan
keduanya, maka yang seperti ini termasuk syirik.2 Dan ini merupakan keyakinan
jahiliyah. Maka, tidak boleh mengenakan cincin tunangan dengan alasan apapun,
karena: 1. Merupakan perbuatan taqlid (membebek) terhadap orang-orang yang
tidak ada kebaikan sedikitpun pada mereka (yakni orang-orang kafir), di mana hal
ini adalah adat kebiasaan yang datang ke tengah-tengah kaum muslimin, bukan adat
kebiasaan kaum muslimin. 2. Apabila diiringi dengan i’tiqad akan memengaruhi
keharmonisan suami istri maka termasuk syirik. Wala haula wala quwwata illa
billah. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 476-477)
Kedua ulama ini
sepakat bahwa jika cincin tunangan itu dipakai disertai i’tiqad yang disebutkan
maka hukumnya haram dan merupakan syirik kecil. Adapun bila tanpa i’tiqad
tersebut, keduanya berbeda pendapat. Dan pendapat Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
lebih dekat kepada al-haq dan lebih selamat. Wallahu a’lam bish-shawab.
1
Menjadikan perkara tertentu sebagai sebab dalam usaha mencapai sesuatu, padahal
syariat tidak memerintahkannya, dan tidak ada pula hubungan sebab akibat antara
perkara tersebut dengan tujuan yang akan dicapai (secara tinjauan takdir Allah
Subhanahu wa Ta'ala mengatur kejadian alam), adalah perbuatan syirik kecil; yang
merupakan wasilah yang akan menyeret seseorang untuk terjatuh dalam perbuatan
syirik besar yang membatalkan keislamannya. Kita berlindung kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala dari kesyirikan. (pen) 2 Yakni syirik kecil.
(pen.) |
|
|
Post a Comment