Peran Dai

Tulisan ini secara khusus dipersembahkan kepada mereka yang telah mengazamkan hidupnya untuk dakwah.
Arus dakwah seakan semakin tak terbendung. Ia mengalir laksana aliran air yang memenuhi setiap “lorong” kehidupan, tak terkecuali “lorong” yang bernama Politik. Mengaliri lorong yang yang satu ini, seakan banyak memberi pengharapan terhadap apa yang namanya “perubahan”.
Setelah cukup lama “berjuang” dalam Mihwar-Tandzimi, terutama di era awal perkembangan dakwah, dakwah kini telah merambah ke Mihwar-Muassasi bahkan Mihwar Dauli. Salah satu ciri khas Mihwar ini, adalah mulai bersentuhannya dakwah dengan ruang dan urusan publik yang multidimensional. Ketika dakwah-Politik disamping diterjamahkan sebagai sebagai usaha demi tegaknya hukum Allah, ia juga bermakna”seni” melayani ummat (dibaca publik), maka ada banyak “kebutuhan-keinginan” publik yang harus diakomodasi.
Keharusan melakukan “ekspansi” dakwah, telah mengantarkan para kadernya kepada sebuah “era buka-bukaan” di ruang publik. Mihwar ini juga menuntut para kadernya tidak hanya piawai dalam menyampaikan materi-materi halaqah, tapi ia juga seorang “politisi” yang tangguh dan berahlaq. Ada banyak “kebutuhan” publik yang harus dipenuhi. Sehingga setiap kader tidak hanya berkualitas dari sisi “normatif-teoritis”, tapi ia juga berkualitas dari sisi “praktis-aplikatif”. Mihwar Muassasi-Dauli membutuhkan jundi-jundi dengan karakteristik (profil) yang tidak sama jika dibandingkan dengan saat dakwah ini berada pada Mihwar Tandzimi.
Secara mendasar, karakteritik itu bisa didapat dalam 10 Muwashafat, yakni: Salimul aqidah (Akidah yang bersih), Shahihul ibadah (Ibadah yang benar), Matinul khuluq (akhlak yang kokoh), Qowiyyul jismi (jasmani yang kuat) Mutsaqqoful fikri (berwawasan pemikirannya), Mujahadatul linafsihi (Kuat kesungguhan jiwanya), Harishun ala waqtihi (cermat mengatur waktu), Munzhzhamun fi syuunihi (Teratur dalam suatu urusan), Qodirun alal kasbi (mandiri perekonomiannya) dan Nafi’un lighoirihi (bermanfaat bagi yang lain).
Kesepulah aspek dasar “kualitas” kader dakwah tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya pembinaan yang rutin dan istiqomah di berbagai sarana tarbiyah yang telah digariskan oleh “manhaj tarbiyah”. Beberapa diantarnya adalah Halaqah Tarbawi sebagai “agenda terdepan” guna pembentukan akidah, fiqrah, ibadah, ahlaq dan kemahiran dalam ber-amal jama’i. Selain itu ada Mabit, Daurah, Rihlah, Mukhayyam, dll, yang semuanya harus menjadi agenda tersendiri bagi setiap kader.
Untuk bisa survive di era ini, beberapa ‘Amal (kerja) sebagai “terjemahan” dari 10 muwashafat harus menjadi bagian “kerja” yang tak boleh ditinggalkan oleh setiap kader dakwah, beberapa diantarnya adalah ‘Amal Da’awi (kerja dakwah) yang menjadi agenda utama, ‘Amal ‘Ilmi (kerja akademik), ‘Amal Mihani (kerja profesi), ‘Amal Iqtishadi (kerja ekonomi), ‘Amal Siyasi (kerja politik), ‘Amal I’lami (kerja media dan informasi), ‘Amal Ijtima’i (kerja kemasyarakatan). Inilah jalan untuk mengantarkan kader dakwah menjadi da’i yang normatif-teoritis, sekaligus praktis-aplikatif.
Beberapa tahun ke depan, dakwah ini akan banyak berhadapan dengan beragam peluang, juga tantangan. Peluang itu adalah semakin terbukanya “kran” dakwah sehingga ia mampu mengalir ke bermacam bidang kehidupan, lembaga pemerintahan, swasta dan ruang publik lainnya. Ekspansi dakwah ini semakin menuntuk tersedianya kader-kader dakwah yang tangguh dan mandiri. Kemampuan kader-kader dakwah melakukan ekspansi dakwah, penyebaran fiqrah, dan memperluas pengaruh pada “ruang publik” akan menentukan keberhasilan dakwah. Profesionalisme kader dakwah, itulah salah satu jawaban guna memenuhi kebutuhan di era Muassasi-Dauli.
Tidak terlalu berlebihan kiranya, jika para Qiyadah dakwah merumuskan karakteristik yang harus melekat pada setiap kader dakwah yang profesional, diantaranya adalah: (1) Kokoh dan Mandiri, (2) Dinamis, Kreatif dan Inovatif, (3) Spesialis yang berwawasan Global, (4) Produktif, (5) Mahir berAmal Jama’i, (6) Pelopor Perubahan, dan (7) Kepemimpinan Masyarakat. Tiga karakter pertama merefleksikan kapasitas Internal. Selanjutnya diperkuat dengan dua karakter berikutnya yang merefleksikan Kapasitas Sosialnya, dan akhirnya, dua kapasitas tersebut disempurnakan dengan dua karakter berikutnya yaitu sebagai pelopor perubahan (agent of change) yang mempunyai jiwa kepemimpinan.
Akhirnya sebagai penutup, setiap kader harus “sholeh” secara pribadi dan “sholeh” secara sosial. Selanjutnya kedua kesholehan tersebut diintegrasi dan disinergikan untuk tampil sebagai “aktor politik” guna membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Tidak ada komentar