Sungguh Allah Ta'ala Maha Pemurah
Sungguh Allah Ta'ala Maha Pemurah
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallaahu 'anhuma dari Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam tentang apa yang diriwayatkan dari Rabb-nya ‘Azza Wa Jalla, Dia
berfirman: Beliau bersabda: “sesungguhnya Allah mencatatkan seluruh kebaikan dan
keburukan, kemudian (Dia Ta’ala) menjelaskan hal itu; barangsiapa yang
berkeinginan untuk melakukan suatu kebaikan namun dia belum melakukannya (tidak
jadi), maka Allah telah mencatat baginya satu kebaikan secara sempurna; jika dia
berkeinginan untuk melakukannya, lantas dia (jadi) melakukannya, maka Allah
telah mencatatkan baginya disisiNya sebanyak sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus
kali lipat, hingga berlipat-lipat; dan barangsiapa yang berkeinginan untuk
melakukan suatu keburukan namun dia belum melakukannya (tidak jadi), maka Allah
telah mencatatkan baginya disisiNya satu kebaikan secara sempurna; jika dia
berkeinginan untuk melakukannya lantas dia (jadi) melakukannya maka Allah telah
mencatatkan baginya satu keburukan”. (H.R.Muttafaqun ‘alaih)
Penjelasan Kebahasaan
Penjelasan Kebahasaan
- Ungkapan: “Fî mâ yarwî ‘an Rabbihi ‘Azza Wa Jalla” (tentang apa yang
diriwayatkan dari Rabb-nya ‘Azza Wa Jalla) : ini merupakan salah satu lafazh
periwayatan Hadîts Qudsiy, yaitu hadits yang disandarkan kepada Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam dan beliau kemudian menyandarkannya kepada Rabb-nya
‘Azza Wa Jalla.
- Ungkapan: “Innallâha kataba al-Hasanâti wa as-Sayyi-âti” (sesungguhnya Allah
mencatatkan seluruh kebaikan dan keburukan) : ungkapan ini bisa jadi adalah
firman Allah dan taqdir-nya (perkiraan kata sebelumnya yang semestinya) adalah
“Qâlallâhu: Innallâha kataba…” (Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah
mencatatkan…dst” ). Bisa jadi juga, ungkapan tersebut berasal dari sabda Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam yang dihikayatkan oleh beliau dari fi’l (perbuatan)
Allah Ta’ala.
- Ungkapan “kataba” (mencatatkan) : maksudnya, Allah Ta’ala memerintahkan para
malaikat al-Hafazhah untuk mencatatkan. Ada yang mengatakan: “Dia Ta’ala
menakdirkan hal itu lalu para malaikat pencatat mengetahui takdir tersebut”.
- Ungkapan “Tsumma bayyana dzâlik” (Kemudian menjelaskan hal itu) : yakni
bahwa Allah Ta’ala menjelaskan hal itu, kemudian memerincinya melalui firmanNya
(dalam hadits tersebut): “fa man hamma….” (barangsiapa yang berkeinginan…) .
- Ungkapan “Fa man Hamma” (Maka barangsiapa yang berkeinginan) : kata hamm
(ism mashdar/kata benda dari kata kerja hamma) maknanya adalah mempertegas
tujuan untuk berbuat. Jadi, maknanya lebih dari sekedar belesitan yang melintas
di hati dan bersifat labil. Ada pula yang mengatakan: maknanya adalah “bila
hendak” sebagaimana terdapat dalam sebagian riwayat.
- Ungkapan “fa lam ya’malhâ” (namun dia belum melakukannya [tidak jadi]) : yakni tidak jadi melakukannya dengan anggota badannya ataupun hatinya. Sedangkan ungkapan: “ilâ sab’i mi-ati dla’fin” (hingga tujuh ratus kali lipat) : kata dla’f secara bahasa maknanya: al-Mitsl (misal, lipat).
- Hadits diatas berbicara seputar betapa besarnya karunia yang dianugerahkan
oleh Allah Ta’ala dan kemurahanNya. Dalam hal ini, Dia Ta’ala memberikan karunia
kepada hamba-hambaNya; menetapkan pahala dari kebaikan-kebaikan yang ingin
mereka lakukan dengan mencatatkannya beberapa kebaikan disisiNya. Hal tersebut
berkenaan dengan sekedar niat dan keinginan; bila sudah beralih kepada amal
nyata dan praktik, baik berupa amal hati ataupun amal anggota badan, maka Dia
Ta’ala akan melipatgandakan kebaikannya dengan beberapa kali lipat, terhitung
dari sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat, hingga berlipat-lipat.
- Para Ulama menyebutkan bahwa diantara faktor yang dapat menambah kebaikan
tersebut hingga berlipat ganda seperti itu adalah seberapa jauh bertambahnya
keikhlasan, kuat dan mantapnya tekad, hidupnya hati, diwariskannya kemanfa’atan
yang berlebih seperti sedekah jariah, ilmu yang bermanfa’at, sunnah hasanah,
kemuliaan amal, dan sebagainya.
- Hadits tersebut juga mengandung pelajaran betapa besarnya karunia dan
kemurahan Allah kepada hamba-hambaNya yang beriman. Diantaranya, Dia Ta’ala
tidak menjadikan mereka berdosa lantaran belesitan hati mereka untuk melakukan
perbuatan maksiat yang belum mantap di hati dan belum menjadi tekad bulat; bila
hal tersebut tidak jadi mereka lakukan, maka akan dicatatkan satu kebaikan bagi
mereka. Akan tetapi bila mereka jadi melakukannya, maka hanya dicatatkan bagi
mereka satu keburukan saja, tidak dilipatgandakan sebagaimana perhitungan
terhadap perbuatan baik.
Diantara yang menguatkan statement ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah melampaui (tidak mengganggap sebagai dosa) bagi umatku terhadap apa yang terbersit oleh hati mereka (untuk dilakukan) selama mereka tidak berkata-kata atau (jadi) melakukannya”.
- Allah Ta’ala pasti mencatatkan setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang
hamba; kecil atau besarnya, sepele atau tidaknya. Dia Ta’ala berfirman: “dan
Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka
tinggalkan…”. (QS. 36/Yâsîn:12).
Allah juga berfirman: “Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata:"Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun". (QS. 18/al-Kahf: 49).
Dalam firmanNya yang lain: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.[7]. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.[8]. (Q.S.99/az-Zalzalah: 7,8).
Oleh karena itu, seorang Muslim harus selalu berupaya agar yang dicatatkan untuknya hanyalah yang berupa kebaikan dan bila terbetik dihatinya atau pikirannya atau bahkan sudah beralih kepada melakukan perbuatan maksiat, maka dia harus sesegera mungkin bertindak untuk menghapuskannya, yaitu dengan cara bertaubat, menyesali dan beristighfar.
- Terkadang terlintas dalam pikiran seseorang bahwa kesenangan dan kenikmatan
hanya dirasakannya ketika berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu,
bila dia meninggalkan hal tersebut dan melepaskan diri dari pikiran semacam itu
demi mendapatkan ridla Rabb-nya, menginginkan pahalaNya serta takut akan
siksaNya, niscaya dia akan diganjar pahala atas usahanya tersebut.
- Pelajaran lain yang dapat diambil dari hadits diatas adalah bahwa seorang
hamba tidak diganjar pahala ataupun siksa bila yang dilakukan adalah berupa
perbuatan-perbuatan yang asalnya dibolehkan, kecuali bila terkait dengan niat
yang shalih atau rusak. Dalam kondisi seperti ini, perbuatan yang dibolehkan
tersebut bisa berubah menjadi perbuatan shalih yang diganjar pahala atau
perbuatan rusak yang diganjar siksa.
- Manakala Allah Ta’ala menjadikan keinginan untuk berbuat amal shalih dari
seseorang lantas dicatatkan baginya satu pahala kebaikan meskipun tidak jadi
dilakukan, adalah termasuk anugerah dan kemurahan dari Allah Ta’ala. Demikian
pula, manakala Dia Ta’ala mengganjar pahala bagi seorang Muslim yang ingin
melakukan suatu perbuatan baik, lantas dia tidak dapat melakukannya seperti
orang yang berniat melakukan shalat malam tetapi tertidur, sakit atau mendadak
harus bepergian dan sebagainya; maka, Dia Ta’ala tetap mencatatkan pahala bagi
apa yang dilakukannya atau diniatkan olehnya meskipun tidak jadi dilakukannya.
- Bahwa Allah Ta’ala melipatgandakan pahala kebaikan bagi orang yang
melakukannya dan tidak menganggap sebagai keburukan bila hanya berupa belesitan
di dalam hati namun tidak sampai melakukannya; ini semua adalah karunia dan
kemurahan Allah Ta’ala. Namun tidak sebatas itu saja karunia dan kemurahanNya
tetapi lebih dari itu, Dia Ta’ala juga bahkan akan menghapuskan semua keburukan
tersebut bila seorang Muslim melakukan perbuatan baik setelah itu. Berkaitan
dengan hal ini, Allah Ta’ala berfirman: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua
tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
(QS. 11/Hûd: 114).
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda kepada Abu Dzarr radhiallaahu 'anhu : “Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah (timpalilah) keburukan itu dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskannya (keburukan tersebut) serta pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”.
Post a Comment