AQIDAH DAN KEIMANAN
AQIDAH DAN KEIMANAN
Sesungguhnya asas
pertama kali yang tegak diatasnya masyarakat Islam adalah aqidah, itulah aqidah
Islam. Maka tugas masyarakat yang pertama adalah memelihara
aqidah, menjaga dan memperkuat serta memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru
dunia.
Aqidah Islam ada pada keimanan kita kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari kemudian, sebagaimana firman Allah
SWT:
"Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari
Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kõtab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan:)"Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang
lain) dari rasul-rasul-Nya, " dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan
kami taat," (Mereka berdo'a:) "Ampunilah kami wahai Tuhan kami dan
kepada Engkaulah tempat kembali." (Al
Baqarah: 285)
Aqidah Islam itu membangun bukan merusak, mempersatukan bukan memecah
belah, karena aqidah ini tegak di atas warisan ilahiyah seluruhnya. Dan di atas
keimanan kepada para utusan Allah seluruhnya "Laa Nufarriqu Baina Ahadin
Min Rusulihi."
Aqidah tersebut diringkas dan dimampatkan dalam syahadatain (dua kalimat
syahadat) yaitu: "Syahaadatu an laa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan
Rasuulullaah." Aqidah inilah yang mempengaruhi pandangan kaum Muslimin
terhadap alam semesta dan penciptannya, terhadap alam metafisika, kehidupan ini
dan kehidupan setelahnya, terhadap alam yang terlihat dan yang tidak terlihat,
terhadap makhluq dan khaliq, dunia dan akhirat, dan terhadap alam yang nampak
dan alam gaib (yang tidak kelihatan).
Alam ini dengan bumi dan langitnya, benda-benda mati dan
tumbuh-tumbuhannya, hewan dan manusianya, jin dan malaikatnya ..., kesemuanya
tidak diciptakan tanpa makna, dan tidak diciptakan dengan sendirinya. Harus ada
yang menciptakan, yakni Dia yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mulia dan
Maha Bijaksana. Dia yang telah menciptakan alam ini dengan sempurna, dan telah
menentukan segala sesuatu di dalamnya dengan ketentuan yang pasti. Maka setiap
benda yang terkecil sekali pun itu ada standarnya, dan setiap gerakan pasti ada
ukuran dan perhitungannya. Pencipta itu adalah Allah SWT yang setiap kata,
bahkan setiap huruf dalam alam ini membuktikan atas kehendak, kekuasaan, ilmu
dan kebijaksanaan-Nya. Allah SWT berfirman:
"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih
kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,
tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penyantun lagi Maha Pengampun." (Al Isra':
44)
Pencipta Yang Maha Agung itulah Rabbnya langit dan bumi, Rabbnya alam
semesta dan Rabbnya segala sesuatu, Dia Satu dan Esa, tidak ada sekutu
bagi-Nya, baik dalam dzat, sifat atau perbuatan-Nya. Hanya Dialah yang qadim
dan azali, hanya Dialah yang tegak selama-lamanya, hanya Dialah yang
menciptakan, yang menyempurnakan dan yang memberi rupa (bentuk). Hanya Dialah
yang memiliki asmaul husna dan sifaatul 'ula, tidak ada sekutu dan tidak ada
perlawanan bagi-Nya, tidak ada anak dan tidak ada bapak bagi-Nya, tidak ada
yang mirip atau yang menyamaiNya. Allah swt berfirman:
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada
diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al Ikhlas: 1-4)
"Dia-lah yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al Hadid:
3)
"Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura:
11)
Segala sesuatu yang ada di jagad raya ini, baik yang atas dan yang bawah,
yang diam dan yang bisa berbicara membuktikan adanya akal yang satu, Dia-lah
yang mengatur segalanya. Membuktikan pula adanya tangan yang satu, Dialah yang
mengatur penjuru alam dan mengarahkannya. Jika tidak demikian, maka akan
rusaklah alam semesta ini, lepas kendalinya, goncang standarnya dan runtuh
bangunannya sebagai akibat dari banyaknya akal yang mengatur dan banyaknya
tangan yang menggerakkan. Maha Benar Allah dengan firman-Nya:
"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah,
tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai
'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan." (Al
Anbiya': 22)
"Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada
tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan
itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu
akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan." (Al Mukminun: 91)
"Katakanlah: "Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana
yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang
mempunyai 'Arsy. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan
dengan ketinggian yang sebesar-besarnya." (Al
Isra': 42-43)
Suatu hakikat yang tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya seluruh makhluq
yang ada di langit dan yang di bumi semuanya kepunyaan Allah, dan segala
sesuatu yang ada di langit dan di bumi semuanya milik Allah. Maka tidak ada
seorang pun atau sesuatu pun dari yang berakal maupun yang tidak berakal
menyamai Allah dan tidak pula Dia mempunyai putra. Sebagaimana yang dikatakan
oleh penyembah berhala dan yang serupa dengan mereka, Al Qur'an menggambarkan
sebagai berikut:
"Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak."
Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan
Allah; semua tunduk kepada-Nya. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia
berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan
kepadanya. "Jadilah!" Lalu jadilah ia." (Al Baqarah: 116-11)
Barangsiapa yang tersesat dari hakekat ini di dunia maka niscaya akan
terungkap di akhirat kelak, dia akan melihat kenyataan itu seakan telanjang. Jelas
dan terang seperti terangnya matahari di waktu dhuha. Allah swt berfirman:
"Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang
kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah
menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan
tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan
sendiri-sendiri." (Maryam: 93-95)
Maka tidak heran (bukan suatu hal yang aneh) setelah itu semua, jika Allah
Sang Pencipta Yang Agung, Tuhan yang Maha Tinggi, hanya Dialah yang berhak
disembah dan ditaati secara mutlak. Dengan lain perkataan, "Dia berhak
sangat dipatuhi dan sangat dicintai, dan makna yang terkandung dalam ketundukan
dan cinta yang sangat, itulah yang kita namakan "Ibadah"1
Inilah makna "Laa ilaaha illallaah," artinya tidak ada yang
berhak untuk disembah selain Allah atau tidak sesuatu pun berhak untuk menerima
ketundukan dan cinta selain Allah. Hanya Dia-lah yang pantas untuk tunduk semua
makhluk terhadap perintah-Nya, sujud di hadapan-Nya dan bertasbih dengan
memuji-Nya serta mau menerima hukum-Nya.
Hanya Dia yang pantas untuk dicintai dengan segala makna cinta, Dia-lah
yang mutlak kesempurnaan-Nya dan sesuatu yang sempurna itu pantas untuk
dicintai. Dia-lah sumber segala keindahan, dan segala keindahan yang ada dalam
kehidupan ini diambil dari pada-Nya, dan keindahan itu wajar kalau dicintai dan
dicintai pula pemiliknya. Dia-lah yang memberi seluruh kenikmatan dan sumber
segala kebaikan. Allah SWT berfirman:
"Dan apa saya nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya),
dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta
pertolongan." (An-Nahl: 53)
Oleh karena itu kebaikan akan selamanya disenangi dan nikmat akan selamanya
dicintai dan dicintai pula pemiliknya.
Makna "Laa ilaaha illallaah" adalah membuang ketundukan dan
penghambaan kepada kekuasaan selain kekuasaan Allah dan hukum selain hukum-Nya
dan perintah selain perintah-Nya. Ia juga berarti menolak segala bentuk loyalitas
selain loyalitas kepada-Nya dan menolak segala bentuk cinta selain cinta
kepada-Nya dan cinta karena-Nya.
Untuk memperjelas makna tersebut, maka kami katakan bahwa sesungguhnya
unsur (komponen) tauhid sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur'an ada tiga yaitu
dalam surat Al An'am --surat yang memperhatikan ushulut-tauhid (prinsip-prinsip
ketauhidan)-- sebagai berikut:
Pertama, hendaknya kamu tidak mencari Rabb (Tuhan) kepada selain Allah. Allah
berfirman:
"Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah,
padahal. Dia adalah
Tuhan bagi segala sesuatu ..." (Al An'am:
164)
Kedua, hendaknya kamu tidak mencari wali (penolong) kepada selain Allah. Allah
berfirman:
"Katakanlah: "Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah
yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi
makan ...." (Al An'am: 14)
Ketiga, hendaknya kamu tidak mencari hakim selain daripada Allah. Allah
berfirman:
"Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah
yang telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan terperinci?" (Al An'am: 114)
Makna unsur yang pertama --"Hendaklah kamu tidak mencari Rabb (Tuhan)
kepada selain Allah"-- adalah menolak seluruh tuhan-tuhan palsu yang
disembah oleh manusia, baik di zaman dahulu atau sekarang ini, baik di timur
atau di barat, baik dari batu, pohon-pohonan, perak dan emas, ataupun mata hari
dan bulan atau dari golongan jin dan manusia. Ia juga berarti menolak seluruh
tuhan-tuhan selain Allah sekaligus mengumumkan revolusi untuk melawan orang-orang
di bumi yang mengaku tuhan dan bersikap sombong tanpa dasar yang benar, yaitu
mereka yang ingin memperbudak hamba-hamba Allah.
"Laa ilaaha illallaah" adalah deklarasi untuk membebaskan manusia
dari segala bentuk ketundukan dan penghambaan kepada selain Allah, sebagai
penciptannya. Maka tidak boleh bersujud, tunduk dan khusyu' kecuali kepada
Allah Pencipta langit dan bumi.
Oleh karena itu Nabi SAW mengakhiri surat-surat yang beliau kirimkan kepada
para raja dan penguasa serta para kaisar dari kaum nasrani ayat berikut ini:
"Katakanlah: "Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa
tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu
pun dan tidak (pula) sebagian kita menyadikan sebagian yang lain sebagai tuhan
selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)." (Ali 'Imran: 64)
Kata-kata "Rabbunallah" adalah berfungsi sebagai pengumuman
tentang pembangkangan dan penolakan terhadap segala kediktatoran di bumi ini.
Karena itulah Nabi Musa AS menghadapi ancaman pembunuhan, dan pada saat itu
ada seorang laki-laki beriman dari keluarga Fir'aun yang membela, seraya
berkata, sebagaimana dikisahkan oleh Al Quran:
"Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut
Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh
seorang laki-laki karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah."
padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari
Tuhanmu ..." (Al Mukmin (Ghafir): 28)
Karena itu pula Nabi kita Muhammad SAW dan para sahabatnya juga menghadapi
tekanan, siksa dan pengusiran dari tanah air dan perampasan harta, sebagaimana
disebutkan oleh Al Qur'an:
"(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka
tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami
hanyalah Allah" ...." (Al Hajj: 40)
Makna unsur yang kedua "Hendaklah kamu tidak menjadikan selain Allah
sebagai wali (pendukung)" adalah menolak (tidak memberikan) wala' atau
loyalitasnya kepada selain Allah dan golongannya, karena bukanlah tauhid itu
suatu pengakuan bahwa Tuhannya adalah Allah, tetapi pada saat yang sama dia
memberikan wala', kecintaan dan dukungannya kepada selain Allah, bahkan kepada
musuh-musuh-Nya. Allah swt berfirman:
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscsya lepaslah ia dari
pertolongan Allah ..." (Ali 'Imran: 28)
Sesungguhnya hakikat tauhid bagi orang yang beriman bahwa sesungguhnya
Tuhannya adalah Allah. Hendaknya ia memurnikan ketaatan kepada-Nya dan kepada
orang-orang yang beriman kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk
(kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang- orang
yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah
itulah yang pasti menang" (Al Maidah, 55-56)
Dari sinilah Al Qur'an menyatakan pengingkaran terhadap orang-orang musyrik
bahwa mereka itu telah membagi-bagi hati mereka antara Allah SWT dengan
tuhan-tuhan lain yang mereka sembah yaitu dari berhala-berhala dan
patung-patung. Mereka telah memberikan kecintaan dan wala' mereka kepada
tuhan-tuhan itu sebagaimana mereka memberikannya kepada Allah. Allah SWT
berfirman:
"Dan sebagian manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah ..." (Al Baqarah: 165)
Sesungguhnya Allah SWT
tidak menerima syarikah (persekutuan) dalam hati para hamba-Nya yang beriman,
maka tidak boleh sebagian hati kita, kita berikan kepada Allah, kemudian
sebagian yang lain lagi untuk Thaghut. Tidak boleh kita memberikan
sebagian wala'nya kepada Al Khaliq (pencipta) dan sebagiannya lagi kepada
makhluk. Sesungguhnya seluruh wala' dan seluruh tumpuan hati hendaknya wajib
diberikannya kepada Allah, yang memiliki seluruh makhluk-Nya dan seluruh
perkara yang ada. Inilah perbedaan antara mukmin dan musyrik. Orang mukmin itu
menyerahkan (dirinya) kepada Allah, memurnikan 'ubudiyahnya kepada Allah,
sedangkan orang musyrik itu memilah-milah antara Allah dan selain Allah. Allah
SWT berfirman:
"Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang
dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan
seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah
kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka
tidak mengetahui." (Az-Zumar: 29)
Makna unsur yang ketiga --"Hendaklah kamu tidak mencari hakim kepada
selain Allah" -- adalah menolak ketundukan kepada setiap hukum selain
hukum Allah, setiap perintah selain perintah dari Allah, setiap sistem selain
sistem yang ditetapkan Allah, setiap undang-undang selain syari'at Allah dan
setiap aturan, tradisi, adat istiadat, manhaj, fikrah dan nilai yang tidak
diizinkan oleh Allah. Maka barangsiapa yang menerima sedikit dari semua itu
baik sebagai hakim atau yang dihukumi, tanpa izin dari Allah berarti dia telah
mernbatalkan salah satu unsur yang asasi dari unsur-unsur tauhid, karena ia
telah mencari hakim selain Allah, padahal hukum dan tasyri' itu termasuk hak
Allah saja. Allah SWT berfirman:
"Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf:
40)
Unsur ini sebenamya merupakan konsekuensi tauhid rububbiyah dan uluhiyah
Allah, karena sesungguhnya orang yang menjadikan seseorang dari hamba Allah
sebagai pembuat hukum dan yang menentukan, ia memerintahkan dan melarang sesuai
dengan kemauannya, menghalalkan dan mengharamkan semaunya serta memberikannya
hak ketaatan dalam hal itu, meskipun ia menghalalkan yang haram, seperti zina,
riba, khamr, dan judi, kemudian juga mengharamkan yang halal seperti thalaq
(mencerai) dan berpoligami. Dan juga menggugurkan kewajiban-kewajiban, seperti
khilafah, jihad, zakat, amar ma'ruf dan nahi munkar, dan menegakkan
ketentuan-ketentuan Allah dan yang lainnya. Barangsiapa yang menjadikan orang
seperti ini sebagai hakim dan syari' (pembuat undang-undang) maka sebenarnya
dia telah menjadikannya sebagai tuhan yang ditaati segala perintahnya dan
dipatuhi segala peraturannya. Inilah yang dijelaskan di dalam Al Qur'an dan
diuraikan oleh Sunnah Nabi. Al Qur'an menggambarkan perilaku Ahlul Kitab
sebagai berikut:
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam;
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan." (At-Taubah: 31)
Bagaimana bisa mereka itu dikatakan telah menjadikan orang-orang alim dan
rahib mereka sebagai tuhan-tuhan, padahal tidak bersujud kepada mereka dan
tidak menyembah mereka sebagaimana penyembahan terhadap berhala?
Pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir yaitu tentang kisah Islamnya 'Ady bin Hatim
Ath-Thaa'i yang sebelumnya beragama Nasrani kemudian datang ke Madinah dan
orang-orang membicarakan tentang kedatangannya. Maka ia mendatangi Rasulullah
SAW, sedang di lehernya terdapat salib dari perak. Ketika itu Rasulullah SAW
membacakan ayat: "Ittakhadzuu Ahbaarahum wa ruhbaanaham arbaaban min
duunillaah." 'Ady berkata: "Sesungguhnya mereka tidak menyembah
rahib-rahib itu!" Maka Nabi SAW bersabda: "Ya, mereka itu telah
mengharamkan atas pengikut-pengikutnya yang halal dan menghalalkan kepada mereka
yang haram, sehingga para pengikut itu mengikuti mereka, maka itulah ibadah
mereka terhadap para rahib." (HR. Tirmidzi)
Ibnu Katsir berkata: "Demikianlah Hudzaifah bin Yaman dan Ibnu Abbas
mengatakan penafsiran ayat tersebut, karena mereka telah mengikuti para rahib
itu dalam hal yang para rahib itu telah halalkan dan haramkan."
As-Su'dy mengatakan: "Mereka telah memperturuti para ulama mereka,
pada saat yang sama mereka membuang kitab Allah di belakang punggung mereka,
untuk itu Allah SWT berfirman: "Dan mereka tidak diperintahkan kecuali
untuk beribadah kepada Tuhan Yang Esa." Yaitu tuhan yang apabila
mengharamkan sesuatu maka itu menjadi haram, dan apa saja yang telah Dia
halalkan maka menjadi halal, apa yang telah ditetapkan dalam syari'at maka
harus diikuti dan apa yang telah diputuskan maka harus dilaksanakan, tiada ilah
(Tuhan) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan."
Inilah kesimpulan makna kalimat yang pertama dari kedua kalimat syahadah,
yakni kalimat "Laa ilaaha illallaah" yang konsekuensinya adalah:
tidak mencari Rabb selain Allah, tidak menjadikan selain Allah sebagai wali
(penolong) dan tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim, sebagaimana
diucapkan/dikatakan oleh Al Qur'an dalam ayat-ayatnya yang sharih dan yang muhkamat.
Adapun kalimah yang kedua dari kalimat syahadah yang berfungsi sebagai
syarat sahnya seseorang masuk Islam adalah "Muhammadan Rasulullah." Karena
sesungguhnya mengakui keesaan Allah Ta'ala sebagai Ilah dan Rabb itu tidak
cukup apabila tidak disertai pengakuan yang kedua, yaitu bahwa Muhammad adalah
utusan Allah.
Sesungguhnya hikmah (kebijaksanaan) Allah telah menghendaki, di mana Allah
tidak membiarkan manusia ada tanpa makna, dan tidak membiarkan mereka tanpa
arti. Untuk itu Allah mengutus kepada mereka dalam setiap kurun waktu para
penyampai risalah yang berfungsi memberikan petunjuk, membimbing dan
mengarahkan kepada mereka untuk memperoleh ridha-Nya dan menghindarkan mereka
dari murka-Nya, itulah mereka para Rasul. Allah SWT berfirman:
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manasia membantah Allah sesudah
diutusnnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana." (An-Nisaa': 165)
Sebagaimana juga bahwa tugas para Rasul itu adalah membuat kaidah-kaidah,
nilai-nilai dan standar yang mengatur kehidupan dalam masyarakat serta memberi
petunjuk ke arah yang benar. Manusia bisa menjadikan itu sebagai pedoman
apabila mereka berselisih, dan bisa kembali kepadanya apabila terjadi saling
bermusuhan, sehingga mereka memperoleh kebenaran, keadilan, kebaikan, dan
kemuliaan, jauh dari kebathilan, kezhaliman, keburukan dan kerusakan. Allah swt berfirman:
"Sesungguhzya Kami
telah mengutus rasul- rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia
dapat melaksanakan keadilan." (Al Hadid: 25)
Inilah sesuatu yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada rasul-Nya berupa Al Kitab yang terangkai di
dalamnya nash-nash wahyu ilahi yang terpelihara. Dan "Al Mizan"
(timbangan) yang itu merupakan standar nilai-nilai Rabbani yang ditunjukkan
oleh para Nabi berupa percontohan ideal dan keutamaan manusiawi yang berjalan
di bawah pancaran Kitabullah.
Kalau bukan karena keberadaan
(tanpa) mereka, para rasul, niscaya manusia akan tersesat dari jalannya untuk
memahami hakikat uluhiyah dan jalan menuju ridha-Nya. Dalam hal pelaksanaan
kewajiban mereka terhadap Allah, tentu mereka akan membuat cara sendiri-sendiri
dengan metode yang berbeda-beda. Sesungguhnya Allah tidak menurunkan hukumnya
untuk memecah-belah melainkan untuk mempersatukan, tidak untuk merobohkan akan
tetapi untuk membangun, dan tidak dalam rangka menyesatkan tetapi memberi
petunjuk.
Utusan yang terakhir
adalah Muhammad SAW dialah yang menyampaikan perintah, hukum dan syari'at
Allah. Melalui dia kita mengetahui apa-apa yang diinginkan oleh Allah dari kita
dan apa-apa yang diridhai oleh Allah atas kita, apa-apa yang diperintahkan oleh
Allah kepada kita dan apa-apa yang dilarang-Nya. Melalui Nabi kita mengenal
Rabb kita, kita mengetahui dari mana asal kita dan hendak kemana kita menuju,
kita mengetahui jalan hidup kita, mengenal halal dan haram dan mengetahui
kewajiban-kewajiban. Kalau bukan karena Nabi SAW, maka kita akan hidup dalam
kegelapan tanpa mengenal tujuan dan tidak tahu jalan, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab
yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah
datang kepadamu cahaya dan Allah, dan kitab yang menerangkannya. Dengan kitab
itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari
gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (Al
Maaidah: 15-16)
Melalui Rasulullah SAW
kita mengetahui bahwa di balik kehidupan ini masih ada kehidupan lainnya, di
mana akan dimintai pertanggungjawaban setiap jiwa manusia terhadap apa yang ia
perbuat, dan akan dibalas apa yang ia kerjakan. Maka orang-orang yang berbuat
buruk, akan dibalas sesuai dengan amalnya, dan orang-orang yang berbuat
kebajikan akan dibalas dengan kebaikan pula.
Melalui Rasulullah SAW
kita mengetahui bahwa sesungguhnya di balik apa yang kita lakukan itu ada hisab
(perhitungan) dan mizan (timbangan amal), ada pahala dan siksa, serta surga dan
neraka. Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun (atom), niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah:
7-8)
Melalui Nabi SAW kita
mengetahui prinsip-prinsip kebenaran dan kaidah-kaidah keadilan serta
nilai-nilai kebaikan dalam syari'at (suatu aturan hidup) yang tidak menyesatkan
dan tidak melalaikan. Syari'at yang dibuat oleh Dzat yang mengetahui rahasia,
Dzat yang tidak ada yang mampu bersembunyi dari-Nya, Dzat yang mengetahui siapa
yang merusak dan siapa pula yang memperbaiki. Allah SWT berfirman .
"Apakah Allah yang
menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia
Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al Mulk:
14)
Untuk itulah maka
kalimat "Muhammadan Rasulullah" adalah penyempurna dari kalimat
"Laaa ilaaha illallaah" yang artinya tiada yang berhak disembah
selain Allah, sedangkan arti berikutnya adalah, tidak sah untuk menyembah Allah
kecuali dengan syari'at dan wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui lisan
Rasul-Nya.
Tidak heran apabila
ketaatan kita kepada Rasulullah SAW itu merupakan bagian dari ketaatan kita
kepada Allah, sebagaimana firman Allah SWT:
"Barangsiapa taat
kepada Rasul maka taat kepada Allah." (An-Nisaa':80)
Dan ittiba' kita kepada
Rasul termasuk salah satu tanda kecintaan kita kepada Allah SWT:
"Katakanlah: 'Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali 'Imran: 3)
Ridha terhadap
hukum-Nya dan syari'at-Nya merupakan salah satu bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari keimanan kepada Allah Tidak termasuk golongan orang-orang yang
beriman orang yang menolak hukum atau perintah yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah SAW sebagai penjelasan terhadap Al Qur'an, karena Allah SWT telah
mengutusnya untuk menjelaskan kepada manusia apa (kitab) yang diturunkan kepada
mereka. Ini merupakan sesuatu yang sangat jelas dalam Al Qur'an Al Karim. Tidak
dikatakan beriman orang yang berhukum kepada selain dari Rasulullah SAW atau
orang yang menolak hukumnya atau ragu-ragu terhadap hukum itu. Allah SWT
berfirman:
"Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al Ahzab: 36)
Allah SWT juga
menjelaskan dan menolak keimanan orang-orang munafik, sebagaimana dalam firman-Nya:
"Dan mereka
berkata: 'Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati
(keduanya).' Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali
mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka,
tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu
untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah
(ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau
(karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan
rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang
yang zhalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka
ialah ucapan: 'Kami mendengar, dan kami patuh.' Dan mereka itulah orang-orang
yang beruntung." (An-Nuur: 51)
Allah SWT juga
menjelaskan tentang orang yang ragu-ragu dalam menerima keputusan Rasulullah
SAW dan rela untuk menerima keputusan manusia lainnya, konon mereka adalah
orang-orang Yahudi:
"Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan berrnaksud menyesatkan
mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada
mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan
kepada hukum rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi
(manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagairnanakah
halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan
perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil
bersumpah ."Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain
penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah
orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengurus
seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
rnendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 60-65)
Inilah sikap
orang-orang yang beriman terhadap Rasulullah SAW, hukum dan syari'atnya,
sungguh mereka tidak merasa ragu-ragu sedikit pun dalam menerima hukum atau
menolaknya. Dengan kata lain mereka tidak memilih alternatif lainnya dan mereka
tidak meninggalkan ketundukan dan ketaatan, sebagaimana itu dilakukan oleh
orang-orang munafik, bahkan prinsip dan semboyan mereka adalah "Sami'naa
wa Atha'naa."
Sikap tersebut berbeda
dengan sikap orang-orang munafik yang rela terhadap hukum selain hukum Allah
dan Rasul-Nya. Dan segala sesuatu yang diikuti selain Allah dan Rasul-Nya
disebut "Thaghut," oleh karena itu Allah SWT berfirman:
"Yurriduuna an yatahaakamuu ila thaaghuut" itu membuktikan bahwa
dalam kehidupan ini hanya ada dua hukum, yaitu hukum Allah dan hukum thaghut'
tidak ada hukum yang ketiga.
Al Qur'an telah
menggambarkan kepada kita tentang sifat-sifat orangorang munafik dan sikap
mereka terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
"Apabila dikatakan
kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah
turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu .lihat orang-orang munafik
menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (An-Nisaa': 61)
Al Qur'an juga
meniadakan keimanan dari orang yang tidak mau berhakim kepada Rasulullah SAW ketika
hidupnya, dan tidak mau berhukum pada Sunnahnya setelah beliau wafat. Kalaupun
sudah demikian, itu masih belum cukup. Disyaratkan agar mereka ridha dan
menyerah terhadap hukum tersebut. Inilah tabi'at keimanan dan inilah buahnya:
"Kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang Kami berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa':
65)
Barangsiapa berpaling
dari semua seruan ini dan menutup kedua telinganya dari ayat-ayat tersebut,
malah sebaliknya menerima aturan-aturan, perundang-undangan, sistem dan tradisi
dari selain jalan Rasulullah SAW serta ridha diatur oleh para filosof, baik
dari timur atau barat, ulama atau umara atau apa pun namanya, berarti ia telah
menentang Allah SWT terhadap apa yang Ia syari'atkan, dan telah mengumumkan
permusuhan dengan Allah dan Rasul-Nya, dan telah keluar dari agama seperti
terlepasnya anak panah dari busurnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Barangsiapa yang
tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir." (Al Maaidah: 44)
"Barangsiapa tidak
berhutum pada apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zhalim." (Al Maidah: 45)
"Barangsiapa tidak
berhukum pada apa yang diturunkan Allah, rnaka mereka itu adalah orang-orang
yang fasik." (Al Maadiah: 47)
Penggunaan kata-kata
tersebut (Kaafiruun, zhaalimuun, dan Faasiquun) di dalam Al Qur'an Al Karim
menunjukkan bahwa maknanya berdekatan. Allah SWT berfirman:
"Dan orang-orang
kafir mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Al
Baqarah: 254)
"Barangsuapa yang
kufur setelah demikian itu maka mereka adalah orangorang yang fasik." (An-Nuur: 55)
"Tidak ada yang
menentang ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang kafir." (Al Ankabut: 47)
Oleh karena itu A1
Qur'an menjadikan kefasikan itu sebagai perlawanan terhadap keimanan,
sebagaimana dalam firman Allah SW:
"Seburuk-buruk
nama (sebutan) adalah kefasikan setelah beriman." (Al Hujuraat: 11)
"Apakah orang
mukmin itu sama dengan orang yang fasik, mereka tidaklah sama." (As-Sajadah: 18)
Al Qur'an juga
menceritakan tentang Iblis ketika menolak perintah Allah untuk bersujud kepada
Adam, sebagaimana firman Allah SWT:
"Ia membangkang
dan sombong, dan ia tergolong orang-orang yang kafir." (Al Baqarah: 34)
"Dia (iblis)
adalah (berasal) dari jin, kemudian ia fasik dan perintah Rabb-Nya." (Al Kahfi: 50)
Maka orang yang tidak
berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah berarti dia kafir, zhalim atau
fasik atau mengumpulkan sifat-sifat ini kesemuanya. Terutama apabila ia
meyakini bahwa apa yang diturunkan oleh Allah itu mengakibatkan jumud (beku),
terbelakang dan menjadi mundur, sedangkan hukum yang dibuat oleh manusia itulah
yang membawa perkembangan, kemajuan, perbaikan sosial dan peningkatan tarap
hidup.
Termasuk penyimpangan
terhadap ayat-ayat Allah dan pelecehan yang nyata terhadap konsepsi pemikiran
manusia jika ada yang mengatakan, "Bahwa sesungguhnya ayat-ayat ini
diturunkan kepada Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani." Dan orang
yang berkata ini lupa atau pura-pura lupa bahwa ayat-ayat muhkamat ini,
meskipun diturunkan kepada kaum tertentu, tetapi kalimat-kalimatnya bersifat
umum, di mana hukumnya meliputi seluruh manusia yang tidak berhukum pada hukum
Allah SWT. Merupakan kaidah yang ditetapkan oleh para mufassirin, bahwa"Ibrah
diambil dari umumnya lafadz, bukan sebab yang khusus." Dan mustahil jika
Allah mencela Ahlul Kitab yang pertama dengan kezhaliman, kekufuran dan
kefasikan karena mereka telah menolak membuang hukum Allah di belakang mereka
dan tidak mau berhukum pada hukum Allah, lantas memperbolehkan kepada kaum
Muslimin saat ini. Atau juga kepada Ahlul Kitab yang lainnya untuk menjadikan
Kitab Allah menjadi terbengkalai (terabaikan, sementara sebagian yang lain
telah menjadikannya sebagai minhaj (sistem) dan dustur (undang-undang) hidup
mereka.
Apa faedahnya
menyebutkan ayat-ayat itu dalam kaitannya dengan Ahlul Kitab kalau bukan
memberi peringatan kepada kaum Muslimin agar jangan berbuat seperti mereka dan
berhukum kepada selain hukum Allah, sehingga mereka dicela seperti Ahlul Kitab
dan sehingga mereka ditimpa oleh adzab Allah dan murka-Nya. Allah SWT
berfirman:
"Barangsiapa
ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia." (Thaha: 81)
Mengapa Allah SWT
menurunkan kepada manusia kitab dan mengutus kepada mereka seorang Rasul, jika
mereka kemudian membiarkan kitab itu dan menentang Rasul? Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami
telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan haq (benar), agar supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu." (An-Nisaa': 105)
"Dan Kami tidak
mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah." (An-Nisaa': 64)
Oleh karena itu Allah
SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya setelah menyebutkan ayat-ayat di atas sebagai
berikut:
"Dan Kami telah turunkan
kepadamuAl Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab-kitab yang lain itu; maka putusilah perkara mereka menurut apa yangAllah
turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al
Maaidah: 48)
Kemudian Allah
berfirman pada ayat-ayat berikutnya sebagai berikut:
"Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dan sebagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dan hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnnya kebanyakan munusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum
jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Al
Maaidah: 49-50)
Dengan demikian maka
dalam hidup ini hanya ada dua hukum, dan tidak ada ketiganya, yaitu hukum Islam
atau hukum jahiliyah, hukum Allah atau hukum Thaghut. Maka hendaklah seseorang
itu memilih untuk dirinya, dan hendaklah setiap kaum memilih untuk diri mereka'
hukum Allah (hukum Islam) atau hukum Thaghut (hukum jahiliyah) dan tidak ada
tengah-tengah dari keduanya.
Adapun orang-orang yang
beriman maka tidak ada alternatif bagi mereka, mereka selalu siap bersama hukum
Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu siap bersama Islam' mereka senantiasa dalam
peperangan dengan Thaghut dan hukum jahiliyah. Sesungguhnya syi'ar (semboyan)
mereka apabila diseru kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu mengatakan:
"Sami'na wa 'atha'naa."
Sedangkan orang-orang
yang kafir, mereka itu selamanya berada di jalan Thaghut, mereka selamanya
dalam keadaan ragu, mereka berada dalam kubangan jahiliyah. Allah SWT
berfirman:
"Dan orang-orang yang
kafir, wali-wali (penolong-penolong) mereka adalah Thaghut, mengelaarkan mereka
dan cahaya menuju kegelapan-kegelapan, mereka itulah penghuni neraka, mereka di
dalamnya kekal selama-lamanya." (Al Baqarah:
257)
Di sini ada dua catatan
penting' yaitu sebagai berikut:
Pertama: Bahwa
sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah itu merupakan suatu
kewajiban yang pasti, tidak ada seorang Muslim pun yang menentang, ungkapan itu
sama dengan istilah yang berkembang saat ini"Hakimiyah adalah kepunyaan Allah."
Yang berarti Allah-lah yang mempunyai hak (wewenang) secara mutlak untuk
membuat suatu aturan hidup, berhak memerintah dan melarang, menghalalkan dan
mengharamkan, yang berhak menentukan dan memberikan beban terhadap seluruh
makhluk-Nya.
Sebagian orang salah
memahami bahwa prinsip ini katanya berasal dari penemuan Al Maududi di Pakistan
atau Sayyid Quthub di Mesir, padahal kenyataannya pemikiran (konsep) ini
diambil dari ilmu"Ushul Fiqih Islami," dan ulama ushul memuat
pembahasan ini dalam bab"Hukum" yang masuk dalam muqaddimah ilmu
ushul, dan di dalam tema tentang"Al Hakim." Siapakah dia, mereka
semuanya bersepakat bahwa"Al Hakim" (yang menjadi penentu hukum)
adalah Allah, artinya Dia-lah yang memiliki kebenaran mutlak dalam mengatur
makhluk-Nya, sampai golongan Mu'tazilah pun tidak mengingkari hal itu,
sebagaimana dijelaskan oleh pensyarah kitab"Musallamus Tsubuut,"
salah satu kitab ushul yang terkenal.
Dalil-dalil atas
ketetapan prinsip ini baik dari Al Qur'an maupun Sunnah jelas dan nyata yang
sebagiannya telah kami sebutkan dalam menjelaskan kewajiban berhukum pada apa
yang diturunkan oleh Allah.
Kedua: Bahwa
sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah SWT itu tidak akan
menghilangkan peran manusia, karena manusia itulah yang memahami nash-nash yang
ditujukan kepadanya dan meng-istimbath (menyimpulkan hukum) dari nash-nash itu'
kemudian memenuhi yang kosong dalam hal-hal yang tidak ada nashnya, yang kami
katakan dengan istilah"Min Thaqatul 'Afwi" (sisi-sisi yang
dimaafkan). Dan ini sangat luas di mana syari' (Allah SWT) sengaja tidak
membahasnya sebagai rahmat (kasih sayang) Allah kepada kita, bukan karena lupa.
Di sinilah akal seorang Muslim itu bisa mencapai dan berijtihad dalam pancaran
nash-nash dan kaidah-kaidah ushul.
[1] Lihatlah makna Ibadah pada kitab
saya,"Al Ibadah Fil Islam"
Post a Comment